"Dan pikirmu aku peduli?" Potong Agatha yang membuat amarah Rohandef seketika naik, Pria itu sontak mencengkram dagu Agatha dengan kasar.
"Apa kau pikir menjadi prioritasku kau bisa sesuka hati mempermainkan emosiku, Sweatheart?! Aku bisa menghukummu atas kelancanganmu padaku!" "Cih! Kau pikir aku akan takut dengan perkataan dan perbuatan kasar Pria kasar sepertimu?! Tidak akan!" Rohander semakin mengeratkan cengramannya, seraya memandang tajam penuh kemarahan Agatha yang nampak menatap tajam dirinya juga tak mau kalah. Sampai mobil berhenti dipersimpangan jalan karena lampu merah, bersamaan dengan itu Rohander menghempaskan wajah Agatha dengan kasar melepaskan cengkramannya. "Persiapkan dirimu, aku akan memberimu hukuman malam ini." Agatha yang sementara mengusap dagunya, mendengus kesal. "Belikan aku permen kapas." Ucap Agatha saat melihat seorang pedagang permen kapas yang berjulan tak jauh dari mereka. "Turun, beli sendiri." Rohander berucap dengan nada dingin, namun tangannya memegang uang. Memberinya pada Agatha, yang langsung diambil secara kasar oleh wanita itu sebelum Agatha turun dari mobilnya. Agatha bisa saja kabur, tapi ingatannya tentang penghianatan para orang terdekatnya membuat sebuah rantai tak kasat mata terbentuk antara dirinya dan Rohander. "APA YANG KAU LAKUKAN SWEATHEART?!" Marah Rohander tiba-tiba, yang membuat Agatha terkejut setengah mati saat ia kembali dengan sebuah permen kapas merah muda besar ditangannya. "APA YANG SALAH DENGANMU?! AKU TIDAK TULI!" Balas Agatha yang hampir sama melengkingkan suaranya. Agatha menatap kesal Rohander, sampai Pria itu membuang nafas dan menepuk pahanya. Agatha yang paham langsung beralih duduk dipaha Rohander, yang lagi-lagi membuat sang supir yang melihatnya dibuat merinding. 'Sama-sama gila!' Pikirnya, saat Agatha dengan entengnya berpindah pada pangkuan Pria yang baru saja bertindak kasar padanya. Sama halnya dengan sang tuan yang memberi kode pada Agatha untuk duduk dipangkuannya, disaat dirinya dibuat emosi oleh Agatha. Perjalanan kemudian berlanjut, hingga Agatha tertidur bersandar pada dada Rohander dengan permen kapasnya yang telah habis. "Istirahatlah dengan baik Sweatheart, karena malam ini akan menjadi malam yang panjang." Ucap pelan Rohander seraya membelai surai rambut Agatha dengan pelan. Hingga.... CKITTTTT! Mobil tiba-tiba berhenti dengan mendadak, membuat Agatha terbangun dari tidurnya. "Aku lelah Rohander, ingin tidur!" Rohander tak menjawab, ia malah menatap sang supir lewat kaca dengan tatapan seakan ingin membunuhnya. Jujur saja, Rohander marah bukan karena mobil yang berhenti tiba-tiba. Tapi karena Agatha terbangun dari tidurnya, itulah yang membuat Rohander rasanya ingin menghabisi sang supir yang diketahui telah bekerja padanya selama 7 tahun. "Ingin mati ya!" Tekan Rohander dengan nada pelannya, tak ingin mengusik Agatha yang terlihat kembali tertidur. "Maaf Tuan, tapi barusan ada seekor anjing yang lewat. Saya minta maaf jika-" "Aku tidak butuh maafmu, jika ada yang menghalangi jalan maka tabrak. Tidak peduli itu hewan atau manusia!" Potong Rohander yang otomatis membuat sang supir berkeringat dingin, berharap tidak akan ada manusia atau hewan yang melintasi jalan saat mobilnya lewat. "Baik Tuan." Kemudian mobil kembali berjalan, membelah jalan ibukota yang nampak sepi dijam yang sudah larut. "Maaf Sweatheart, sudah membuatmu terganggu." Ucap Rohander pelan, yang kali ini membelai wajah mulus Agatha dengan pelan tanpa menganggu tidur wanitanya sedikitpun. Beberapa saat menempuh perjalanan panjang, mobil Rohander kini memasuki sebuah area pekarangan yang terlihat sangat luas. Dengan taman serta air mancur yang mengelilingi pekarangan tersebut, menambah kesan mewah. "Sweatheart... bangun, kita sudah sampai." Rohander menepuk pipi Agatha dengan pelan, tapi Agatha hanya membuka matanya sekilas dan malah mengalungkan tangannya pada leher Rohander. Mengatakan secara tidak langsung, jika Agatha tidak ingin bangun dan berjalan. Rohander tak berekspresi lebih, ia kemudian membawa Agatha keluar dari mobil tanpa melepaskannya. "Bangun Sweatheart, kau perlu makan agar memiliki tenaga malam nanti." "Emmmm..." Dengan gumanan pelan, Agatha berusaha membuka matanya. "Buka mulutmu." Ucap Rohander dengan sesendok nasi beserta lauk yang terarah pada mulut Agatha, namun Agatha hanya diam dengan gelengan kepala pelan. Berusaha memberitahu Pria dihadapannya jika ia tidak menyukai ikan yang berada disendok itu, dan untunglah Rohander paham akan maksud Agatha sehingga ia mengantinya dengan seseondok sup. Agatha memakan makanan dari suapan tangan Rohander, dengan wajah lesu menahan kantuk. "Jangan tidur dulu sayang, aku harus menghukummu malam ini." Seraya mengelap mulut Agatha dengan tisu, Rohander berucap dengan nada pelan. Agatha membuang nafas kasar, sebelum mengangkat satu jari tengahnya dihadapan Rohander. Yang mana hal itu membuat semua orang menahan nafas mereka seketika, terkejut dengan pemandangan yang baru saja mereka lihat. Seseorang berani mengangkat satu jari tengahnya pada Rohander? Waw, sepertinya mereka akan memiliki nyonya yang tak terduga mulai saat ini. Tak memedulikan satu jari yang terangkat padanya, Rohander malam menciu*m bibir Agatha. Seakan gemas dengan perilaku kasar wanitanya itu. PRANG! "AWW!" Pekik Agatha saat kakinya terkena sebuah piring yang sepertinya terpeleset dari tangan seorang pelayan yang ingin membereskan peralatan makan didepan mereka. "Mengapa harus gemetar segala, kan piringnya jadi jatuh!" Kesal Agatha yang emosi melihat pelayan, yang sepertinya tak berniat meminta maaf atas perbuatannya. Bahkan pelayan itu dengan santainya memunggut piring yang terjatuh ke lantai tanpa memandang sedikitpun Agatha, dimana hal itu membuat Agatha sontak menatap Rohander. Entahlah, tatapan Agatha saat ini seakan menunjukan jika ia tidak suka dengan perilaku pelayan disampingnya saat ini. Mengusap rambut Agatha dengan ritme pelan, Rohander berkata. "Apa statusmu sebagai kepala pelayan, membuatmu begitu lancang pada wanitaku Soraya?" Deg! Semua orang tergelak mendengar perkataan nan dingin sang tuan pada Soraya, kepala pelayan yang telah bekerja pada Rohander sejak Pria itu berumur 17 tahun. Wanita yang telah bersama dengan Rohander cukup lama itu, sepertinya terlalu memandang tinggi dirinya sendiri. "Saya tidak bersalah Tuan, seharusnya wanita ini bisa menghindari piring yang akan terjatuh. Sehingga ia tidak perlu merasakan sakitnya." Yah terbukti dengan cara Soraya membalas Rohander, Agatha jadi menutup matanya. Menarik nafas dan membuangnya secara perlahan, sebelum akhirnya menatap tajam Soraya. "Kau pikir aku wanita seperti apa?" Soraya beralih pada Agatha, menatapnya dengan datar sebelum akhirnya menjawa. "Jika boleh saya jujur, Anda tidak cocok untuk tuan Rohander. Anda terlihat sangat manja sampai harus disuapi, lalu duduk dipangkuan tuan Rohander membuat Anda terlihat murahan." Agatha mengangguk-anggukan kepalanya, "kau benar, tentang aku tidak cocok dengan tuanmu. Tapi manja dan murahan bukanlah perkataan yang benar," "Apa-" PRANG! TES! TES! TES! Darah mengalir pada pelipis, saat sebuah piring terlempar hingga pecah. "Kau mencari mati nyonya, tuan tidak akan mengampunimu akan perbuatanmu padaku!" Marah Soraya saat mendapat serangan mendadak dari Agatha yang nampak tertawa kecil, melihat soraya yang berkata demikian. "Hei pelayan! Coba lihat wajahku, apa kau menemukan jejak bahwa aku takut pada tuanmu ini? Jika boleh jujur, bahkan tuanmu ini telah mengucapkan perkataan yang jauh mengerikan dari ucapan sampahmu itu!" "Saya yakin jika anda mendengarnya tanpa tahu siapa tuan yang sebenarnya, jadi itu bisa dimaklumi. Anda masih orang awam untuk menyadari siapa Pria disamping Anda saat ini," "Begitukah? Tapi kurasa aku cukup mengenal tuan gilamu ini," "Apa maksud 'gila' dari perkataan Anda nyonya?" "Yah... tuanmu tidak waras, brengsek, dan juga bajingan. Apa aku salah?" "Saya rasa Anda-" "Bullshit!" Potong Agatha dengan makiannya yang membuat Soraya menatap sang tuan, berharap jika dirinya menghukum wanita kurang ajar dipangkuannya saat ini. Tapi Rohander hanya diam tak menanggapi tatapan itu, ia malah terlihat asik menci*m leher jenjang Agatha. Sampai Soraya membulatkan matanya saat sebuah darah mengalir pada leher Agatha, tapi bukan itu yang membuatnya terkejut. Tapi sikap Agatha yang menanggapinya dengan..."Apa kau juga sejenis vampir? KAU MELUKAI LEHER MULUSKU SIALAN!" Kesal Agatha yang menjauhkan Rohander dari lehernya yang nampak berdarah, karena gigitan kecil Rohander akibat gemas dengan kulit putih mulusnya."Rasanya enak." Ucap Rohander yang membuat Agatha menatapnya dengan tatapan tidak percayanya."Dasar Pria tidak waras, sakit jiwa!" Dengus Agatha seraya megelap darah yang mengalir, bersamaan dengan itu. "Ada apa dengan tatapanmu?" Tanya Agatha yang masih dengan nada kesalnya pada Soraya yang nampak menatapnya dengan tatapan penuh keterkejutan.Diam beberapa saat hingga Soraya tak menyadari jika sang tuan nampak menyeringai padanya, dengan pemikiran penuh dengan rencana gila.Yah... mungkin tatapan itu hanya disadari oleh satu orang Pria, yang diketahui merupakan seorang koki dirumah ini. Dengan tatapan sang tuan, ia yakin jika akan ada pertumpahan darah yang akan terjadi dirumah ini."Sweatheart...""Apa?" Agatha mengerutkan keningnya menatap Rohander yang menurunkan nada suar
"Ya, kau sangat cantik." Rohander berkata dengan kepala yang kian maju kedepan, berniat untuk mencapai bibir Agatha. Namun saat bibir mereka hanya berjarak satu centi, Rohander menghentikan gerakannya-menatap mata coklat terang didepannya.Didetik berikutnya Rohander menyatukan bibirnya dan Agatha, ia menekan kepala Agatha agar tidak menjauh darinya. Sampai cium*n Rohander perlahan berubah menjadi sebuah lumatan kasar, yang membuat Agatha bersusah payah menyeimbangi permainan Rohander.Ada perasaan lain yang menggerogoti hati Agatha saat tangan Rohander mulai masuk kedalam lapisan bajunya, membelai setiap sisi tubuhnya dengan lembut."Rohander..." panggil Agatha dengan suara pelan, yang membuat Rohander menghentikan lumatannya pada bibir Agatha karena tahu wanita itu hampir kehabisan nafas.Menunggu Agatha yang tengah menghirup udara dengan rakus, Rohander menanggalkan pakainnya dengan cepat. Sebelum naik keatas tubuh Agatha, dengan tubuhnya yang polos. Rohander mengalungkan tangan A
Dikantor pusat, semua orang tengah mempersiapkan kedatangan Rohander. Terlihat seluruh manager dan beberapa staff sudah siap menyambut kedatangan Pria yang hampir tak pernah menginjakan kakinya dikantor pusat, sampai semua orang menunduk dikala orang yang mereka tunggu turun dari mobilnya."Selamat datang, tuan Frigo." Serempak mereka, saat Rohander berjalan memasuki kantor.Meski antusiasme mereka tak ditanggapi oleh Rohander, yang nampak berjalan tanpa menayapa bahkan melirik saja ia tidak lakukan. Membuat semua orang kecewa, tapi marah juga tidak berarti karena orang yang berjalan memasuki lift khusus itu bukan hanya sekedar bos mereka saja. Tapi seseorang, yang bahkan mampu membuat dunia bungkam.Anehnya disana tak terlihat Agatha, wanita itu kini sibuk memilih berbagai macam makanan ringan disalah satu toko serba ada yang tak jauh dari kantor pusat.Yap! Agatha beberapa saat yang lalu memang bersama Rohander, tapi matanya yang menangkap berbagai aneka makanan ringan. Tidak bisa u
Zak membulatkan matanya terkejut, sementara Agatha mendelik tak suka. "Dasar sakit jiwa!" Ucap Agatha pelan, dengan wajah yang menggambarkan penghinaan pada pria didepannya saat ini. Sebelum melangkah pergi, mendahului Rohander yang terlihat masih menunggu jawaban darinya."Kumpulkan semua orang yang mencibir Agatha di ruang rapat, akan kubereseskan mereka sesuai dengan perkataan Agatha." Perintah Rohander lewat sambungan ponsel ketika Agatha menghilang dibalik pintu."Awasi mereka." Ucap Rohander pada Zak, yang langsung diangguki olehnya sebelum pergi meninggalkan sang tuan.Disisi lain... Agatha nampak menatap keluar jendela kaca besar, yang memperlihatkan dengan jelas pemandangan kota. Tapi fokusnya bukan pada pemandangan kota yang indah didepannya, tapi pada seorang wanita hamil yang saat ini berjalan memasuki halaman kantor pusat.Agatha menyipitkan matanya saat melihat sebuah kartu yang tergantung dileher wanita hamil tersebut, sesaat setelah menyadari jika wanita itu bagian dal
Pukul 15.00... Agatha membuka matanya, ia menatap jendela besar disampingnya yang menampakan langit yang mendung. "Sepertinya akan hujan." Ucapnya pelan.Agatha kemudian bangkit menuju toilet untuk membasuh wajahnya, namun sesaat kemudian ia terkejut dengan suara bantingan pintu dari luar."SWEATHEART!" Panggil Rohander dengan nada melengking tinggi, Pria itu memasuki kamar namun tak mendapati Agatha yang sedang berada dalam toilet mengetingkan wajahnya."WHAT THE HELL ARE YOU DOING!" Kaget Agatha yang melihat keadaan Rohander yang nampak kacau, dengan beberapa lebam dan darah yang terlihat mengering dibeberapa sudut wajah dan tubuh Pria itu.Tak memedulikan Agatha, Rohander dengan cepat menyambar bibir Agatha melumatnya dengan gerakan kasar. Agatha yang terkejut ini sontak menjauhkan diri, namun telapak tangan Rohander yang bersarang dibelakang kepalanya membuat ia tak bisa menghindar. Dan terpaksa membalas permainan Rohander, sehingga tanpa sadar mengalungkan tangannya leher pria it
"Bagaimana bisa kau menemukan mereka secepat ini?" Tanya Bian pada sosok wanita yang tengah asik memakan makanan ringan ditangannya, dengan kedua kaki yang terpangku diatas meja kerjanya. Wanita itu tak lain adalah Agatha, setelah melewati malam yang melelahkan Agatha terbangun tanpa Rohander disisinya. Pria itu meninggalkan surat pada Agatha melarangnya untuk keluar sampai ia kembali, tapi bukan Agatha namanya jika harus menuturi kemauan Rohander. Ia memilih untuk keluar dari kantor, dan menemui temannya. Bian Holland, seorang hacker yang saat ini bekerja untuk pemerintah. Agatha mengenal Bian saat Pria itu tengah mencairkan uang hasil curiannya, Agatha yakin saat itu Bian memanglah pencuri karena gelagatnya yang tidak biasa. Seperti gugup, dan takut saat Agatha dengan terang-terangan menyakan darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Bian yang tidak bisa menjawab membuat Agatha menyeretnya ke kantor polisi. Siapa yang sangka jika Bian yang seharusnya mendekam di penjara, malah
"Ayah pulang." Dengan wajah lelah, seorang lelaki berusia empat puluhan memasuki rumah. Ia harus pulang terlambat akibat insiden menyebalkan di kereta api. Beruntung ia akhirnya dapat bebas. Ya, ia hanya perlu memberikan sejumlah uang, dan manusia-manusia budak rupiah itu dengan cepat membebaskannya.Semudah itu. "Sayang?" panggilnya. Biasanya anaknya akan berlari menyambut kedatangannya. Tumben anak dan istrinya tidak terlihat."Sayang? Misa?" Kakinya melangkah cepat memasuki rumah. "Saya—ha!" Langkahnya mendadak terhenti saat melihat anak dan istrinya tergeletak di bawah tangga. "Sayang! Misa!"Panik langsung menderanya hingga ia melempar asal tas kerjanya dan berlari menuju anak dan istrinya. Belum sampai beberapa langkah, ia hampir terjungkal saat suara tembakan menggema di keheningan siang waktu itu.Dor!Lampu besar di ruangan tersebut langsung pecah. Jatuh berserak tak karuan. Beberapa detik kemudian langkah kaki teratur terdengar mendekat. Pelan sekali. Semakin dekat, sema
"Bajingan! Sialan! Brengsek!" Maki Agatha seraya menyeka bibirnya yang terlihat bengkak akibat ulah Rohander, bahkan jika saja ia tidak berusaha melepaskan dirinya. Agatha yakin dirinya tidak di jalan saat ini, melainkan diatas kasur melayani nafs* gila Rohander yang seakan tak ada habisnya. Berjalan dengan kesal, Agatha saat ini tengah menuju ke sebuah pemakaman. Tpi bukan pemakaman kedua orang tuanya, tapi pemakaman tempat orang yang berjasa menhgajarkannya segala hal tentang dunia setelah orang tuanya tewas. "Bagaimana kabarmu, guru? Apa didalam sana begitu nyaman?"Yah, Bara Collins. Seorang Pria berumur 45 tahun yang sayangnya harus tewas akibat pengianatan anak didiknya sendiri. Bara Collins, adalah seorang pengajar strategi dan bela diri yang bekerja untuk sekelompok mafia terkenal. Statusnya sebagai mantan pembunuh bayaran yang amat ditakuti, membuat beberapa organisasi mafia mempercayakan anak buah mereka untuk ia didik. Walau memiliki sifat dingin dan tegas, Bara pada ny
Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu