3 minggu berselang, dan selama itupula Agatha terus waspada jika nanti suatu waktu Rohander muncul kembali.
Namun, entah mengapa Agatha malah merasa jika ia menantikan kehadiran Rohander untuk menganggunya. Karena jujur saja, 1 minggu telah lewat dari waktu yang Rohander katakan ditelepon terakhir kali. Hati Agatha terasa hampa, bahkan disaat kehidupannya dan kesehariannya berjalan lancar seperti orang normal pada umumnya. Hingga tiba hari ini, hari peringatan kematian kedua orang tua Agatha karena kecelakaan pesawat yang dialami orang tuanya disaat ia masih berumur 6 tahun. Dan disinilah Agatha, berdiri dengan gaun hitam panjang didepan makam kedua orangtunya. "I miss you Mom, Dad." Ucapnya pelan yang hampir seperti sebuah gumanan. Meletakan bunga mawar yang ia bawa, lalu berbalik pergi meninggalkan area pemakaman elit yang menjadi tempat terakhir kedua orangtua Agatha beristirahat. Namun... baru beberapa langkah keluar dari gerbang area pemakaman, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat beberapa orang berjas menatapnya. "Sial! Mengapa harus disaat seperti ini?!" Kesalnya kemudian berlari secepat mungkin, menghindari orang-orang berpakaian formal yang mengejarnya saat ini. "NONA BERHENTI NONA! KAMI BUKAN ORANG JAHAT!" Pekik salah satu dari orang yang mengejarnya, berharap agar Agatha mau berhenti. Tapi Agatha yang tahu siapa dalang dibalik pengejaran ini, tak mau berhenti. Agatha lalu mengangkat salah satu jari tengahnya, seraya berlari. "FU*K YOU!" Orang-orang yang mengejar Agatha sontak membulatkan matanya terkejut melihat satu jari yang terangkat pada mereka, pemikiran mereka tentang Nona yang lembut segera terhapus oleh tindakan Agatha. Ditengah pelariannya, ponsel Agatha bergetar. Membuat ia mengutuk siapa penelponnya saat ini, tapi walau begitu Agatha tetap mengangkatnya. "HALO?!" "Berhenti berlari sayang. Kau akan menyakiti kakimu mulusmu," Agatha menggertakan giginya, sudah ia duga. Rohander tidak mungki melepasknnya dengan mudah. "SIALAN! JIKA KAU INGIN AKU BERHENTI MAKA HENTIKANLAH ANJING-ANJINGMU!" "Sayang... apa kau tidak bisa menyerah saja hmm?" "BAJINGAN GILA, DALAM MIMPIMU SAJA!" Tuuuthh... Setelah mematikan ponselnya, Agatha memilih berbelok dipersimpangan jalan memasuki area padat peduduk. Karena jika tidak begitu, sebuah mobil mewah yang tertangkap oleh matanya dari kejahuan bisa saja membawanya. Mungkin tak akan ada yang menyadari jika mobil hitam diujung jalan adalah mobil mewah, karena bentuk dan warnanya yang hampir sama seperti mobil pada umumnya. Tapi bersyukurlah Agatha karena ia tahu banyak jenis mobil. "Dasar Pria kaya sialan! Dipikir aku bodoh kali ya?!" Ocehnya sepanjang jalan, hingga kakinya berbelok dengan cepat memasuki sebuah rumah kecil diarea itu. Membuat para Pria yang mengejarnya lewat tanpa tahu jika Agatha lolos, dari mereka. Uhuk! Uhuk! Uhuk! Agatha membalikan tubuhnya saat sebuah suara batuk masuk keindra pendengarannya, dan betapa terkejutnya ia saat mendapati seorang kakek tua dengan seorang anak kecil disampingnya. "Kakek tidak apa-apa? Oh maaf karena sudah masuk ke rumah kakek dengan sembarangan." Ucap Agatha dengan sopan, dengan sedikit rasa bersalah. Kakek itu tersenyum kecil, ia kemudian bangkit dengan dibantu anak kecil disampingnya. Membuka lemari yang tak jauh darinya, dan mengambil beberapa flashdisk yang membuat Agatha bingung. Hingga lamunannya buyar seketika saat Kakek tua itu bertanya siapa namanya. "Nak... siapa namamu?" Dengan senyuman tulus Agatha menjawab, "Nama saya, Agatha Smith." Kakek itu mengangguk, lalu memberikan sejumlah besar fleshdisk ditangannya pada Agatha. "Kakek percayakan padamu," "Apa ini Kek?" Tanya Agatha dengan binging, seraya menatap berbagai macam flashdisk ditangannya saat ini. "Kamu akan tahu jika kamu membukanya dirumah, jangan dibuang. Ini data penting yang mungkin bisa menyelamatkan beberapa orang, jadi tolong disimpan." Jelas Kakek itu, yang malah membuat Agatha semakin bingung. Tapi walau begitu, Agatha tetap tersenyum menerima pemberian itu sebelum menganggukkan kepalanya tak berniat bertanya lebih, meski dalam hati Agatha sangat penasaran dengan data penting yang Kakek itu maksud. Agatha kemudian pamit pergi, namun sebelum itu. "Ini ada beberapa uang, sampai jumpa Kek." Kemudian Agatha pergi, meninggalkan Kakek tersebut yang nampak menatapnya dengan senyuman tulus. Diperjalanan pulang, Agatha mampir pada sebuah toko kopi. Setelah merasa dirinya aman dari kejaran anak buah Rohander, Agatha beberapa saat yang lalu langsung masuk kesebuah mall untuk membeli komputer. Betapa terkejutnya Agatha saat melihat semua data dalam flashdisk itu, data yang berisikan informasi pelaku kejahatan bersama dengan bukti kejahatan mereka. Beberapa lainnya juga berisi data orang hilang, serta perusahaan-perusahaan gelap yang berkedok usaha kecil. Semuanya tercantum sempurna tanpa cacat, membuat Agatha sedikit prustasi mengetahuinya. "Ini gila! Mengapa- Shit! Sudahlah." Agatha bingung harus bagaimana, niat hati ingin menjahui masalah malah masalah itu datang padanya dengan cara tak terduga pula. Agatha kembali terpikir tentang jalan hidupnya yang sepertinya tidak lurus, seperti apa yang Agatha inginkan selama ini. Tenggelam dalam pemikirannya sampai sebuah pesan masuk, wajah khawatirnya berubah menjadi raut kekesalan. Kemudian Agatha bangkit lalu pergi dengan terburu-buru menuju suatu tempat, tanpa menyadari bahwa sebuah mobil hitam yang sama seperti yang Agatha lihat diujung jalan beberapa saat yang lalu mengikutinya dari belakang. Yap! Rohander Frigo tengah menyeringai didalam mobil, menunggu sebuah momen akan terjadi. Momen saat wanita yang tengah berlari kecil dipinggir jalan itu, masuk kedalam dekapannya. "Aku sangat tidak sabar, Agatha sayang. My sweatheart." Dengan perasaan gusar, Agatha melangkahkan kakinya bahkan tak peduli jika kaki yang beralaskan sepatu boot 4 cm membuat kakinya terluka. Beberapa menit berselang, Agatha memelankan langkah kakinya. Memasuki sebuah hotel mewah bintang lima, namun untuk sesaat Agatha berusaha menenangkan dirinya dengan menarik-membuang nafasnya secara perlahan. "Permisi Nona, ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang front office pada Agatha, saat ia sampai didepan meja resepsionis hotel Delila. "Ah saya hanya ingin tahu, apakah orang yang berada dikamar 104 telah cekout atau belum?" Tanya Agatha dengan senyuman sopan, namun sepertinya ucapan Agatha mengandung kecurigaan sang resepsionis. "Maaf?" "Saya kakaknya." Bohong Agatha yang sontak menyingkirkan keraguan pada Wanita bersanggul didepannya saat ini. "Oh tunggu sebentar." Wanita itu kemudian mengecek komputernya, sampai tak berselang lama... "pemilik kamar atas nama bapak Kendra Wihelmin sudah cekout." Agatha menganggukan kepalanya sebagai tanggapan, ia lalu pergi dari hotel itu tak lupa berterima kasih. Jangan tanya lagi Agatha akan kemana, ia sudah pasti akan pergi menuju restoran tempat seseorang yang ia kenal. Untuk membuktikan sebuah kiriman yang beberapa saat yang lalu ia terima, dan disinilah Agatha. Depan restoran D'lian, menatap bangunan itu dengan tangan yang terkepal erat disisi pakaiannya. Pasalnya, beberapa wajah yang ia kenal tengah bercengkrama ria. Tanpa ada raut kebencian sama sekali, dimana hal itu cukup untuk membuat Agatha kehilangan kesabarannya. "Kenapa?" Gumannya pelan, yang entah ditujukan pada siapa. Kekasihnya duduk bersama dengan Lea, sepupunya yang terang-terangan mengibarkan bendera perang dengannya. Yah... tak disangka, jika kekasih yang selama ini begitu Agatha percaya malah tergoda dengan sepupunya sendiri. Gilanya lagi, Leo ada disana. Agatha tak ingin percaya jika Leo ada disana untuk mendukung kekasihnya bersama dengan adiknya tapi, jawaban yang Agatha terima lewat pesan singkat yang ia kirim membuat Agatha kecewa. Isi pesan itu: "Maaf Agatha, tapi aku sekarang tengah sibuk dengan rapat esok pagi. Jadi tidak bisa menemuimu, dan jika kau memang benar-benar dalam masalah carilah bantuan disekitarmu." Dengan apa yang lihat didepannya, ingin rasanya Agatha menangis tapi entah mengapa air matanya tidak bisa keluar. Drttt... "Halo Ivan, ada apa?" Tanya Agatha ketika sambungan ponselnya terhubung pada salah satu sahabatnya, Ivan Codh. Yang saat ini berprofesi sebagai seorang pengacara ternama disalah satu firma hukum paling elit dikota. "Leo, bersama dengan paman dan bibimu mengajukan banding. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan 3 minggu lagi, apa kau-" "Kita bicarakan nanti," balas Agatha dengan nada pelan, yang mana jawaban dari Agatha cukup membuat Ivan merasa jika perasaan Agatha tidak dalam keadaan yang baik. "Apa kau baik-baik saja?""Hmm, sudah dulu ya." Lalu mematikan sambungan ponselnya secara sepihak, Agatha dengan perasaan campur aduk melangkah mundur sebelum akhirnya membalikan tubuhnya.Disaat yang sama, beberapa orang datang menghampirinya.Mereka adalah orang-orang yang sama, dengan yang mengejar Agatha sore tadi. Tapi bedanya Agatha tak berlari, seakan tubuhnya lemas tak sanggup untuk melangkah cepat."Nona? Tuan-" perkataan salah satu Pria yang saat ini berada didekat Agatha terputus, kala melihat wajah kosong bak wadah tanpa jiwa milik Agatha.Tak seperti sore tadi, tak ada perlawanan maupun kata-kata makian. Membuat Pria yang mengikuti Agatha sontak mengirim pesan pada Rohander yang mengawasi tak jauh dari mereka.Menerima pesan itu, Rohander tersenyum senang. Mengetahui reaksi Agatha sesuai dengan perkiraannya, Rohander lalu turun dari mobilnya dan mendekati Agatha."Apa kau tidak lelah mengikutiku?" Tanya Agatha yang kini berhadapan dengan Rohander, Pria yang ia hindari selama 1 tahun terakhir.Roha
"Dan pikirmu aku peduli?" Potong Agatha yang membuat amarah Rohandef seketika naik, Pria itu sontak mencengkram dagu Agatha dengan kasar."Apa kau pikir menjadi prioritasku kau bisa sesuka hati mempermainkan emosiku, Sweatheart?! Aku bisa menghukummu atas kelancanganmu padaku!""Cih! Kau pikir aku akan takut dengan perkataan dan perbuatan kasar Pria kasar sepertimu?! Tidak akan!"Rohander semakin mengeratkan cengramannya, seraya memandang tajam penuh kemarahan Agatha yang nampak menatap tajam dirinya juga tak mau kalah.Sampai mobil berhenti dipersimpangan jalan karena lampu merah, bersamaan dengan itu Rohander menghempaskan wajah Agatha dengan kasar melepaskan cengkramannya. "Persiapkan dirimu, aku akan memberimu hukuman malam ini."Agatha yang sementara mengusap dagunya, mendengus kesal. "Belikan aku permen kapas." Ucap Agatha saat melihat seorang pedagang permen kapas yang berjulan tak jauh dari mereka."Turun, beli sendiri." Rohander berucap dengan nada dingin, namun tangannya mem
"Apa kau juga sejenis vampir? KAU MELUKAI LEHER MULUSKU SIALAN!" Kesal Agatha yang menjauhkan Rohander dari lehernya yang nampak berdarah, karena gigitan kecil Rohander akibat gemas dengan kulit putih mulusnya."Rasanya enak." Ucap Rohander yang membuat Agatha menatapnya dengan tatapan tidak percayanya."Dasar Pria tidak waras, sakit jiwa!" Dengus Agatha seraya megelap darah yang mengalir, bersamaan dengan itu. "Ada apa dengan tatapanmu?" Tanya Agatha yang masih dengan nada kesalnya pada Soraya yang nampak menatapnya dengan tatapan penuh keterkejutan.Diam beberapa saat hingga Soraya tak menyadari jika sang tuan nampak menyeringai padanya, dengan pemikiran penuh dengan rencana gila.Yah... mungkin tatapan itu hanya disadari oleh satu orang Pria, yang diketahui merupakan seorang koki dirumah ini. Dengan tatapan sang tuan, ia yakin jika akan ada pertumpahan darah yang akan terjadi dirumah ini."Sweatheart...""Apa?" Agatha mengerutkan keningnya menatap Rohander yang menurunkan nada suar
"Ya, kau sangat cantik." Rohander berkata dengan kepala yang kian maju kedepan, berniat untuk mencapai bibir Agatha. Namun saat bibir mereka hanya berjarak satu centi, Rohander menghentikan gerakannya-menatap mata coklat terang didepannya.Didetik berikutnya Rohander menyatukan bibirnya dan Agatha, ia menekan kepala Agatha agar tidak menjauh darinya. Sampai cium*n Rohander perlahan berubah menjadi sebuah lumatan kasar, yang membuat Agatha bersusah payah menyeimbangi permainan Rohander.Ada perasaan lain yang menggerogoti hati Agatha saat tangan Rohander mulai masuk kedalam lapisan bajunya, membelai setiap sisi tubuhnya dengan lembut."Rohander..." panggil Agatha dengan suara pelan, yang membuat Rohander menghentikan lumatannya pada bibir Agatha karena tahu wanita itu hampir kehabisan nafas.Menunggu Agatha yang tengah menghirup udara dengan rakus, Rohander menanggalkan pakainnya dengan cepat. Sebelum naik keatas tubuh Agatha, dengan tubuhnya yang polos. Rohander mengalungkan tangan A
Dikantor pusat, semua orang tengah mempersiapkan kedatangan Rohander. Terlihat seluruh manager dan beberapa staff sudah siap menyambut kedatangan Pria yang hampir tak pernah menginjakan kakinya dikantor pusat, sampai semua orang menunduk dikala orang yang mereka tunggu turun dari mobilnya."Selamat datang, tuan Frigo." Serempak mereka, saat Rohander berjalan memasuki kantor.Meski antusiasme mereka tak ditanggapi oleh Rohander, yang nampak berjalan tanpa menayapa bahkan melirik saja ia tidak lakukan. Membuat semua orang kecewa, tapi marah juga tidak berarti karena orang yang berjalan memasuki lift khusus itu bukan hanya sekedar bos mereka saja. Tapi seseorang, yang bahkan mampu membuat dunia bungkam.Anehnya disana tak terlihat Agatha, wanita itu kini sibuk memilih berbagai macam makanan ringan disalah satu toko serba ada yang tak jauh dari kantor pusat.Yap! Agatha beberapa saat yang lalu memang bersama Rohander, tapi matanya yang menangkap berbagai aneka makanan ringan. Tidak bisa u
Zak membulatkan matanya terkejut, sementara Agatha mendelik tak suka. "Dasar sakit jiwa!" Ucap Agatha pelan, dengan wajah yang menggambarkan penghinaan pada pria didepannya saat ini. Sebelum melangkah pergi, mendahului Rohander yang terlihat masih menunggu jawaban darinya."Kumpulkan semua orang yang mencibir Agatha di ruang rapat, akan kubereseskan mereka sesuai dengan perkataan Agatha." Perintah Rohander lewat sambungan ponsel ketika Agatha menghilang dibalik pintu."Awasi mereka." Ucap Rohander pada Zak, yang langsung diangguki olehnya sebelum pergi meninggalkan sang tuan.Disisi lain... Agatha nampak menatap keluar jendela kaca besar, yang memperlihatkan dengan jelas pemandangan kota. Tapi fokusnya bukan pada pemandangan kota yang indah didepannya, tapi pada seorang wanita hamil yang saat ini berjalan memasuki halaman kantor pusat.Agatha menyipitkan matanya saat melihat sebuah kartu yang tergantung dileher wanita hamil tersebut, sesaat setelah menyadari jika wanita itu bagian dal
Pukul 15.00... Agatha membuka matanya, ia menatap jendela besar disampingnya yang menampakan langit yang mendung. "Sepertinya akan hujan." Ucapnya pelan.Agatha kemudian bangkit menuju toilet untuk membasuh wajahnya, namun sesaat kemudian ia terkejut dengan suara bantingan pintu dari luar."SWEATHEART!" Panggil Rohander dengan nada melengking tinggi, Pria itu memasuki kamar namun tak mendapati Agatha yang sedang berada dalam toilet mengetingkan wajahnya."WHAT THE HELL ARE YOU DOING!" Kaget Agatha yang melihat keadaan Rohander yang nampak kacau, dengan beberapa lebam dan darah yang terlihat mengering dibeberapa sudut wajah dan tubuh Pria itu.Tak memedulikan Agatha, Rohander dengan cepat menyambar bibir Agatha melumatnya dengan gerakan kasar. Agatha yang terkejut ini sontak menjauhkan diri, namun telapak tangan Rohander yang bersarang dibelakang kepalanya membuat ia tak bisa menghindar. Dan terpaksa membalas permainan Rohander, sehingga tanpa sadar mengalungkan tangannya leher pria it
"Bagaimana bisa kau menemukan mereka secepat ini?" Tanya Bian pada sosok wanita yang tengah asik memakan makanan ringan ditangannya, dengan kedua kaki yang terpangku diatas meja kerjanya. Wanita itu tak lain adalah Agatha, setelah melewati malam yang melelahkan Agatha terbangun tanpa Rohander disisinya. Pria itu meninggalkan surat pada Agatha melarangnya untuk keluar sampai ia kembali, tapi bukan Agatha namanya jika harus menuturi kemauan Rohander. Ia memilih untuk keluar dari kantor, dan menemui temannya. Bian Holland, seorang hacker yang saat ini bekerja untuk pemerintah. Agatha mengenal Bian saat Pria itu tengah mencairkan uang hasil curiannya, Agatha yakin saat itu Bian memanglah pencuri karena gelagatnya yang tidak biasa. Seperti gugup, dan takut saat Agatha dengan terang-terangan menyakan darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Bian yang tidak bisa menjawab membuat Agatha menyeretnya ke kantor polisi. Siapa yang sangka jika Bian yang seharusnya mendekam di penjara, malah
Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu