Selama perjalanan pulang, kami lebih banyak dalam mode diam. Pak Gibran tampak fokus menyetir, sedangkan aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri.
Aku belum bisa sepenuhnya move on dari kelakuan manis Pak Gibran malam ini. Bagaimana bisa dia tanpa ragu menggendongku di depan anggota keluarganya dan para pelayan di rumah keluarga Adinata? Belum lagi ketika Pak Gibran membisikkan kalimat, "Jangankan hanya menggendongmu, menciummu di depan keluarga besar Adinatapun, Saya juga tidak masalah."
Ya ampun, Hati jangan jumpalitan terus dong digombalin Om Tampan! Jantung juga yang santai dong berdetaknya!
"Apa Kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit untuk memastikan kondisi pergelangan kakimu?" terdengar suara bariton Pak Gibran memecah keheningan diantara kami.
"Tidak perlu, Pak. Besok pasti sudah membaik," jawabku seraya senyum malu-malu layaknya anak SMA yang baru jatuh cinta.
Tak lama berselang, mobil Pak Gibran menepi di depan sebuah minimarket. Dia memintaku menunggu di mobil, sedangkan dia sendiri masuk ke minimarket tersebut, entah untuk membeli apa.
Tiba-tiba aku teringat janjiku pada Shabina, salah satu sahabatku. Aku berjanji besok akan menemaninya berbelanja. Akupun segera menelpon Dokter Muda itu, mengabarinya tentang kondisi kakiku karena kemungkinan besok aku tidak bisa menemaninya berbelanja.
"Lagian Lo kenapa pakai acara terkilir segala sih?" protes Shabina di sambungan telepon.
"Linglung kayaknya gue tadi."
"Linglung? Linglung kenapa? Lo kekurangan glukosa gegara lagi diet?"
"Cih, gak lah! Kecapean aja palingan gue," jawabku datar.
"Lo sih cari duit mulu!" gerutu Shabina. "BTW, gimana Lo pulang dari rumah itu? Apa perlu gue jemput?"
"Gak perlu, Na. Gue diantar Pak Gibran."
"WHAT?" suara Shabina menggelegar di sambungan telepon. Refleks akupun menjauhkan ponselku dari telinga. Untung saja gendang telingaku tidak jebol mendengar pekikannya.
Akupun menghardiknya. Namun tampaknya hal tersebut tidak terlalu berpengaruh, Shabina masih saja bertahan dengan suara menggelegarnya. Dia memborbardirku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian hari ini yang menimpaku. Shabina juga masih tidak percaya seorang Gibran Maharsa Adinata si wajah beton yang sulit terjamah mengantarku pulang malam ini. Dih, dia belum tau aja kalau tadi Pak Gibran menggendongku ala pengantin baru mau belah duren!
Dua sahabatku, Shabina dan Mentari sudah sering mendengar cerita kekagumanku pada Pak Gibran. Bahkan sebenarnya panggilan Om Tampan juga tercetus dari mulut si Shabina, kemudian disempurnakan oleh Mentari menjadi 'Om Tampannya Audrey', hehehe.
Kami bertiga sudah menjadi follower Instagr*m Pak Gibran sejak dua tahun silam, tepat dua hari setelah pertemuan pertamaku dengan pria tampan itu di rumah mewah keluarga Adinata. Mentari yang sangat melek dunia sosial, dengan cekatan memainkan perannya. Dia segera menemukan akun instgr*m adik kandung Bu Livy itu.
Walau Pak Gibran tidak pernah membuat instagr*m story dan hanya beberapa foto yang pernah diposting di feed instagr*mnya, namun sudah sangat menunjukkan betapa mempesonanya CEO Adinata Group itu. Tampannya memang gak kaleng-kaleng, cuy!
Melihat Pak Gibran sudah keluar dari minimarket, akupun bergegas mengakhiri sambungan teleponku dengan Shabina. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah kesal Shabina di ujung telepon. Pasti banyak umpatan keluar dari mulut sahabat gesrekku itu.
Tak lama berselang, Pak Gibran sudah duduk di kursi pengemudi dan menyodorkan kantong plastik yang dia tenteng. "Ice cream?" Aku masih melongo melihat isi kantong plastik tersebut.
"Jangan hanya melongo, makanlah! Nanti keburu mencair."
Akupun mengikuti titah Pak Gibran. Segera menikmati ice cream Heag*n da*h yang dia belikan. Lagipula siapa yang tidak suka makanan dingin dengan rasa manis ini. Sama seperti Pak Gibran, pria dingin namun ternyata sikapnya manis. Aselole!
Sambil menikmati ice cream, sesekali aku melirik ke arah Pak Gibran yang tampak fokus menyetir. Suasana gelap di mobil tentu membuatku dengan leluasa mencuri pandang ke arahnya.
Ya Tuhan, tampannya manusia sebelahku ini. Boleh gak sih ngarep lebih? Audrey baper nih sama kelakuan Om Tampannya Audrey hari ini, Tuhan. Boleh gak sih cium dikit pipinya? Atau kecup sebentar bibirnya? Atau boleh gak main pangku-pangkuan di mobil?
God damn it!
Tiba-tiba Pak Gibran kembali menepikan mobilnya. Namun kini tidak di sekitar area minimarket seperti sebelumnya, hanya tampak deretan ruko yang sudah tutup karena memang saat ini sudah pukul 22.00 WIB.
Lah, mau ngapain si Om Tampan ini?
Keningku mengerut melihat Pak Gibran sibuk mencari sesuatu ke arah kursi belakang. "Aku rasa tissue di mobil ini habis," gumam Pak Gibran. Tissue? Untuk apa dia mencari tissue?
Tanpa memberi aba-aba, tiba-tiba ...
DEGH!
"Bagaimana bisa gadis seusiamu masih blepotan ketika memakan ice cream!" gerutu Pak Gibran sambil dengan lembut menyapukan ibu jarinya ke bibirku. Sontak hal tersebut membuat rambut-rambut halus di sekujur tubuhku merinding. Darahku berdesir kuat dari jantung menuju seluruh organ tubuhku.
Pak Gibran semakin mendekatkan kepalanya ke arahku, mengikis jarak di antara kami. Menatap bibirku dengan sangat lekat, sambil terus menyapukan ibu jarinya ke bibirku. Seketika level kewarasanku semakin menurun. "Ba-bapak---," belum juga Aku menyelesaikan kalimatku, Pak Gibran sudah menginterupsi.
"Sssttt!" desis Pak Gibran memberi kode untukku berhenti berbicara.
Sambil terus menyapukan ibu jarinya ke permukaan bibirku, matanya terus menatap lekat benih mata coklatku. Dia semakin mendekatkan wajahnya, bahkan hembusan nafasnya kini bisa kurasakan menyapu permukaan wajahku. ASTAGA! Om Tampan kayaknya mau cipok Aku deh!
Rasanya nafasku terhenti seketika membayangkan apa yang akan Pak Gibran lakukan padaku. Sedetik, dua detik, tiga detik, dan ...
"Jangan lupa bernafas!" lirih Pak Gibran yang kemudian menjauhkan wajahnya.
What? Jangan lupa bernafas? Lah, gak jadi ciuman? Terus kenapa tadi dia mendekatkan wajah tampannya ke wajah blasteranku? Bibirku juga diusap-usap berkali-kali dengan ibu jarinya! Tapi kok gak ada adegan cipokannya sih?
"Bapak!" panggilku dengan nada kesal. "Bapak mau ngapain sebenarnya tadi?"
"Saya mau ngapain memangnya?" Dih, malah balik tanya! Ngeselin banget 'kan si Om Tampan ini! Aku 'kan sudah mengharap dicipok. Eh, malah hanya memintaku jangan lupa bernafas. Dasar lelaki wajah beton!
"Ngapain wajah Bapak didekatkan ke wajah Saya?" kesalku.
"Saya hanya ingin melihat wajahmu dari jarak dekat." Mataku melotot tak percaya dengan jawaban CEO Adinata Group itu. "Memangnya Kamu pikir Saya mau ngapain?" bisik Pak Gibran seraya mengarahkan bibirnya ke telinga kananku.
Astaga! Hembusan nafasnya terasa begitu menggelitik fantasiku. Kuatkan iman hamba dalam menghadapi Om Tampan satu ini, Ya Tuhan.
Akupun memilih memalingkan tatapanku ke jendela samping kursiku. Daripada aku memandangi wajah tampan Pak Gibran malah membuatku semakin mupeng, lebih baik aku memandangi jalanan Jakarta yang tampak begitu lengang malam ini! Menikmati heningnya jalan di sepanjang perjalanan menuju rumahku.
Pak Gibran hanya tersenyum melihat kelakuanku. Kemudian dia kembali melajukan mobilnya. Membelah jalanan Jakarta yang cukup tenang malam ini.
Perlahan mataku mulai terasa berat. Satu detik, sepuluh detik, seratus detik, dan akhirnya akupun terlelap di tengah gelapnya suasana malam di mobil dengan ditemani musik yang diputar Pak Gibran. Hingga tak terasa Kami sudah berada di depan rumahku."Audrey, Kita sudah sampai," terdengar suara Pak Gibran membangunkanku.Akupun terbangun. Menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang. Lah? Ini ternyata beneran rumahku. Tapi darimana Pak Gibran tau alamat rumahku? Sepanjang jalan rasanya aku tertidur pulas, deh. Pak Gibran bahkan tidak membangunkanku sama sekali."Ti-tidak usah, Pak" tolakku ketika Pak Gibran hendak membantuku turun dari mobil. Namun sudah bisa diduga, baru saja aku menapakkan kaki di aspal, nyeri di pergelangan kaki kiriku sudah sangat menyiksaku. Akupun merintih kesakitan."Mangkanya jangan keras kepala!" ketus Pak Gibran yang tanpa basa-basi segera meletakkan salah satu tangannya di bawah kedua lututku dan satu lagi di belakang punggungku. Dengan santainya dia
Melihatku hanya terdiam, Pak Gibran mengulangi pertanyaannya lagi, "Apa ada yang keberatan karena Saya mengantarmu pulang malam ini?"Belum sempat aku menjawab, mama sudah lebih dulu muncul dari balik pintu. Mama mempersilahkan Pak Gibran untuk menikmati kopi dan lemon cake yang disajikan. Tak lama mama kembali pamit meninggalkanku dan Pak Gibran berdua saja di teras depan."Bapak tidak apa-apa minum kopi semalam ini?" timpalku seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 22.00 WIB. Pria tampan itu tampak menikmati secangkir kopi buatan mama tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Padahal ini sudah menjelang tengah malam. Apa toleransinya terhadap kafein sangat baik? "Tidak apa-apa, setelah ini Saya memang akan lembur mengerjakan beberapa dokumen perusahaan," jawab Pak Gibran. Wah, benar-benar pekerja keras! Tidak heran jika CEO Tampan ini mampu membawa Adinata Group semakin berkibar. Gurita bisnisnya juga semakin melebar ke banyak sektor."This tastes great!" puji Pak Gibran terha
Melihat tingkah manis Pak Gibran padaku, mama terus saja tersenyum lebar. Menatap kami berdua dengan pandangan penuh damba, seperti sedang menonton sepasang kekasih yang sedang melakukan adegan romantis.Mama menyetujui ide Pak Gibran tentang aku yang sebaiknya tidak masuk kuliah besok. Mama juga amat sangat setuju dengan gagasan tentang Pak Gibran yang akan menjemputku besok. RALAT! Bukan lagi amat sangat setuju, tetapi amat sangat bersemangat untuk gagasan terkahir itu. Bahkan mama sok ngide untuk mengundang Pak Gibran makan malam bersama kami besok."Ma, Pak Gibran itu orang yang super sibuk. Gak bisa Kita undang Pak Gibran makan malam bersama mendadak seperti itu. Lebih baik Kita membuatkan cake kesukaan Pak Gibran. Tidak perlu mengundang beliau makan malam. Lagipula siapa Kita sampai berani mengundang seorang Gibran Maharsa Adinata untuk makan malam di rumah Kita? Pak Gibran itu CEO perusahan besar, Ma! Jadwalnya pasti padat merayap. Kita gak bisa asal mengundang Pak Gib---," bel
Matahari sudah mulai terik, tapi aku masih saja bergelut dengan bantal dan selimutku. Sesuai titah mama dan Pak Gibran, hari ini aku tidak masuk kuliah. Akupun menikmati aktivitas hibernasiku di atas kasur seraya sayup-sayup mendengar penuturan mama tentang kehebatan Mpok Tima, tukang pijat langganannya.Awalnya aku menolak ide mama untuk menggunakan jasa Mpok Tima. Aku takut pergelangan kakiku semakin nyeri jika tidak berkonsultasi ke dokter terlebih dulu sebelum sesi terapi pijat tradisional dengan tukang pijat hits di area sekitar rumah kami ini. Namun mama tetap bersikeras memintaku untuk mengizinkan Mpok Tima menjalankan misi mulianya, menyembuhkan kakiku yang terkilir. Menurutnya kasus terkilir seperti kakiku ini makanan sehari-hari Mpok Tima. Jadi aku tidak perlu khawatir untuk hasilnya."Ayo, sekarang makan dulu! Sebentar lagi Mpok Tima datang," titah mama seraya menyodorkan sesendok nasi goreng padaku. Akupun segera duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mengambil sendok dan
Aku, Shabina, dan Mentari memang sudah bersahabat semenjak kami di duduk bangku SD. Kami berada di sekolah yang sama sejak SD, SMP, hingga SMA. Kami merupakan murid di salah satu group sekolah internasional elit di Jakarta. Shabina dan Mentari berasal dari keluarga kelas atas negeri ini. Jadi wajar mereka bisa sekolah di group sekolah dengan SPP bulanan mencapai belasan juta rupiah itu. Namun keduanya tidak pernah mengucilkanku yang hanya anak seorang pegawai di sekolah elit tersebut. Shabina berasal dari keluarga dengan latar belakang dokter. Sang papa adalah dokter spesialis Obgyn dan sang mama adalah seorang dokter gigi spesialis Gigi Anak. Kakak perempuannya adalah seorang dokter spesialis mata yang menikah dengan seorang dokter spesialis bedah saraf. Keluarganya memiliki beberapa rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sedangkan Mentari, dia berasal dari keluarga pengusaha. Keluarganya adalah pemilik beberapa Mall besar di Jakarta dan Bali. Saat i
"Lo beneran mau kencan sama si Om Tamvan hari ini?" tanya Mentari. "Takjub gue sama bule kesayangan kita ini. Gak ada basa-basi, tiba-tiba aja sudah mau kencan sama om Tamvan idolanya. Benar-benar Otw Ny. Boss nih kayaknya," timpal Shabina. Akupun memutar mataku malas. Okeh! Setelah Mama, sekarang giliran Mentari dan Shabina yang menduga ada hubungan khusus antara aku dan Pak Gibran. Aku aminin aja ya, hehehe. "Mana ada kencan! Pak Gibran jemput gue buat ngajar Gea dan Luna," elakku. "Ah, itu sih modus dia aja!" gumam Mentari. "Kalau cuma antar jemput Lo buat ngajar keponakannya, dia bisa suruh sopirnya aja kali," imbuhnya. "Pak Gibran itu bukan pengangguran yang punya banyak waktu luang, Audrey! Kalau Elo gak penting buat dia, ngapain dia repot-repot mau jemput Lo demi ngajar ponakannya? Apalagi kantor dia di Jaksel, rumah Lo di Jakut, dan rumah dia di Menteng," cerocos Shabina. "Fix! DIA LAGI MODUS KE ELO, Audrey Liliana White!" imbuhnya. Modus? Em ... semoga saja ya! Siapa ju
"Selamat sore," terdengar suara bariton dari arah teras depan rumahku. Tampak Pak Gibran datang dan disambut dengan senyum merekah khas mamaku.Mereka mengobrol di teras depan, menungguku yang baru saja selesai mandi. Sejujurnya mengingat kemungkinan teman Pak Gibran yang aku bantu membuat skripsi adalah Clara, membuat hatiku enggan melihat wajah tampan Pak Gibran untuk saat ini. Namun mengingat antusiasme mama, rasanya aku tidak sampai hati membatalkan agendaku hari ini dengan CEO Adinata Group itu.Benar kata Mentari dan Shabina, "Jangan Lo cancel acara siang dan malam ini! Kasihan Mama Alin," titah Mentari sebelum dia dan Shabina pamit pulang tepat 30 menit sebelum kedatangan Pak Gibran. "Jangan buat Mama Alin kecewa!" tambahnya. "Iya! Mama Alin sudah antusias banget nyiapin outfit Lo hari ini. Mama Alin juga sudah susah payah masak makanan-makanan kesukaan Pak Gibran untuk makam malam kalian hari ini," timpal Shabina. "Lagian belum tentu juga 'kan orang yang Lo bantu menyusun skr
Sebelum turun dari mobil mewah Pak Gibran, aku kembali menanyakan hal yang sama. "Jadi benar Clara adalah teman Bapak yang harus Saya bantu mengerjakan skripsinya?" tanyaku untuk ke sekian kalinya.Pak Gibran menatapku lekat, kemudian pria tampan itu menghebuskan nafasnya kasar. Perlahan dia menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Yes she is."Akupun terdiam. Rasanya ... seperti ada luka di lutut yang tersiram air lemon. Ngilu!"Apa Kamu keberatan?" tanya Pak Gibran.Em ... sejujurnya aku memang keberatan. Tapi tawaran 200 juta yang diajukan Pak Gibran rasanya sangat menggiurkan, bahkan mengalahkan rasa keberatanku itu. Apalagi mengingat keingananku membantu mama untuk segera mewujudkan kedai pertama Alina Gump, sepertinya aku memang harus menyingkarkan rasa keberatanku itu."Saya tidak punya hak untuk keberatan. Apalagi Saya sudah menyetujui kesepakatan Kita. Uangnya juga sudah saya terima 50%," jawabku lugas. "Saya juga tidak mau mengembalikan uang itu karena Saya sudah merencanak
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb
Malam harinya, resepsi pernikahan kami digelar. Masih di tempat yang sama namun dengan konsep acara yang berbeda.Pada akad nikah, kami menginginkan acara yang sakral dan hanya dihadiri keluarga dan sahabat. Sedangkan pada resepsi pernikahan, kesan mewah, megah, dan meriah sangat tampak di konsep acara.Selain itu tamu undangan yang hadir juga jauh lebih banyak pada acara resepsi malam ini. Jika pada akad nikah hanya dihadiri keluarga, kerabat, dan sahabat, pada resepsi malam ini tamu yang hadir datang dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pengusaha kelas atas negeri ini, para sosialita teman-teman Mama Elma, sampai beberapa selebriti terkenal.Astaga, Kak Livy benar-benar all out dalam mempersiapkan acara resepsi malam ini.Aku dan Mas Gibran bak ratu dan raja dalam semalam. Gaun nerwarna bronze yang aku gunakan dipadukan dengan tiara di atas kepalaku, membuatku tampil seperti ratu di buku dongeng yang biasa aku baca semasa kecil dulu. Apalagi di sampingku berdiri seorang pria
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Hari pernikahanku dengan Om Tampanku, Gibran Maharsa Adinata.Pukul 05.30 Kami sudah berada di salah satu hotel keluarga Adinata. Di ballroom hotel inilah pernikahan kami akan digelar. Dimulai dengan akad nikah di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.Sejak pukul 06.00 pagi tadi, seorang makeup artis ternama ibukota sudah memoles wajah blasteranku. Menurutnya butuh waktu sekitar 2 jam untuk makeup dan hairdo. Sedangkan akad nikah sendiri dimulai pukul 08.00 wib dengan ijab qabul harus terlaksana pada pukul 08.30 wib.Setelah makeup dan tatanan rambut selesai dikerjakan, aku mulai dibantu untuk memakai kebaya cantik yang sudah dibuatkan khusus untukku oleh mama mertua Kak Livy."Cantik sekali!" puji Shabina dan Mentari yang sudah siap menjadi pengiringku menuju meja akad."Iya, cantik sekali Kamu, Audrey!" puji mama mertua Kak Livy."Berkat makeup dan hairdo kak Bonita, ditambah baju buatan Tante yang luar biasa indah," balasku
Malam sudah larut. Mas Gibran tadi juga sudah mengabari bahwa dia hendak pulang dari rumah sakit. Dia menugaskan Theo, salah satu bodyguardnya yang lain untuk menemani Clara. Sedangkan Jay diminta kembali ke rumahku untuk menjagaku dan Mama.Ada kelegaan di hatiku ketika tau Mas Gibran sudah pulang dari rumah sakit. To be honest aku tidak rela Mas Gibran kembali bertemu Clara, apalagi tidak ada aku di sampingnya. Tapi ya mau gimana lagi? Mas Gibran tadi sudah berjanji akan menyusul Clara ke Rumah Sakit, sedangkan aku tidak mungkin ikut ke sana.Selain untuk melihat kondisi Aurora, Mas Gibran ke rumah sakit juga untuk memperingati Clara. Kalau dia kembali nekat, Mas Gibran sudah tidak akan lagi memaafkannya. Ini sudah ketiga kalinya Clara hendak mencelakaiku. Rasanya sudah lebih dari cukup memberi kesempatan pada penyanyi cantik itu.Namun untuk memberi efek jera, Mas Gibran tetap akan memberi hukuman pada Clara. Memang bukan melaporkan ke pihak berwajib, tapi Mas Gibran akan menyampai