Sibuk dengan kegiatannya, Agatha tidak menyadari jika Rohander kini berdiri dibelakangnya. Bahkan saat Pria itu tersenyum didepan cermin yang Agatha gunakan, tapi hal itu tidak membuat perhatian Agatha tertuju padanya--menatap ponselnya dengan perasaan kesal.Sampai Agatha merasakan sesuatu berhembus dikulit lehernya, ia menatap cermin didepannya. Walaupun terkejut dengan kehadiran Rohander yang entah tahu bagaimana bisa Pria itu mengetahui lokasinya, Agatha diam saja menatap Rohander yang kini menatapnya dengan tatapan setajam elang.Membelai rahang Agatha, Rohander berucap. "Kau sangat cantik dengan penampilan ini, apa kau melakukan ini untuk membujukku hmm?"Agatha mengerutkan keningnya, sesaat terdiam hingga ia menyadari waktu saat ini yang telah menunjukan pukul 22.15. Yang berarti sudah lewat 2 jam lebih dari waktu makan malam."Maaf." Ucap Agatha singkat, namun terdengar begitu terpaksa di dengar Rohander. Yah... mungkin karena ia tidak biasa dengan Agatha yang mudah meminta ma
Rohander tertawa kecil, menatap Agatha yang masih terengah setelah ciuman itu. "Apa? Kaget?"Agatha menelan ludah, berusaha memulihkan kesadarannya. "Kau... tidak bisa serius mengatakan hal itu."Rohander mengangkat alis, wajahnya kini berubah serius. "Dan kenapa aku tidak bisa serius? Agatha, sudah lama aku menahan diri untuk mengatakan ini."Agatha menatap pria itu tajam, meskipun dadanya masih berdebar kencang. "Kau tak pernah serius dengan siapa pun, apalagi soal perasaan. Jangan bermain-main denganku, Rohander."Pria itu menyeringai, wajahnya mendekat lagi ke arah Agatha. "Kau benar, aku tidak pernah serius sebelumnya. Tapi denganmu, semuanya berbeda."Agatha menghela napas panjang, mencoba menjauh dari Rohander namun pria itu tidak memberinya kesempatan. "Kau selalu seperti ini... ingin mendominasi, memaksakan segalanya sesuai kehendakmu."Rohander tersenyum tipis, tangannya terulur membelai rambut Agatha dengan lembut. "Aku tahu kau tidak suka dipaksa, tapi jangan lupa, aku sel
Rohander bangkit dari ranjang dengan cepat dan mendekat ke arah Agatha, matanya penuh semangat. "Agatha, kau benar-benar ingin bermain-main denganku malam ini?"Agatha berdiri dengan tegak, senyum licik di wajahnya. "Kau tidak berani, kan? Atau kau hanya bisa bicara besar tapi tidak berani bertindak?"Rohander mengerutkan kening. "Jadi kau ingin membuatku mengejar? Baiklah. Aku akan menunjukkan padamu siapa yang sebenarnya memegang kendali di sini."Agatha melirik ke arah jendela besar di ruangan itu, lalu kembali menatap Rohander dengan penuh tantangan. "Tunggu sebentar, aku ingin memastikan semua siap."Rohander mengikuti tatapan Agatha, kemudian kembali menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau rencanakan?"Agatha hanya tersenyum dan mulai bergerak ke arah meja kecil di sudut ruangan. "Akan kubiarkan kau mencari tahu sendiri. Kadang-kadang, yang membuat permainan ini lebih menarik adalah kejutan yang tidak terduga."Rohander menggelengkan kepala, tapi senyumnya tidak pudar.
Rohander merangkul Agatha dengan erat, matanya tidak pernah lepas dari wajahnya. "Kau tahu, Agatha, setiap kali kau menantangku seperti ini, aku merasa seperti sedang menguji batas diriku sendiri."Agatha tersenyum kecil, membiarkan tangannya bergerak lembut di punggung Rohander. "Mungkin aku hanya ingin melihat sejauh mana kau bisa pergi. Apakah kau benar-benar bisa menangani semua ini."Rohander membalas senyum Agatha dengan tatapan serius. "Jadi ini tentang pengujian? Aku pikir kau hanya suka menggodaku."Agatha tertawa lembut, kemudian mengangkat dagunya sedikit. "Keduanya. Tapi aku juga ingin tahu apakah kau benar-benar tahu apa yang kau inginkan."Rohander menggeser tubuhnya sehingga dia bisa melihat mata Agatha dengan lebih jelas. "Dan apa yang kau pikir aku inginkan?"Agatha menatapnya dalam-dalam, suaranya lembut tapi penuh makna. "Aku rasa kau sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kekuasaan dan kontrol. Sesuatu yang bisa membuatmu merasa benar-benar hidup."Rohander
Agatha menatapnya dengan sinis. "Beradaptasi? Apa maksudmu? Aku tidak terlalu yakin kalau mereka akan merasa nyaman dengan kehadiranku.""Awalnya mungkin sulit," jawab Rohander, "tapi mereka akan terbiasa. Aku yakin mereka akan melihatmu dari sudut pandang yang berbeda setelah mereka mengenalmu lebih baik.""Berharap begitu," ujar Agatha, sambil menggenggam tangan Rohander. "Tapi bagaimana kalau mereka tidak pernah bisa menerima aku?"Rohander menatap tangan mereka yang saling bergenggaman, kemudian mengangkat pandangannya ke mata Agatha. "Jika mereka tidak bisa menerima, itu bukan masalahmu. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapi ini bersama."Agatha tersenyum lembut, merasa lebih yakin dengan dukungan Rohander. "Terima kasih. Itu artinya banyak bagiku.""Selalu untukmu," kata Rohander, sambil menarik Agatha lebih dekat. "Tapi jangan pikir aku akan membiarkanmu lolos begitu saja."Agatha mengangkat alis, tertawa kecil. "Oh? Dan apa yang kau rencanakan kali ini?"Rohander mengg
Rohander duduk di meja makan, memperhatikan Agatha yang sibuk menyiapkan piring untuk sarapan. Matanya tak pernah lepas dari sosoknya, dan dia tersenyum kecil melihat betapa alami Agatha di rumahnya. "Jadi, apa rencana kita hari ini?" tanya Agatha sambil meletakkan piring berisi telur dadar di depan Rohander.Rohander menyilangkan tangannya dan bersandar di kursi. "Kurasa aku bisa memikirkan beberapa hal menarik untuk kita lakukan. Mungkin kita bisa keluar sebentar, mengunjungi tempat yang lebih tenang... atau," dia berhenti sejenak, menyeringai, "mungkin kita bisa menghabiskan hari di sini saja, hanya kau dan aku."Agatha menggelengkan kepalanya, tertawa pelan. "Kau selalu mencari alasan untuk tidak keluar, ya? Kau ini seperti vampir yang takut cahaya matahari."Rohander terkekeh sambil mengambil garpu. "Kau tahu, ide itu tidak buruk. Aku suka kesunyian—terutama saat aku bisa menghabiskannya bersamamu."Agatha duduk di depannya dan mulai makan. "Tetapi aku juga butuh udara segar ses
Rohander membawa Agatha ke sofa di ruang tamu dan meletakkannya dengan hati-hati. Dia menatapnya dengan senyum yang penuh makna, lalu duduk di sampingnya, mengunci tatapan mereka. Agatha menatap balik tanpa gentar, meskipun detak jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya."Kau selalu saja penuh kejutan, Rohander. Tapi ini tidak akan membuatku menyerah," ujar Agatha dengan nada menantang.Rohander menyeringai, mendekat sedikit lagi. "Aku tidak pernah berharap kau menyerah, Agatha. Justru, itulah yang membuatmu menarik. Kau selalu melawan, bahkan ketika kau tahu tak ada jalan keluar."Agatha melipat tangannya di dada, mencoba mengabaikan kedekatan Rohander. "Kalau begitu, kau tahu aku bukan orang yang mudah ditaklukkan.""Aku tahu," jawab Rohander dengan tenang. "Itulah kenapa aku tertarik padamu. Tidak ada orang lain yang seberani atau sepintar dirimu." Agatha mendengus, meski ada sedikit senyum yang terselip di wajahnya. "Tersanjung sekali aku."Rohander mengamati wajah Agatha den
Agatha merasa kehangatan dari pelukan Rohander yang membuatnya merasa lebih dekat daripada sebelumnya. Ketika mereka akhirnya melepaskan pelukan, Agatha menatap mata Rohander yang tampak penuh dengan perasaan yang ia sembunyikan selama ini. Suasana menjadi lebih hening, tetapi jauh lebih berat dari sebelumnya, seolah ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan namun keduanya menahan diri."Rohander," Agatha memulai dengan nada lembut namun serius, "aku tahu kau selalu mencoba mengendalikan segalanya. Aku bisa merasakannya sejak awal. Tapi aku bukan sesuatu yang bisa kau miliki sepenuhnya. Kita tidak bisa hidup dalam kendali total, terutama dalam hal perasaan."Rohander menunduk sejenak, seolah kata-kata Agatha menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya. "Aku tahu. Percayalah, aku tahu. Tapi itu bukan hal yang mudah bagiku, Agatha. Aku sudah terbiasa memastikan segalanya berjalan sesuai keinginanku. Ketika sesuatu di luar kendali, aku... merasa lemah."Agatha mendekatkan diri, mengge