"Butuh bantuan?" Tanya Rendra yang sontak membuat Agatha menatap Pria itu seraya berpikir apakah ia akan menerima bantuan Pria di depannya, tidak tahu apa yang dilakukan Rendra untuk membantunya."Bagaimana cara kau membantuku?" Tanya Agatha cepat saat melihat Leo yang mulai mendekati mejanya.Rendra tersenyum penuh arti, sebelum menepuk pahanya. "Kemarilah, duduk di pangkuanku."Agatha membulatkan matanya, terkejut dengan perkataan Rendra. "Apa kau sudah tidak waras?! Bagaimana bisa aku duduk dipangkuan Pria yang baru saja kutemui?!" Tekan Agatha dengan nada pelan agar Leo tak mencurigainya.Tinggal beberapa langkah, Agatha akhirnya menyerah dan duduk di pangkuan Rendra dengan perasaan kesal bercampur marah. Sampai akhirnya Leo berada tepat di samping meja mereka, menatap Agatha dengan penuh banyak pertanyaan dibenaknya."Apa dia kekasihmu Agatha?" Tanya Leo yang penasaran dengan Rendra, yang nampak tenang pada duduknya seraya menyesap secangkir kopi ditangannya.Agatha diam sebentar
Dengan bermodalkan kartu hitam milik Rohander. Agatha dengan berani membeli sebuah mobil mewah dengan harga fantasitis, akibat kemarahannya pada Leo.Ferrari Pininfarina Sergia merah metalik melaju di jalanan pinggiran kota new york yang sepi sekalipun baru sore hari. Itu karena di sepanjang jalan hanya ada cafe, kedai kecil dan bangunan-bangunan tua yang seperti tidak terawat. Agatha menginjak pedal gas, mengendarai mobilnya lebih kencang lagi. Sekalipun nanti itu membuatnya tertangkap kamera pengawas polisi karena melewati batas kecepatan, atau menabrak jalan—Agatha tidak peduli. Bahkan, mati sekarang akan jadi hal yang lebih baik. Mungkin... Agatha mencengkeram roda kemudinya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih. Berharap itu akan melampiaskan perasaannya yang campur aduk. Ia ingin berteriak—tapi tidak bisa. Berkali-kali Agatha mengusap matanya yang buram oleh air mata. Namun, detik selanjutnya air mata sialan itu meluncur kembali, senada dengan dadanya yang sesak—sakit. Nyeri.A
Sibuk dengan kegiatannya, Agatha tidak menyadari jika Rohander kini berdiri dibelakangnya. Bahkan saat Pria itu tersenyum didepan cermin yang Agatha gunakan, tapi hal itu tidak membuat perhatian Agatha tertuju padanya--menatap ponselnya dengan perasaan kesal.Sampai Agatha merasakan sesuatu berhembus dikulit lehernya, ia menatap cermin didepannya. Walaupun terkejut dengan kehadiran Rohander yang entah tahu bagaimana bisa Pria itu mengetahui lokasinya, Agatha diam saja menatap Rohander yang kini menatapnya dengan tatapan setajam elang.Membelai rahang Agatha, Rohander berucap. "Kau sangat cantik dengan penampilan ini, apa kau melakukan ini untuk membujukku hmm?"Agatha mengerutkan keningnya, sesaat terdiam hingga ia menyadari waktu saat ini yang telah menunjukan pukul 22.15. Yang berarti sudah lewat 2 jam lebih dari waktu makan malam."Maaf." Ucap Agatha singkat, namun terdengar begitu terpaksa di dengar Rohander. Yah... mungkin karena ia tidak biasa dengan Agatha yang mudah meminta ma
Rohander tertawa kecil, menatap Agatha yang masih terengah setelah ciuman itu. "Apa? Kaget?"Agatha menelan ludah, berusaha memulihkan kesadarannya. "Kau... tidak bisa serius mengatakan hal itu."Rohander mengangkat alis, wajahnya kini berubah serius. "Dan kenapa aku tidak bisa serius? Agatha, sudah lama aku menahan diri untuk mengatakan ini."Agatha menatap pria itu tajam, meskipun dadanya masih berdebar kencang. "Kau tak pernah serius dengan siapa pun, apalagi soal perasaan. Jangan bermain-main denganku, Rohander."Pria itu menyeringai, wajahnya mendekat lagi ke arah Agatha. "Kau benar, aku tidak pernah serius sebelumnya. Tapi denganmu, semuanya berbeda."Agatha menghela napas panjang, mencoba menjauh dari Rohander namun pria itu tidak memberinya kesempatan. "Kau selalu seperti ini... ingin mendominasi, memaksakan segalanya sesuai kehendakmu."Rohander tersenyum tipis, tangannya terulur membelai rambut Agatha dengan lembut. "Aku tahu kau tidak suka dipaksa, tapi jangan lupa, aku sel
Rohander bangkit dari ranjang dengan cepat dan mendekat ke arah Agatha, matanya penuh semangat. "Agatha, kau benar-benar ingin bermain-main denganku malam ini?"Agatha berdiri dengan tegak, senyum licik di wajahnya. "Kau tidak berani, kan? Atau kau hanya bisa bicara besar tapi tidak berani bertindak?"Rohander mengerutkan kening. "Jadi kau ingin membuatku mengejar? Baiklah. Aku akan menunjukkan padamu siapa yang sebenarnya memegang kendali di sini."Agatha melirik ke arah jendela besar di ruangan itu, lalu kembali menatap Rohander dengan penuh tantangan. "Tunggu sebentar, aku ingin memastikan semua siap."Rohander mengikuti tatapan Agatha, kemudian kembali menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau rencanakan?"Agatha hanya tersenyum dan mulai bergerak ke arah meja kecil di sudut ruangan. "Akan kubiarkan kau mencari tahu sendiri. Kadang-kadang, yang membuat permainan ini lebih menarik adalah kejutan yang tidak terduga."Rohander menggelengkan kepala, tapi senyumnya tidak pudar.
Rohander merangkul Agatha dengan erat, matanya tidak pernah lepas dari wajahnya. "Kau tahu, Agatha, setiap kali kau menantangku seperti ini, aku merasa seperti sedang menguji batas diriku sendiri."Agatha tersenyum kecil, membiarkan tangannya bergerak lembut di punggung Rohander. "Mungkin aku hanya ingin melihat sejauh mana kau bisa pergi. Apakah kau benar-benar bisa menangani semua ini."Rohander membalas senyum Agatha dengan tatapan serius. "Jadi ini tentang pengujian? Aku pikir kau hanya suka menggodaku."Agatha tertawa lembut, kemudian mengangkat dagunya sedikit. "Keduanya. Tapi aku juga ingin tahu apakah kau benar-benar tahu apa yang kau inginkan."Rohander menggeser tubuhnya sehingga dia bisa melihat mata Agatha dengan lebih jelas. "Dan apa yang kau pikir aku inginkan?"Agatha menatapnya dalam-dalam, suaranya lembut tapi penuh makna. "Aku rasa kau sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kekuasaan dan kontrol. Sesuatu yang bisa membuatmu merasa benar-benar hidup."Rohander
Agatha menatapnya dengan sinis. "Beradaptasi? Apa maksudmu? Aku tidak terlalu yakin kalau mereka akan merasa nyaman dengan kehadiranku.""Awalnya mungkin sulit," jawab Rohander, "tapi mereka akan terbiasa. Aku yakin mereka akan melihatmu dari sudut pandang yang berbeda setelah mereka mengenalmu lebih baik.""Berharap begitu," ujar Agatha, sambil menggenggam tangan Rohander. "Tapi bagaimana kalau mereka tidak pernah bisa menerima aku?"Rohander menatap tangan mereka yang saling bergenggaman, kemudian mengangkat pandangannya ke mata Agatha. "Jika mereka tidak bisa menerima, itu bukan masalahmu. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapi ini bersama."Agatha tersenyum lembut, merasa lebih yakin dengan dukungan Rohander. "Terima kasih. Itu artinya banyak bagiku.""Selalu untukmu," kata Rohander, sambil menarik Agatha lebih dekat. "Tapi jangan pikir aku akan membiarkanmu lolos begitu saja."Agatha mengangkat alis, tertawa kecil. "Oh? Dan apa yang kau rencanakan kali ini?"Rohander mengg
Rohander duduk di meja makan, memperhatikan Agatha yang sibuk menyiapkan piring untuk sarapan. Matanya tak pernah lepas dari sosoknya, dan dia tersenyum kecil melihat betapa alami Agatha di rumahnya. "Jadi, apa rencana kita hari ini?" tanya Agatha sambil meletakkan piring berisi telur dadar di depan Rohander.Rohander menyilangkan tangannya dan bersandar di kursi. "Kurasa aku bisa memikirkan beberapa hal menarik untuk kita lakukan. Mungkin kita bisa keluar sebentar, mengunjungi tempat yang lebih tenang... atau," dia berhenti sejenak, menyeringai, "mungkin kita bisa menghabiskan hari di sini saja, hanya kau dan aku."Agatha menggelengkan kepalanya, tertawa pelan. "Kau selalu mencari alasan untuk tidak keluar, ya? Kau ini seperti vampir yang takut cahaya matahari."Rohander terkekeh sambil mengambil garpu. "Kau tahu, ide itu tidak buruk. Aku suka kesunyian—terutama saat aku bisa menghabiskannya bersamamu."Agatha duduk di depannya dan mulai makan. "Tetapi aku juga butuh udara segar ses