Share

Bab 5

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-31 10:03:05

Kacau!

Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.

Pertemuan tak sengaja dengan pria dari masa lalu membuatnya kehilangan konsentrasi. Dan parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar.

'Ini gila!' rutuknya dalam hati.

Belasan tahun telah berlalu, namun pesona seorang Abidzar nyatanya masih bisa mempengaruhinya sedalam itu.

Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Optimismenya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu sekarang hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview super kacaunya itu.

Hilang sudah harapannya untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya selama ini. Walau sebenarnya masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak putus harapan.

Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada wawancara kerja istrinya hari itu. Wanita itu jarang bisa menyembunyikan warna hatinya dan Dhimas tahu saat melihatnya pulang dengan wajah tertekuk, maka sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.

Dhimas mengenal Binar sebagai sosok yang sangat ekspresif. Dia bisa menggambarkan saat-saat sedih atau bahagia dengan cara yang gampang ditebak. Dan langkah kaki Binar yang terlihat begitu berat menapaki rerumputan halaman rumah mereka, menggambarkan jelas pada Dhimas bagaimana hasil dari usahanya hari itu.

"Gimana, Sayang?" Pertanyaan basa-basi yang meluncur dari mulut suaminya, membuat Binar teringat kembali untuk mengambil nafas panjang. Lalu dengan gontai, wanita itu menuju sofa ruang tamu dan mendudukkan diri dengan lemas di sana.

"Nggak diterima deh Mas kayaknya."

"Masa'? Perusahaan mana yang sebodoh itu menolak untuk mempekerjakan istriku?" Dhimas ikut duduk di samping Binar setelah sebelumnya mengambilkan sebotol air mineral dingin dari lemari es di dapur.

Binar sangat tahu kalimat seperti itu memang selalu digunakan suaminya untuk menghiburnya saja. Dhimas selalu tahu bagaimana harus bersikap saat istrinya itu sedang merasa sedih.

"Sudah, jangan sedih dong. Tuh diliatin Aaron," tunjuk Dhimas pada buah hati mereka yang sedang bermain di lantai.

"Nggak sedih juga sih Mas sebenarnya. Cuma sayang aja, soalnya itu perusahaan paling bonafit yang aku masuki lamaran. Kalau bisa diterima disitu, pasti kelar semua masalah kita." Binar menghembuskan nafas panjang, lalu beranjak bangkit.

"Ntar ya Mas, aku ke kamar dulu. Mas udah makan belum?"

"Belum. Kan nungguin kamu pulang."

"Aaron juga belum makan?"

"Sudah. Tadi sudah aku suapin. Habis banyak kok makannya."

"Ya udah kalau gitu. Aku ganti baju dulu, habis itu kita makan ya, Mas?"

"Iyaa. Senyum dulu dong tapi," canda Dhimas seperti biasa.

Dan Binar pun dengan terpaksa memunculkan wajah badutnya di hadapan suaminya. Selalu saja seperti itu, berpura-pura tersenyum padahal hatinya sedang sangat kacau.

*****

Beberapa menit menikmati kebersamaan makan siangnya dengan Dhimas tanpa suara di meja makan, tiba-tiba ponsel yang diletakkannya di samping piring makan berbunyi. Nomor tidak dikenal. Tapi terlihat deretan angka dari nomor lokal. Siapa?

Ditelannya makanan yang masih lumayan banyak di mulut dengan susah payah sebelum akhirnya Binar mengangkat panggilan itu.

"Ya?" sapanya.

"Dengan Kak Binar Kanaya Shasmita?" Suara seksi dan formal seorang wanita dari seberang telepon.

"Betul, saya sendiri."

"Kami dari Three Vibes Holdings, ingin mengucapkan selamat karena anda telah diterima bekerja pada perusahaan kami, Kak. Dan silahkan datang ke kantor kami di bagian HRD besok pagi untuk menandatangani perjanjian kontrak kerjanya."

"Apa? Saya? Maaf, tapi anda tidak sedang salah orang kan?"

Entah harus bahagia atau kaget. Namun Binar merasa sedikit aneh kenapa dia bisa menerima telepon dari perusahaan elit itu yang mengabarkan bahwa dirinya diterima bekerja di sana.

'Ini pasti salah,' pikirnya.

"Nama yang saya sebutkan di awal tadi benar Anda kan, Kak?" tanya si wanita di seberang sana setelah terdiam beberapa saat.

"Iya, benar itu nama saya."

"Tanggal lahir 12 November?"

"Benar."

"Alamat di jalan perisai raya nomor 40?"

"Iya, itu alamat saya."

"Berarti kami tidak salah. Sekali lagi selamat, Kak Binar. Kami tunggu kehadiran Anda besok pagi," kata si wanita di telepon. Dan kali ini dengan nada lebih ramah dari saat awal menelpon.

Binar masih terpaku di kursinya setelah sambungan telepon itu terputus. Sementara di kursinya, Dhimas terlihat mengerutkan dahi.

"A-ku diterima kerja, Mas." Ucapannya seperti tercekat, tidak percaya.

"Benarkah?" Senyum Dhimas mulai mengembang terpaksa di bibirnya yang masih mengunyah makan siangnya. Sejujurnya dia sangat heran dengan kabar itu karena biasanya gambaran wajah Binar tidak pernah salah. Jika dia sedih, maka sebenarnya itulah yang sedang terjadi padanya. Namun kesedihan istrinya kali ini ternyata sepenuhnya tidak beralasan.

*****

Sementara itu, empat jam sebelumnya, di ruang kerjanya yang super mewah bernuansa dark grey, Abidzar berdiri terdiam memandang jauh ke luar dinding kaca besar yang mengelilingi ruangan itu. Pemandangan yang paling dia sukai selama ini. Gedung-gedung pencakar langit di depannya membuatnya merasa seolah sedang berada di angkasa tanpa batas.

Tak lama kemudian, dia pun melangkah menuju meja kerjanya, menekan sebuah tombol di saluran internal yang menghubungkan antar bagian di kantornya.

Dari seberang, didengarnya suara Stephen Chaniago yang seperti biasa, sedikit gugup.

"Bagaimana rekrutmen karyawan baru hari ini?"

"Masih berlangsung, Pak," jawab Steve singkat. Untung saja dia telah menyempatkan diri mampir ke ruangan interview sebelum masuk ke ruang kerjanya. Jika tidak, dia pasti akan salah menjawab pertanyaan dari sang bos dan sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi setelahnya.

"Aku mau seorang wanita bernama Binar untuk ditempatkan di posisi sekretaris menggantikan sekretaris lamaku." Kalimat itu terdengar sangat memerintah. Tapi tentu tidak terlalu mengagetkan untuk Steve.

"Binar? Siapa dia, Pak?" tanya pria bertubuh kurus tinggi itu.

"Pergilah ke ruang interview dan temukan dia untukku."

"Baik, Pak."

Stephen Chaniago pun segera menuju ke ruang interview dimana masih sedang berlangsung sesi wawancara untuk beberapa calon karyawan baru di perusahaan itu. Namun tak berapa lama kemudian, Steve ke luar dengan tergesa dari ruangan dan segera menghubungi ponsel pribadi bosnya.

"Maaf Pak, tapi nama yang Anda sebutkan tadi melamar untuk posisi administrasi, bukan sekretaris," jelasnya di telepon setelah Abidzar mengangkatnya.

"Steve!" panggil si bos dari seberang.

"Ya, Pak?"

"Apa aku harus mengajarimu lagi bagaimana caranya bekerja denganku?" Nada bicara yang sangat dingin, dan Steve tahu apa artinya.

"Baik, Pak. Ma-afkan saya. Saya mengerti. Akan segera saya urus."

"Good! Siapkan kontrak kerjanya secepatnya. Aku mau dia sudah ada di sini besok pagi."

"Baik, Pak."

Steve pun kembali lagi ke ruang interview. Lalu terlihat membisikkan sesuatu pada kepala HRD yang sedang berada di ruangan itu mengawasi jalannya wawancara.

Gemma, Wanita berusia hampir paruh baya yang telah bertahun-tahun menjabat kepala HRD itu nampak menarik nafas berat. Mengamati foto di resume wanita bernama Binar Kanaya Shasmita. Dia adalah wanita yang sangat beruntung rupanya. Hasil interviewnya yang begitu buruk tak bisa membuatnya gagal mendapatkan pekerjaan.

Bagi Gemma, peristiwa semacam itu sebenarnya sudah tidak asing baginya. Abidzar, bos besarnya itu, memang tidak akan pernah gagal mendapatkan keinginannya. Entah apa hal istimewa yang dilihat dari wanita bernama Binar itu sebenarnya, hingga membuat bosnya memberikan posisi tanpa melihat kemampuannya. Bahkan setahu Gemma, penampilan Binar bukan lah tipe yang disukai oleh sang bos. Gemma pun mulai menyimpulkan sendiri bahwa kemungkinan besar Binar sudah berhasil menaklukkan pria kaya raya itu. Mungkin saja di ranjangnya, hingga kemudian dia bisa mendapatkan posisinya saat ini.

Bab terkait

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 6

    "Maaf, sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini, Bu." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya ke Kepala HRD yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes. "Kesalahan apa? Coba saya lihat." Wanita berpenampilan glamour usia 40 tahun dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang tadinya harus ditanda tangani Binar, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah calon karyawan barunya. "Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," katanya dengan sikap cuek. "Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staf administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang harusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar dengan hati-hati. Gemma nampak tersenyum sebentar, menatap Binar dengan sedikit sinis dan memandangi dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak disuruhnya salah satu stafnya untuk menghubungi wanita bernama Binar itu, langsung beredar kasak kusuk di bagian HRD yang mengatakan bahwa wanita

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-04
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 7

    Binar masih sibuk dengan laptop di depannya saat telepon internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi. "Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili. Setelah meletakkan pesawat telepon, Mili terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat wanita itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi. Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaan masing-masing. Namun tak berapa lama, telepon di meja Mili berdering lagi. Terlihat wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu. "Ada apa?" tanya Binar hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai. "Ooh." Binar hanya mengangguk. "Nggak usah kaget, Binar. Apa saja kerjaan kita akan selalu ada s

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 8

    "Baru pulang?" Dhimas menyambut dengan tatapan tak suka, melihat Binar memasuki teras rumah. "Iya maaf, Mas. Tadi aku udah kirim pesan kan kalau langsung disuruh kerja hari ini?" "Sampai jam segini pulangnya?" protes Dhimas sambil melirik ke arloji di pergelangan tangan. Pukul 7 malam."Enggak Mas, sebenarnya dari kantor tadi jam 5. Tapi nunggu taksi onlinenya agak lama. Maaf ya, Mas?" Dengan takzim Binar mencium tangan sang suami, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah. Di ruang tengah, jagoan kecilnya terlihat masih asik di depan TV. "Ibu!" Melihat kedatangan Binar, Aaron langsung menghambur ke pelukan sang ibu. "Kok masih main? Udah maem belum, Sayang?" Binar berjongkok, mengusap kepala anaknya dengan lembut. Anak itu langsung mengangguk cepat.Binar menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di ambang dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah. "Makasih udah jagain Aaron ya, Mas," tatapnya haru. Dhimas hanya mengedikkan sebentar bahunya. Raut mukanya terlihat ma

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-02
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 9

    Director's Room Melihat tulisan di atas pintu besar bernuansa abu tua di depannya saja membuat Binar berkeringat dingin. Bagaimana jika dia bertemu dengan pemilik ruangan itu? Binar memejamkan mata sejenak, mengatur nafas, sebelum akhirnya mengulurkan tangan bermaksud untuk mengetuk pintu di depannya. Namun belum sempat tangannya berhasil sampai, tiba-tiba pintu itu didorong dari dalam hingga membuat Binar hampir terjatuh karena tertabrak seseorang yang terburu-buru keluar dari ruangan itu. Tanpa mempedulikan Binar yang kaget setengah mati karena hampir ambruk, wanita cantik dengan setelan rok super pendek dan blazer warna putih tulang itu berjalan cepat sambil merapikan rambut dan bajunya yang terlihat sedikit berantakan. Apa yang telah terjadi di dalam sana? Binar mendadak bergidik ngeri membayangkan itu. Mungkinkah atasannya itu termasuk pria yang suka mesum di tempat kerja? Mengerikan sekali kalau dugaannya benar. Tanpa diperintah, Binar pun segera menegakkan badan, seolah i

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-25
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 10

    "Nanti saja, aku belum selesai dengan kerjaanku," jawab pria itu ketus. Lalu terlihat kembali sibuk dengan pekerjaannya. Binar hanya menghela nafas berat. Ragu kembali menyerangnya. Meski dia sosok itu sama-sama memiliki sifat angkuh, tapi Abidzar kecil sepertinya lebih menyenangkan dari pria dewasa di hadapannya saat itu.Beberapa menit kemudian, nampak tangan kokoh pria itu bergeser mendorong berkas di depannya ke arah Binar. "Sudah selesai. Mau tanya apa?" ucapnya cepat. Kali ini dia memandang Binar dengan sorot tajam, membuat Binar mendadak jadi ciut nyali. "Ma-af, apa Anda ini ... Abidzar?" Bibir Binar kelu saat menyebutkan nama itu. Bagaimana jika dugaannya salah dan atasannya itu menjadi tersinggung karenanya? Keringat mulai bercucuran di balik kemejanya, padahal ruangan itu begitu dingin. Di luar dugaan, pria itu justru mengembangkan senyumnya setelah beberapa detik terdiam. "Ingatan kamu masih baik rupanya." Kalimat yang singkat, tapi mampu membuat mulut Binar membulat

    Terakhir Diperbarui : 2023-12-25
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 1 - PROLOG

    Tujuh belas tahun yang lalu aku tak pernah menganggapnya ada. Bahkan, aku sering memilih untuk pura-pura tidur di dalam kamar rumah pakdhe saat dia dan teman-teman sebaya sengaja datang untuk mengajakku bermain. Aku tahu Binar menyukaiku dari beberapa teman sekelas kami yang membocorkannya. Anak ketua RT di kampung kakak dari papa tempat aku dititipkan untuk ber-Sekolah Menengah Tingkat Pertama itu, suka sekali menitipkan benda-benda aneh untukku lewat budhe. "Ini kue yang bikin Binar sendiri loh, Bi. Kamu nggak mau coba nih?" goda istri pakdheku itu sambil menyomot sepotong kue kering dari toples yang dicondongkan ke arahku. Memang sih kuakui, makanan-makanan yang dikirimkan Binar biasanya baunya sangat menggoda. Tapi rasa gengsi membuatku enggan menyentuhnya. Tak hanya makanan, dia juga sering memberikan benda-benda yang menurutku sangat norak, misalnya saja: buku cerita, pensil atau pulpen dengan bentuk yang membuat alisku berkerut, gantungan kunci, dan masih banyak lagi. Lagi-la

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-12
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 2

    Sedari subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya. "Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu, Mbaaak! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang. "Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari tadi berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan kebingungan. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar. "Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius. "I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masi

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-12
  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 3

    Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamarnya. Hari itu, dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya. Sudah hampir satu jam lamanya dia hanya berdiri terbengong di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini. Usai melirik jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur, Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasa

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-12

Bab terbaru

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 10

    "Nanti saja, aku belum selesai dengan kerjaanku," jawab pria itu ketus. Lalu terlihat kembali sibuk dengan pekerjaannya. Binar hanya menghela nafas berat. Ragu kembali menyerangnya. Meski dia sosok itu sama-sama memiliki sifat angkuh, tapi Abidzar kecil sepertinya lebih menyenangkan dari pria dewasa di hadapannya saat itu.Beberapa menit kemudian, nampak tangan kokoh pria itu bergeser mendorong berkas di depannya ke arah Binar. "Sudah selesai. Mau tanya apa?" ucapnya cepat. Kali ini dia memandang Binar dengan sorot tajam, membuat Binar mendadak jadi ciut nyali. "Ma-af, apa Anda ini ... Abidzar?" Bibir Binar kelu saat menyebutkan nama itu. Bagaimana jika dugaannya salah dan atasannya itu menjadi tersinggung karenanya? Keringat mulai bercucuran di balik kemejanya, padahal ruangan itu begitu dingin. Di luar dugaan, pria itu justru mengembangkan senyumnya setelah beberapa detik terdiam. "Ingatan kamu masih baik rupanya." Kalimat yang singkat, tapi mampu membuat mulut Binar membulat

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 9

    Director's Room Melihat tulisan di atas pintu besar bernuansa abu tua di depannya saja membuat Binar berkeringat dingin. Bagaimana jika dia bertemu dengan pemilik ruangan itu? Binar memejamkan mata sejenak, mengatur nafas, sebelum akhirnya mengulurkan tangan bermaksud untuk mengetuk pintu di depannya. Namun belum sempat tangannya berhasil sampai, tiba-tiba pintu itu didorong dari dalam hingga membuat Binar hampir terjatuh karena tertabrak seseorang yang terburu-buru keluar dari ruangan itu. Tanpa mempedulikan Binar yang kaget setengah mati karena hampir ambruk, wanita cantik dengan setelan rok super pendek dan blazer warna putih tulang itu berjalan cepat sambil merapikan rambut dan bajunya yang terlihat sedikit berantakan. Apa yang telah terjadi di dalam sana? Binar mendadak bergidik ngeri membayangkan itu. Mungkinkah atasannya itu termasuk pria yang suka mesum di tempat kerja? Mengerikan sekali kalau dugaannya benar. Tanpa diperintah, Binar pun segera menegakkan badan, seolah i

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 8

    "Baru pulang?" Dhimas menyambut dengan tatapan tak suka, melihat Binar memasuki teras rumah. "Iya maaf, Mas. Tadi aku udah kirim pesan kan kalau langsung disuruh kerja hari ini?" "Sampai jam segini pulangnya?" protes Dhimas sambil melirik ke arloji di pergelangan tangan. Pukul 7 malam."Enggak Mas, sebenarnya dari kantor tadi jam 5. Tapi nunggu taksi onlinenya agak lama. Maaf ya, Mas?" Dengan takzim Binar mencium tangan sang suami, sebelum akhirnya melangkah ke dalam rumah. Di ruang tengah, jagoan kecilnya terlihat masih asik di depan TV. "Ibu!" Melihat kedatangan Binar, Aaron langsung menghambur ke pelukan sang ibu. "Kok masih main? Udah maem belum, Sayang?" Binar berjongkok, mengusap kepala anaknya dengan lembut. Anak itu langsung mengangguk cepat.Binar menoleh ke arah suaminya yang masih berdiri mematung di ambang dinding penyekat ruang tamu dan ruang tengah. "Makasih udah jagain Aaron ya, Mas," tatapnya haru. Dhimas hanya mengedikkan sebentar bahunya. Raut mukanya terlihat ma

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 7

    Binar masih sibuk dengan laptop di depannya saat telepon internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi. "Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili. Setelah meletakkan pesawat telepon, Mili terlihat sibuk dengan layar monitor di depannya. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat wanita itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi. Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Lalu mereka pun kembali ke pekerjaan masing-masing. Namun tak berapa lama, telepon di meja Mili berdering lagi. Terlihat wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu. "Ada apa?" tanya Binar hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai. "Ooh." Binar hanya mengangguk. "Nggak usah kaget, Binar. Apa saja kerjaan kita akan selalu ada s

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 6

    "Maaf, sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini, Bu." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya ke Kepala HRD yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes. "Kesalahan apa? Coba saya lihat." Wanita berpenampilan glamour usia 40 tahun dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang tadinya harus ditanda tangani Binar, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah calon karyawan barunya. "Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," katanya dengan sikap cuek. "Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staf administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang harusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar dengan hati-hati. Gemma nampak tersenyum sebentar, menatap Binar dengan sedikit sinis dan memandangi dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak disuruhnya salah satu stafnya untuk menghubungi wanita bernama Binar itu, langsung beredar kasak kusuk di bagian HRD yang mengatakan bahwa wanita

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 5

    Kacau!Mungkin itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.Pertemuan tak sengaja dengan pria dari masa lalu membuatnya kehilangan konsentrasi. Dan parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar. 'Ini gila!' rutuknya dalam hati. Belasan tahun telah berlalu, namun pesona seorang Abidzar nyatanya masih bisa mempengaruhinya sedalam itu. Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Optimismenya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu sekarang hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview super kacaunya itu. Hilang sudah harapannya untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya selama ini. Walau sebenarnya masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak putus harapan. Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa meneba

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 4

    Binar sebenarnya berbohong saat mengatakan pada Dhimas hanya akan pergi sebentar untuk interview pekerjaan. Tempat yang ditujunya membutuhkan paling tidak satu setengah jam perjalanan jika dia menggunakan transportasi umum seperti bus. Jika dengan kereta api, akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Itu sebabnya Binar memutuskan memesan taksi. Selain karena belum begitu paham lokasi kantor perusahaan tersebut, Binar juga tak ingin telat tiba di sana. Apalagi email menyebutkan bahwa dirinya harus sudah tiba minimal 30 menit sebelum interview dimulai. Sebenarnya Binar merasa sayang harus mengeluarkan biaya cukup mahal untuk menyewa taksi dengan jarak sejauh itu. Tapi Binar benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa diterima di perusahaan yang satu itu. Vibes Property merupakan salah satu dari anak perusahaan Three Vibes Holdings yang mencuat pesat dalam waktu kurang dari 10 tahun sejak dipegang oleh pewaris tunggal dari keluarga Adhitama.Dari jaman kakek buyutnya–sang perin

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 3

    Di sebuah rumah sederhana di sudut kota, Binar Kanaya Shasmita seperti biasa sudah bangun sejak sebelum subuh. Wanita itu memang terbiasa rajin dari kecil. Rumahnya akan selalu terlihat sudah rapi, bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Namun hari itu dia tak tampak melakukan semua rutinitas paginya seperti biasa. Binar justru hanya terlihat sibuk mondar mandir di dalam kamarnya. Hari itu, dia bahkan tak sempat mengurusi Aaron–anak semata wayangnya. Sudah hampir satu jam lamanya dia hanya berdiri terbengong di depan lemari pakaian. Entah sudah berapa tahun dia tidak pernah lagi memakai baju kerjanya yang masih tersimpan rapi di dalam lemari itu. Binar bahkan tak yakin apakah baju-baju itu masih muat dipakainya atau tidak, mengingat sudah banyak perubahan pada bentuk tubuhnya saat ini. Usai melirik jam dinding yang tergantung di depan tempat tidur, Binar akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress sepanjang lutut berwarna maroon. Stiletto 7 cm warna hitam menjadi alas kaki yang dirasa

  • OBSESI SANG MILIARDER   Bab 2

    Sedari subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukannya masing-masing. Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya. "Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu, Mbaaak! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang. "Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari tadi berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan kebingungan. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar. "Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius. "I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status