"Maaf, sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini, Bu." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya ke Kepala HRD yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes.
"Kesalahan apa? Coba saya lihat."Wanita berpenampilan glamour usia 40 tahun dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang tadinya harus ditanda tangani Binar, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah calon karyawan barunya."Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," katanya dengan sikap cuek."Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staf administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang harusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar dengan hati-hati.Gemma nampak tersenyum sebentar, menatap Binar dengan sedikit sinis dan memandangi dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak disuruhnya salah satu stafnya untuk menghubungi wanita bernama Binar itu, langsung beredar kasak kusuk di bagian HRD yang mengatakan bahwa wanita itu memiliki hubungan spesial dengan bos besar mereka. Namun melihat penampilan Binar lebih teliti, Gemma jadi sedikit ragu dengan keyakinannya sendiri.Gemma sangat tahu wanita seperti apa yang sering berada di samping Abidzar selama setahun belakangan setelah kepergian istrinya. Penampilan Binar jelas tak bisa dibandingkan dengan para wanita yang pernah bersama dengan bosnya itu."Saya tidak tahu mengenai hal itu, tapi apa yang tertulis di sini semua sudah atas sepengetahuan big bos. Jadi, saya rasa tidak ada yang salah. Silahkan Anda tanda tangani saja jika tetap ingin bekerja di sini," ujar Gemma sedikit ketus.Binar menatap wanita di depannya dengan perasaan bimbang. Dia memang sangat menginginkan pekerjaan itu, tapi menjadi sekretaris bukan karir yang diinginkannya."Baik, Bu. Saya bersedia menandatangani ini." Dengan sedikit ragu, Binar pun meraih berkas dan mulai menggoreskan tanda tangannya di sana.Si Kepala HRD nampak puas melihat itu. Bagaimanapun, dia akan mendapat masalah jika sampai wanita di depannya menolak menandatangani kontrak kerja. Apalagi jika sampai sang bos marah, dia bisa dengan mudah kehilangan pekerjaan."Baik, terima kasih banyak, Nona Binar. Sekarang ikuti saya, Anda akan mulai bekerja hari ini." Gemma bangkit dan memberi isyarat pada Binar untuk mengikutinya. Binar bahkan tidak diberi kesempatan untuk kaget sebentar saja mengetahui fakta bahwa dirinya harus sudah mulai bekerja hari itu juga.Dengan langkah ragu, diikutinya juga wanita bertubuh sintal dan pakaian seksi itu menyusuri koridor menuju lift yang kemudian membawa mereka ke lantai atas.Saat pintu lift terbuka, sebuah counter resepsionis yang memanjang dari arah pintu menuju ke lorong pendek di lantai teratas gedung pencakar langit itu sudah menyambut. Dua wanita cantik dengan setelan blazer dan rok super pendek warna abu gelap nampak berbasa-basi sejenak dengan Si Kepala HRD.Binar tidak terlalu mengerti apa yang sedang mereka bicarakan dan mungkin saja dia memang tidak peduli karena terlalu sibuk dengan kegugupannya sendiri. Siapa yang menyangka, bahwa penampilannya yang kalah jauh dibanding dengan para karyawan wanita di kantor itu berhasil membawanya ke pekerjaan di perusahaan yang diimpikan banyak orang? Sampai detik itu pun, Binar masih juga belum mengerti.Tak lama kemudian, Binar sudah dibawa menuju ke sebuah ruangan kaca di sisi kanan koridor. Beberapa orang yang berada di dalam ruangan sontak menatap penuh selidik saat Gemma mengajaknya masuk dan memperkenalkan dirinya sebagai rekan kerja baru mereka.Dari lima wanita yang kebanyakan di ruangan itu, beruntung Binar ditempatkan di sebelah gadis berambut sebahu dengan kacamata tebal bernama Mili. Sebenarnya nama lengkapnya adalah Miley Chamadeo, tapi gadis itu bilang cukup dipanggil Mili saja agar lebih mudah. Entah kenapa namanya terdengar tidak biasa seperti itu. Mungkin dia keturunan orang luar, mengingat kulitnya memang putih bersih dan bermata sedikit sipit.Diantara empat wanita lainnya di ruangan itu, Mili terlihat paling ramah. Oleh Gemma, Mili juga ditugaskan untuk membantu Binar mempelajari job descriptionnya hari itu."Sebenarnya nggak banyak sih pekerjaan kita di sini. Cuma kadang permintaan bos itu aneh-aneh dan bikin kita semua stress," ucap Mili menjelaskan dengan mimik muka lucu."Oh iya kah? Contohnya bagaimana?" Binar mengernyit ke arah gadis yang dia taksir usianya masih jauh di bawahnya itu."Big bos itu galaknya luar biasa. Dia bisa merekrut orang di suatu menit, dan memecatnya di menit berikutnya jika dia tidak suka.""Benarkah?" Mata Binar langsung membulat. Itu benar-benar terdengar sangat menakutkan baginya."Iya, makanya semua pekerjaan kita harus se-perfect mungkin. Kamu tau nggak sih, yang ngurusin kebutuhan dia saja tuh orang sebanyak ini?" Mili menunjuk seisi ruangan dengan pulpen di tangannya. Maksudnya ingin menunjukkan pada Binar bahwa enam orang termasuk dirinya itu tugas utamanya hanya memenuhi semua kebutuhan sang bos."Jadi yang di sini semuanya sekretarisnya bos?" tanya Binar setengah berbisik."Bukan begitu juga sih. Tapi intinya, semua yang di sini tugasnya hanya memastikan kebutuhan bos terpenuhi.""Kebutuhan apa?" Binar penasaran."Apa saja. Apa pun," jawab Mili cuek."Apa pun?" Binar mengerutkan dahinya lagi. Baginya semua perkataan Mili itu terdengar sangat aneh.Mili mengangguk beberapa kali menanggapi keheranan rekan kerja barunya. Melihat itu, entah kenapa mendadak Binar jadi berpikiran buruk. Mengingat semua staf di ruangan berjenis kelamin wanita, berwajah cantik, dan berpenampilan seksi, kecuali dirinya tentu saja. Apakah bos mereka itu termasuk orang yang ... ah entah, Binar tidak berani melanjutkan pikirannya sendiri. Yang jelas, dia sudah mendapatkan pekerjaan dan dia harus bekerja dengan baik agar tidak mudah bisa dipecat."Binar," panggil Mili sambil melongokkan kepala di sekat meja kerja mereka. Binar bahkan belum habis berpikir tentang pembicaraan mereka sebelumnya soal bos killer itu."Ya?""Cek email ya? tugas-tugasmu udah aku kirim ke email kamu. Pelajari aja dulu hari ini sambil perhatikan apa yang kukerjakan. Oke?" Mili memberi kode dengan tangannya. Senyum gadis bernama Mili itu begitu manis, membuat Binar merasakan sedikit kenyamanan di tempat barunya yang beberapa saat lalu terasa sangat menyeramkan.Binar masih sibuk dengan laptop di depannya saat telepon internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi. "Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili. Setelah meletakkan pesawat telepon, Mili terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat wanita itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi. Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaan masing-masing. Namun tak berapa lama, telepon di meja Mili berdering lagi. Terlihat wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu. "Ada apa?" tanya Binar hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai. "Ooh." Binar hanya mengangguk. "Nggak usah kaget, Binar. Apa saja kerjaan kita akan selalu ada s
"Baru pulang?" Dhimas menyambut dengan tatapan tak suka, melihat Binar memasuki teras rumah. "Iya maaf, Mas. Tadi aku udah kirim pesan kan kalau langsung disuruh kerja hari ini?" "Sampai jam segini pulangnya?" protes Dhimas sambil melirik ke arloji di pergelangan tangan. Pukul 7 malam."Enggak Mas, sebenarnya dari kantor tadi jam 5. Tapi nunggu taksi onlinenya agak lama. Maaf ya, Mas?" Dengan takzim Binar mencium tangan sang suami, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah. Di ruang tengah, jagoan kecilnya terlihat masih asik di depan TV. "Ibu!" Melihat kedatangan Binar, Aaron langsung menghambur ke pelukan sang ibu. "Kok masih main? Udah maem belum, Sayang?" Binar berjongkok, mengusap kepala anaknya dengan lembut. Anak itu langsung mengangguk cepat.Binar menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di ambang dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah. "Makasih udah jagain Aaron ya, Mas," tatapnya haru. Dhimas hanya mengedikkan sebentar bahunya. Raut mukanya terlihat ma
Director's Room Melihat tulisan di atas pintu besar bernuansa abu tua di depannya saja membuat Binar berkeringat dingin. Bagaimana jika dia bertemu dengan pemilik ruangan itu? Binar memejamkan mata sejenak, mengatur nafas, sebelum akhirnya mengulurkan tangan bermaksud untuk mengetuk pintu di depannya. Namun belum sempat tangannya berhasil sampai, tiba-tiba pintu itu didorong dari dalam hingga membuat Binar hampir terjatuh karena tertabrak seseorang yang terburu-buru keluar dari ruangan itu. Tanpa mempedulikan Binar yang kaget setengah mati karena hampir ambruk, wanita cantik dengan setelan rok super pendek dan blazer warna putih tulang itu berjalan cepat sambil merapikan rambut dan bajunya yang terlihat sedikit berantakan. Apa yang telah terjadi di dalam sana? Binar mendadak bergidik ngeri membayangkan itu. Mungkinkah atasannya itu termasuk pria yang suka mesum di tempat kerja? Mengerikan sekali kalau dugaannya benar. Tanpa diperintah, Binar pun segera menegakkan badan, seolah i
"Nanti saja, aku belum selesai dengan kerjaanku," jawab pria itu ketus. Lalu terlihat kembali sibuk dengan pekerjaannya. Binar hanya menghela nafas berat. Ragu kembali menyerangnya. Meski dia sosok itu sama-sama memiliki sifat angkuh, tapi Abidzar kecil sepertinya lebih menyenangkan dari pria dewasa di hadapannya saat itu.Beberapa menit kemudian, nampak tangan kokoh pria itu bergeser mendorong berkas di depannya ke arah Binar. "Sudah selesai. Mau tanya apa?" ucapnya cepat. Kali ini dia memandang Binar dengan sorot tajam, membuat Binar mendadak jadi ciut nyali. "Ma-af, apa Anda ini ... Abidzar?" Bibir Binar kelu saat menyebutkan nama itu. Bagaimana jika dugaannya salah dan atasannya itu menjadi tersinggung karenanya? Keringat mulai bercucuran di balik kemejanya, padahal ruangan itu begitu dingin. Di luar dugaan, pria itu justru mengembangkan senyumnya setelah beberapa detik terdiam. "Ingatan kamu masih baik rupanya." Kalimat yang singkat, tapi mampu membuat mulut Binar membulat
Tujuh belas tahun yang lalu aku tak pernah menganggapnya ada. Bahkan, aku sering memilih untuk pura-pura tidur di dalam kamar rumah pakdhe saat dia dan teman-teman sebaya sengaja datang untuk mengajakku bermain. Aku tahu Binar menyukaiku dari beberapa teman sekelas kami yang membocorkannya. Anak ketua RT di kampung kakak dari papa tempat aku dititipkan untuk ber-Sekolah Menengah Tingkat Pertama itu, suka sekali menitipkan benda-benda aneh untukku lewat budhe. "Ini kue yang bikin Binar sendiri loh, Bi. Kamu nggak mau coba nih?" goda istri pakdheku itu sambil menyomot sepotong kue kering dari toples yang dicondongkan ke arahku. Memang sih kuakui, makanan-makanan yang dikirimkan Binar biasanya baunya sangat menggoda. Tapi rasa gengsi membuatku enggan menyentuhnya. Tak hanya makanan, dia juga sering memberikan benda-benda yang menurutku sangat norak, misalnya saja: buku cerita, pensil atau pulpen dengan bentuk yang membuat alisku berkerut, gantungan kunci, dan masih banyak lagi. Lagi-la
Sedari subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya. "Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu, Mbaaak! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang. "Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari tadi berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan kebingungan. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar. "Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius. "I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masi
Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamarnya. Hari itu, dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya. Sudah hampir satu jam lamanya dia hanya berdiri terbengong di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini. Usai melirik jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur, Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasa
Binar sebenarnya berbohong saat mengatakan pada Dhimas hanya akan pergi sebentar untuk interview pekerjaan. Tempat yang ditujunya membutuhkan paling tidak satu setengah jam perjalanan jika dia menggunakan transportasi umum seperti bus. Jika dengan kereta api, akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Itu sebabnya Binar memutuskan memesan taksi. Selain karena belum begitu paham lokasi kantor perusahaan tersebut, Binar juga tak ingin telat tiba di sana. Apalagi email menyebutkan bahwa dirinya harus sudah tiba minimal 30 menit sebelum interview dimulai. Sebenarnya Binar merasa sayang harus mengeluarkan biaya cukup mahal untuk menyewa taksi dengan jarak sejauh itu. Tapi Binar benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa diterima di perusahaan yang satu itu. Vibes Property merupakan salah satu dari anak perusahaan Three Vibes Holdings yang mencuat pesat dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak dipegang oleh pewaris tunggal dari keluarga Adhitama.Dari jaman kakek buyutnya–sang perin
"Nanti saja, aku belum selesai dengan kerjaanku," jawab pria itu ketus. Lalu terlihat kembali sibuk dengan pekerjaannya. Binar hanya menghela nafas berat. Ragu kembali menyerangnya. Meski dia sosok itu sama-sama memiliki sifat angkuh, tapi Abidzar kecil sepertinya lebih menyenangkan dari pria dewasa di hadapannya saat itu.Beberapa menit kemudian, nampak tangan kokoh pria itu bergeser mendorong berkas di depannya ke arah Binar. "Sudah selesai. Mau tanya apa?" ucapnya cepat. Kali ini dia memandang Binar dengan sorot tajam, membuat Binar mendadak jadi ciut nyali. "Ma-af, apa Anda ini ... Abidzar?" Bibir Binar kelu saat menyebutkan nama itu. Bagaimana jika dugaannya salah dan atasannya itu menjadi tersinggung karenanya? Keringat mulai bercucuran di balik kemejanya, padahal ruangan itu begitu dingin. Di luar dugaan, pria itu justru mengembangkan senyumnya setelah beberapa detik terdiam. "Ingatan kamu masih baik rupanya." Kalimat yang singkat, tapi mampu membuat mulut Binar membulat
Director's Room Melihat tulisan di atas pintu besar bernuansa abu tua di depannya saja membuat Binar berkeringat dingin. Bagaimana jika dia bertemu dengan pemilik ruangan itu? Binar memejamkan mata sejenak, mengatur nafas, sebelum akhirnya mengulurkan tangan bermaksud untuk mengetuk pintu di depannya. Namun belum sempat tangannya berhasil sampai, tiba-tiba pintu itu didorong dari dalam hingga membuat Binar hampir terjatuh karena tertabrak seseorang yang terburu-buru keluar dari ruangan itu. Tanpa mempedulikan Binar yang kaget setengah mati karena hampir ambruk, wanita cantik dengan setelan rok super pendek dan blazer warna putih tulang itu berjalan cepat sambil merapikan rambut dan bajunya yang terlihat sedikit berantakan. Apa yang telah terjadi di dalam sana? Binar mendadak bergidik ngeri membayangkan itu. Mungkinkah atasannya itu termasuk pria yang suka mesum di tempat kerja? Mengerikan sekali kalau dugaannya benar. Tanpa diperintah, Binar pun segera menegakkan badan, seolah i
"Baru pulang?" Dhimas menyambut dengan tatapan tak suka, melihat Binar memasuki teras rumah. "Iya maaf, Mas. Tadi aku udah kirim pesan kan kalau langsung disuruh kerja hari ini?" "Sampai jam segini pulangnya?" protes Dhimas sambil melirik ke arloji di pergelangan tangan. Pukul 7 malam."Enggak Mas, sebenarnya dari kantor tadi jam 5. Tapi nunggu taksi onlinenya agak lama. Maaf ya, Mas?" Dengan takzim Binar mencium tangan sang suami, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah. Di ruang tengah, jagoan kecilnya terlihat masih asik di depan TV. "Ibu!" Melihat kedatangan Binar, Aaron langsung menghambur ke pelukan sang ibu. "Kok masih main? Udah maem belum, Sayang?" Binar berjongkok, mengusap kepala anaknya dengan lembut. Anak itu langsung mengangguk cepat.Binar menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di ambang dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah. "Makasih udah jagain Aaron ya, Mas," tatapnya haru. Dhimas hanya mengedikkan sebentar bahunya. Raut mukanya terlihat ma
Binar masih sibuk dengan laptop di depannya saat telepon internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi. "Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili. Setelah meletakkan pesawat telepon, Mili terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat wanita itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi. Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaan masing-masing. Namun tak berapa lama, telepon di meja Mili berdering lagi. Terlihat wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu. "Ada apa?" tanya Binar hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai. "Ooh." Binar hanya mengangguk. "Nggak usah kaget, Binar. Apa saja kerjaan kita akan selalu ada s
"Maaf, sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini, Bu." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya ke Kepala HRD yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes. "Kesalahan apa? Coba saya lihat." Wanita berpenampilan glamour usia 40 tahun dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang tadinya harus ditanda tangani Binar, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah calon karyawan barunya. "Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," katanya dengan sikap cuek. "Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staf administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang harusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar dengan hati-hati. Gemma nampak tersenyum sebentar, menatap Binar dengan sedikit sinis dan memandangi dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak disuruhnya salah satu stafnya untuk menghubungi wanita bernama Binar itu, langsung beredar kasak kusuk di bagian HRD yang mengatakan bahwa wanita
Kacau!Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.Pertemuan tak sengaja dengan pria dari masa lalu membuatnya kehilangan konsentrasi. Dan parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar. 'Ini gila!' rutuknya dalam hati. Belasan tahun telah berlalu, namun pesona seorang Abidzar nyatanya masih bisa mempengaruhinya sedalam itu. Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Optimismenya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu sekarang hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview super kacaunya itu. Hilang sudah harapannya untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya selama ini. Walau sebenarnya masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak putus harapan. Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa meneba
Binar sebenarnya berbohong saat mengatakan pada Dhimas hanya akan pergi sebentar untuk interview pekerjaan. Tempat yang ditujunya membutuhkan paling tidak satu setengah jam perjalanan jika dia menggunakan transportasi umum seperti bus. Jika dengan kereta api, akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Itu sebabnya Binar memutuskan memesan taksi. Selain karena belum begitu paham lokasi kantor perusahaan tersebut, Binar juga tak ingin telat tiba di sana. Apalagi email menyebutkan bahwa dirinya harus sudah tiba minimal 30 menit sebelum interview dimulai. Sebenarnya Binar merasa sayang harus mengeluarkan biaya cukup mahal untuk menyewa taksi dengan jarak sejauh itu. Tapi Binar benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa diterima di perusahaan yang satu itu. Vibes Property merupakan salah satu dari anak perusahaan Three Vibes Holdings yang mencuat pesat dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak dipegang oleh pewaris tunggal dari keluarga Adhitama.Dari jaman kakek buyutnya–sang perin
Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamarnya. Hari itu, dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya. Sudah hampir satu jam lamanya dia hanya berdiri terbengong di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini. Usai melirik jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur, Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasa
Sedari subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya. "Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu, Mbaaak! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang. "Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari tadi berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan kebingungan. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar. "Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius. "I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masi