"Ayah pulang." Dengan wajah lelah, seorang lelaki berusia empat puluhan memasuki rumah. Ia harus pulang terlambat akibat insiden menyebalkan di kereta api. Beruntung ia akhirnya dapat bebas. Ya, ia hanya perlu memberikan sejumlah uang, dan manusia-manusia budak rupiah itu dengan cepat membebaskannya.Semudah itu. "Sayang?" panggilnya. Biasanya anaknya akan berlari menyambut kedatangannya. Tumben anak dan istrinya tidak terlihat."Sayang? Misa?" Kakinya melangkah cepat memasuki rumah. "Saya—ha!" Langkahnya mendadak terhenti saat melihat anak dan istrinya tergeletak di bawah tangga. "Sayang! Misa!"Panik langsung menderanya hingga ia melempar asal tas kerjanya dan berlari menuju anak dan istrinya. Belum sampai beberapa langkah, ia hampir terjungkal saat suara tembakan menggema di keheningan siang waktu itu.Dor!Lampu besar di ruangan tersebut langsung pecah. Jatuh berserak tak karuan. Beberapa detik kemudian langkah kaki teratur terdengar mendekat. Pelan sekali. Semakin dekat, sema
"Bajingan! Sialan! Brengsek!" Maki Agatha seraya menyeka bibirnya yang terlihat bengkak akibat ulah Rohander, bahkan jika saja ia tidak berusaha melepaskan dirinya. Agatha yakin dirinya tidak di jalan saat ini, melainkan diatas kasur melayani nafs* gila Rohander yang seakan tak ada habisnya. Berjalan dengan kesal, Agatha saat ini tengah menuju ke sebuah pemakaman. Tpi bukan pemakaman kedua orang tuanya, tapi pemakaman tempat orang yang berjasa menhgajarkannya segala hal tentang dunia setelah orang tuanya tewas. "Bagaimana kabarmu, guru? Apa didalam sana begitu nyaman?"Yah, Bara Collins. Seorang Pria berumur 45 tahun yang sayangnya harus tewas akibat pengianatan anak didiknya sendiri. Bara Collins, adalah seorang pengajar strategi dan bela diri yang bekerja untuk sekelompok mafia terkenal. Statusnya sebagai mantan pembunuh bayaran yang amat ditakuti, membuat beberapa organisasi mafia mempercayakan anak buah mereka untuk ia didik. Walau memiliki sifat dingin dan tegas, Bara pada ny
"Butuh bantuan?" Tanya Rendra yang sontak membuat Agatha menatap Pria itu seraya berpikir apakah ia akan menerima bantuan Pria di depannya, tidak tahu apa yang dilakukan Rendra untuk membantunya."Bagaimana cara kau membantuku?" Tanya Agatha cepat saat melihat Leo yang mulai mendekati mejanya.Rendra tersenyum penuh arti, sebelum menepuk pahanya. "Kemarilah, duduk di pangkuanku."Agatha membulatkan matanya, terkejut dengan perkataan Rendra. "Apa kau sudah tidak waras?! Bagaimana bisa aku duduk dipangkuan Pria yang baru saja kutemui?!" Tekan Agatha dengan nada pelan agar Leo tak mencurigainya.Tinggal beberapa langkah, Agatha akhirnya menyerah dan duduk di pangkuan Rendra dengan perasaan kesal bercampur marah. Sampai akhirnya Leo berada tepat di samping meja mereka, menatap Agatha dengan penuh banyak pertanyaan dibenaknya."Apa dia kekasihmu Agatha?" Tanya Leo yang penasaran dengan Rendra, yang nampak tenang pada duduknya seraya menyesap secangkir kopi ditangannya.Agatha diam sebentar
Dengan bermodalkan kartu hitam milik Rohander. Agatha dengan berani membeli sebuah mobil mewah dengan harga fantasitis, akibat kemarahannya pada Leo.Ferrari Pininfarina Sergia merah metalik melaju di jalanan pinggiran kota new york yang sepi sekalipun baru sore hari. Itu karena di sepanjang jalan hanya ada cafe, kedai kecil dan bangunan-bangunan tua yang seperti tidak terawat. Agatha menginjak pedal gas, mengendarai mobilnya lebih kencang lagi. Sekalipun nanti itu membuatnya tertangkap kamera pengawas polisi karena melewati batas kecepatan, atau menabrak jalan—Agatha tidak peduli. Bahkan, mati sekarang akan jadi hal yang lebih baik. Mungkin... Agatha mencengkeram roda kemudinya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih. Berharap itu akan melampiaskan perasaannya yang campur aduk. Ia ingin berteriak—tapi tidak bisa. Berkali-kali Agatha mengusap matanya yang buram oleh air mata. Namun, detik selanjutnya air mata sialan itu meluncur kembali, senada dengan dadanya yang sesak—sakit. Nyeri.A
Sibuk dengan kegiatannya, Agatha tidak menyadari jika Rohander kini berdiri dibelakangnya. Bahkan saat Pria itu tersenyum didepan cermin yang Agatha gunakan, tapi hal itu tidak membuat perhatian Agatha tertuju padanya--menatap ponselnya dengan perasaan kesal.Sampai Agatha merasakan sesuatu berhembus dikulit lehernya, ia menatap cermin didepannya. Walaupun terkejut dengan kehadiran Rohander yang entah tahu bagaimana bisa Pria itu mengetahui lokasinya, Agatha diam saja menatap Rohander yang kini menatapnya dengan tatapan setajam elang.Membelai rahang Agatha, Rohander berucap. "Kau sangat cantik dengan penampilan ini, apa kau melakukan ini untuk membujukku hmm?"Agatha mengerutkan keningnya, sesaat terdiam hingga ia menyadari waktu saat ini yang telah menunjukan pukul 22.15. Yang berarti sudah lewat 2 jam lebih dari waktu makan malam."Maaf." Ucap Agatha singkat, namun terdengar begitu terpaksa di dengar Rohander. Yah... mungkin karena ia tidak biasa dengan Agatha yang mudah meminta ma
Rohander tertawa kecil, menatap Agatha yang masih terengah setelah ciuman itu. "Apa? Kaget?"Agatha menelan ludah, berusaha memulihkan kesadarannya. "Kau... tidak bisa serius mengatakan hal itu."Rohander mengangkat alis, wajahnya kini berubah serius. "Dan kenapa aku tidak bisa serius? Agatha, sudah lama aku menahan diri untuk mengatakan ini."Agatha menatap pria itu tajam, meskipun dadanya masih berdebar kencang. "Kau tak pernah serius dengan siapa pun, apalagi soal perasaan. Jangan bermain-main denganku, Rohander."Pria itu menyeringai, wajahnya mendekat lagi ke arah Agatha. "Kau benar, aku tidak pernah serius sebelumnya. Tapi denganmu, semuanya berbeda."Agatha menghela napas panjang, mencoba menjauh dari Rohander namun pria itu tidak memberinya kesempatan. "Kau selalu seperti ini... ingin mendominasi, memaksakan segalanya sesuai kehendakmu."Rohander tersenyum tipis, tangannya terulur membelai rambut Agatha dengan lembut. "Aku tahu kau tidak suka dipaksa, tapi jangan lupa, aku sel
Rohander bangkit dari ranjang dengan cepat dan mendekat ke arah Agatha, matanya penuh semangat. "Agatha, kau benar-benar ingin bermain-main denganku malam ini?"Agatha berdiri dengan tegak, senyum licik di wajahnya. "Kau tidak berani, kan? Atau kau hanya bisa bicara besar tapi tidak berani bertindak?"Rohander mengerutkan kening. "Jadi kau ingin membuatku mengejar? Baiklah. Aku akan menunjukkan padamu siapa yang sebenarnya memegang kendali di sini."Agatha melirik ke arah jendela besar di ruangan itu, lalu kembali menatap Rohander dengan penuh tantangan. "Tunggu sebentar, aku ingin memastikan semua siap."Rohander mengikuti tatapan Agatha, kemudian kembali menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau rencanakan?"Agatha hanya tersenyum dan mulai bergerak ke arah meja kecil di sudut ruangan. "Akan kubiarkan kau mencari tahu sendiri. Kadang-kadang, yang membuat permainan ini lebih menarik adalah kejutan yang tidak terduga."Rohander menggelengkan kepala, tapi senyumnya tidak pudar.
Rohander merangkul Agatha dengan erat, matanya tidak pernah lepas dari wajahnya. "Kau tahu, Agatha, setiap kali kau menantangku seperti ini, aku merasa seperti sedang menguji batas diriku sendiri."Agatha tersenyum kecil, membiarkan tangannya bergerak lembut di punggung Rohander. "Mungkin aku hanya ingin melihat sejauh mana kau bisa pergi. Apakah kau benar-benar bisa menangani semua ini."Rohander membalas senyum Agatha dengan tatapan serius. "Jadi ini tentang pengujian? Aku pikir kau hanya suka menggodaku."Agatha tertawa lembut, kemudian mengangkat dagunya sedikit. "Keduanya. Tapi aku juga ingin tahu apakah kau benar-benar tahu apa yang kau inginkan."Rohander menggeser tubuhnya sehingga dia bisa melihat mata Agatha dengan lebih jelas. "Dan apa yang kau pikir aku inginkan?"Agatha menatapnya dalam-dalam, suaranya lembut tapi penuh makna. "Aku rasa kau sedang mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kekuasaan dan kontrol. Sesuatu yang bisa membuatmu merasa benar-benar hidup."Rohander
Di luar, malam terasa mencekam. Suara tembakan masih terdengar berselang-seling, membuat langkah mereka semakin terburu-buru. Agatha berusaha menjaga ketenangannya meski tubuhnya masih lemah. Clara berjalan di depan, memimpin mereka menuju mobil yang sudah disiapkan di sisi lain properti.“Siapa yang menyerang?” tanya Rohander dengan nada penuh ancaman, matanya menyapu area sekitar seperti elang mengintai mangsa.“Orang-orang dari faksi yang selama ini bersembunyi,” jawab Clara cepat, tapi ia tidak memberi detail lebih jauh.“Apa maksudmu dengan ‘faksi’? Jelaskan, Clara!” desak Rohander, namun Clara tetap fokus berjalan.Agatha, yang berjalan di belakang mereka, mendesah pelan. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya, Rohander?” katanya dengan nada mengejek. “Selama ini kau sibuk menjaga kekuasaanmu, tapi kau lupa bahwa kekuasaan selalu menarik musuh dari bayang-bayang.”Rohander menoleh tajam. “Jika ini tentang pengkhianat dalam organisasiku, aku akan menyelesaikannya.”“Bukan hanya
Malam itu, setelah kejadian di galeri, Agatha duduk di balkon apartemennya, menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sejuk berhembus pelan, membawa ketenangan yang aneh namun tidak sepenuhnya menghapus kegelisahan di dalam dirinya. Pertemuan dengan Rohander tadi masih mengendap di pikirannya, mengusik setiap sudut emosi yang berusaha ia kubur selama dua tahun terakhir.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Clara."Kau baik-baik saja? Aku melihat wajahmu setelah pria itu pergi."Agatha tersenyum tipis, meski sedikit pahit. Clara selalu perhatian padanya. Ia mengetik balasan dengan cepat."Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli. Jangan khawatir, aku tahu apa yang harus kulakukan."Namun, apa benar ia tahu? Suara Rohander masih terngiang-ngiang di kepalanya, terutama kalimat terakhir yang diucapkannya: "Aku tidak akan menyerah."Agatha memejamkan matanya, mencoba menepis rasa takut dan keraguan. Ia telah bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang damai ini, dan
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I