Deana bisa merasakan pandangan tajam Raya sejak dia pertama kali memasuki ruangan, namun dia tidak menanggapi secara langsung.
Di dunia ini, menunjukkan kelemahan sama saja dengan mengundang kematian.
Deana menegakkan tubuhnya, memperlihatkan bahwa dia tidak gentar.
Waktu terus berlalu, dan akhirnya Bastian melangkah mendekati Deana lagi.
Kali ini, tanpa kata-kata basa-basi, dia mengulurkan tangannya.
"Mari menari," ucapnya dengan suara yang lembut namun memaksa.
Deana menelan ludah sejenak sebelum menerima uluran tangan itu.
Jantungnya berdebar kencang saat mereka melangkah ke tengah lantai dansa yang sekarang sudah sepi, hanya menyisakan mereka berdua.
Saat tangan Bastian melingkar di pinggangnya, Deana merasa seperti seekor mangsa yang berada di hadapan pemangsa.
Setiap langkah dansa yang mereka lakukan seolah menjadi bagian dari permainan yang lebih besar—sebuah permainan hidup dan mati.
Bastian menatapnya dalam-dalam.
“Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan, Lady Dee?” tanyanya, suaranya terdengar seperti bisikan yang berbahaya.
Deana tahu ini adalah titik kritis.
Dia tidak boleh terlihat terlalu ambisius, namun juga tidak boleh terlihat pasif.
“Aku hanya ingin bermain di permainan yang benar,” jawabnya dengan nada penuh teka-teki, membalas tatapan Bastian tanpa goyah.
Bastian tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya.
"Hati-hati dengan apa yang kamu inginkan," bisiknya sambil menarik tubuh Deana lebih dekat. "Permainan ini bisa lebih dari sekadar menantang. Ini bisa menghancurkan."
Deana menahan napas sejenak sebelum tersenyum tipis.
“Itulah yang membuatnya menarik, bukan?”
Tawa Bastian pecah, dingin dan mengintimidasi.
Dia melepaskan Deana dengan tiba-tiba, membuatnya terhuyung sedikit, namun Deana dengan cepat menyeimbangkan dirinya.
"Kita lihat seberapa jauh kamu bisa bertahan," ucap Bastian sebelum berjalan menjauh, meninggalkannya di tengah lantai dansa.
Saat itu, Deana merasakan getaran di telinganya.
“Kau baik-baik saja?” suara William terdengar penuh kewaspadaan.
Deana menahan napas, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak terkendali.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.
Namun jauh di dalam dirinya, dia tahu bahwa ancaman dari Bastian bukan sekadar omong kosong.
Dia berjalan keluar dari lantai dansa, kembali ke sudut yang lebih sepi.
Deana perlu waktu untuk mengatur pikirannya.
Namun, saat dia berbalik, sebuah tangan tiba-tiba menarik lengannya dengan kasar.
Deana terkejut, mendapati bahwa Raya berdiri di depannya dengan wajah dingin penuh amarah.
“Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya,” desis Raya dengan nada rendah namun penuh ancaman. “Tapi lebih baik kau tahu batasanmu.”
Deana menatap Raya tanpa gentar, meskipun tubuhnya menegang.
“Aku tidak berniat mengambil tempat siapa pun,” jawabnya dengan tenang, meskipun dia tahu persis apa yang sedang terjadi.
Raya merasa terancam dengan kehadirannya, dan ini mungkin menjadi momen awal dari perseteruan yang lebih besar.
Raya mencibir, matanya menyala penuh kebencian.
“Bastian adalah milikku. Dia tidak punya tempat untuk orang sepertimu. Jadi berhati-hatilah.”
Deana tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh kepalsuan namun cukup untuk menutupi amarah yang mulai membara di dadanya.
“Aku tidak bermain untuk orang lain, Raya. Aku hanya di sini untuk permainanku sendiri.”
Raya tampak ingin menjawab lagi, tetapi sebelum dia bisa membuka mulut, Bastian muncul kembali, berjalan mendekat dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Ada masalah di sini?”
Raya segera mengubah sikapnya, kembali menjadi wanita yang manja dan menggoda.
“Tidak ada apa-apa, sayang. Hanya obrolan biasa,” jawabnya dengan nada lembut.
Namun Bastian tidak terlihat sepenuhnya percaya.
Matanya bergerak dari Raya ke Deana, seolah mencoba membaca apa yang baru saja terjadi.
Tapi Deana tetap tenang, menatapnya dengan tatapan penuh misteri.
“Kita selesai di sini, Lady Dee,” ucap Bastian tanpa emosi sebelum berbalik, meninggalkan Deana dan Raya di belakang.
Saat Bastian menghilang dari pandangan, Raya memberikan tatapan terakhir yang penuh peringatan sebelum pergi.
Deana tetap berdiri di sana, mencoba mengatur napasnya yang tersengal.
Pertarungan baru saja dimulai, dan dia tahu bahwa ini baru langkah awal menuju permainan yang lebih berbahaya.
Sementara itu, William dari jauh mengamati seluruh adegan itu dengan rahang yang mengatup tegas.
Dia tahu situasi semakin rumit, dan Deana kini berada di ujung tanduk.
Tapi yang tidak diketahui Deana adalah bahwa William menyimpan rencana lain—sesuatu yang lebih dari sekadar membongkar kejahatan Bastian.
Suasana pesta kembali tenang, namun badai yang tersembunyi mulai terasa di dalam dada Deana.Di balik wajahnya yang tegar, kegelisahan menyelimuti pikirannya. Dia tahu bahwa setiap langkah yang diambilnya mulai memancing perhatian yang tidak diinginkan—bukan hanya dari Bastian, tapi juga dari Raya yang sudah mulai mencurigainya.Meski demikian, tekadnya semakin kuat. Rasa sakit hati karena kehilangan tunangannya belum terobati, dan hanya dengan menghancurkan Bastian, Deana bisa mendapatkan kembali kehidupannya.Deana menepi ke balkon, menghirup udara malam yang dingin.Dalam keheningan itu, William akhirnya menghubunginya lagi melalui earpiece."Kau harus lebih berhati-hati dengan Raya. Dia tidak akan tinggal diam," suaranya terdengar lebih waspada dari biasanya.“Aku tahu,” jawab Deana pelan, matanya masih memandangi kerlipan lampu kota yang terlihat dari balkon.“Dia tidak akan membiarkan siapa pun mendekati Bastian.”“Bukan hanya soal itu,” kata William, kali ini dengan nada yang l
Bastian akhirnya menoleh padanya, wajahnya tanpa ekspresi.“Kau cemas?” tanyanya dengan nada dingin, seolah menantang Raya untuk menjawab dengan jujur.Raya menundukkan kepalanya sedikit, menunjukkan sikap tunduk yang biasa dia lakukan saat berhadapan dengan Bastian.“Aku hanya ingin melindungimu,” jawabnya dengan manis. “Siapa pun yang berani masuk ke lingkaranmu tanpa alasan yang jelas, adalah ancaman.”Bastian menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis.“Kau benar,” ucapnya pelan. “Tapi jangan khawatir. Aku akan tahu siapa dia sebenarnya.”Deana kembali dari balkon, memasuki ruangan pesta dengan senyuman tipis di wajahnya.Dia tahu bahwa sorotan mata Bastian dan Raya terarah padanya.Permainan baru saja dimulai. Tapi meski langkahnya terlihat percaya diri, benaknya masih berusaha merancang langkah berikutnya.Dengan anggukan singkat ke arah para tamu, Deana berjalan menuju bar, tepat di mana Bastian berdiri.Di tengah keramaian, dia menghampiri bartender dan meminta
William tak menjawab lagi. Hanya ada suara napasnya yang terdengar, seolah dia juga merasakan beratnya keputusan yang Deana ambil.Deana tahu bahwa William menyimpan sesuatu, sesuatu yang belum diungkapkannya. Tapi saat ini, fokus Deana hanya pada satu hal: Bastian.Dengan satu napas panjang, Deana menatap kembali bayangan dirinya di cermin.Lady Dee mungkin hanya sebuah penyamaran, tetapi di baliknya, Deana tahu, dia sudah berubah.Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah. Ini soal bertahan hidup dan memenangkan permainan yang berbahaya ini.Malam sudah larut ketika Deana meletakkan teleponnya dan kembali berdiri di depan cermin.Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata William.Sejauh ini, semua berjalan sesuai rencana, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa khawatir.Bastian adalah seseorang yang tak mudah diprediksi.Dia bisa saja menjatuhkan siapa pun yang mendekatinya, dan Deana sadar bahwa ia kini berada di pusat perburuan paling berbahaya dalam hidupnya.Deana menye
"Kenapa kau tertarik dengan lingkaran ini? Lingkaran di mana semua orang ingin keluar, tapi tidak bisa."Deana berpikir sejenak. Dia harus berhati-hati dengan jawabannya."Karena aku bukan orang biasa. Dunia ini menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh dunia luar. Kebebasan. Kontrol."Bastian mengangkat alis, seolah tertarik."Kebebasan, katamu?"Deana tersenyum tipis."Kebebasan untuk melakukan apa yang kita mau, tanpa batas. Di sini, kita adalah pemain. Dan aku ingin bermain di level tertinggi."Bastian terdiam, menatapnya dengan pandangan yang tajam.“Tapi permainan ini tidak untuk semua orang, Lady Dee. Jika kau ingin bermain, kau harus siap kehilangan segalanya.”Seketika, keheningan menyelimuti ruangan itu. Deana tahu bahwa di balik kata-kata itu, ada ancaman terselubung. Tapi dia tak gentar."Aku sudah kehilangan segalanya," jawabnya tegas, menatap Bastian tanpa gentar.Bastian tertawa kecil, namun tawanya dingin."Bagus. Maka kau mungkin akan bertahan di sini lebih lama
Deana mendekati salah satu peralatan di ruangan itu—sebuah meja panjang dengan tali pengikat di setiap sudutnya. Bastian menatap Deana, memberinya pilihan tanpa perlu mengatakan apapun. Apakah dia akan mengikuti permainan ini? Atau mundur?Meskipun merasakan ketegangan, ia melangkah maju. Baginya, ini bukan sekadar tentang menaklukkan Bastian secara fisik. Ini adalah permainan pikiran, permainan yang harus dia menangkan jika dia ingin bertahan dalam dunia pria ini. Dia menyingkirkan segala keraguannya dan melangkah ke meja itu.Dengan gerakan perlahan, Bastian membimbing Deana, mengikatkan tali di pergelangan tangannya, lalu di kakinya. Setiap gerakan penuh perhitungan, seakan dia tidak ingin terburu-buru, ingin menikmati setiap detik yang ada. Saat semua tali sudah terikat, Bastian melangkah mundur, memandangnya dengan penuh kekuasaan.Di sinilah peran Lady Dee yang sebenarnya diuji—di mana batas antara kendali dan ketundukan mulai kabur. Bastian akan menunjukkan sisi gelap dari diri
Bastian menarik napas dalam, matanya kembali menatap lurus ke depan, seolah berpikir."Karena kau berbeda. Kau bukan hanya bagian dari permainan ini... kau mengerti lebih banyak daripada yang kau biarkan orang lain tahu."Deana terdiam. Kata-kata Bastian terkesan sederhana, tetapi maknanya dalam. Ada pengakuan di sana, bahwa Bastian melihat lebih dari sekadar Lady Dee, pelacur profesional yang menyamar untuk sebuah misi balas dendam. Di bawah permukaan, Bastian tampaknya telah menangkap sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang mungkin bahkan Deana sendiri belum menyadari sepenuhnya."Kau juga berbeda," bisik Deana, suaranya nyaris tak terdengar. Bastian tersenyum tipis, tatapannya kembali melunak, namun tetap tidak terbaca.Malam itu, meskipun mereka terbaring bersama dalam keheningan, mereka tahu bahwa di antara mereka ada sesuatu yang lebih rumit dari sekadar fisik. Ada tarikan, sebuah hubungan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Keduanya sama-sama terikat oleh permaina
"Aku tahu," jawab Deana, berusaha keras menenangkan pikirannya. "Tapi dia adalah seseorang yang bisa mencium kebohongan dari jauh. Jika aku tidak hati-hati, dia akan menghabisiku sebelum aku punya kesempatan untuk bergerak lebih jauh.""Tidak akan terjadi apa-apa selama kau tetap mengikuti rencana,"William mencoba meyakinkan. "Ingat, kita melakukannya bersama. Aku akan selalu berada di belakangmu, memantau setiap perkembangan."Deana menghela napas."Baiklah. Aku akan melakukan apa yang perlu."Setelah menutup telepon, Deana duduk dalam keheningan, menatap kosong ke arah kemudi. Dalam hati, ia tahu bahwa ia kini lebih dekat pada tujuannya. Namun, semakin dekat ia mendekati Bastian, semakin besar risikonya. Ini bukan hanya tentang balas dendam lagi—ini adalah pertempuran untuk bertahan hidup.Dan Lady Dee akan bermain sampai akhir, tak peduli berapa banyak bahaya yang menantinya di sepanjang jalan.Malam semakin larut, dan Deana memutuskan untuk kembali ke apartemen alih-alih ke kamar
Deana bangun lebih awal dari biasanya, meskipun malam sebelumnya ia hampir tak bisa tidur.Pikirannya terus terjaga dengan bayang-bayang Bastian yang tak henti-hentinya menghantui.Pria itu, dengan auranya yang begitu mendominasi dan kehadiran dingin yang mengancam, adalah definisi dari bahaya yang tersembunyi di balik kedok manusia.Deana tahu bahwa langkah kecil yang ia ambil malam sebelumnya telah mengarahkannya lebih dekat ke dalam dunia gelap yang penuh jebakan.Namun, semakin dalam dia melangkah, semakin dekat pula dia pada kesempatan untuk menjatuhkan musuh utamanya.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Bastian duduk di kursi kayu yang sederhana namun memberikan kesan berwibawa.Di depannya, beberapa anak buahnya berdiri tegang, seolah menunggu instruksi dari pemimpin mereka.Bastian memandang mereka satu per satu, memastikan mereka tahu siapa yang mengendalikan setiap detik di ruangan itu."Apakah semua sudah disiapkan?" tanya Bastian dengan suara datar, tanp
Pagi berikutnya, Deana bangun dengan tubuh yang terasa lebih berat dari biasanya. Namun, dia tidak punya banyak waktu untuk beristirahat. William telah mengatur pertemuan untuknya dengan seseorang yang bisa memberikan petunjuk tentang Raven.Deana memandang cermin di depannya. Lady Dee adalah identitas yang ia ciptakan, tapi kini terasa semakin menjeratnya ke dalam jaringan kebohongan dan bahaya. Satu kesalahan, dan segalanya akan runtuh.Setelah bersiap, dia meninggalkan apartemennya dan menuju sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang ditentukan oleh William. Ketika dia tiba, seorang pria duduk di pojok, mengenakan topi rendah dan mantel panjang. Wajahnya hampir tidak terlihat.Deana melangkah mendekat dan duduk di depannya."Kau Deana?" tanya pria itu dengan suara rendah.Deana mengangguk, memasang wajah waspada."Kau punya informasi tentang Raven?"Pria itu mengangguk pelan."Raven adalah seseorang yang sangat dekat dengan Bastian, tapi dia tidak tahu bahwa Raven sudah lama bek
Setelah malam penuh ketegangan di klub Bastian, Deana kembali ke apartemennya dengan perasaan bercampur aduk. Meski ia telah berhasil menjaga kedoknya, kata-kata Bastian terus terngiang di kepalanya.Deana tahu, di balik senyum dingin dan kata-kata yang diucapkan dengan tenang, Bastian sudah mulai menyusun rencana. Setiap gerakannya kini diawasi dengan seksama, dan Deana tak punya ruang sedikit pun untuk kesalahan.Begitu masuk ke apartemennya, ia langsung mengunci pintu dengan cepat, melepaskan sepatu hak tingginya, dan duduk di tepi ranjang. Tubuhnya terasa lelah, tapi otaknya terus berputar. Dia tahu, jalan yang dia tempuh sekarang penuh dengan jebakan. Bastian bukan tipe pria yang bisa dibodohi begitu saja.Suara dering ponselnya memecah keheningan malam. Deana meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang. Nama William muncul lagi di layar."Bagaimana hasilnya?" suara William terdengar lebih serius kali ini.Deana menghela napas sebelum menjawab."Bastian semakin
Bastian memicingkan mata, sorotnya menggelap seiring dengan senyum licik yang terbit di wajah Raya.“Siapa yang ingin bertemu dengannya?” suaranya terdengar malas, tapi ada ketegasan terselubung di dalamnya.Raya tersenyum manis, menikmati permainan ini.“Seseorang yang terpesona dengan pesona Lady Dee,” katanya dengan nada menggoda. “Kau tidak mungkin keberatan, kan, Bastian?”Deana bisa merasakan bagaimana genggaman di pinggangnya mengeras, seakan menandakan peringatan. Ada sesuatu di mata Bastian yang membuat bulu kuduknya meremang—bukan sekadar ketertarikan, tetapi juga klaim kepemilikan.“Sebenarnya, aku keberatan.”Bastian berbicara dengan santai, tapi ada ancaman samar dalam nada suaranya. Dia menatap Raya dengan tatapan yang membuat wanita itu mengangkat alis, seolah menantang.“Oh? Bukankah dia di sini untuk melayani siapa pun yang menginginkannya?”Raya menekankan kalimatnya, melempar senyum penuh arti pada Deana.Deana menahan napas. Jari-jari Bastian di pinggangnya perlaha
Deana bangun lebih awal dari biasanya, meskipun malam sebelumnya ia hampir tak bisa tidur.Pikirannya terus terjaga dengan bayang-bayang Bastian yang tak henti-hentinya menghantui.Pria itu, dengan auranya yang begitu mendominasi dan kehadiran dingin yang mengancam, adalah definisi dari bahaya yang tersembunyi di balik kedok manusia.Deana tahu bahwa langkah kecil yang ia ambil malam sebelumnya telah mengarahkannya lebih dekat ke dalam dunia gelap yang penuh jebakan.Namun, semakin dalam dia melangkah, semakin dekat pula dia pada kesempatan untuk menjatuhkan musuh utamanya.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Bastian duduk di kursi kayu yang sederhana namun memberikan kesan berwibawa.Di depannya, beberapa anak buahnya berdiri tegang, seolah menunggu instruksi dari pemimpin mereka.Bastian memandang mereka satu per satu, memastikan mereka tahu siapa yang mengendalikan setiap detik di ruangan itu."Apakah semua sudah disiapkan?" tanya Bastian dengan suara datar, tanp
"Aku tahu," jawab Deana, berusaha keras menenangkan pikirannya. "Tapi dia adalah seseorang yang bisa mencium kebohongan dari jauh. Jika aku tidak hati-hati, dia akan menghabisiku sebelum aku punya kesempatan untuk bergerak lebih jauh.""Tidak akan terjadi apa-apa selama kau tetap mengikuti rencana,"William mencoba meyakinkan. "Ingat, kita melakukannya bersama. Aku akan selalu berada di belakangmu, memantau setiap perkembangan."Deana menghela napas."Baiklah. Aku akan melakukan apa yang perlu."Setelah menutup telepon, Deana duduk dalam keheningan, menatap kosong ke arah kemudi. Dalam hati, ia tahu bahwa ia kini lebih dekat pada tujuannya. Namun, semakin dekat ia mendekati Bastian, semakin besar risikonya. Ini bukan hanya tentang balas dendam lagi—ini adalah pertempuran untuk bertahan hidup.Dan Lady Dee akan bermain sampai akhir, tak peduli berapa banyak bahaya yang menantinya di sepanjang jalan.Malam semakin larut, dan Deana memutuskan untuk kembali ke apartemen alih-alih ke kamar
Bastian menarik napas dalam, matanya kembali menatap lurus ke depan, seolah berpikir."Karena kau berbeda. Kau bukan hanya bagian dari permainan ini... kau mengerti lebih banyak daripada yang kau biarkan orang lain tahu."Deana terdiam. Kata-kata Bastian terkesan sederhana, tetapi maknanya dalam. Ada pengakuan di sana, bahwa Bastian melihat lebih dari sekadar Lady Dee, pelacur profesional yang menyamar untuk sebuah misi balas dendam. Di bawah permukaan, Bastian tampaknya telah menangkap sesuatu yang lebih dari itu—sesuatu yang mungkin bahkan Deana sendiri belum menyadari sepenuhnya."Kau juga berbeda," bisik Deana, suaranya nyaris tak terdengar. Bastian tersenyum tipis, tatapannya kembali melunak, namun tetap tidak terbaca.Malam itu, meskipun mereka terbaring bersama dalam keheningan, mereka tahu bahwa di antara mereka ada sesuatu yang lebih rumit dari sekadar fisik. Ada tarikan, sebuah hubungan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Keduanya sama-sama terikat oleh permaina
Deana mendekati salah satu peralatan di ruangan itu—sebuah meja panjang dengan tali pengikat di setiap sudutnya. Bastian menatap Deana, memberinya pilihan tanpa perlu mengatakan apapun. Apakah dia akan mengikuti permainan ini? Atau mundur?Meskipun merasakan ketegangan, ia melangkah maju. Baginya, ini bukan sekadar tentang menaklukkan Bastian secara fisik. Ini adalah permainan pikiran, permainan yang harus dia menangkan jika dia ingin bertahan dalam dunia pria ini. Dia menyingkirkan segala keraguannya dan melangkah ke meja itu.Dengan gerakan perlahan, Bastian membimbing Deana, mengikatkan tali di pergelangan tangannya, lalu di kakinya. Setiap gerakan penuh perhitungan, seakan dia tidak ingin terburu-buru, ingin menikmati setiap detik yang ada. Saat semua tali sudah terikat, Bastian melangkah mundur, memandangnya dengan penuh kekuasaan.Di sinilah peran Lady Dee yang sebenarnya diuji—di mana batas antara kendali dan ketundukan mulai kabur. Bastian akan menunjukkan sisi gelap dari diri
"Kenapa kau tertarik dengan lingkaran ini? Lingkaran di mana semua orang ingin keluar, tapi tidak bisa."Deana berpikir sejenak. Dia harus berhati-hati dengan jawabannya."Karena aku bukan orang biasa. Dunia ini menawarkan sesuatu yang tak bisa diberikan oleh dunia luar. Kebebasan. Kontrol."Bastian mengangkat alis, seolah tertarik."Kebebasan, katamu?"Deana tersenyum tipis."Kebebasan untuk melakukan apa yang kita mau, tanpa batas. Di sini, kita adalah pemain. Dan aku ingin bermain di level tertinggi."Bastian terdiam, menatapnya dengan pandangan yang tajam.“Tapi permainan ini tidak untuk semua orang, Lady Dee. Jika kau ingin bermain, kau harus siap kehilangan segalanya.”Seketika, keheningan menyelimuti ruangan itu. Deana tahu bahwa di balik kata-kata itu, ada ancaman terselubung. Tapi dia tak gentar."Aku sudah kehilangan segalanya," jawabnya tegas, menatap Bastian tanpa gentar.Bastian tertawa kecil, namun tawanya dingin."Bagus. Maka kau mungkin akan bertahan di sini lebih lama
William tak menjawab lagi. Hanya ada suara napasnya yang terdengar, seolah dia juga merasakan beratnya keputusan yang Deana ambil.Deana tahu bahwa William menyimpan sesuatu, sesuatu yang belum diungkapkannya. Tapi saat ini, fokus Deana hanya pada satu hal: Bastian.Dengan satu napas panjang, Deana menatap kembali bayangan dirinya di cermin.Lady Dee mungkin hanya sebuah penyamaran, tetapi di baliknya, Deana tahu, dia sudah berubah.Ini bukan lagi soal siapa yang benar atau salah. Ini soal bertahan hidup dan memenangkan permainan yang berbahaya ini.Malam sudah larut ketika Deana meletakkan teleponnya dan kembali berdiri di depan cermin.Pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata William.Sejauh ini, semua berjalan sesuai rencana, tetapi ada bagian dari dirinya yang merasa khawatir.Bastian adalah seseorang yang tak mudah diprediksi.Dia bisa saja menjatuhkan siapa pun yang mendekatinya, dan Deana sadar bahwa ia kini berada di pusat perburuan paling berbahaya dalam hidupnya.Deana menye