Bastian akhirnya menoleh padanya, wajahnya tanpa ekspresi.
“Kau cemas?” tanyanya dengan nada dingin, seolah menantang Raya untuk menjawab dengan jujur.
Raya menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan sikap tunduk yang biasa dia lakukan saat berhadapan dengan Bastian.
“Aku hanya ingin melindungimu,” jawabnya dengan manis. “Siapa pun yang berani masuk ke lingkaranmu tanpa alasan yang jelas, adalah ancaman.”
Bastian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis.
“Kau benar,” ucapnya pelan. “Tapi jangan khawatir. Aku akan tahu siapa dia sebenarnya.”
Deana kembali dari balkon, memasuki ruangan pesta dengan senyuman tipis di wajahnya.
Dia tahu bahwa sorotan mata Bastian dan Raya terarah padanya.
Permainan baru saja dimulai. Tapi meski langkahnya terlihat percaya diri, benaknya masih berusaha merancang langkah berikutnya.
Dengan anggukan singkat ke arah para tamu, Deana berjalan menuju bar, tepat di mana Bastian berdiri.
Di tengah keramaian, dia menghampiri bartender dan meminta minuman, sambil memastikan untuk menangkap perhatian Bastian.
Saat minumannya tiba, dia mengangkat gelasnya sedikit, sebagai salam tak langsung, dan tersenyum sekilas ke arah Bastian.
Bastian hanya menatap dingin, ekspresinya tidak berubah. Meski begitu, Deana tahu dia sedang memperhatikan, menganalisis setiap gerak-geriknya. Tanpa ragu, dia melangkah mendekat, memasuki zona intim pria itu.
"Ini pesta yang menarik," ucap Deana santai, suaranya terdengar genit, tetapi dengan lapisan kecerdasan yang tersembunyi. "Tuan rumahnya... tampaknya seorang pria yang sulit ditebak."
Bastian menatapnya dalam-dalam, tatapannya tajam seperti pisau.
"Dan kau tampaknya seseorang yang tidak takut pada pria seperti itu."
Deana terkekeh, senyuman samar masih menghiasi bibirnya.
"Takut tidak pernah membawa seseorang lebih jauh, bukan begitu?"
Ada sejenak keheningan, di mana Bastian terlihat menilai setiap kata yang keluar dari mulut Deana.
Tanpa berkata apa pun, dia mengangkat gelasnya, mengisyaratkan bahwa pembicaraan mereka belum selesai.
Saat Bastian hendak menjawab, Raya tiba-tiba muncul dari belakang, menyela dengan senyuman posesif.
"Sayang, aku pikir kau ingin berbicara dengan para tamu di sana," ujarnya dengan lembut namun penuh maksud, merujuk ke arah sekumpulan pria berjas mahal di sisi lain ruangan.
Bastian menoleh sekilas ke arah Raya, lalu kembali menatap Deana.
“Mungkin lain kali kita bisa melanjutkan percakapan ini,” ucapnya, sebelum akhirnya berjalan pergi, membiarkan Raya dan Deana berdiri berhadapan.
Begitu Bastian menjauh, Raya tak lagi menahan dirinya. Senyuman yang tadi tersungging di wajahnya kini berubah menjadi tatapan dingin.
“Aku tidak tahu siapa kau, atau dari mana kau datang,” bisik Raya dengan nada yang hampir mengancam, “tapi jangan terlalu yakin bahwa kau bisa bermain di wilayah ini.”
Deana menatapnya tanpa gentar, matanya menyiratkan ketenangan yang palsu.
“Aku hanya di sini untuk bekerja, tidak lebih,” jawabnya ringan. “Dan pekerjaan ini membawa ku ke banyak tempat yang mungkin tidak kau bayangkan.”
Raya menyipitkan matanya, penuh ketidakpercayaan.
"Kau tidak tahu dengan siapa kau berurusan."
Deana tersenyum lembut, seolah menanggapi ancaman itu sebagai lelucon.
"Oh, aku tahu persis. Dan aku juga tahu bahwa orang-orang sepertimu, yang berpikir mereka memegang kendali, biasanya yang pertama jatuh."
Seketika, atmosfer di antara mereka menjadi tegang.
Raya jelas merasa terancam, tetapi Deana tahu itu adalah bagian dari permainan ini.
Jika dia ingin lebih mendekati Bastian, maka mengatasi Raya adalah langkah pertama.
Dengan penuh percaya diri, Deana meninggalkan Raya tanpa berkata lagi.
Pesta ini hanyalah awal dari rencana yang lebih besar.
*
Di kamar hotelnya yang mewah, Deana berdiri di depan cermin, melepas anting-anting yang menghiasi telinganya.
Wajahnya yang tampak tenang saat berada di pesta kini memperlihatkan keletihan yang tak bisa disembunyikan.
Ada beban besar di pundaknya, dan itu semakin terasa setiap kali dia harus berada di dekat Bastian dan orang-orangnya.
Saat William menelepon lagi, Deana sudah duduk di sofa, menatap ke arah jendela besar yang menghadap kota.
“Kau bertindak cepat,” suara William terdengar tenang namun sedikit tegang.
Deana tersenyum tipis, meski tidak ada yang bisa melihatnya.
“Aku tidak punya banyak waktu. Setiap detik yang terbuang bisa berarti Bastian semakin curiga.”
William terdiam sejenak, lalu suaranya kembali terdengar.
“Aku tahu kau ingin balas dendam, Deana. Tapi jangan sampai kau lupa siapa dirimu sebenarnya.”
Deana terdiam, kalimat itu menusuk ke dalam hatinya. Siapa dirinya sebenarnya? Gadis lugu yang kehilangan tunangan, atau wanita yang kini siap melakukan apa pun demi menghancurkan orang yang bertanggung jawab atas kematian tunangannya?
“Aku tahu apa yang kulakukan, William,” jawabnya pelan namun tegas. “Ini bukan hanya tentang balas dendam. Ini tentang keadilan.”
William tak menjawab lagi. Hanya ada suara napasnya yang terdengar, seolah dia juga merasakan beratnya keputusan yang Deana ambil.Deana tahu bahwa William menyimpan sesuatu, sesuatu yang belum diungkapkannya. Tapi saat ini, fokus Deana hanya pada satu hal: Bastian.Dengan satu napas panjang, Deana menatap kembali bayangan dirinya di cermin.Lady Dee mungkin hanya sebuah penyamaran, tetapi di baliknya, Deana tahu, dia sudah berubah.Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah. Ini soal bertahan hidup dan memenangkan permainan yang berbahaya ini.Malam sudah larut ketika Deana meletakkan teleponnya dan kembali berdiri di depan cermin.Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata William.Sejauh ini, semua berjalan sesuai rencana, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa khawatir.Bastian adalah seseorang yang tak mudah diprediksi.Dia bisa saja menjatuhkan siapa pun yang mendekatinya, dan Deana sadar bahwa ia kini berada di pusat perburuan paling berbahaya dalam hidupnya.Deana menye
"Kenapa kau tertarik dengan lingkaran ini? Lingkaran di mana semua orang ingin keluar, tapi tidak bisa."Deana berpikir sejenak. Dia harus berhati-hati dengan jawabannya."Karena aku bukan orang biasa. Dunia ini menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh dunia luar. Kebebasan. Kontrol."Bastian mengangkat alis, seolah tertarik."Kebebasan, katamu?"Deana tersenyum tipis."Kebebasan untuk melakukan apa yang kita mau, tanpa batas. Di sini, kita adalah pemain. Dan aku ingin bermain di level tertinggi."Bastian terdiam, menatapnya dengan pandangan yang tajam.“Tapi permainan ini tidak untuk semua orang, Lady Dee. Jika kau ingin bermain, kau harus siap kehilangan segalanya.”Seketika, keheningan menyelimuti ruangan itu. Deana tahu bahwa di balik kata-kata itu, ada ancaman terselubung. Tapi dia tak gentar."Aku sudah kehilangan segalanya," jawabnya tegas, menatap Bastian tanpa gentar.Bastian tertawa kecil, namun tawanya dingin."Bagus. Maka kau mungkin akan bertahan di sini lebih lama
Deana mendekati salah satu peralatan di ruangan itu—sebuah meja panjang dengan tali pengikat di setiap sudutnya. Bastian menatap Deana, memberinya pilihan tanpa perlu mengatakan apapun. Apakah dia akan mengikuti permainan ini? Atau mundur?Meskipun merasakan ketegangan, ia melangkah maju. Baginya, ini bukan sekadar tentang menaklukkan Bastian secara fisik. Ini adalah permainan pikiran, permainan yang harus dia menangkan jika dia ingin bertahan dalam dunia pria ini. Dia menyingkirkan segala keraguannya dan melangkah ke meja itu.Dengan gerakan perlahan, Bastian membimbing Deana, mengikatkan tali di pergelangan tangannya, lalu di kakinya. Setiap gerakan penuh perhitungan, seakan dia tidak ingin terburu-buru, ingin menikmati setiap detik yang ada. Saat semua tali sudah terikat, Bastian melangkah mundur, memandangnya dengan penuh kekuasaan.Di sinilah peran Lady Dee yang sebenarnya diuji—di mana batas antara kendali dan ketundukan mulai kabur. Bastian akan menunjukkan sisi gelap dari diri
Bastian menarik napas dalam, matanya kembali menatap lurus ke depan, seolah berpikir."Karena kau berbeda. Kau bukan hanya bagian dari permainan ini... kau mengerti lebih banyak daripada yang kau biarkan orang lain tahu."Deana terdiam. Kata-kata Bastian terkesan sederhana, tetapi maknanya dalam. Ada pengakuan di sana, bahwa Bastian melihat lebih dari sekadar Lady Dee, pelacur profesional yang menyamar untuk sebuah misi balas dendam. Di bawah permukaan, Bastian tampaknya telah menangkap sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang mungkin bahkan Deana sendiri belum menyadari sepenuhnya."Kau juga berbeda," bisik Deana, suaranya nyaris tak terdengar. Bastian tersenyum tipis, tatapannya kembali melunak, namun tetap tidak terbaca.Malam itu, meskipun mereka terbaring bersama dalam keheningan, mereka tahu bahwa di antara mereka ada sesuatu yang lebih rumit dari sekadar fisik. Ada tarikan, sebuah hubungan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Keduanya sama-sama terikat oleh permaina
"Aku tahu," jawab Deana, berusaha keras menenangkan pikirannya. "Tapi dia adalah seseorang yang bisa mencium kebohongan dari jauh. Jika aku tidak hati-hati, dia akan menghabisiku sebelum aku punya kesempatan untuk bergerak lebih jauh.""Tidak akan terjadi apa-apa selama kau tetap mengikuti rencana,"William mencoba meyakinkan. "Ingat, kita melakukannya bersama. Aku akan selalu berada di belakangmu, memantau setiap perkembangan."Deana menghela napas."Baiklah. Aku akan melakukan apa yang perlu."Setelah menutup telepon, Deana duduk dalam keheningan, menatap kosong ke arah kemudi. Dalam hati, ia tahu bahwa ia kini lebih dekat pada tujuannya. Namun, semakin dekat ia mendekati Bastian, semakin besar risikonya. Ini bukan hanya tentang balas dendam lagi—ini adalah pertempuran untuk bertahan hidup.Dan Lady Dee akan bermain sampai akhir, tak peduli berapa banyak bahaya yang menantinya di sepanjang jalan.Malam semakin larut, dan Deana memutuskan untuk kembali ke apartemen alih-alih ke kamar
Deana bangun lebih awal dari biasanya, meskipun malam sebelumnya ia hampir tak bisa tidur.Pikirannya terus terjaga dengan bayang-bayang Bastian yang tak henti-hentinya menghantui.Pria itu, dengan auranya yang begitu mendominasi dan kehadiran dingin yang mengancam, adalah definisi dari bahaya yang tersembunyi di balik kedok manusia.Deana tahu bahwa langkah kecil yang ia ambil malam sebelumnya telah mengarahkannya lebih dekat ke dalam dunia gelap yang penuh jebakan.Namun, semakin dalam dia melangkah, semakin dekat pula dia pada kesempatan untuk menjatuhkan musuh utamanya.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Bastian duduk di kursi kayu yang sederhana namun memberikan kesan berwibawa.Di depannya, beberapa anak buahnya berdiri tegang, seolah menunggu instruksi dari pemimpin mereka.Bastian memandang mereka satu per satu, memastikan mereka tahu siapa yang mengendalikan setiap detik di ruangan itu."Apakah semua sudah disiapkan?" tanya Bastian dengan suara datar, tanp
Bastian memicingkan mata, sorotnya menggelap seiring dengan senyum licik yang terbit di wajah Raya.“Siapa yang ingin bertemu dengannya?” suaranya terdengar malas, tapi ada ketegasan terselubung di dalamnya.Raya tersenyum manis, menikmati permainan ini.“Seseorang yang terpesona dengan pesona Lady Dee,” katanya dengan nada menggoda. “Kau tidak mungkin keberatan, kan, Bastian?”Deana bisa merasakan bagaimana genggaman di pinggangnya mengeras, seakan menandakan peringatan. Ada sesuatu di mata Bastian yang membuat bulu kuduknya meremang—bukan sekadar ketertarikan, tetapi juga klaim kepemilikan.“Sebenarnya, aku keberatan.”Bastian berbicara dengan santai, tapi ada ancaman samar dalam nada suaranya. Dia menatap Raya dengan tatapan yang membuat wanita itu mengangkat alis, seolah menantang.“Oh? Bukankah dia di sini untuk melayani siapa pun yang menginginkannya?”Raya menekankan kalimatnya, melempar senyum penuh arti pada Deana.Deana menahan napas. Jari-jari Bastian di pinggangnya perlaha
Setelah malam penuh ketegangan di klub Bastian, Deana kembali ke apartemennya dengan perasaan bercampur aduk. Meski ia telah berhasil menjaga kedoknya, kata-kata Bastian terus terngiang di kepalanya.Deana tahu, di balik senyum dingin dan kata-kata yang diucapkan dengan tenang, Bastian sudah mulai menyusun rencana. Setiap gerakannya kini diawasi dengan seksama, dan Deana tak punya ruang sedikit pun untuk kesalahan.Begitu masuk ke apartemennya, ia langsung mengunci pintu dengan cepat, melepaskan sepatu hak tingginya, dan duduk di tepi ranjang. Tubuhnya terasa lelah, tapi otaknya terus berputar. Dia tahu, jalan yang dia tempuh sekarang penuh dengan jebakan. Bastian bukan tipe pria yang bisa dibodohi begitu saja.Suara dering ponselnya memecah keheningan malam. Deana meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang. Nama William muncul lagi di layar."Bagaimana hasilnya?" suara William terdengar lebih serius kali ini.Deana menghela napas sebelum menjawab."Bastian semakin
Pagi berikutnya, Deana bangun dengan tubuh yang terasa lebih berat dari biasanya. Namun, dia tidak punya banyak waktu untuk beristirahat. William telah mengatur pertemuan untuknya dengan seseorang yang bisa memberikan petunjuk tentang Raven.Deana memandang cermin di depannya. Lady Dee adalah identitas yang ia ciptakan, tapi kini terasa semakin menjeratnya ke dalam jaringan kebohongan dan bahaya. Satu kesalahan, dan segalanya akan runtuh.Setelah bersiap, dia meninggalkan apartemennya dan menuju sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang ditentukan oleh William. Ketika dia tiba, seorang pria duduk di pojok, mengenakan topi rendah dan mantel panjang. Wajahnya hampir tidak terlihat.Deana melangkah mendekat dan duduk di depannya."Kau Deana?" tanya pria itu dengan suara rendah.Deana mengangguk, memasang wajah waspada."Kau punya informasi tentang Raven?"Pria itu mengangguk pelan."Raven adalah seseorang yang sangat dekat dengan Bastian, tapi dia tidak tahu bahwa Raven sudah lama bek
Setelah malam penuh ketegangan di klub Bastian, Deana kembali ke apartemennya dengan perasaan bercampur aduk. Meski ia telah berhasil menjaga kedoknya, kata-kata Bastian terus terngiang di kepalanya.Deana tahu, di balik senyum dingin dan kata-kata yang diucapkan dengan tenang, Bastian sudah mulai menyusun rencana. Setiap gerakannya kini diawasi dengan seksama, dan Deana tak punya ruang sedikit pun untuk kesalahan.Begitu masuk ke apartemennya, ia langsung mengunci pintu dengan cepat, melepaskan sepatu hak tingginya, dan duduk di tepi ranjang. Tubuhnya terasa lelah, tapi otaknya terus berputar. Dia tahu, jalan yang dia tempuh sekarang penuh dengan jebakan. Bastian bukan tipe pria yang bisa dibodohi begitu saja.Suara dering ponselnya memecah keheningan malam. Deana meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang. Nama William muncul lagi di layar."Bagaimana hasilnya?" suara William terdengar lebih serius kali ini.Deana menghela napas sebelum menjawab."Bastian semakin
Bastian memicingkan mata, sorotnya menggelap seiring dengan senyum licik yang terbit di wajah Raya.“Siapa yang ingin bertemu dengannya?” suaranya terdengar malas, tapi ada ketegasan terselubung di dalamnya.Raya tersenyum manis, menikmati permainan ini.“Seseorang yang terpesona dengan pesona Lady Dee,” katanya dengan nada menggoda. “Kau tidak mungkin keberatan, kan, Bastian?”Deana bisa merasakan bagaimana genggaman di pinggangnya mengeras, seakan menandakan peringatan. Ada sesuatu di mata Bastian yang membuat bulu kuduknya meremang—bukan sekadar ketertarikan, tetapi juga klaim kepemilikan.“Sebenarnya, aku keberatan.”Bastian berbicara dengan santai, tapi ada ancaman samar dalam nada suaranya. Dia menatap Raya dengan tatapan yang membuat wanita itu mengangkat alis, seolah menantang.“Oh? Bukankah dia di sini untuk melayani siapa pun yang menginginkannya?”Raya menekankan kalimatnya, melempar senyum penuh arti pada Deana.Deana menahan napas. Jari-jari Bastian di pinggangnya perlaha
Deana bangun lebih awal dari biasanya, meskipun malam sebelumnya ia hampir tak bisa tidur.Pikirannya terus terjaga dengan bayang-bayang Bastian yang tak henti-hentinya menghantui.Pria itu, dengan auranya yang begitu mendominasi dan kehadiran dingin yang mengancam, adalah definisi dari bahaya yang tersembunyi di balik kedok manusia.Deana tahu bahwa langkah kecil yang ia ambil malam sebelumnya telah mengarahkannya lebih dekat ke dalam dunia gelap yang penuh jebakan.Namun, semakin dalam dia melangkah, semakin dekat pula dia pada kesempatan untuk menjatuhkan musuh utamanya.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Bastian duduk di kursi kayu yang sederhana namun memberikan kesan berwibawa.Di depannya, beberapa anak buahnya berdiri tegang, seolah menunggu instruksi dari pemimpin mereka.Bastian memandang mereka satu per satu, memastikan mereka tahu siapa yang mengendalikan setiap detik di ruangan itu."Apakah semua sudah disiapkan?" tanya Bastian dengan suara datar, tanp
"Aku tahu," jawab Deana, berusaha keras menenangkan pikirannya. "Tapi dia adalah seseorang yang bisa mencium kebohongan dari jauh. Jika aku tidak hati-hati, dia akan menghabisiku sebelum aku punya kesempatan untuk bergerak lebih jauh.""Tidak akan terjadi apa-apa selama kau tetap mengikuti rencana,"William mencoba meyakinkan. "Ingat, kita melakukannya bersama. Aku akan selalu berada di belakangmu, memantau setiap perkembangan."Deana menghela napas."Baiklah. Aku akan melakukan apa yang perlu."Setelah menutup telepon, Deana duduk dalam keheningan, menatap kosong ke arah kemudi. Dalam hati, ia tahu bahwa ia kini lebih dekat pada tujuannya. Namun, semakin dekat ia mendekati Bastian, semakin besar risikonya. Ini bukan hanya tentang balas dendam lagi—ini adalah pertempuran untuk bertahan hidup.Dan Lady Dee akan bermain sampai akhir, tak peduli berapa banyak bahaya yang menantinya di sepanjang jalan.Malam semakin larut, dan Deana memutuskan untuk kembali ke apartemen alih-alih ke kamar
Bastian menarik napas dalam, matanya kembali menatap lurus ke depan, seolah berpikir."Karena kau berbeda. Kau bukan hanya bagian dari permainan ini... kau mengerti lebih banyak daripada yang kau biarkan orang lain tahu."Deana terdiam. Kata-kata Bastian terkesan sederhana, tetapi maknanya dalam. Ada pengakuan di sana, bahwa Bastian melihat lebih dari sekadar Lady Dee, pelacur profesional yang menyamar untuk sebuah misi balas dendam. Di bawah permukaan, Bastian tampaknya telah menangkap sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang mungkin bahkan Deana sendiri belum menyadari sepenuhnya."Kau juga berbeda," bisik Deana, suaranya nyaris tak terdengar. Bastian tersenyum tipis, tatapannya kembali melunak, namun tetap tidak terbaca.Malam itu, meskipun mereka terbaring bersama dalam keheningan, mereka tahu bahwa di antara mereka ada sesuatu yang lebih rumit dari sekadar fisik. Ada tarikan, sebuah hubungan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Keduanya sama-sama terikat oleh permaina
Deana mendekati salah satu peralatan di ruangan itu—sebuah meja panjang dengan tali pengikat di setiap sudutnya. Bastian menatap Deana, memberinya pilihan tanpa perlu mengatakan apapun. Apakah dia akan mengikuti permainan ini? Atau mundur?Meskipun merasakan ketegangan, ia melangkah maju. Baginya, ini bukan sekadar tentang menaklukkan Bastian secara fisik. Ini adalah permainan pikiran, permainan yang harus dia menangkan jika dia ingin bertahan dalam dunia pria ini. Dia menyingkirkan segala keraguannya dan melangkah ke meja itu.Dengan gerakan perlahan, Bastian membimbing Deana, mengikatkan tali di pergelangan tangannya, lalu di kakinya. Setiap gerakan penuh perhitungan, seakan dia tidak ingin terburu-buru, ingin menikmati setiap detik yang ada. Saat semua tali sudah terikat, Bastian melangkah mundur, memandangnya dengan penuh kekuasaan.Di sinilah peran Lady Dee yang sebenarnya diuji—di mana batas antara kendali dan ketundukan mulai kabur. Bastian akan menunjukkan sisi gelap dari diri
"Kenapa kau tertarik dengan lingkaran ini? Lingkaran di mana semua orang ingin keluar, tapi tidak bisa."Deana berpikir sejenak. Dia harus berhati-hati dengan jawabannya."Karena aku bukan orang biasa. Dunia ini menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh dunia luar. Kebebasan. Kontrol."Bastian mengangkat alis, seolah tertarik."Kebebasan, katamu?"Deana tersenyum tipis."Kebebasan untuk melakukan apa yang kita mau, tanpa batas. Di sini, kita adalah pemain. Dan aku ingin bermain di level tertinggi."Bastian terdiam, menatapnya dengan pandangan yang tajam.“Tapi permainan ini tidak untuk semua orang, Lady Dee. Jika kau ingin bermain, kau harus siap kehilangan segalanya.”Seketika, keheningan menyelimuti ruangan itu. Deana tahu bahwa di balik kata-kata itu, ada ancaman terselubung. Tapi dia tak gentar."Aku sudah kehilangan segalanya," jawabnya tegas, menatap Bastian tanpa gentar.Bastian tertawa kecil, namun tawanya dingin."Bagus. Maka kau mungkin akan bertahan di sini lebih lama
William tak menjawab lagi. Hanya ada suara napasnya yang terdengar, seolah dia juga merasakan beratnya keputusan yang Deana ambil.Deana tahu bahwa William menyimpan sesuatu, sesuatu yang belum diungkapkannya. Tapi saat ini, fokus Deana hanya pada satu hal: Bastian.Dengan satu napas panjang, Deana menatap kembali bayangan dirinya di cermin.Lady Dee mungkin hanya sebuah penyamaran, tetapi di baliknya, Deana tahu, dia sudah berubah.Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah. Ini soal bertahan hidup dan memenangkan permainan yang berbahaya ini.Malam sudah larut ketika Deana meletakkan teleponnya dan kembali berdiri di depan cermin.Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata William.Sejauh ini, semua berjalan sesuai rencana, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa khawatir.Bastian adalah seseorang yang tak mudah diprediksi.Dia bisa saja menjatuhkan siapa pun yang mendekatinya, dan Deana sadar bahwa ia kini berada di pusat perburuan paling berbahaya dalam hidupnya.Deana menye