Malam semakin larut saat Agatha dan Rohander melangkah menuju mobil mereka. Keberadaan bintang-bintang di langit malam membuat suasana terasa magis dan penuh janji. Rohander membuka pintu mobil untuk Agatha dengan sopan, lalu duduk di kursi pengemudi dan memutar kunci kontak. "Jadi, ke mana kita akan pergi untuk popcorn dan cola ini?" tanya Agatha dengan penuh antusiasme, melirik ke arah Rohander yang mulai mengemudikan mobil. Rohander tersenyum penuh kemenangan. "Aku sudah menyiapkan tempat favoritku. Tempat ini memiliki popcorn yang menurutku sulit ditandingi, dan cola yang sangat menyegarkan." "Bagus sekali!" Agatha berseru sambil mengedipkan mata. "Aku sudah siap untuk tantangan ini. Tapi ingat, aku akan mengawasi setiap gerakanmu." "Dan aku akan siap untuk setiap upaya untuk mencuri popcorn dari kamu," kata Rohander sambil memelintir stir mobil dengan percaya diri. "Kita akan lihat siapa yang bisa mengalahkan siapa." Sesampainya di tempat tujuan, Agatha melihat sebuah bioskop
Setelah keluar dari bioskop, suasana di antara Agatha dan Rohander mulai berubah, ketegangan samar terasa di udara. Saat mereka mendekati mobil, Rohander tiba-tiba menghentikan langkahnya, menatap langit malam yang berkilauan.“Ada yang salah?” tanya Agatha dengan nada khawatir.Rohander tidak langsung menjawab, melainkan menarik napas dalam. “Kadang, Agatha, aku merasa terlalu nyaman saat bersamamu. Seolah-olah... segalanya terlalu sempurna, dan itu membuatku takut.”Agatha berhenti, menatapnya dengan tatapan serius. "Apa yang kamu takutkan sebenarnya, Rohander?"Rohander akhirnya menatapnya, matanya gelap dan intens. "Aku takut kehilangan kendali. Setiap kali kamu ada, segalanya berubah. Aku, yang biasanya begitu tegas dan berkuasa... menjadi lemah."Agatha tertawa kecil, tetapi suaranya tegang. "Jadi, ini masalahmu? Kamu takut bahwa kamu manusia seperti orang lain?"Rohander merengut. “Kamu tak mengerti. Dunia yang aku tinggali bukan dunia biasa. Aku selalu di atas, selalu memiliki
Ketika malam mulai menjelang, suasana di apartemen Rohander mulai tenang. Agatha duduk di balkon, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang. Ada perasaan yang sulit dijelaskan di hatinya. Keamanan yang Rohander janjikan terasa nyata, namun begitu menyesakkan. Rohander, yang duduk di seberang Agatha, sesekali meliriknya. Ketenangan ini terasa sementara, seperti badai yang sedang menunggu untuk datang. Dan ternyata, perasaan itu benar.Suara interkom di pintu depan berbunyi. Rohander langsung berdiri, gerakannya tegas dan waspada. Dia berjalan cepat menuju pintu dengan langkah yang penuh intensitas, sementara Agatha menoleh, merasa ada sesuatu yang tidak beres."Siapa itu?" tanya Agatha dengan sedikit khawatir.Rohander tidak menjawab, hanya memberikan isyarat dengan tangannya agar Agatha tetap di tempat. Ada sesuatu dalam gerakannya yang membuat Agatha waspada, seperti seekor binatang buas yang mendeteksi ancaman.Ketika Rohander membuka pintu, seseorang berdiri di ambang pintu. S
Suasana malam di mansion Rohander terasa tegang. Setelah hari yang panjang, Agatha sedang duduk santai di ruang tengah, ditemani suasana yang sepi. Pelayan di rumah itu selalu tampak takut dan menjaga jarak dari Rohander—begitu pula dari Agatha. Namun, malam ini ada yang berbeda.Seorang pelayan datang menghampiri dengan langkah ragu-ragu, membawa sebuah kotak hitam kecil. Tangannya gemetar, wajahnya pucat, seolah kotak itu membawa kabar buruk."Maaf, Nona Agatha," kata pelayan itu, suaranya bergetar. "Ada paket ini... baru saja tiba. Untuk Anda."Agatha menatap pelayan itu tanpa ekspresi, lalu menatap kotak hitam di tangannya. Ada sesuatu yang aneh dan mendebarkan dalam perasaannya, tetapi dia tetap tenang."Letakkan di sini," katanya pelan sambil menunjuk meja di depannya. Pelayan itu meletakkan kotak dengan hati-hati, seolah takut isinya bisa meledak kapan saja, lalu mundur dengan cepat.Agatha memandangi kotak itu selama beberapa detik, tidak terburu-buru. Rohander yang baru saja
Suaranya rendah dan penuh otoritas seperti biasanya. Di sela-sela obrolan, Agatha mencuri dengar potongan kata tentang "pembayaran," "pengkhianatan," dan "pergerakan baru." Meski terbiasa dengan dunia gelap di sekitar Rohander, kali ini ada sesuatu yang terasa berbeda. Sesuatu yang lebih mendesak.“Rohander, ada sesuatu yang tidak kau ceritakan padaku, bukan?” tanya Agatha, suaranya lembut namun penuh ketegasan, saat Rohander selesai dengan teleponnya.Rohander menatapnya, matanya seolah mempertimbangkan sesuatu. “Ada hal-hal yang tidak perlu kau tahu, Agatha,” jawabnya datar.Agatha berdiri, berjalan mendekat dan menghentikan langkah di depannya. “Kau tahu aku bukan orang yang akan diam saja. Kita melewati terlalu banyak hal bersama untuk menyembunyikan apapun.”Rohander menghela napas, menatap Agatha dalam. “Seseorang dari masa laluku kembali. Orang yang seharusnya sudah lama mati.”Tatapan Agatha mengeras. “Siapa?”"Lucas," ucap Rohander perlahan, seolah menyebut nama yang membawa
Beberapa hari setelah kepergian Rohander, sebuah pesan singkat sampai di mansion. Kabar dari Rohander, yang menyatakan bahwa urusan di luar negeri akan memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan. Semua orang di mansion terlihat gelisah—tanpa Rohander di sekitar, mereka merasa lebih terancam. Namun, Agatha tetap tenang seperti biasa, mengabaikan kekhawatiran yang dirasakan semua orang.Suatu malam, setelah makan malam, mansion tiba-tiba dilanda kepanikan. Pelayan-pelayan berlari dari satu ruangan ke ruangan lain, mencari Agatha yang mendadak menghilang. Namun, meski semua tahu betapa seriusnya situasi ini, tidak ada yang berani melaporkan kejadian itu pada Rohander. Agatha sebelumnya sudah memberikan instruksi dengan tegas:"Jangan beritahu Rohander tentang apa pun yang terjadi. Percayalah, aku tahu ini akan terjadi."Perintah itu diikuti, walaupun perasaan cemas menghantui mereka semua. Agatha memang sudah memperkirakan bahwa Lucas akan bergerak cepat, dan malam itu ia benar. Agath
Agatha terus berulah sepanjang hari, membuat para penjaga di markas Lucas kewalahan. Dari mengganggu jadwal makan hingga memprovokasi tahanan lain, dia tidak pernah kehabisan akal untuk menciptakan kekacauan. Setiap beberapa jam sekali, Lucas menerima laporan dari anak buahnya tentang kejenakaan Agatha. Wajahnya semakin tegang setiap kali mendengar bagaimana perempuan itu terus-menerus mencari masalah. "Dia tidak bisa dibiarkan terus seperti ini, Tuan," kata salah satu bawahannya ketika datang dengan laporan terbaru. "Dia sudah memprovokasi tiga tahanan lain dan membuat beberapa orang hampir berkelahi. Apa yang harus kami lakukan?"Lucas menghela napas panjang, berusaha menahan frustrasi yang semakin memuncak. "Biarkan saja. Aku akan menghadapinya nanti."Namun, dalam hatinya, dia mulai merasakan kelelahan. Tidak seperti tahanan lain yang langsung menyerah pada ketakutan, Agatha tampaknya tidak mengenal rasa takut. Dan itu mulai mengganggu pikirannya.Suatu malam, saat markas mulai s
Rohander, yang masih memegang Agatha di pelukannya, memutuskan untuk segera membawanya keluar dari tempat Lucas. Begitu mereka sampai di mobil, kemarahan yang ditahan sejak tadi mulai meledak."Apa yang kau pikirkan, Agatha?" suara Rohander menggelegar, membuat suasana di sekitar mereka semakin tegang. "Beraninya kau mengambil keputusan sendiri, tidak melapor padaku? Kau tahu ini bisa saja berakhir buruk!"Agatha, yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan senyum tipis di bibirnya, tiba-tiba terbatuk pelan. Rohander berhenti sejenak, mengamati wajahnya yang mendadak pucat. “Agatha, ada apa?” tanyanya, suaranya berubah menjadi lebih tenang, meskipun amarah masih menggelegak di bawah permukaan.Agatha menundukkan kepala, mengangkat tangan untuk menutup mulutnya, tapi tak mampu menahan batuk yang lebih keras lagi. Saat tangannya terangkat kembali, bercak-bercak merah darah terlihat jelas di telapak tangannya."Agatha!" Suara Rohander berubah dari kemarahan menjadi kekhawatiran dalam sekej
Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu