"Hmm, sudah dulu ya." Lalu mematikan sambungan ponselnya secara sepihak, Agatha dengan perasaan campur aduk melangkah mundur sebelum akhirnya membalikan tubuhnya.
Disaat yang sama, beberapa orang datang menghampirinya. Mereka adalah orang-orang yang sama, dengan yang mengejar Agatha sore tadi. Tapi bedanya Agatha tak berlari, seakan tubuhnya lemas tak sanggup untuk melangkah cepat. "Nona? Tuan-" perkataan salah satu Pria yang saat ini berada didekat Agatha terputus, kala melihat wajah kosong bak wadah tanpa jiwa milik Agatha. Tak seperti sore tadi, tak ada perlawanan maupun kata-kata makian. Membuat Pria yang mengikuti Agatha sontak mengirim pesan pada Rohander yang mengawasi tak jauh dari mereka. Menerima pesan itu, Rohander tersenyum senang. Mengetahui reaksi Agatha sesuai dengan perkiraannya, Rohander lalu turun dari mobilnya dan mendekati Agatha. "Apa kau tidak lelah mengikutiku?" Tanya Agatha yang kini berhadapan dengan Rohander, Pria yang ia hindari selama 1 tahun terakhir. Rohander terkekeh pelan, ia mendekati Agatha. Mengikis jarak diantara mereka, dan membelai wajah lesu penuh kekecewaan Wanita didepannya. "Apa kau tidak lelah menghindariku hmm?" Jawab Rohander yang bertanya balik pada Agatha. Agatha menutup matanya, suara dari Pria didepannya saat ini membuat ia merasa pertahanan yang ia bangun retak seketika. Seperti sebuah suara orang terdekatnya, yang berusaha untuk menenangkannya. Agatha bingung, mengapa orang seharusnya menjadi sandarannya malah jauh darinya? Dan orang yang seharusnya jauh darinya malah didekatnya? "Mereka mengkhianatiku..." adu Agatha, dengan mata yang berkaca-kaca. "Mereka semua! Ha-hatiku sakit!" Mendengar itu, Rohander tersenyum kecil sebelum membawa wanita didepannya masuk kedalam dekapannya, yang mana rengkuhan dari Rohander mampu membuat Agatha sontak meruntuhkan pertahanannya. Wanita tegar itu menangis sejadi-jadinya, dalam dekapan pria asing yang tak pernah dekat dengannya. "Hiks!..." "Ssstttt... jangan menangis, itu membuatku ingin memotong mereka yang mengkhianatimu hidup-hidup. Hanya aku sayang, hanya aku yang berhak membuatmu menangis. Mereka tidak berhak atas air matamu yang jatuh sayang, sudah yah..." Dengan perkataan itu, Agatha menyalurkan rasa kecewanya pada Rohander. Berharap rasa sakit dihatinya berkurang, dan benar saja. Rasa nyeri dihati Agatha menghilang saat Rohander dengan lembutnya menepuk punggungnya, menenangkannya seperti seorang anak kecil. Perlahan tapi pasti, Agatha menghentikan tangisannya. Namun saat Agatha ingin menjauhkan dirinya dari Rohander, Pria itu malah kembali menariknya masuk kedalam pelukan Pria itu. Lalu berbisik, "Karena sudah tertangkap, maka tak akan pernah kulepaskan." Agatha dalam kekecewaan hatinya terkekeh pelan, "aku tidak akan lari," Rohander tertawa pelan, Pria itu menggelengkan kepalanya. Lalu tanpa aba-aba mengangkat Agatha, menggendongnya ala bridal style. Membawa wanita itu kedalam mobilnya, tanpa membiarkan Agatha lepas darinya. "Buat dirimu nyaman sayang, aku tidak akan melepaskanmu mulai malam ini. Jiwamu dan tubuhmu adalah milikku sekarang dan sampai kita tua nanti, jadi jangan pernah berpikir untuk lepas dariku." "Bagaimana jika aku berpikir demikian?" Tantang Agatha. Yang membuat Rohander merubah mimik wajahnya menjadi datar, Pria itu lalu mendekati wajah samping Agatha kemudian berbisik. "Jangan coba-coba sayang, pemikiranmu bisa membuatku menyakitimu!" Agatha diam beberapa saat, bukan karena takut pada ancaman Rohander. Tapi karena memikirkan tentang flashdisk yang dibawanya saat ini, Agatha lalu menatap Rohander yang masih berada pada posisinya. Dengan jarak yang sangat dekat, Agatha bertanya. "Apa mungkin seseorang didunia ini mampu mengetahui rahasia kejahatan yang tak muncul dipermukaan?" Keadaan hening setelah Agatha menyampaikan apa yang berada dipikirannya saat ini, hingga sebuah kecupan mendarat dibibirnya. Kecupan yang lama kelamaan menjadi cium*n, yang kian berubah menjadi lumatan kasar. Meski mendapat serangan mendadak, Agatha nampak membiarkan Rohander bermain-main dengan bibirnya. Tanpa bergerak, dan tanpa perlawanan yang berarti. Agatha malah fokus pada mata terbuka Rohander yang melumat bibirnya, mata penuh dengan kekejaman yang terkesan membuat siapapun yang menatap mata itu akan tahu jika Rohander adalah seorang Pria yang memiliki kekuasaan tinggi. "Akht!" Pekik Agatha saat Rohander meremas kedua buah dadanya, dengan keadaan kesal bercampur marah Agatha menjauhkan tangan Rohander. "Kau menolakku Sweatheart?" Tanya Rohander yang nampak tak senang dengan penolakan yang diberikan Agatha padanya, dan Agatha menyadari jika aura disekelilingnya berubah drastis. Membuat dirinya dan sang supir yang merasa terketekan dengan itu, tapi walau begitu Agatha tetap pada ketenangannya. "Salahkan dirimu yang meremas buah dadaku dengan tiba-tiba!" Balas Agatha dengan nada cukup tinggi, seakan tak takut dengan tekanan udara dari Pria yang memangkunya saat ini. Agatha tahu ia telah memancing sisi gelap Rohander, tapi bukan dirinya jika ia harus merasa takut. Lagipula, jika Rohander memberinya hukuman atas perbuatannya. Ia juga tidak peduli, toh kehidupannya saat ini sudah hancur jadi mengapa tidak sekalian saja ia menambah kehancuran itu? Setidaknya Agatha memiliki alasan untuk mengakhiri hidupnya dengan mudah, tanpa kearaguan. "Jangan berpikir seperti Sweatheart, kamu adalah milikku. Begitupun dengan jiwamu, jadi orang yang berhak mengambil nyawamu adalah aku. Tidak orang lain, maupun DIRIMU SENDIRI!" Ucap Rohander yang menekan kalimat terakhirnya, saat menyadari pemikiran Agatha dari raut wajahnya. "Kau bukan Tuhan!" "Aku tahu, tapi. Bukankah sejak kau menatap mataku, mengadu, bahkan tak menolak pelukanku menunjukkan jika hidupmu sepenuhnya telah diserahkan padaku? Kau secara tidak sadar bergantung padaku Sweatheart," "Atas dasar apa aku bergantung padamu?" "Kekecewaan, penghianatan, dan balas dendam." Deg! Agatha terdiam, pikirnya. Benar apa yang dikatakan Rohander, mengapa ia tidak mengakhiri hidupnya saat mengetahui kebenaran dibalik kebaikan yang selama ini ia terima? Mengapa dirinya justru memberikan dirinya pada Rohander dan menggantukan seluruh hidupnya padanya? Memang Agatha tidak sadar, tapi sikap pasrahnya didepan Rohander cukup untuk membuat orang sekelas Rohander yakin jika apa ia mau bukanlah kematian. Tapi, pembalasan. Menarik nafas dan membuangnya perlahan, Agatha menatap Rohander sekali lagi. "Apakah pembalasan itu benar-benar akan terjadi?" "Ya atas ya, tidak atas tidak." Agatha terdiam beberapa saat mencerna maksud dari ucapan Pria dihadapannya saat ini, hingga... "apa mksudmu aku-" "Ya, serahkan dirimu padaku malam ini dengan sukarela, Maka aku bersedia membalaskan dendam, jika jawabanmu tidak. Maka aku tetap akan memiliki tubuhmu malam ini, tidak peduli kau suka atau tidak." Bisik Rohander dengan nadanya yang penuh ancaman tak peduli jika Agatha tersinggung, atau marah pada ucapannya. Tapi apa yang dipikirkan Rohander sepertinya sedikit meleset, pasalnya Agatha saat ini terdengar terkekeh pelan. "Aku tidak akan mengatakan ya, dan... sentuh saja aku Rohander, kupastikan kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau inginkan dariku. Dan aku ingin lihat seberapa lama kau bisa menghancurkan wanita incaranmu selama ini." Perang tatapan terjadi, hingga sang supir menahan nafas akibat tekanan udara yang diciptakan kedua pasang manusia dibelakangnya saat ini. Agatha dengan tatapan penuh tantangan, dan Rohander dengan ancaman. Untuk beberapa saat sang supir berpikir jika tuannya yang gila, tertarik pada wanita yang sama gilanya dengan dirinya. Well, pemikiran itu hanya bisa sampai dipemikirannya saja. Ia tentu tidak ingin membuat kepalanya lepas dari tubuhnya bukan? "Jangan main-main dengan ancamanku Sweatheart, aku bisa menghacurkanmu saat ini juga-""Dan pikirmu aku peduli?" Potong Agatha yang membuat amarah Rohandef seketika naik, Pria itu sontak mencengkram dagu Agatha dengan kasar."Apa kau pikir menjadi prioritasku kau bisa sesuka hati mempermainkan emosiku, Sweatheart?! Aku bisa menghukummu atas kelancanganmu padaku!""Cih! Kau pikir aku akan takut dengan perkataan dan perbuatan kasar Pria kasar sepertimu?! Tidak akan!"Rohander semakin mengeratkan cengramannya, seraya memandang tajam penuh kemarahan Agatha yang nampak menatap tajam dirinya juga tak mau kalah.Sampai mobil berhenti dipersimpangan jalan karena lampu merah, bersamaan dengan itu Rohander menghempaskan wajah Agatha dengan kasar melepaskan cengkramannya. "Persiapkan dirimu, aku akan memberimu hukuman malam ini."Agatha yang sementara mengusap dagunya, mendengus kesal. "Belikan aku permen kapas." Ucap Agatha saat melihat seorang pedagang permen kapas yang berjulan tak jauh dari mereka."Turun, beli sendiri." Rohander berucap dengan nada dingin, namun tangannya mem
"Apa kau juga sejenis vampir? KAU MELUKAI LEHER MULUSKU SIALAN!" Kesal Agatha yang menjauhkan Rohander dari lehernya yang nampak berdarah, karena gigitan kecil Rohander akibat gemas dengan kulit putih mulusnya."Rasanya enak." Ucap Rohander yang membuat Agatha menatapnya dengan tatapan tidak percayanya."Dasar Pria tidak waras, sakit jiwa!" Dengus Agatha seraya megelap darah yang mengalir, bersamaan dengan itu. "Ada apa dengan tatapanmu?" Tanya Agatha yang masih dengan nada kesalnya pada Soraya yang nampak menatapnya dengan tatapan penuh keterkejutan.Diam beberapa saat hingga Soraya tak menyadari jika sang tuan nampak menyeringai padanya, dengan pemikiran penuh dengan rencana gila.Yah... mungkin tatapan itu hanya disadari oleh satu orang Pria, yang diketahui merupakan seorang koki dirumah ini. Dengan tatapan sang tuan, ia yakin jika akan ada pertumpahan darah yang akan terjadi dirumah ini."Sweatheart...""Apa?" Agatha mengerutkan keningnya menatap Rohander yang menurunkan nada suar
"Ya, kau sangat cantik." Rohander berkata dengan kepala yang kian maju kedepan, berniat untuk mencapai bibir Agatha. Namun saat bibir mereka hanya berjarak satu centi, Rohander menghentikan gerakannya-menatap mata coklat terang didepannya.Didetik berikutnya Rohander menyatukan bibirnya dan Agatha, ia menekan kepala Agatha agar tidak menjauh darinya. Sampai cium*n Rohander perlahan berubah menjadi sebuah lumatan kasar, yang membuat Agatha bersusah payah menyeimbangi permainan Rohander.Ada perasaan lain yang menggerogoti hati Agatha saat tangan Rohander mulai masuk kedalam lapisan bajunya, membelai setiap sisi tubuhnya dengan lembut."Rohander..." panggil Agatha dengan suara pelan, yang membuat Rohander menghentikan lumatannya pada bibir Agatha karena tahu wanita itu hampir kehabisan nafas.Menunggu Agatha yang tengah menghirup udara dengan rakus, Rohander menanggalkan pakainnya dengan cepat. Sebelum naik keatas tubuh Agatha, dengan tubuhnya yang polos. Rohander mengalungkan tangan A
Dikantor pusat, semua orang tengah mempersiapkan kedatangan Rohander. Terlihat seluruh manager dan beberapa staff sudah siap menyambut kedatangan Pria yang hampir tak pernah menginjakan kakinya dikantor pusat, sampai semua orang menunduk dikala orang yang mereka tunggu turun dari mobilnya."Selamat datang, tuan Frigo." Serempak mereka, saat Rohander berjalan memasuki kantor.Meski antusiasme mereka tak ditanggapi oleh Rohander, yang nampak berjalan tanpa menayapa bahkan melirik saja ia tidak lakukan. Membuat semua orang kecewa, tapi marah juga tidak berarti karena orang yang berjalan memasuki lift khusus itu bukan hanya sekedar bos mereka saja. Tapi seseorang, yang bahkan mampu membuat dunia bungkam.Anehnya disana tak terlihat Agatha, wanita itu kini sibuk memilih berbagai macam makanan ringan disalah satu toko serba ada yang tak jauh dari kantor pusat.Yap! Agatha beberapa saat yang lalu memang bersama Rohander, tapi matanya yang menangkap berbagai aneka makanan ringan. Tidak bisa u
Zak membulatkan matanya terkejut, sementara Agatha mendelik tak suka. "Dasar sakit jiwa!" Ucap Agatha pelan, dengan wajah yang menggambarkan penghinaan pada pria didepannya saat ini. Sebelum melangkah pergi, mendahului Rohander yang terlihat masih menunggu jawaban darinya."Kumpulkan semua orang yang mencibir Agatha di ruang rapat, akan kubereseskan mereka sesuai dengan perkataan Agatha." Perintah Rohander lewat sambungan ponsel ketika Agatha menghilang dibalik pintu."Awasi mereka." Ucap Rohander pada Zak, yang langsung diangguki olehnya sebelum pergi meninggalkan sang tuan.Disisi lain... Agatha nampak menatap keluar jendela kaca besar, yang memperlihatkan dengan jelas pemandangan kota. Tapi fokusnya bukan pada pemandangan kota yang indah didepannya, tapi pada seorang wanita hamil yang saat ini berjalan memasuki halaman kantor pusat.Agatha menyipitkan matanya saat melihat sebuah kartu yang tergantung dileher wanita hamil tersebut, sesaat setelah menyadari jika wanita itu bagian dal
Pukul 15.00... Agatha membuka matanya, ia menatap jendela besar disampingnya yang menampakan langit yang mendung. "Sepertinya akan hujan." Ucapnya pelan.Agatha kemudian bangkit menuju toilet untuk membasuh wajahnya, namun sesaat kemudian ia terkejut dengan suara bantingan pintu dari luar."SWEATHEART!" Panggil Rohander dengan nada melengking tinggi, Pria itu memasuki kamar namun tak mendapati Agatha yang sedang berada dalam toilet mengetingkan wajahnya."WHAT THE HELL ARE YOU DOING!" Kaget Agatha yang melihat keadaan Rohander yang nampak kacau, dengan beberapa lebam dan darah yang terlihat mengering dibeberapa sudut wajah dan tubuh Pria itu.Tak memedulikan Agatha, Rohander dengan cepat menyambar bibir Agatha melumatnya dengan gerakan kasar. Agatha yang terkejut ini sontak menjauhkan diri, namun telapak tangan Rohander yang bersarang dibelakang kepalanya membuat ia tak bisa menghindar. Dan terpaksa membalas permainan Rohander, sehingga tanpa sadar mengalungkan tangannya leher pria it
"Bagaimana bisa kau menemukan mereka secepat ini?" Tanya Bian pada sosok wanita yang tengah asik memakan makanan ringan ditangannya, dengan kedua kaki yang terpangku diatas meja kerjanya. Wanita itu tak lain adalah Agatha, setelah melewati malam yang melelahkan Agatha terbangun tanpa Rohander disisinya. Pria itu meninggalkan surat pada Agatha melarangnya untuk keluar sampai ia kembali, tapi bukan Agatha namanya jika harus menuturi kemauan Rohander. Ia memilih untuk keluar dari kantor, dan menemui temannya. Bian Holland, seorang hacker yang saat ini bekerja untuk pemerintah. Agatha mengenal Bian saat Pria itu tengah mencairkan uang hasil curiannya, Agatha yakin saat itu Bian memanglah pencuri karena gelagatnya yang tidak biasa. Seperti gugup, dan takut saat Agatha dengan terang-terangan menyakan darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Bian yang tidak bisa menjawab membuat Agatha menyeretnya ke kantor polisi. Siapa yang sangka jika Bian yang seharusnya mendekam di penjara, malah
"Ayah pulang." Dengan wajah lelah, seorang lelaki berusia empat puluhan memasuki rumah. Ia harus pulang terlambat akibat insiden menyebalkan di kereta api. Beruntung ia akhirnya dapat bebas. Ya, ia hanya perlu memberikan sejumlah uang, dan manusia-manusia budak rupiah itu dengan cepat membebaskannya.Semudah itu. "Sayang?" panggilnya. Biasanya anaknya akan berlari menyambut kedatangannya. Tumben anak dan istrinya tidak terlihat."Sayang? Misa?" Kakinya melangkah cepat memasuki rumah. "Saya—ha!" Langkahnya mendadak terhenti saat melihat anak dan istrinya tergeletak di bawah tangga. "Sayang! Misa!"Panik langsung menderanya hingga ia melempar asal tas kerjanya dan berlari menuju anak dan istrinya. Belum sampai beberapa langkah, ia hampir terjungkal saat suara tembakan menggema di keheningan siang waktu itu.Dor!Lampu besar di ruangan tersebut langsung pecah. Jatuh berserak tak karuan. Beberapa detik kemudian langkah kaki teratur terdengar mendekat. Pelan sekali. Semakin dekat, sema
Di luar, malam terasa mencekam. Suara tembakan masih terdengar berselang-seling, membuat langkah mereka semakin terburu-buru. Agatha berusaha menjaga ketenangannya meski tubuhnya masih lemah. Clara berjalan di depan, memimpin mereka menuju mobil yang sudah disiapkan di sisi lain properti.“Siapa yang menyerang?” tanya Rohander dengan nada penuh ancaman, matanya menyapu area sekitar seperti elang mengintai mangsa.“Orang-orang dari faksi yang selama ini bersembunyi,” jawab Clara cepat, tapi ia tidak memberi detail lebih jauh.“Apa maksudmu dengan ‘faksi’? Jelaskan, Clara!” desak Rohander, namun Clara tetap fokus berjalan.Agatha, yang berjalan di belakang mereka, mendesah pelan. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya, Rohander?” katanya dengan nada mengejek. “Selama ini kau sibuk menjaga kekuasaanmu, tapi kau lupa bahwa kekuasaan selalu menarik musuh dari bayang-bayang.”Rohander menoleh tajam. “Jika ini tentang pengkhianat dalam organisasiku, aku akan menyelesaikannya.”“Bukan hanya
Malam itu, setelah kejadian di galeri, Agatha duduk di balkon apartemennya, menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sejuk berhembus pelan, membawa ketenangan yang aneh namun tidak sepenuhnya menghapus kegelisahan di dalam dirinya. Pertemuan dengan Rohander tadi masih mengendap di pikirannya, mengusik setiap sudut emosi yang berusaha ia kubur selama dua tahun terakhir.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Clara."Kau baik-baik saja? Aku melihat wajahmu setelah pria itu pergi."Agatha tersenyum tipis, meski sedikit pahit. Clara selalu perhatian padanya. Ia mengetik balasan dengan cepat."Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli. Jangan khawatir, aku tahu apa yang harus kulakukan."Namun, apa benar ia tahu? Suara Rohander masih terngiang-ngiang di kepalanya, terutama kalimat terakhir yang diucapkannya: "Aku tidak akan menyerah."Agatha memejamkan matanya, mencoba menepis rasa takut dan keraguan. Ia telah bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang damai ini, dan
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I