“Kak Audrey, ini nilai ujian matematikaku,” terdengar suara Gea, salah satu murid les privatku. Dengan bangga gadis 12 tahun itu menunjukkan nilai matematika yang dia dapat.
“Good job, Ge!" pujiku seraya mengacungkan kedua jempolku.
Melihatku memuji Gea, Luna juga tidak mau kalah dari sang kakak. Dia segera menunjukkan score B+ yang dia dapat.
“Well done, Luna!” pujiku seraya mengusap puncak kepala gadis 7 tahun itu dengan lembut. Gadis itupun membalas dengan sebuah pelukan hangat.
Sudah dua tahun terakhir aku menjadi guru les privat dua nona muda keluarga Adinata, Gea dan Luna. Sepulang kuliah, aku selalu menuju rumah mewah keluarga Adinata untuk mengajar mereka berdua.
"Terima kasih sudah membantu cucu-cucu Oma belajar, Audrey. Oma sangat puas dengan nilai mereka semester ini," ucap Oma Elma.
Akhir pekan ini, Oma Elma berencana mengajakku ke butik langganannya. Dia memintaku memilih pakaian manapun yang aku suka sebagai bonus karena sukses mengajar Gea dan Luna.
Akupun menolak permintaan tersebut dengan sopan. Menurutku, memastikan nilai ujian Gea dan Luna selalu memuaskan adalah tugasku sebagai guru les privat mereka berdua. Jadi aku rasa tidak pantas aku menerima bonus itu.
Namun Oma Elma tetap memaksa. Menurutnya, tentu tidak masalah sesekali aku menerima bonus semacam ini.
"We will pick you up this weekend. Kita lunch bertiga, setelah itu ke butik langganan Oma," titah nyonya besar keluarga Adinata itu.
"Bertiga? Bertiga dengan siapa Oma?" tanyaku penasaran. Seingatku akhir minggu ini Gea, Luna, dan orang tua mereka akan ke pergi ke Bali. Lalu dengan siapa bertiga yang dimaksud Oma Elma?
"Gibran," jawab Oma Elma.
What? Pak Gibran?
"Oma juga mau membelikan dia beberapa baju untuk perjalanan bisnisnya ke London minggu depan."
Astaga! Menatap wajah tampan Pak Gibran sekilas saja sudah membuat jantungku berdetak tak karuan, apalagi harus jalan bertiga bersama Oma Elma dan Pak Gibran.
Sudah bukan rahasia, Oma Elma sangat gemar menghabiskan waktu cukup lama setiap berbelanja, artinya akhir pekan ini aku akan menghabiskan waktu berjam-jam bersama Oma Elma dan Pak Gibran, maka berjam-jam pula aku bisa menatap wajah tampan anak bungsu Oma Elma itu.
Wuih, bisa-bisa aku terkena serangan jantung, hehehe.
"Tidak ada penolakan, Audrey!" imbuh Oma Elma.
Okeh, sepertinya aku memang harus benar-benar menyiapkan jantungku akhir pekan ini.
Jantung, tolong ya jangan norak nanti ketika harus berjam-jam menatap wajah Pak Gibran!
Oma Elma dan Almarhum Bapak Galih Adinata hanya memiliki dua orang anak yaitu Livy Diandra Kiswoyo dan sang adik, Gibran Maharsa Adinata. Bu Livy menikah dengan putra sulung keluarga Kiswoyo, Nathan Kiswoyo. Dari pernikahan itu hadirlah dua gadis cantik yang kini menjadi murid les privatku, Gea Liberty Kiswoyo dan Luna Elvania Kiswoyo.
Keluarga Adinata masuk dalam jajaran 15 besar keluarga terkaya di Indonesia versi forb*s. Bisnis mereka menggurita di berbagai bidang usaha dengan Adinata Group sebagai induk bisnisnya.
Saat ini Pak Gibran menjabat sebagai CEO Adinata Group. Aku sebenarnya cukup sering bertemu pria tampan itu. Dia cukup dekat dengan kedua keponakan cantiknya. Tak jarang ketika Gea dan Luna sedang belajar denganku, Pak Gibran menghampiri dua keponakan cantiknya itu. Wajah betonnya seketika berubah menjadi sangat manis ketika berhadapan dengan Gea dan Luna.
Seperti pada hari ini, sesaat setelah percakapan singkatku bersama Oma Elma, aku memulai sesi belajarku bersama Gea. Gadis cantik itu meminta sesi belajar hari ini dilakukan di teras belakang rumah mewah ini. Dia bosan jika harus di kamar atau di ruang belajarnya.
Bersamaan dengan itu tampak Pak Gibran yang baru saja pulang dari kantor. Dengan kemeja navy lengan panjang yang dia lipat hingga sikunya, dia berjalan ke arahku dan Gea untuk menyapa keponakan cantiknya.
Ya Tuhan, ganteng banget sih CEO satu ini! Jantung apa kabar jantung? Tolong dikondisikan detaknya, ya!
"Mana yang katanya nilainya tertinggi di kelas?" terdengar suara bariton Pak Gibran.
Astaga, suaranya sexy banget!
Seketika fantasi nakal berkeliaran di pikiranku. Membayangkan betapa merdunya suara bariton Pak Gibran jika membisikkan kata-kata sensual di telingaku, apalagi jika suara itu perlahan berubah menjadi desahan kenikmatan. Haduh ... pasti sangat menggoda!
"Hadiahnya mana?" rengek Gea ke Pak Gibran.
"Kamu mau apa?" tanya Pak Gibran seraya membelai rambut Gea. Sontak otakku kembali mengerang ketika melihat jemari-jemari besar Pak Gibran membelai rambut keponakannya itu. Membayangkan bagaimana sensasi rasa ketika jemari-jemari itu membelai area sensitif di tubuhku. Membelai kedua benda kenyal di area dadaku, meremasnya dengan lembut dan ...
Shit! Kenapa fantasi nakal semacam ini sering muncul di benakku setiap bertemu Pak Gibran?
"Setelah Aku pulang dari Bali, Kita makan ice cream bersama Luna di kedai Ice Cream Bobby ya, Om!" pinta Gea sebagai hadiah untuk nilai ujiannya yang memuaskan.
"Siap, laksanakan!" balas Pak Gibran yang kemudian meninggalkan kami kembali berdua saja di teras belakang rumah mewah ini, membiarkan Gea kembali fokus belajar bersamaku.
CEO Adinata Group itu berjalan ke arah gazebo yang berada di taman belakang rumah mewah ini. Tentu dari posisiku saat ini, aku bisa dengan leluasa memandangi wajah tampannya. Wajah yang sering membuat jantungku berdegup tak karuan. Tampannya gak kaleng-kaleng, cuy!
Mataku sedari tadi mengekor kepergiannya dari tempatku dan Gea belajar. Rasanya tidak rela berpaling dari wajah tampan pria 30 tahun itu.
"Kenapa Kak Audrey memandangi Om Gibran terus dari tadi?" tanya Gea.
"Tampan!" tanpa aku sadari keluar kata itu dari mulutku. Mataku masih menatap ke arah Pak Gibran, pikiranku juga masih melayang di atas awan.
"Tampan? Siapa? Om Gibran?" Gea tampak memastikan.
"Yes He is. Om Tampan!" aku kembali bergumam. Pikiranku masih berkelana menelusuri garis wajah Pak Gibran. Akupun belum menyadari kebodohan yang sudah aku lakukan di depan Gea, bergumam tentang sesuatu yang pastinya akan membuatku kehilangan muka di depan gadis cantik itu.
"WHAT? OM TAMPAN?" terdengar suara cempreng Gea yang menggelegar. Sontak hal tersebut membuat pikiranku seketika kembali sepenuhnya ke dunia nyata.
Akupun panik, apalagi Pak Gibran yang sebelumnya tampak sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba menatap ke arah kami. Ya ampun, apa Pak Gibran mendengar saat Gea menyebutkan Om tampan?
Aku semakin salah tingkah. Akupun memutar otak untuk mengelak dari ledekan Gea yang bertubi-tubi meluncur dari bibirnya.
"Ti-tidak begitu, Ge! Bu-bukan begitu!" elakku.
"Apanya yang tidak begitu? Apanya yang bukan begitu? Dih, Kenapa Kak Audrey jadi gelagapan gitu?" ledek Gea.
"Maksud Kak Audrey, tamannya jika malam tampan. Bukan Om Gibran yang tampan," elakku lagi.
"Taman kok tampan! Jelas-jelas Kak Audrey tadi bilang Om Gibran itu OM TAMPAN!" protes Gea dengan suara cemprengnya yang menggelegar.
"GEA! Sssttt!" seruku seraya menempelkan jari telunjuk di depan bibir.
Ya Tuhan, jangan sampai Pak Gibran mendengar percakapanku dan Gea. Semoga Gea juga tidak menceritakan kebodohanku ini pada anggota keluarganya yang lain. Tengsin aku 'kan!
"Dih, kenapa pipi Kak Audrey jadi merah merona? Kak Audrey malu ya ketauan memandang penuh damba ke Om Gibran?" goda Gea.
What? Memandang penuh damba? Allohurobbi, dari mana bocah 12 tahun ini bisa memiliki kosa kata itu?
Aku pura-pura tidak mendengar ocehan Gea. Aku memilih fokus membereskan semua buku yang sudah kami gunakan pada sesi belajar hari ini. Namun sepertinya Gea masih belum puas menggodaku. Beberapa kali dia masih saja membuat pipiku kembali merona. "Jangan lupa minggu depan Kak Audrey harus datang ke pesta ulang tahunku!" tiba-tiba terdengar suara Luna yang berjalan ke arahku bersama sang mama. Akupun mengangguk menyanggupi permintaan gadis ompong yang terlihat menggemaskan itu. "Kamu pasti cantik deh pakai dress peach ini," timpal Bu Livy seraya memberikan sebuah paper bag berisi sebuah dress cantik padaku. "Semoga Kamu suka ya, Audrey," imbuh Bu Livy. "Pasti sukalah, Ma. Apalagi Om Tampan yang memilih dressnya," gumam Gea. "Om Tampan?" beo Bu Livy. Wanita 38 tahun itu tampak mengerjab beberapa kali, berusaha memahami ocehan anak sulungnya. "Ih, Mama gitu aja gak paham sih," gerutu Gea. "Dress itu pilihan Om Gibran 'kan Ma? Om Gibran itu Om Tampannya Kak Audrey!" lanjutnya. "Om Tamp
Akupun sibuk dengan pikiranku sendiri. Menerka-nerka siapa kiranya teman Pak Gibran yang akan aku bantu mengerjakan skripsinya itu. Sampai-sampai aku lupa kalau sedari tadi Pak Gibran menunggu jawabanku."Audrey?" Suara baritonnya menyadarkanku. "Kenapa Kamu diam saja? Apa terlalu sedikit nominal yang Saya ajukan?" tanya Pak Gibran sambil menatap mataku lekat.Belum juga aku menjawab pertanyaan Pak Gibran, eh ... pria tampan itu sudah kembali memberi penawaran. "Baiklah. 100 juta di awal dan 100 juta di akhir. Jadi total 200 juta. Bagaimana?""APA? Du-dua ratus juta?" pekikku.Astaga! Penawaran 100 juta saja aku terperanga, apalagi penawaran 200 juta! Tentu saja aku tidak keberatan. Siapa yang bisa menolak 200 juta hanya untuk membantu mengerjakan satu skripsi! Sontak jiwa matreku meronta-ronta. Bola mataku yang berwarna coklat mungkin saat ini sudah berubah warna menjadi hijau.Ya Tuhan, 200 juta tentu bisa aku pakai untuk membangun kedai Alina Gump seperti yang diinginkan mama selam
Pak Gibran kekeh tidak mau melepaskan pelukannya. Dia beralibi kakiku sedang cidera sehingga dia tidak tega melepas lengannya yang melingkar di pinggangku. Dia takut nanti aku terjatuh lagi. Lebay banget 'kan dia?"Bapak ... ih!" protesku dengan nada manja. "Jangan berlebihan deh, Pak! Saya 'kan cuma terpleset!" imbuhku."Terpleset?" Oma Elma, Gea, Luna, dan Kak Dina sontak kompak membeo.Oma Elma segera mendekat ke arahku. "Apa ada yang sakit, Audrey?" Oma Elma tampak khawatir. Aku menggelengkan kepalaku. Walau sejujurnya pergelangan kakiku memang terasa sangat nyeri, namun aku tidak mau membuat drama di depan mereka.Dengan lembut kulepaskan lengan Pak Gibran di pinggangku. Kemudian perlahan aku berusaha kembali melangkahkan kakiku. Namun baru di langkah pertama, aku sudah mengibarkan bendera putih. Pergelangan kakiku terasa sangat nyeri ketika digerakkan. Akupun meringis kesakitan menahan rasa nyeri itu."Aku rasa kakimu terkilir," lirih Pak Gibran yang tiba-tiba berlutut di hadap
Selama perjalanan pulang, kami lebih banyak dalam mode diam. Pak Gibran tampak fokus menyetir, sedangkan aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri.Aku belum bisa sepenuhnya move on dari kelakuan manis Pak Gibran malam ini. Bagaimana bisa dia tanpa ragu menggendongku di depan anggota keluarganya dan para pelayan di rumah keluarga Adinata? Belum lagi ketika Pak Gibran membisikkan kalimat, "Jangankan hanya menggendongmu, menciummu di depan keluarga besar Adinatapun, Saya juga tidak masalah."Ya ampun, Hati jangan jumpalitan terus dong digombalin Om Tampan! Jantung juga yang santai dong berdetaknya!"Apa Kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit untuk memastikan kondisi pergelangan kakimu?" terdengar suara bariton Pak Gibran memecah keheningan diantara kami."Tidak perlu, Pak. Besok pasti sudah membaik," jawabku seraya senyum malu-malu layaknya anak SMA yang baru jatuh cinta.Tak lama berselang, mobil Pak Gibran menepi di depan sebuah minimarket. Dia memintaku menunggu di mobil, sedangkan
Perlahan mataku mulai terasa berat. Satu detik, sepuluh detik, seratus detik, dan akhirnya akupun terlelap di tengah gelapnya suasana malam di mobil dengan ditemani musik yang diputar Pak Gibran. Hingga tak terasa Kami sudah berada di depan rumahku."Audrey, Kita sudah sampai," terdengar suara Pak Gibran membangunkanku.Akupun terbangun. Menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Lah? Ini ternyata beneran rumahku. Tapi darimana Pak Gibran tau alamat rumahku? Sepanjang jalan rasanya aku tertidur pulas, deh. Pak Gibran bahkan tidak membangunkanku sama sekali."Ti-tidak usah, Pak" tolakku ketika Pak Gibran hendak membantuku turun dari mobil. Namun sudah bisa diduga, baru saja aku menapakkan kaki di aspal, nyeri di pergelangan kaki kiriku sudah sangat menyiksaku. Akupun merintih kesakitan."Mangkanya jangan keras kepala!" ketus Pak Gibran yang tanpa basa-basi segera meletakkan salah satu tangannya di bawah kedua lututku dan satu lagi di belakang punggungku. Dengan santainya dia
Melihatku hanya terdiam, Pak Gibran mengulangi pertanyaannya lagi, "Apa ada yang keberatan karena Saya mengantarmu pulang malam ini?"Belum sempat aku menjawab, mama sudah lebih dulu muncul dari balik pintu. Mama mempersilahkan Pak Gibran untuk menikmati kopi dan lemon cake yang disajikan. Tak lama mama kembali pamit meninggalkanku dan Pak Gibran berdua saja di teras depan."Bapak tidak apa-apa minum kopi semalam ini?" timpalku seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.00 WIB. Pria tampan itu tampak menikmati secangkir kopi buatan mama tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Padahal ini sudah menjelang tengah malam. Apa toleransinya terhadap kafein sangat baik? "Tidak apa-apa, setelah ini Saya memang akan lembur mengerjakan beberapa dokumen perusahaan," jawab Pak Gibran. Wah, benar-benar pekerja keras! Tidak heran jika CEO Tampan ini mampu membawa Adinata Group semakin berkibar. Gurita bisnisnya juga semakin melebar ke banyak sektor."This tastes great!" puji Pak Gibran terha
Melihat tingkah manis Pak Gibran padaku, mama terus saja tersenyum lebar. Menatap kami berdua dengan pandangan penuh damba, seperti sedang menonton sepasang kekasih yang sedang melakukan adegan romantis.Mama menyetujui ide Pak Gibran tentang aku yang sebaiknya tidak masuk kuliah besok. Mama juga amat sangat setuju dengan gagasan tentang Pak Gibran yang akan menjemputku besok. RALAT! Bukan lagi amat sangat setuju, tetapi amat sangat bersemangat untuk gagasan terkahir itu. Bahkan mama sok ngide untuk mengundang Pak Gibran makan malam bersama kami besok."Ma, Pak Gibran itu orang yang super sibuk. Gak bisa Kita undang Pak Gibran makan malam bersama mendadak seperti itu. Lebih baik Kita membuatkan cake kesukaan Pak Gibran. Tidak perlu mengundang beliau makan malam. Lagipula siapa Kita sampai berani mengundang seorang Gibran Maharsa Adinata untuk makan malam di rumah Kita? Pak Gibran itu CEO perusahan besar, Ma! Jadwalnya pasti padat merayap. Kita gak bisa asal mengundang Pak Gib---," bel
Matahari sudah mulai terik, tapi aku masih saja bergelut dengan bantal dan selimutku. Sesuai titah mama dan Pak Gibran, hari ini aku tidak masuk kuliah. Akupun menikmati aktivitas hibernasiku di atas kasur seraya sayup-sayup mendengar penuturan mama tentang kehebatan Mpok Tima, tukang pijat langganannya.Awalnya aku menolak ide mama untuk menggunakan jasa Mpok Tima. Aku takut pergelangan kakiku semakin nyeri jika tidak berkonsultasi ke dokter terlebih dulu sebelum sesi terapi pijat tradisional dengan tukang pijat hits di area sekitar rumah kami ini. Namun mama tetap bersikeras memintaku untuk mengizinkan Mpok Tima menjalankan misi mulianya, menyembuhkan kakiku yang terkilir. Menurutnya kasus terkilir seperti kakiku ini makanan sehari-hari Mpok Tima. Jadi aku tidak perlu khawatir untuk hasilnya."Ayo, sekarang makan dulu! Sebentar lagi Mpok Tima datang," titah mama seraya menyodorkan sesendok nasi goreng padaku. Akupun segera duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mengambil sendok dan
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb
Malam harinya, resepsi pernikahan kami digelar. Masih di tempat yang sama namun dengan konsep acara yang berbeda.Pada akad nikah, kami menginginkan acara yang sakral dan hanya dihadiri keluarga dan sahabat. Sedangkan pada resepsi pernikahan, kesan mewah, megah, dan meriah sangat tampak di konsep acara.Selain itu tamu undangan yang hadir juga jauh lebih banyak pada acara resepsi malam ini. Jika pada akad nikah hanya dihadiri keluarga, kerabat, dan sahabat, pada resepsi malam ini tamu yang hadir datang dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pengusaha kelas atas negeri ini, para sosialita teman-teman Mama Elma, sampai beberapa selebriti terkenal.Astaga, Kak Livy benar-benar all out dalam mempersiapkan acara resepsi malam ini.Aku dan Mas Gibran bak ratu dan raja dalam semalam. Gaun nerwarna bronze yang aku gunakan dipadukan dengan tiara di atas kepalaku, membuatku tampil seperti ratu di buku dongeng yang biasa aku baca semasa kecil dulu. Apalagi di sampingku berdiri seorang pria
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Hari pernikahanku dengan Om Tampanku, Gibran Maharsa Adinata.Pukul 05.30 Kami sudah berada di salah satu hotel keluarga Adinata. Di ballroom hotel inilah pernikahan kami akan digelar. Dimulai dengan akad nikah di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.Sejak pukul 06.00 pagi tadi, seorang makeup artis ternama ibukota sudah memoles wajah blasteranku. Menurutnya butuh waktu sekitar 2 jam untuk makeup dan hairdo. Sedangkan akad nikah sendiri dimulai pukul 08.00 wib dengan ijab qabul harus terlaksana pada pukul 08.30 wib.Setelah makeup dan tatanan rambut selesai dikerjakan, aku mulai dibantu untuk memakai kebaya cantik yang sudah dibuatkan khusus untukku oleh mama mertua Kak Livy."Cantik sekali!" puji Shabina dan Mentari yang sudah siap menjadi pengiringku menuju meja akad."Iya, cantik sekali Kamu, Audrey!" puji mama mertua Kak Livy."Berkat makeup dan hairdo kak Bonita, ditambah baju buatan Tante yang luar biasa indah," balasku
Malam sudah larut. Mas Gibran tadi juga sudah mengabari bahwa dia hendak pulang dari rumah sakit. Dia menugaskan Theo, salah satu bodyguardnya yang lain untuk menemani Clara. Sedangkan Jay diminta kembali ke rumahku untuk menjagaku dan Mama.Ada kelegaan di hatiku ketika tau Mas Gibran sudah pulang dari rumah sakit. To be honest aku tidak rela Mas Gibran kembali bertemu Clara, apalagi tidak ada aku di sampingnya. Tapi ya mau gimana lagi? Mas Gibran tadi sudah berjanji akan menyusul Clara ke Rumah Sakit, sedangkan aku tidak mungkin ikut ke sana.Selain untuk melihat kondisi Aurora, Mas Gibran ke rumah sakit juga untuk memperingati Clara. Kalau dia kembali nekat, Mas Gibran sudah tidak akan lagi memaafkannya. Ini sudah ketiga kalinya Clara hendak mencelakaiku. Rasanya sudah lebih dari cukup memberi kesempatan pada penyanyi cantik itu.Namun untuk memberi efek jera, Mas Gibran tetap akan memberi hukuman pada Clara. Memang bukan melaporkan ke pihak berwajib, tapi Mas Gibran akan menyampai