3 minggu berselang, dan selama itupula Agatha terus waspada jika nanti suatu waktu Rohander muncul kembali.
Namun, entah mengapa Agatha malah merasa jika ia menantikan kehadiran Rohander untuk menganggunya. Karena jujur saja, 1 minggu telah lewat dari waktu yang Rohander katakan ditelepon terakhir kali. Hati Agatha terasa hampa, bahkan disaat kehidupannya dan kesehariannya berjalan lancar seperti orang normal pada umumnya. Hingga tiba hari ini, hari peringatan kematian kedua orang tua Agatha karena kecelakaan pesawat yang dialami orang tuanya disaat ia masih berumur 6 tahun. Dan disinilah Agatha, berdiri dengan gaun hitam panjang didepan makam kedua orangtunya. "I miss you Mom, Dad." Ucapnya pelan yang hampir seperti sebuah gumanan. Meletakan bunga mawar yang ia bawa, lalu berbalik pergi meninggalkan area pemakaman elit yang menjadi tempat terakhir kedua orangtua Agatha beristirahat. Namun... baru beberapa langkah keluar dari gerbang area pemakaman, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat beberapa orang berjas menatapnya. "Sial! Mengapa harus disaat seperti ini?!" Kesalnya kemudian berlari secepat mungkin, menghindari orang-orang berpakaian formal yang mengejarnya saat ini. "NONA BERHENTI NONA! KAMI BUKAN ORANG JAHAT!" Pekik salah satu dari orang yang mengejarnya, berharap agar Agatha mau berhenti. Tapi Agatha yang tahu siapa dalang dibalik pengejaran ini, tak mau berhenti. Agatha lalu mengangkat salah satu jari tengahnya, seraya berlari. "FU*K YOU!" Orang-orang yang mengejar Agatha sontak membulatkan matanya terkejut melihat satu jari yang terangkat pada mereka, pemikiran mereka tentang Nona yang lembut segera terhapus oleh tindakan Agatha. Ditengah pelariannya, ponsel Agatha bergetar. Membuat ia mengutuk siapa penelponnya saat ini, tapi walau begitu Agatha tetap mengangkatnya. "HALO?!" "Berhenti berlari sayang. Kau akan menyakiti kakimu mulusmu," Agatha menggertakan giginya, sudah ia duga. Rohander tidak mungki melepasknnya dengan mudah. "SIALAN! JIKA KAU INGIN AKU BERHENTI MAKA HENTIKANLAH ANJING-ANJINGMU!" "Sayang... apa kau tidak bisa menyerah saja hmm?" "BAJINGAN GILA, DALAM MIMPIMU SAJA!" Tuuuthh... Setelah mematikan ponselnya, Agatha memilih berbelok dipersimpangan jalan memasuki area padat peduduk. Karena jika tidak begitu, sebuah mobil mewah yang tertangkap oleh matanya dari kejahuan bisa saja membawanya. Mungkin tak akan ada yang menyadari jika mobil hitam diujung jalan adalah mobil mewah, karena bentuk dan warnanya yang hampir sama seperti mobil pada umumnya. Tapi bersyukurlah Agatha karena ia tahu banyak jenis mobil. "Dasar Pria kaya sialan! Dipikir aku bodoh kali ya?!" Ocehnya sepanjang jalan, hingga kakinya berbelok dengan cepat memasuki sebuah rumah kecil diarea itu. Membuat para Pria yang mengejarnya lewat tanpa tahu jika Agatha lolos, dari mereka. Uhuk! Uhuk! Uhuk! Agatha membalikan tubuhnya saat sebuah suara batuk masuk keindra pendengarannya, dan betapa terkejutnya ia saat mendapati seorang kakek tua dengan seorang anak kecil disampingnya. "Kakek tidak apa-apa? Oh maaf karena sudah masuk ke rumah kakek dengan sembarangan." Ucap Agatha dengan sopan, dengan sedikit rasa bersalah. Kakek itu tersenyum kecil, ia kemudian bangkit dengan dibantu anak kecil disampingnya. Membuka lemari yang tak jauh darinya, dan mengambil beberapa flashdisk yang membuat Agatha bingung. Hingga lamunannya buyar seketika saat Kakek tua itu bertanya siapa namanya. "Nak... siapa namamu?" Dengan senyuman tulus Agatha menjawab, "Nama saya, Agatha Smith." Kakek itu mengangguk, lalu memberikan sejumlah besar fleshdisk ditangannya pada Agatha. "Kakek percayakan padamu," "Apa ini Kek?" Tanya Agatha dengan binging, seraya menatap berbagai macam flashdisk ditangannya saat ini. "Kamu akan tahu jika kamu membukanya dirumah, jangan dibuang. Ini data penting yang mungkin bisa menyelamatkan beberapa orang, jadi tolong disimpan." Jelas Kakek itu, yang malah membuat Agatha semakin bingung. Tapi walau begitu, Agatha tetap tersenyum menerima pemberian itu sebelum menganggukkan kepalanya tak berniat bertanya lebih, meski dalam hati Agatha sangat penasaran dengan data penting yang Kakek itu maksud. Agatha kemudian pamit pergi, namun sebelum itu. "Ini ada beberapa uang, sampai jumpa Kek." Kemudian Agatha pergi, meninggalkan Kakek tersebut yang nampak menatapnya dengan senyuman tulus. Diperjalanan pulang, Agatha mampir pada sebuah toko kopi. Setelah merasa dirinya aman dari kejaran anak buah Rohander, Agatha beberapa saat yang lalu langsung masuk kesebuah mall untuk membeli komputer. Betapa terkejutnya Agatha saat melihat semua data dalam flashdisk itu, data yang berisikan informasi pelaku kejahatan bersama dengan bukti kejahatan mereka. Beberapa lainnya juga berisi data orang hilang, serta perusahaan-perusahaan gelap yang berkedok usaha kecil. Semuanya tercantum sempurna tanpa cacat, membuat Agatha sedikit prustasi mengetahuinya. "Ini gila! Mengapa- Shit! Sudahlah." Agatha bingung harus bagaimana, niat hati ingin menjahui masalah malah masalah itu datang padanya dengan cara tak terduga pula. Agatha kembali terpikir tentang jalan hidupnya yang sepertinya tidak lurus, seperti apa yang Agatha inginkan selama ini. Tenggelam dalam pemikirannya sampai sebuah pesan masuk, wajah khawatirnya berubah menjadi raut kekesalan. Kemudian Agatha bangkit lalu pergi dengan terburu-buru menuju suatu tempat, tanpa menyadari bahwa sebuah mobil hitam yang sama seperti yang Agatha lihat diujung jalan beberapa saat yang lalu mengikutinya dari belakang. Yap! Rohander Frigo tengah menyeringai didalam mobil, menunggu sebuah momen akan terjadi. Momen saat wanita yang tengah berlari kecil dipinggir jalan itu, masuk kedalam dekapannya. "Aku sangat tidak sabar, Agatha sayang. My sweatheart." Dengan perasaan gusar, Agatha melangkahkan kakinya bahkan tak peduli jika kaki yang beralaskan sepatu boot 4 cm membuat kakinya terluka. Beberapa menit berselang, Agatha memelankan langkah kakinya. Memasuki sebuah hotel mewah bintang lima, namun untuk sesaat Agatha berusaha menenangkan dirinya dengan menarik-membuang nafasnya secara perlahan. "Permisi Nona, ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang front office pada Agatha, saat ia sampai didepan meja resepsionis hotel Delila. "Ah saya hanya ingin tahu, apakah orang yang berada dikamar 104 telah cekout atau belum?" Tanya Agatha dengan senyuman sopan, namun sepertinya ucapan Agatha mengandung kecurigaan sang resepsionis. "Maaf?" "Saya kakaknya." Bohong Agatha yang sontak menyingkirkan keraguan pada Wanita bersanggul didepannya saat ini. "Oh tunggu sebentar." Wanita itu kemudian mengecek komputernya, sampai tak berselang lama... "pemilik kamar atas nama bapak Kendra Wihelmin sudah cekout." Agatha menganggukan kepalanya sebagai tanggapan, ia lalu pergi dari hotel itu tak lupa berterima kasih. Jangan tanya lagi Agatha akan kemana, ia sudah pasti akan pergi menuju restoran tempat seseorang yang ia kenal. Untuk membuktikan sebuah kiriman yang beberapa saat yang lalu ia terima, dan disinilah Agatha. Depan restoran D'lian, menatap bangunan itu dengan tangan yang terkepal erat disisi pakaiannya. Pasalnya, beberapa wajah yang ia kenal tengah bercengkrama ria. Tanpa ada raut kebencian sama sekali, dimana hal itu cukup untuk membuat Agatha kehilangan kesabarannya. "Kenapa?" Gumannya pelan, yang entah ditujukan pada siapa. Kekasihnya duduk bersama dengan Lea, sepupunya yang terang-terangan mengibarkan bendera perang dengannya. Yah... tak disangka, jika kekasih yang selama ini begitu Agatha percaya malah tergoda dengan sepupunya sendiri. Gilanya lagi, Leo ada disana. Agatha tak ingin percaya jika Leo ada disana untuk mendukung kekasihnya bersama dengan adiknya tapi, jawaban yang Agatha terima lewat pesan singkat yang ia kirim membuat Agatha kecewa. Isi pesan itu: "Maaf Agatha, tapi aku sekarang tengah sibuk dengan rapat esok pagi. Jadi tidak bisa menemuimu, dan jika kau memang benar-benar dalam masalah carilah bantuan disekitarmu." Dengan apa yang lihat didepannya, ingin rasanya Agatha menangis tapi entah mengapa air matanya tidak bisa keluar. Drttt... "Halo Ivan, ada apa?" Tanya Agatha ketika sambungan ponselnya terhubung pada salah satu sahabatnya, Ivan Codh. Yang saat ini berprofesi sebagai seorang pengacara ternama disalah satu firma hukum paling elit dikota. "Leo, bersama dengan paman dan bibimu mengajukan banding. Sidang selanjutnya akan dilaksanakan 3 minggu lagi, apa kau-" "Kita bicarakan nanti," balas Agatha dengan nada pelan, yang mana jawaban dari Agatha cukup membuat Ivan merasa jika perasaan Agatha tidak dalam keadaan yang baik. "Apa kau baik-baik saja?""Hmm, sudah dulu ya." Lalu mematikan sambungan ponselnya secara sepihak, Agatha dengan perasaan campur aduk melangkah mundur sebelum akhirnya membalikan tubuhnya.Disaat yang sama, beberapa orang datang menghampirinya.Mereka adalah orang-orang yang sama, dengan yang mengejar Agatha sore tadi. Tapi bedanya Agatha tak berlari, seakan tubuhnya lemas tak sanggup untuk melangkah cepat."Nona? Tuan-" perkataan salah satu Pria yang saat ini berada didekat Agatha terputus, kala melihat wajah kosong bak wadah tanpa jiwa milik Agatha.Tak seperti sore tadi, tak ada perlawanan maupun kata-kata makian. Membuat Pria yang mengikuti Agatha sontak mengirim pesan pada Rohander yang mengawasi tak jauh dari mereka.Menerima pesan itu, Rohander tersenyum senang. Mengetahui reaksi Agatha sesuai dengan perkiraannya, Rohander lalu turun dari mobilnya dan mendekati Agatha."Apa kau tidak lelah mengikutiku?" Tanya Agatha yang kini berhadapan dengan Rohander, Pria yang ia hindari selama 1 tahun terakhir.Roha
"Dan pikirmu aku peduli?" Potong Agatha yang membuat amarah Rohandef seketika naik, Pria itu sontak mencengkram dagu Agatha dengan kasar."Apa kau pikir menjadi prioritasku kau bisa sesuka hati mempermainkan emosiku, Sweatheart?! Aku bisa menghukummu atas kelancanganmu padaku!""Cih! Kau pikir aku akan takut dengan perkataan dan perbuatan kasar Pria kasar sepertimu?! Tidak akan!"Rohander semakin mengeratkan cengramannya, seraya memandang tajam penuh kemarahan Agatha yang nampak menatap tajam dirinya juga tak mau kalah.Sampai mobil berhenti dipersimpangan jalan karena lampu merah, bersamaan dengan itu Rohander menghempaskan wajah Agatha dengan kasar melepaskan cengkramannya. "Persiapkan dirimu, aku akan memberimu hukuman malam ini."Agatha yang sementara mengusap dagunya, mendengus kesal. "Belikan aku permen kapas." Ucap Agatha saat melihat seorang pedagang permen kapas yang berjulan tak jauh dari mereka."Turun, beli sendiri." Rohander berucap dengan nada dingin, namun tangannya mem
"Apa kau juga sejenis vampir? KAU MELUKAI LEHER MULUSKU SIALAN!" Kesal Agatha yang menjauhkan Rohander dari lehernya yang nampak berdarah, karena gigitan kecil Rohander akibat gemas dengan kulit putih mulusnya."Rasanya enak." Ucap Rohander yang membuat Agatha menatapnya dengan tatapan tidak percayanya."Dasar Pria tidak waras, sakit jiwa!" Dengus Agatha seraya megelap darah yang mengalir, bersamaan dengan itu. "Ada apa dengan tatapanmu?" Tanya Agatha yang masih dengan nada kesalnya pada Soraya yang nampak menatapnya dengan tatapan penuh keterkejutan.Diam beberapa saat hingga Soraya tak menyadari jika sang tuan nampak menyeringai padanya, dengan pemikiran penuh dengan rencana gila.Yah... mungkin tatapan itu hanya disadari oleh satu orang Pria, yang diketahui merupakan seorang koki dirumah ini. Dengan tatapan sang tuan, ia yakin jika akan ada pertumpahan darah yang akan terjadi dirumah ini."Sweatheart...""Apa?" Agatha mengerutkan keningnya menatap Rohander yang menurunkan nada suar
"Ya, kau sangat cantik." Rohander berkata dengan kepala yang kian maju kedepan, berniat untuk mencapai bibir Agatha. Namun saat bibir mereka hanya berjarak satu centi, Rohander menghentikan gerakannya-menatap mata coklat terang didepannya.Didetik berikutnya Rohander menyatukan bibirnya dan Agatha, ia menekan kepala Agatha agar tidak menjauh darinya. Sampai cium*n Rohander perlahan berubah menjadi sebuah lumatan kasar, yang membuat Agatha bersusah payah menyeimbangi permainan Rohander.Ada perasaan lain yang menggerogoti hati Agatha saat tangan Rohander mulai masuk kedalam lapisan bajunya, membelai setiap sisi tubuhnya dengan lembut."Rohander..." panggil Agatha dengan suara pelan, yang membuat Rohander menghentikan lumatannya pada bibir Agatha karena tahu wanita itu hampir kehabisan nafas.Menunggu Agatha yang tengah menghirup udara dengan rakus, Rohander menanggalkan pakainnya dengan cepat. Sebelum naik keatas tubuh Agatha, dengan tubuhnya yang polos. Rohander mengalungkan tangan A
Dikantor pusat, semua orang tengah mempersiapkan kedatangan Rohander. Terlihat seluruh manager dan beberapa staff sudah siap menyambut kedatangan Pria yang hampir tak pernah menginjakan kakinya dikantor pusat, sampai semua orang menunduk dikala orang yang mereka tunggu turun dari mobilnya."Selamat datang, tuan Frigo." Serempak mereka, saat Rohander berjalan memasuki kantor.Meski antusiasme mereka tak ditanggapi oleh Rohander, yang nampak berjalan tanpa menayapa bahkan melirik saja ia tidak lakukan. Membuat semua orang kecewa, tapi marah juga tidak berarti karena orang yang berjalan memasuki lift khusus itu bukan hanya sekedar bos mereka saja. Tapi seseorang, yang bahkan mampu membuat dunia bungkam.Anehnya disana tak terlihat Agatha, wanita itu kini sibuk memilih berbagai macam makanan ringan disalah satu toko serba ada yang tak jauh dari kantor pusat.Yap! Agatha beberapa saat yang lalu memang bersama Rohander, tapi matanya yang menangkap berbagai aneka makanan ringan. Tidak bisa u
Zak membulatkan matanya terkejut, sementara Agatha mendelik tak suka. "Dasar sakit jiwa!" Ucap Agatha pelan, dengan wajah yang menggambarkan penghinaan pada pria didepannya saat ini. Sebelum melangkah pergi, mendahului Rohander yang terlihat masih menunggu jawaban darinya."Kumpulkan semua orang yang mencibir Agatha di ruang rapat, akan kubereseskan mereka sesuai dengan perkataan Agatha." Perintah Rohander lewat sambungan ponsel ketika Agatha menghilang dibalik pintu."Awasi mereka." Ucap Rohander pada Zak, yang langsung diangguki olehnya sebelum pergi meninggalkan sang tuan.Disisi lain... Agatha nampak menatap keluar jendela kaca besar, yang memperlihatkan dengan jelas pemandangan kota. Tapi fokusnya bukan pada pemandangan kota yang indah didepannya, tapi pada seorang wanita hamil yang saat ini berjalan memasuki halaman kantor pusat.Agatha menyipitkan matanya saat melihat sebuah kartu yang tergantung dileher wanita hamil tersebut, sesaat setelah menyadari jika wanita itu bagian dal
Pukul 15.00... Agatha membuka matanya, ia menatap jendela besar disampingnya yang menampakan langit yang mendung. "Sepertinya akan hujan." Ucapnya pelan.Agatha kemudian bangkit menuju toilet untuk membasuh wajahnya, namun sesaat kemudian ia terkejut dengan suara bantingan pintu dari luar."SWEATHEART!" Panggil Rohander dengan nada melengking tinggi, Pria itu memasuki kamar namun tak mendapati Agatha yang sedang berada dalam toilet mengetingkan wajahnya."WHAT THE HELL ARE YOU DOING!" Kaget Agatha yang melihat keadaan Rohander yang nampak kacau, dengan beberapa lebam dan darah yang terlihat mengering dibeberapa sudut wajah dan tubuh Pria itu.Tak memedulikan Agatha, Rohander dengan cepat menyambar bibir Agatha melumatnya dengan gerakan kasar. Agatha yang terkejut ini sontak menjauhkan diri, namun telapak tangan Rohander yang bersarang dibelakang kepalanya membuat ia tak bisa menghindar. Dan terpaksa membalas permainan Rohander, sehingga tanpa sadar mengalungkan tangannya leher pria it
"Bagaimana bisa kau menemukan mereka secepat ini?" Tanya Bian pada sosok wanita yang tengah asik memakan makanan ringan ditangannya, dengan kedua kaki yang terpangku diatas meja kerjanya. Wanita itu tak lain adalah Agatha, setelah melewati malam yang melelahkan Agatha terbangun tanpa Rohander disisinya. Pria itu meninggalkan surat pada Agatha melarangnya untuk keluar sampai ia kembali, tapi bukan Agatha namanya jika harus menuturi kemauan Rohander. Ia memilih untuk keluar dari kantor, dan menemui temannya. Bian Holland, seorang hacker yang saat ini bekerja untuk pemerintah. Agatha mengenal Bian saat Pria itu tengah mencairkan uang hasil curiannya, Agatha yakin saat itu Bian memanglah pencuri karena gelagatnya yang tidak biasa. Seperti gugup, dan takut saat Agatha dengan terang-terangan menyakan darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Bian yang tidak bisa menjawab membuat Agatha menyeretnya ke kantor polisi. Siapa yang sangka jika Bian yang seharusnya mendekam di penjara, malah
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I
Cahaya lembut menembus kelopak mata Agatha, mengusik tidurnya yang gelisah. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di kamar yang terasa asing. Seketika itu juga, wajah Rohander muncul dalam pandangannya, dingin dan penuh amarah, berdiri tegak di samping tempat tidurnya.“Kau akhirnya bangun juga,” kata Rohander, suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Agatha masih terlalu lemah untuk merespons dengan lantang, tapi tatapannya tak kalah sengit. Ia mencoba duduk, namun kepalanya masih terasa berat. Rohander tidak menawarkan bantuan, malah menatapnya dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Sepertinya tidur panjangmu tidak membuatmu jadi lebih bijak,” lanjutnya. “Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri, Agatha?”Agatha mengerutkan kening, merasa muak dengan nada suara dingin itu. "Aku tidak perlu ceramah darimu, Rohander," jawabnya pelan namun tajam, menatap lurus ke arahnya. “Lagipula, aku hanya mengambil pil itu karena... kar
Ruangan VVIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin yang memonitor kondisi Agatha, yang tidur dengan wajah pucat dan lelah di atas ranjang. Di sampingnya, Rohander duduk terdiam, tatapannya terpaku pada wajah Agatha yang terlihat tenang dalam tidurnya, meski seluruh tubuhnya dikelilingi berbagai alat medis. Raut wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh kendali, kini dipenuhi kegelisahan dan ketakutan yang dalam.Rohander menggenggam tangan Agatha erat, seakan takut ia akan menghilang begitu saja jika ia melepaskannya. "Agatha..." bisiknya, suaranya parau, nyaris tersendat. "Aku tidak pernah membayangkan ini akan sejauh ini… aku tidak pernah berpikir aku bisa merasa setakut ini. Kehilangan kamu… itu adalah mimpi buruk yang tak ingin aku hadapi."Matanya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, air mata mulai menetes di pipinya, perlahan-lahan. Tangannya bergetar, tapi tetap mencengkeram tangan Agatha dengan kuat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia adalah pusat kendal