2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
“Kak Audrey, ini nilai ujian matematikaku,” terdengar suara Gea, salah satu murid les privatku. Dengan bangga gadis 12 tahun itu menunjukkan nilai matematika yang dia dapat. “Good job, Ge!" pujiku seraya mengacungkan kedua jempolku. Melihatku memuji Gea, Luna juga tidak mau kalah dari sang kakak. Dia segera menunjukkan score B+ yang dia dapat. “Well done, Luna!” pujiku seraya mengusap puncak kepala gadis 7 tahun itu dengan lembut. Gadis itupun membalas dengan sebuah pelukan hangat. Sudah dua tahun terakhir aku menjadi guru les privat dua nona muda keluarga Adinata, Gea dan Luna. Sepulang kuliah, aku selalu menuju rumah mewah keluarga Adinata untuk mengajar mereka berdua. "Terima kasih sudah membantu cucu-cucu Oma belajar, Audrey. Oma sangat puas dengan nilai mereka semester ini," ucap Oma Elma. Akhir pekan ini, Oma Elma berencana mengajakku ke butik langganannya. Dia memintaku memilih pakaian manapun yang aku suka sebagai bonus karena sukses mengajar Gea dan Luna. Akupun menolak
Aku pura-pura tidak mendengar ocehan Gea. Aku memilih fokus membereskan semua buku yang sudah kami gunakan pada sesi belajar hari ini. Namun sepertinya Gea masih belum puas menggodaku. Beberapa kali dia masih saja membuat pipiku kembali merona. "Jangan lupa minggu depan Kak Audrey harus datang ke pesta ulang tahunku!" tiba-tiba terdengar suara Luna yang berjalan ke arahku bersama sang mama. Akupun mengangguk menyanggupi permintaan gadis ompong yang terlihat menggemaskan itu. "Kamu pasti cantik deh pakai dress peach ini," timpal Bu Livy seraya memberikan sebuah paper bag berisi sebuah dress cantik padaku. "Semoga Kamu suka ya, Audrey," imbuh Bu Livy. "Pasti sukalah, Ma. Apalagi Om Tampan yang memilih dressnya," gumam Gea. "Om Tampan?" beo Bu Livy. Wanita 38 tahun itu tampak mengerjab beberapa kali, berusaha memahami ocehan anak sulungnya. "Ih, Mama gitu aja gak paham sih," gerutu Gea. "Dress itu pilihan Om Gibran 'kan Ma? Om Gibran itu Om Tampannya Kak Audrey!" lanjutnya. "Om Tamp
Akupun sibuk dengan pikiranku sendiri. Menerka-nerka siapa kiranya teman Pak Gibran yang akan aku bantu mengerjakan skripsinya itu. Sampai-sampai aku lupa kalau sedari tadi Pak Gibran menunggu jawabanku."Audrey?" Suara baritonnya menyadarkanku. "Kenapa Kamu diam saja? Apa terlalu sedikit nominal yang Saya ajukan?" tanya Pak Gibran sambil menatap mataku lekat.Belum juga aku menjawab pertanyaan Pak Gibran, eh ... pria tampan itu sudah kembali memberi penawaran. "Baiklah. 100 juta di awal dan 100 juta di akhir. Jadi total 200 juta. Bagaimana?""APA? Du-dua ratus juta?" pekikku.Astaga! Penawaran 100 juta saja aku terperanga, apalagi penawaran 200 juta! Tentu saja aku tidak keberatan. Siapa yang bisa menolak 200 juta hanya untuk membantu mengerjakan satu skripsi! Sontak jiwa matreku meronta-ronta. Bola mataku yang berwarna coklat mungkin saat ini sudah berubah warna menjadi hijau.Ya Tuhan, 200 juta tentu bisa aku pakai untuk membangun kedai Alina Gump seperti yang diinginkan mama selam
Pak Gibran kekeh tidak mau melepaskan pelukannya. Dia beralibi kakiku sedang cidera sehingga dia tidak tega melepas lengannya yang melingkar di pinggangku. Dia takut nanti aku terjatuh lagi. Lebay banget 'kan dia?"Bapak ... ih!" protesku dengan nada manja. "Jangan berlebihan deh, Pak! Saya 'kan cuma terpleset!" imbuhku."Terpleset?" Oma Elma, Gea, Luna, dan Kak Dina sontak kompak membeo.Oma Elma segera mendekat ke arahku. "Apa ada yang sakit, Audrey?" Oma Elma tampak khawatir. Aku menggelengkan kepalaku. Walau sejujurnya pergelangan kakiku memang terasa sangat nyeri, namun aku tidak mau membuat drama di depan mereka.Dengan lembut kulepaskan lengan Pak Gibran di pinggangku. Kemudian perlahan aku berusaha kembali melangkahkan kakiku. Namun baru di langkah pertama, aku sudah mengibarkan bendera putih. Pergelangan kakiku terasa sangat nyeri ketika digerakkan. Akupun meringis kesakitan menahan rasa nyeri itu."Aku rasa kakimu terkilir," lirih Pak Gibran yang tiba-tiba berlutut di hadap
Sebuah range rov*r hitam berhenti di lobby utama kantor pusat Adinata Group. Tampak seorang wanita cantik dengan kemeja satin berwarna hitam yang dipadukan dengan celana berwarna senada keluar dari mobil itu. Dia melenggang ke arah lift khusus para petinggi Adinata Group. "Selamat Pagi, Nona Gea," terdengar suara dari arah belakang Gea. Suara yang sangat dia hafal, suara yang sudah didengarnya sejak masih bayi. Suara bariton Sang CEO Adinata Group. "Selamat Pagi, Pak Gibran," balas Gea seraya menyunggingkan senyumnya. "Hari ini cantik banget sih ibu direktur pengembangan bisnis Adinata Group," terdengar suara yang juga tidak kalah familiar dengan suara Gibran. Ya ... siapa lagi kalau bukan, Audrey Liliana White, istri tercinta Gibran. "Cantikku setiap hari kali, Te," ujar Gea seraya menyelipkan beberapa anak rambutnya di belakang telinganya. "Tiap hari memang cantik, tapi hari ini cantik banget, bukan sekedar cantik seperti hari-hari yang lain," gumam Audrey seraya memindai penamp
"Bagas mau permen yang itu, Pa," ujar anak laki-laki 7 tahun yang sedang berada di gandengan Mas Gibran. Anak laki-laki tampan miniatur Mas Gibran itu adalah putra pertamaku dan Mas Gibran, Bagas Maharsa Adinata. "Gendong, Ma!" rengek seorang anak perempuan berusia 3 tahun. Anak perempuan cantik yang wajahnya juga sangat mirip dengan Mas Gibran itu adalah Ayara Maharsa Adinata, anak keduaku dan Mas Gibran. Kalau kata Mama Elma, dua anak kami itu hanya numpang 9 bulan di perutku. Karena wajah mereka berdua plek ketiplek dengan Mas Gibran. Aku hanya kebagian warna manik mata coklat mereka. Sedangkan bagian yang lainnya Gibran Maharsa Adinata banget! "Kita ke Michellia dulu ya. Kita belum mengucapkan selamat ulang tahun," ujarku pada Mas Gibran dan kedua anakku. Michellia adalah anak pertama Revan dan Mentari. Gadis cantik itu hari ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 5. "Celamat ulang Tahun, Kak Icel," ucap Aya sambil menyerahkan kado yang sudah kami siapkan. "Ini kado dari
Setibanya di rumah sakit, aku diminta berbaring di bed periksa pasien. Segera Bidan Lely, Bidan senior yang bertugas hari itu melakukan pemeriksaan dalam."Sudah ada pembukaan, tapi masih buka 3. Saya laporakan ke dr Tomi dulu, Ibu Audrey," ujar Bidan Lely.Menurut Om Tomi walau masih pembukaan 3, aku lebih baik menunggu di rumah sakit saja, menempati kamar VVIP yang memang sudah dipesankan Shabina. Walau anak pertama biasanya proses pembukaan akan lebih lama, tapi setidaknya aku dan suamiku bisa lebih tenang. Apalagi gelombang-gelombang cinta dari bayiku semakin sering aku rasakan."Sakit ya, Sayang?" tanya Mas Gibran seraya mengusap puncak kepalaku."Ya sakitlah, Mas! Sakit banget malah!" ketusku. Lagian pakai acara tanya sakit atau tidak! Ya pasti sakitlah, namanya juga kontraksi mau melahirkan.Mas Gibran hanya menghela nafas. Dia terus mengusap pinggangku dengan sabar. Walau terkadang omelan-omelan keluar dari mulutku.Tak lama, ruang rawat inap yang aku tempati mulai ramai. Kare
2 Tahun BerselangSore ini aku sedang berada di pesta ulang tahun Mama Elma. Tahun ini mama mertuaku itu memilih merayakan ulang tahunnya hanya dengan sebuah perayaan sederhana. Sehingga kami hanya mengadakan sebuah pesta kebun sederhana di halaman belakang rumah mewah keluarga Adinata. Hanya keluarga, kerabat, dan sahabat dekat Mama Elma yang diundang."Pasti Tante capek, ya? Ayo, duduk sini!" ujar Gea seraya menggeser kursinya untukku. Akupun mengikuti permintaannya, duduk manis dengan perut yang sudah sangat membuncit."Wah ... perut Tante makin membesar. Ini gak mungkin meledak 'kan, Tante?" Luna menatap perutku ngeri-ngeri sedap."Ya gak mungkin, sayang," timpal Kak Livy yang kebetulan juga duduk di meja yang sama dengan Kami."Gak mungkin? Perut ibu hamil itu elastis berarti ya, Ma?" tanya Luna penasaran.Kak Livy menganggukan kepalanya. Kakak iparku itu kemudian menjelaskan pada anak bungsunya bahwa atas kebesaran Tuhan, perut seorang wanita memang didesign untuk bisa menjadi r
"Selamat pagi, istriku," suara bariton Mas Gibran menyapa pagiku di hari pertama aku resmi menjadi Nyonya Gibran Maharsa Adinata.Ah ... gini ya rasanya sudah menikah. Bangun tidur sudah ada yang menyapa dengan mesra. Indah sekali rasanya awal hari kita."Shalat shubuh dulu, Sayang!" bisik Mas Gibran dengan mesra. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa, hanya menggeliat-liat manja di bahu atletisnya."Memangnya jam berapa sekarang?" tanyaku ogah-ogahan."Ini sudah jam 6 pagi. Perutku juga sudah keroncongan. Semalaman energiku habis memanjakan istriku," seloroh Mas Gibran.Hash! Memanjakan istri? Bukannya aku yang malah memanjakan dia? Sampai-sampai aku kelelahan seperti ini!Sepanjang malam Mas Gibran terus saja menyatukan jiwa raga kami. Meminta lagi dan lagi jatahnya sebagai seorang suami. Kakiku saja kini terasa sulit untuk digerakkan. Kedua pangkal pahaku terasa sangat perih. Belum lagi warna-warna kemerahan di sekujur tubuhku. Peta-peta kemerahan karya suami tercintaku ini ad
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Aku dan Mas Gibran sudah berada di salah satu kamar hotel tempat acara akad nikah dan resepsi kami digelar. Mas Gibran sengaja meminta Tian menyiapkan kamar president suite untuk kami berdua malam ini. Menurut Mas Gibran pasti Kami akan kelelahan jika harus pulang ke rumah setelah serangkaian acara dari pagi hingga malam."Akhirnya bisa selonjoran juga," gumam Mas Gibran yang baru saja mendaratkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan aku masih direpotkan dengan rambut landakku.Ampun deh ya, ini rambut kayaknya harus aku keramasi 5x baru bisa kembali normal. Padahal aku sudah meminta model rambut sesimple mungkin. Tapi tetap saja rambutku penuh hairspray seperti ini.Akupun bergegas ke kamar mandi. Memulai sesi keramas dengan menggunakan shampoo khusus yang disiapkan Kak Livy. Kata Kakak iparku, shampoo ini adalah shampoo khusus rambut landak et causa penggunaan hairspray. Shampoo andalan para pengantin baru!Ya ... semoga saja shampoo ini benar-benar memb
Malam harinya, resepsi pernikahan kami digelar. Masih di tempat yang sama namun dengan konsep acara yang berbeda.Pada akad nikah, kami menginginkan acara yang sakral dan hanya dihadiri keluarga dan sahabat. Sedangkan pada resepsi pernikahan, kesan mewah, megah, dan meriah sangat tampak di konsep acara.Selain itu tamu undangan yang hadir juga jauh lebih banyak pada acara resepsi malam ini. Jika pada akad nikah hanya dihadiri keluarga, kerabat, dan sahabat, pada resepsi malam ini tamu yang hadir datang dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pengusaha kelas atas negeri ini, para sosialita teman-teman Mama Elma, sampai beberapa selebriti terkenal.Astaga, Kak Livy benar-benar all out dalam mempersiapkan acara resepsi malam ini.Aku dan Mas Gibran bak ratu dan raja dalam semalam. Gaun nerwarna bronze yang aku gunakan dipadukan dengan tiara di atas kepalaku, membuatku tampil seperti ratu di buku dongeng yang biasa aku baca semasa kecil dulu. Apalagi di sampingku berdiri seorang pria
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Hari pernikahanku dengan Om Tampanku, Gibran Maharsa Adinata.Pukul 05.30 Kami sudah berada di salah satu hotel keluarga Adinata. Di ballroom hotel inilah pernikahan kami akan digelar. Dimulai dengan akad nikah di pagi hari, kemudian dilanjutkan dengan resepsi di malam hari.Sejak pukul 06.00 pagi tadi, seorang makeup artis ternama ibukota sudah memoles wajah blasteranku. Menurutnya butuh waktu sekitar 2 jam untuk makeup dan hairdo. Sedangkan akad nikah sendiri dimulai pukul 08.00 wib dengan ijab qabul harus terlaksana pada pukul 08.30 wib.Setelah makeup dan tatanan rambut selesai dikerjakan, aku mulai dibantu untuk memakai kebaya cantik yang sudah dibuatkan khusus untukku oleh mama mertua Kak Livy."Cantik sekali!" puji Shabina dan Mentari yang sudah siap menjadi pengiringku menuju meja akad."Iya, cantik sekali Kamu, Audrey!" puji mama mertua Kak Livy."Berkat makeup dan hairdo kak Bonita, ditambah baju buatan Tante yang luar biasa indah," balasku
Malam sudah larut. Mas Gibran tadi juga sudah mengabari bahwa dia hendak pulang dari rumah sakit. Dia menugaskan Theo, salah satu bodyguardnya yang lain untuk menemani Clara. Sedangkan Jay diminta kembali ke rumahku untuk menjagaku dan Mama.Ada kelegaan di hatiku ketika tau Mas Gibran sudah pulang dari rumah sakit. To be honest aku tidak rela Mas Gibran kembali bertemu Clara, apalagi tidak ada aku di sampingnya. Tapi ya mau gimana lagi? Mas Gibran tadi sudah berjanji akan menyusul Clara ke Rumah Sakit, sedangkan aku tidak mungkin ikut ke sana.Selain untuk melihat kondisi Aurora, Mas Gibran ke rumah sakit juga untuk memperingati Clara. Kalau dia kembali nekat, Mas Gibran sudah tidak akan lagi memaafkannya. Ini sudah ketiga kalinya Clara hendak mencelakaiku. Rasanya sudah lebih dari cukup memberi kesempatan pada penyanyi cantik itu.Namun untuk memberi efek jera, Mas Gibran tetap akan memberi hukuman pada Clara. Memang bukan melaporkan ke pihak berwajib, tapi Mas Gibran akan menyampai