Saat Rohander melepaskan pelukan itu, dia memandang Agatha dengan lebih lembut daripada sebelumnya. Agatha, yang biasanya tangguh dan tak gentar di hadapan siapa pun, kini merasakan ada kedekatan yang berbeda dengan pria ini. Namun, ia tahu masih ada sisi gelap di dalam dirinya yang belum sepenuhnya terbuka. Dan baginya, hal itu membuat Rohander semakin menarik.“Jadi,” Agatha memecah kesunyian, “apa lagi yang akan kau sembunyikan dariku?”Rohander tersenyum setengah, seperti biasa menahan diri untuk tidak terlalu terbuka. "Aku tidak bisa menjawab itu sekarang. Ada hal-hal yang lebih baik tetap tidak diketahui."Agatha mengangkat alisnya, tersenyum tipis. “Selalu ada misteri denganmu, ya? Apakah kau tidak lelah menjadi seseorang yang penuh rahasia?”Rohander tertawa kecil. "Terkadang, rahasia adalah satu-satunya hal yang membuatku tetap berdiri. Dalam dunia ini, kepercayaan itu mahal, Agatha. Dan aku harus hati-hati."Agatha menghela napas dan menyentuh lengan Rohander. “Aku tidak mem
Saat Agatha sendirian di ruangan itu, pikirannya berputar. Rohander memang keras, misterius, dan penuh rahasia, namun ada sesuatu di balik itu semua yang membuatnya tak bisa menjauh. Dia tahu ada lebih banyak hal yang belum Rohander ceritakan, dan ia merasa tertantang untuk menemukan semuanya.Tak lama, suara langkah kaki terdengar mendekat. Agatha memutar kursinya sedikit untuk melihat siapa yang datang. Pintu terbuka, dan Rohander kembali masuk. Kali ini, wajahnya terlihat lebih serius, namun tidak ada jejak ketegangan di dalamnya."Semua sudah beres?" tanya Agatha dengan nada menggoda, mencoba mencairkan suasana.Rohander hanya mengangguk. “Untuk saat ini, ya.”Agatha menatapnya dengan mata menyipit, mencari sesuatu di balik jawabannya. "Apa aku perlu khawatir tentang sesuatu? Kau terlihat lebih tegang dari biasanya."Rohander berjalan mendekati Agatha, duduk di kursi di depannya. "Bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan. Tapi kau perlu tahu, Agatha, semakin dekat kau denganku, se
Agatha dan Rohander duduk dalam keheningan yang penuh makna. Setiap kata yang terucap sebelumnya tampaknya menciptakan sebuah jembatan yang menghubungkan dua jiwa yang sangat berbeda. Mereka berdua tahu bahwa mereka tidak bisa lagi mundur dari jalur ini."Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Agatha akhirnya, mencoba mengalihkan perhatian dari ketegangan yang masih tersisa di udara. "Aku yakin kau tidak hanya memikirkan tentang aku saat ini."Rohander menatapnya dengan tatapan tajam, namun kali ini tampak lebih lembut. "Ada beberapa masalah yang perlu aku tangani. Namun, aku harus memastikan bahwa kau aman sebelum melanjutkan."Agatha mengangkat alisnya, sedikit tertawa. "Kau tahu, kau bisa mempercayai aku untuk menjaga diriku sendiri."Rohander menggelengkan kepala, tetap dengan ekspresi serius. "Ini bukan tentang mempercayai atau tidak mempercayai. Ini tentang melindungi orang yang aku pedulikan. Dan saat ini, itu termasuk kamu.""Kenapa kau begitu peduli?" tanya Agatha, penasaran
Agatha duduk dalam kesunyian, matanya menatap keluar jendela. Bayangannya tentang Rohander terus mengisi pikirannya, dan ia bertanya-tanya bagaimana pria seperti dia bisa begitu dingin namun penuh perhatian sekaligus. Dia menggigit bibir, mencoba menyingkirkan kekhawatiran yang tiba-tiba muncul. Lalu, tanpa sadar, suara pintu yang terbuka perlahan membawanya kembali ke kenyataan. Alex kembali memasuki ruangan dengan ekspresi tegang. "Rohander memintaku untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja. Dia sepertinya akan lebih lama dari yang dia kira." Agatha menghela napas, sedikit tersenyum. "Dia selalu mengawasi, ya? Bahkan ketika dia tidak ada." "Dia seperti itu," jawab Alex dengan senyum setengah. "Dia punya caranya sendiri untuk memastikan orang-orang yang dia pedulikan tetap aman." Agatha mengangguk. "Tapi aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayangannya, Alex. Aku harus bisa berdiri sendiri." Alex tersenyum tipis. "Aku mengerti. Tapi kau juga harus tahu bahwa dia peduli. Dia
Rohander dan Agatha tetap berdiri dalam diam, jarak mereka semakin memudar seiring dengan ketegangan di ruangan itu. Agatha masih menatap Rohander dengan tajam, namun di balik sorot matanya ada kelembutan yang mulai terbentuk. “Kenapa kamu selalu merasa harus melindungi semua orang, Rohander?” Agatha akhirnya bertanya, suaranya sedikit lebih lembut, mencoba menjangkau sisi dalam dari pria yang jarang membuka hatinya. "Apakah itu karena masa lalumu?" Rohander memalingkan wajah, tapi tak sepenuhnya menghindari pertanyaannya. “Aku sudah kehilangan banyak hal. Terlalu banyak... Jika aku bisa mencegah sesuatu yang buruk terjadi padamu, maka aku akan melakukan apa pun.” “Tapi kamu tidak bisa terus hidup seperti itu,” jawab Agatha, menyentuh lengan Rohander dengan lembut. “Aku bukan orang yang akan pergi begitu saja, tapi aku juga bukan boneka yang harus kamu kendalikan setiap saat.” Rohander menarik napas dalam-dalam, melawan perasaannya. “Kamu tidak tahu apa yang ada di luar sana, Agath
Agatha menarik tangannya perlahan dari genggaman Rohander. Meskipun ada kesedihan yang samar di tatapan Rohander, dia tidak menghentikan Agatha. Dia tahu bahwa memberi Agatha sedikit ruang adalah langkah yang benar, meskipun perasaan posesifnya masih bergelora. Agatha berjalan ke arah pintu, tapi sebelum melangkah keluar, dia berhenti dan berbalik menatap Rohander. "Aku tahu kamu tidak suka melepaskan kendali, tapi jika kamu benar-benar percaya padaku, Rohander, kamu harus mencoba. Ini bukan hanya tentang aku, ini tentang kita." Rohander menatapnya dalam diam, matanya penuh dengan konflik. "Aku mencoba, Agatha. Tapi sulit." Agatha mengangguk, menghargai kejujuran itu. "Aku tahu. Dan itu cukup untukku saat ini." Mereka saling menatap beberapa detik lagi sebelum Agatha melangkah keluar ruangan, meninggalkan Rohander sendirian dengan pikirannya. Rohander menghela napas berat, matanya tertuju pada pintu yang baru saja ditutup oleh Agatha. Anak buah bayangannya kembali muncul dari bay
Agatha melanjutkan langkahnya menuju pintu masuk mansion, merasa suasana malam yang sejuk mengisi kepalanya dengan rasa segar. Namun, di dalam pikirannya, ada bayangan Rohander yang terus membayang, memikirkan bagaimana dia bisa menyeimbangkan antara kebebasan dan hubungan yang rumit ini. Saat dia membuka pintu utama, dia melihat Rohander berdiri di ruang tamu, tampak sedang menunggu dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca. Seakan merasakan kedatangan Agatha, dia berbalik dan menatapnya. "Ke mana saja kamu?" tanya Rohander, suaranya terdengar datar namun dengan nada yang sulit untuk diabaikan. Agatha mendekat, berusaha menenangkan hatinya. "Aku hanya butuh waktu sejenak untuk diri sendiri. Berjalan di luar, menikmati udara segar." Rohander mengangguk, tetapi tidak menjawab. Dia berdiri tegak, matanya mengikuti setiap gerak Agatha. "Kau terlihat berbeda." Agatha tersenyum tipis. "Mungkin karena aku merasa lebih baik sekarang." Rohander mengerutkan kening. "Lebih baik? Dari apa?"
Agatha dan Rohander duduk di ruang tamu, suasana malam yang tenang mengisi ruangan dengan ketenangan. Rohander menyandarkan tubuhnya di sofa, sementara Agatha duduk di kursi dekat jendela, memandang keluar dengan penuh perhatian. Ada keheningan sejenak sebelum Rohander memecah suasana. "Jadi, apa rencanamu besok?" tanya Rohander sambil memandang Agatha dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Agatha berpaling ke arahnya, senyum kecil tersungging di bibirnya. "Rencana? Mungkin tidur sampai siang. Aku merasa seperti manusia zombie hari ini." Rohander tertawa lembut. "Jadi, kamu menganggap dirimu seorang zombie? Aku rasa itu alasan yang cukup baik untuk tidur lebih lama." Agatha membalas senyum Rohander dengan penuh canda. "Ya, dan aku juga mungkin akan menghabiskan waktu menonton film dan makan popcorn. Aku sangat bersemangat untuk beristirahat." Rohander berusaha menahan tawa. "Kedengarannya seperti rencana yang sangat menghibur. Aku harus mengingatnya, jika aku ingin menjadi seoran
Pisau di tangan Rohander memancarkan sinar biru yang tajam, membuat seluruh ruangan seperti terselimuti kabut dingin. Agatha merasakan hawa aneh menyusup ke kulitnya, seperti sesuatu sedang mencoba menyeretnya ke dalam kegelapan."Pisau itu…" Clara bergumam, matanya melebar. "Itu bukan senjata biasa. Dia menggunakan sesuatu yang tidak manusiawi!"Rohander tersenyum puas, mencium ketakutan di wajah mereka. "Kalian benar, Clara. Pisau ini adalah warisan dari tempat yang tak bisa kalian bayangkan. Hanya sedikit yang berani menyentuhnya, apalagi menggunakannya."“Omong kosong!” seru Agatha, mencoba menenangkan kegelisahannya. “Pisau itu tidak akan menyelamatkanmu dari apa yang sudah kau lakukan, Rohander!”“Oh, sayangku, ini bukan soal menyelamatkan,” Rohander mengayunkan pisau itu perlahan, dan sebuah retakan aneh muncul di udara, seperti kaca yang pecah. "Ini soal memastikan kau tak pernah pergi dariku."Retakan itu melebar, dan dari baliknya muncul bayangan-bayangan gelap berbentuk sep
Di dalam vila, Agatha merasakan detik-detik itu bergerak lebih lambat dari biasanya.Rohander berdiri di dekat perapian, tatapannya seperti pemangsa yang tidak sabar menunggu mangsanya jatuh ke dalam perangkap. Agatha menundukkan kepala, pura-pura menyerah sementara pikirannya bekerja cepat untuk memikirkan langkah selanjutnya."Kau tahu, Agatha," Rohander memulai, nada suaranya santai namun menusuk, "aku selalu kagum pada ketabahanmu. Bahkan ketika kau mencoba melarikan diri dariku, kau melakukannya dengan cara yang mengesankan."Agatha mendongak, matanya bertemu dengan matanya yang dingin. "Dan itu tidak memberitahumu sesuatu, Rohander? Aku tidak ingin berada di sini."Rohander menghela napas, seolah-olah dia bosan mendengar penolakan itu. "Mungkin aku harus lebih jelas. Kau tidak punya pilihan lagi. Aku sudah memberimu waktu dua tahun, Agatha. Cukup sudah."Sebelum Agatha sempat membalas, pintu ruang tamu terbuka. Seorang pria berseragam hitam masuk dan berbisik di telinga Rohander
Di luar, malam terasa mencekam. Suara tembakan masih terdengar berselang-seling, membuat langkah mereka semakin terburu-buru. Agatha berusaha menjaga ketenangannya meski tubuhnya masih lemah. Clara berjalan di depan, memimpin mereka menuju mobil yang sudah disiapkan di sisi lain properti.“Siapa yang menyerang?” tanya Rohander dengan nada penuh ancaman, matanya menyapu area sekitar seperti elang mengintai mangsa.“Orang-orang dari faksi yang selama ini bersembunyi,” jawab Clara cepat, tapi ia tidak memberi detail lebih jauh.“Apa maksudmu dengan ‘faksi’? Jelaskan, Clara!” desak Rohander, namun Clara tetap fokus berjalan.Agatha, yang berjalan di belakang mereka, mendesah pelan. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya, Rohander?” katanya dengan nada mengejek. “Selama ini kau sibuk menjaga kekuasaanmu, tapi kau lupa bahwa kekuasaan selalu menarik musuh dari bayang-bayang.”Rohander menoleh tajam. “Jika ini tentang pengkhianat dalam organisasiku, aku akan menyelesaikannya.”“Bukan hanya
Malam itu, setelah kejadian di galeri, Agatha duduk di balkon apartemennya, menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sejuk berhembus pelan, membawa ketenangan yang aneh namun tidak sepenuhnya menghapus kegelisahan di dalam dirinya. Pertemuan dengan Rohander tadi masih mengendap di pikirannya, mengusik setiap sudut emosi yang berusaha ia kubur selama dua tahun terakhir.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Clara."Kau baik-baik saja? Aku melihat wajahmu setelah pria itu pergi."Agatha tersenyum tipis, meski sedikit pahit. Clara selalu perhatian padanya. Ia mengetik balasan dengan cepat."Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli. Jangan khawatir, aku tahu apa yang harus kulakukan."Namun, apa benar ia tahu? Suara Rohander masih terngiang-ngiang di kepalanya, terutama kalimat terakhir yang diucapkannya: "Aku tidak akan menyerah."Agatha memejamkan matanya, mencoba menepis rasa takut dan keraguan. Ia telah bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang damai ini, dan
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu