Share

Bab 2

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-12 05:03:56

Sedari subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya.

"Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu, Mbaaak! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang.

"Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari tadi berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan kebingungan. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar.

"Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius.

"I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masih kotor ….," jelas si pelayan muda.

Wanita tua yang sudah mengabdi belasan tahun pada keluarga kaya itu menatap tepat ke wajah juniornya. Terlihat sekali bahwa dia sangat kesal dengan kinerja gadis berusia dua puluhan itu. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya beralih pandang ke putri sang majikan.

"Non Diva mau pakai sepatu yang pink?" tanya wanita tua bernama Maryam itu dengan lembut.

"Iya," jawab lugas anak itu.

"Bagaimana kalau warna sepatunya yang lebih serasi dengan baju yang sedang Non pakai sekarang aja? Biar terlihat lebih bagus," bujuknya. Namun sepertinya sia-sia. Anak itu tetap merajuk, tak mau menurut.

"Tapi aku mau yang pink, Bi'. Aku nggak mau yang lain!" bentaknya.

"Baiklah, kalau begitu biar bibi' bersihkan dulu sepatunya. Non Diva tunggu sebentar ya?"

"Nggak mau! Kelamaan! Aku maunya sekarang! Titik!" Teriakan anak itu justru makin keras, membuat Maryam panik seketika. Wajahnya pun mulai pucat saat kemudian muncul sesosok pria gagah berwajah rupawan dengan balutan setelan jas bernuansa abu gelap memasuki ruangan. Wajah pelayan muda yang sedari tadi hanya menunduk pun tak kalah pucatnya.

"Ada apa ini?!" tanya pria pemilik suara bariton itu dengan nada tinggi. Raut mukanya menampakkan ketidak-sukaan melihat wajah putri semata wayangnya cemberut.

"Ma-afkan saya, Pak Abi. Non Diva ingin memakai sepatu pink-nya yang masih kotor. Saya belum sempat mencucinya Pak, maafkan saya," ujar Maryam dengan terbata.

"Terus kenapa? Kamu kan bisa bersihin sepatu itu sekarang, Bi'. Anakku pengen pakai itu, ya ikuti saja apa maunya. Kerja kayak gini aja apa kalian nggak bisa?!" Kalimat bernada bentakan itu membuat nyali dua asisten rumah tangga itu langsung ciut.

"Ma-maaf, Pak. Baik, akan saya cuci segera." Maryam tak berani membantah. Dia langsung bangkit dan bermaksud meninggalkan ruangan.

"Kerja gitu aja nggak becus!" Masih terdengar oleh telinga tuanya bahwa pria itu kembali mengumpat.

"Tapi, Pak …." Berbeda dengan Maryam yang langsung melangkahkan kaki, si pelayan muda justru terkesan ingin membela diri. Melihat gelagat itu, Maryam segera mengurungkan niatnya pergi dari ruangan itu dan bermaksud mencegah juniornya melakukan hal konyol.

"Baik Pak, akan segera kami bersihkan. Ayo kita ke bawah!" ajaknya.

"Cepatlah! Jangan sampai kalian membuat anakku menunggu," kata ketus pria itu. "Dan kamu! Sudah berapa lama kamu kerja di sini?!" Dengan geram pria itu menatap si pelayan muda. "Kerja Kamu nggak beres. Kamu dipecat hari ini!" lanjutnya dengan gusar.

"Ta-pi Pak, Saya …." Seolah tak terima dengan keputusan tuannya, wanita muda itu terlihat maju satu langkah untuk memprotes. Tapi sebelum dia sempat melanjutkan kalimatnya, pria bernama lengkap Abidzar Aidan Adhitama itu sudah mendahuluinya berucap.

"Aku tidak pernah menerima alasan untuk kesalahan apapun. Tinggalkan rumah ini segera! Bi', kamu urus pesangon untuknya!" perintahnya pada Maryam. Tanpa bisa membantah, pelayan senior itu pun hanya bisa mengangguk patuh pada perintah sang majikan.

*****

Satu jam lamanya Abidzar terpaksa harus menunda keberangkatan ke kantor hanya karena harus menunggui putri kecilnya yang sedang merajuk, hingga sepatu yang diinginkannya kembali bisa dipakai.

Setengah jam perjalanan dengan salah satu koleksi mobil mewahnya, barulah lelaki dengan garis wajah tegas dan sorot mata tajam itu tiba di salah satu gedung perkantoran pencakar langit di pusat kota.

Melihatnya turun dari mobil, seorang petugas keamanan langsung sigap menggantikan posisi untuk memarkirkan kendaraannya itu di tempat khusus. Sementara seorang petugas lainnya segera meraih tas kerja dan mengiringi langkah sang bos memasuki gedung 15 lantai yang merupakan kantor resmi Three Vibes Holdings dimana lebih dari 60 persen sahamnya adalah milik pribadi Abidzar.

Salah satu orang kepercayaan menyambutnya di lobby dan segera pula mengikuti langkahnya menuju lift dengan mulut berkomat-kamit mengucapkan sesuatu.

"Hari ini ada meeting jam sembilan dengan divisi marketing, Pak. Lalu jam satu, bapak sudah harus ada di Hotel El Amor untuk bertemu klien dari Jepang," jelas lelaki berperawakan tambun itu sambil terengah , mengimbangi langkah kaki jenjang sang bos. Lelaki berambut klimis itu bermaksud melanjutkan kalimatnya usai menghela nafas sejenak, tapi Abidzar ternyata mendahuluinya.

"Kenapa kamu yang membacakan jadwalku, Steve? Kemana Sheila?"

"Sekretaris pribadi Anda sedang ijin hari ini, Pak. Dia sakit," jawabnya dengan buru-buru.

"Sheila sakit?" Dahi Abidzar berkerut. Tapi sejurus kemudian, dia menyunggingkan senyum miringnya yang meremehkan. Baru sebulan bekerja dengannya, wanita seksi dengan rambut diwarna pirang itu sudah ambruk.

'Wanita lemah,' batin Abidzar sinis.

"Kirim surat pemecatan untuknya hari ini dan carikan aku sekretaris baru secepatnya!" perintahnya tanpa basa-basi.

Steven Chaniago terbengong. "Ta-pi, Pak …." Orang berstatus paling dekat dengan Abidzar di kantor itu nampak ingin memberi penjelasan. Namun seperti biasa, raut muka sang bos menyiratkan ketidak-sukaannya.

"Steve, kamu tau kan aku paling nggak suka kata 'tapi'?" Mata tajam itu menatap tepat pada bawahannya.

"Iy-ya, Pak. Maafkan saya," sesal Steve.

"So, do it! Don't talk too much!"

Lelaki berusia nyaris kepala empat itu nampak menghembuskan nafas pelan dan hati-hati. Tentu dia tak ingin dilihat sedang mengeluh oleh atasannya yang berdiri dengan gusar di sebelahnya. Keringat pun segera bercucuran di balik kemeja Steve, padahal di dalam lift itu suhunya sangatlah dingin.

Bab terkait

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 3

    Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamarnya. Hari itu, dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya. Sudah hampir satu jam lamanya dia hanya berdiri terbengong di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini. Usai melirik jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur, Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasa

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-12
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 4

    Binar sebenarnya berbohong saat mengatakan pada Dhimas hanya akan pergi sebentar untuk interview pekerjaan. Tempat yang ditujunya membutuhkan paling tidak satu setengah jam perjalanan jika dia menggunakan transportasi umum seperti bus. Jika dengan kereta api, akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Itu sebabnya Binar memutuskan memesan taksi. Selain karena belum begitu paham lokasi kantor perusahaan tersebut, Binar juga tak ingin telat tiba di sana. Apalagi email menyebutkan bahwa dirinya harus sudah tiba minimal 30 menit sebelum interview dimulai. Sebenarnya Binar merasa sayang harus mengeluarkan biaya cukup mahal untuk menyewa taksi dengan jarak sejauh itu. Tapi Binar benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa diterima di perusahaan yang satu itu. Vibes Property merupakan salah satu dari anak perusahaan Three Vibes Holdings yang mencuat pesat dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak dipegang oleh pewaris tunggal dari keluarga Adhitama.Dari jaman kakek buyutnya–sang perin

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-19
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 5

    Kacau!Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.Pertemuan tak sengaja dengan pria dari masa lalu membuatnya kehilangan konsentrasi. Dan parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar. 'Ini gila!' rutuknya dalam hati. Belasan tahun telah berlalu, namun pesona seorang Abidzar nyatanya masih bisa mempengaruhinya sedalam itu. Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Optimismenya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu sekarang hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview super kacaunya itu. Hilang sudah harapannya untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya selama ini. Walau sebenarnya masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak putus harapan. Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa meneba

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-31
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 6

    "Maaf, sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini, Bu." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya ke Kepala HRD yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes. "Kesalahan apa? Coba saya lihat." Wanita berpenampilan glamour usia 40 tahun dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang tadinya harus ditanda tangani Binar, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah calon karyawan barunya. "Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," katanya dengan sikap cuek. "Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staf administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang harusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar dengan hati-hati. Gemma nampak tersenyum sebentar, menatap Binar dengan sedikit sinis dan memandangi dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak disuruhnya salah satu stafnya untuk menghubungi wanita bernama Binar itu, langsung beredar kasak kusuk di bagian HRD yang mengatakan bahwa wanita

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-04
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 7

    Binar masih sibuk dengan laptop di depannya saat telepon internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi. "Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili. Setelah meletakkan pesawat telepon, Mili terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat wanita itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi. Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaan masing-masing. Namun tak berapa lama, telepon di meja Mili berdering lagi. Terlihat wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu. "Ada apa?" tanya Binar hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai. "Ooh." Binar hanya mengangguk. "Nggak usah kaget, Binar. Apa saja kerjaan kita akan selalu ada s

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 8

    "Baru pulang?" Dhimas menyambut dengan tatapan tak suka, melihat Binar memasuki teras rumah. "Iya maaf, Mas. Tadi aku udah kirim pesan kan kalau langsung disuruh kerja hari ini?" "Sampai jam segini pulangnya?" protes Dhimas sambil melirik ke arloji di pergelangan tangan. Pukul 7 malam."Enggak Mas, sebenarnya dari kantor tadi jam 5. Tapi nunggu taksi onlinenya agak lama. Maaf ya, Mas?" Dengan takzim Binar mencium tangan sang suami, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah. Di ruang tengah, jagoan kecilnya terlihat masih asik di depan TV. "Ibu!" Melihat kedatangan Binar, Aaron langsung menghambur ke pelukan sang ibu. "Kok masih main? Udah maem belum, Sayang?" Binar berjongkok, mengusap kepala anaknya dengan lembut. Anak itu langsung mengangguk cepat.Binar menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di ambang dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah. "Makasih udah jagain Aaron ya, Mas," tatapnya haru. Dhimas hanya mengedikkan sebentar bahunya. Raut mukanya terlihat ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-02
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 9

    Director's Room Melihat tulisan di atas pintu besar bernuansa abu tua di depannya saja membuat Binar berkeringat dingin. Bagaimana jika dia bertemu dengan pemilik ruangan itu? Binar memejamkan mata sejenak, mengatur nafas, sebelum akhirnya mengulurkan tangan bermaksud untuk mengetuk pintu di depannya. Namun belum sempat tangannya berhasil sampai, tiba-tiba pintu itu didorong dari dalam hingga membuat Binar hampir terjatuh karena tertabrak seseorang yang terburu-buru keluar dari ruangan itu. Tanpa mempedulikan Binar yang kaget setengah mati karena hampir ambruk, wanita cantik dengan setelan rok super pendek dan blazer warna putih tulang itu berjalan cepat sambil merapikan rambut dan bajunya yang terlihat sedikit berantakan. Apa yang telah terjadi di dalam sana? Binar mendadak bergidik ngeri membayangkan itu. Mungkinkah atasannya itu termasuk pria yang suka mesum di tempat kerja? Mengerikan sekali kalau dugaannya benar. Tanpa diperintah, Binar pun segera menegakkan badan, seolah i

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-25
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 10

    "Nanti saja, aku belum selesai dengan kerjaanku," jawab pria itu ketus. Lalu terlihat kembali sibuk dengan pekerjaannya. Binar hanya menghela nafas berat. Ragu kembali menyerangnya. Meski dia sosok itu sama-sama memiliki sifat angkuh, tapi Abidzar kecil sepertinya lebih menyenangkan dari pria dewasa di hadapannya saat itu.Beberapa menit kemudian, nampak tangan kokoh pria itu bergeser mendorong berkas di depannya ke arah Binar. "Sudah selesai. Mau tanya apa?" ucapnya cepat. Kali ini dia memandang Binar dengan sorot tajam, membuat Binar mendadak jadi ciut nyali. "Ma-af, apa Anda ini ... Abidzar?" Bibir Binar kelu saat menyebutkan nama itu. Bagaimana jika dugaannya salah dan atasannya itu menjadi tersinggung karenanya? Keringat mulai bercucuran di balik kemejanya, padahal ruangan itu begitu dingin. Di luar dugaan, pria itu justru mengembangkan senyumnya setelah beberapa detik terdiam. "Ingatan kamu masih baik rupanya." Kalimat yang singkat, tapi mampu membuat mulut Binar membulat

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-25

Bab terbaru

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 10

    "Nanti saja, aku belum selesai dengan kerjaanku," jawab pria itu ketus. Lalu terlihat kembali sibuk dengan pekerjaannya. Binar hanya menghela nafas berat. Ragu kembali menyerangnya. Meski dia sosok itu sama-sama memiliki sifat angkuh, tapi Abidzar kecil sepertinya lebih menyenangkan dari pria dewasa di hadapannya saat itu.Beberapa menit kemudian, nampak tangan kokoh pria itu bergeser mendorong berkas di depannya ke arah Binar. "Sudah selesai. Mau tanya apa?" ucapnya cepat. Kali ini dia memandang Binar dengan sorot tajam, membuat Binar mendadak jadi ciut nyali. "Ma-af, apa Anda ini ... Abidzar?" Bibir Binar kelu saat menyebutkan nama itu. Bagaimana jika dugaannya salah dan atasannya itu menjadi tersinggung karenanya? Keringat mulai bercucuran di balik kemejanya, padahal ruangan itu begitu dingin. Di luar dugaan, pria itu justru mengembangkan senyumnya setelah beberapa detik terdiam. "Ingatan kamu masih baik rupanya." Kalimat yang singkat, tapi mampu membuat mulut Binar membulat

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 9

    Director's Room Melihat tulisan di atas pintu besar bernuansa abu tua di depannya saja membuat Binar berkeringat dingin. Bagaimana jika dia bertemu dengan pemilik ruangan itu? Binar memejamkan mata sejenak, mengatur nafas, sebelum akhirnya mengulurkan tangan bermaksud untuk mengetuk pintu di depannya. Namun belum sempat tangannya berhasil sampai, tiba-tiba pintu itu didorong dari dalam hingga membuat Binar hampir terjatuh karena tertabrak seseorang yang terburu-buru keluar dari ruangan itu. Tanpa mempedulikan Binar yang kaget setengah mati karena hampir ambruk, wanita cantik dengan setelan rok super pendek dan blazer warna putih tulang itu berjalan cepat sambil merapikan rambut dan bajunya yang terlihat sedikit berantakan. Apa yang telah terjadi di dalam sana? Binar mendadak bergidik ngeri membayangkan itu. Mungkinkah atasannya itu termasuk pria yang suka mesum di tempat kerja? Mengerikan sekali kalau dugaannya benar. Tanpa diperintah, Binar pun segera menegakkan badan, seolah i

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 8

    "Baru pulang?" Dhimas menyambut dengan tatapan tak suka, melihat Binar memasuki teras rumah. "Iya maaf, Mas. Tadi aku udah kirim pesan kan kalau langsung disuruh kerja hari ini?" "Sampai jam segini pulangnya?" protes Dhimas sambil melirik ke arloji di pergelangan tangan. Pukul 7 malam."Enggak Mas, sebenarnya dari kantor tadi jam 5. Tapi nunggu taksi onlinenya agak lama. Maaf ya, Mas?" Dengan takzim Binar mencium tangan sang suami, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah. Di ruang tengah, jagoan kecilnya terlihat masih asik di depan TV. "Ibu!" Melihat kedatangan Binar, Aaron langsung menghambur ke pelukan sang ibu. "Kok masih main? Udah maem belum, Sayang?" Binar berjongkok, mengusap kepala anaknya dengan lembut. Anak itu langsung mengangguk cepat.Binar menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di ambang dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah. "Makasih udah jagain Aaron ya, Mas," tatapnya haru. Dhimas hanya mengedikkan sebentar bahunya. Raut mukanya terlihat ma

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 7

    Binar masih sibuk dengan laptop di depannya saat telepon internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi. "Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili. Setelah meletakkan pesawat telepon, Mili terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat wanita itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi. Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaan masing-masing. Namun tak berapa lama, telepon di meja Mili berdering lagi. Terlihat wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu. "Ada apa?" tanya Binar hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai. "Ooh." Binar hanya mengangguk. "Nggak usah kaget, Binar. Apa saja kerjaan kita akan selalu ada s

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 6

    "Maaf, sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini, Bu." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya ke Kepala HRD yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes. "Kesalahan apa? Coba saya lihat." Wanita berpenampilan glamour usia 40 tahun dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang tadinya harus ditanda tangani Binar, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah calon karyawan barunya. "Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," katanya dengan sikap cuek. "Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staf administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang harusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar dengan hati-hati. Gemma nampak tersenyum sebentar, menatap Binar dengan sedikit sinis dan memandangi dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak disuruhnya salah satu stafnya untuk menghubungi wanita bernama Binar itu, langsung beredar kasak kusuk di bagian HRD yang mengatakan bahwa wanita

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 5

    Kacau!Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.Pertemuan tak sengaja dengan pria dari masa lalu membuatnya kehilangan konsentrasi. Dan parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar. 'Ini gila!' rutuknya dalam hati. Belasan tahun telah berlalu, namun pesona seorang Abidzar nyatanya masih bisa mempengaruhinya sedalam itu. Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Optimismenya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu sekarang hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview super kacaunya itu. Hilang sudah harapannya untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya selama ini. Walau sebenarnya masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak putus harapan. Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa meneba

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 4

    Binar sebenarnya berbohong saat mengatakan pada Dhimas hanya akan pergi sebentar untuk interview pekerjaan. Tempat yang ditujunya membutuhkan paling tidak satu setengah jam perjalanan jika dia menggunakan transportasi umum seperti bus. Jika dengan kereta api, akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Itu sebabnya Binar memutuskan memesan taksi. Selain karena belum begitu paham lokasi kantor perusahaan tersebut, Binar juga tak ingin telat tiba di sana. Apalagi email menyebutkan bahwa dirinya harus sudah tiba minimal 30 menit sebelum interview dimulai. Sebenarnya Binar merasa sayang harus mengeluarkan biaya cukup mahal untuk menyewa taksi dengan jarak sejauh itu. Tapi Binar benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa diterima di perusahaan yang satu itu. Vibes Property merupakan salah satu dari anak perusahaan Three Vibes Holdings yang mencuat pesat dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak dipegang oleh pewaris tunggal dari keluarga Adhitama.Dari jaman kakek buyutnya–sang perin

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 3

    Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamarnya. Hari itu, dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya. Sudah hampir satu jam lamanya dia hanya berdiri terbengong di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini. Usai melirik jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur, Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasa

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 2

    Sedari subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya. "Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu, Mbaaak! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang. "Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari tadi berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan kebingungan. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar. "Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius. "I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status