Dikantor pusat, semua orang tengah mempersiapkan kedatangan Rohander. Terlihat seluruh manager dan beberapa staff sudah siap menyambut kedatangan Pria yang hampir tak pernah menginjakan kakinya dikantor pusat, sampai semua orang menunduk dikala orang yang mereka tunggu turun dari mobilnya.
"Selamat datang, tuan Frigo." Serempak mereka, saat Rohander berjalan memasuki kantor. Meski antusiasme mereka tak ditanggapi oleh Rohander, yang nampak berjalan tanpa menayapa bahkan melirik saja ia tidak lakukan. Membuat semua orang kecewa, tapi marah juga tidak berarti karena orang yang berjalan memasuki lift khusus itu bukan hanya sekedar bos mereka saja. Tapi seseorang, yang bahkan mampu membuat dunia bungkam. Anehnya disana tak terlihat Agatha, wanita itu kini sibuk memilih berbagai macam makanan ringan disalah satu toko serba ada yang tak jauh dari kantor pusat. Yap! Agatha beberapa saat yang lalu memang bersama Rohander, tapi matanya yang menangkap berbagai aneka makanan ringan. Tidak bisa untuk tidak berhenti, akibatnya Ia harus membujuk Rohander yang nampak kesal menurunknnya. "Nona, tuan mungkin sudah menunggu. Ini sudah hampir setengah jam, apa anda tidak takut jika tuan marah pada-" "Diamlah, lagipula yang akan dimarahi itu aku. Jadi bapak pengawal yang terhormat tidak perlu cemas," jawab Agatha dengan santainya berjalan pelan, menyusuri setiap rak-rak yang ia lewati. Pengawal itu terdiam sejenak, ia menelisik wanita didepannya yang sangat susah untuk diatur. Membuat ia berpikir tentang wanita-wanita sang tuan, yang pernah ia layani. Semuanya akan menurut saat ia mengatakan tuan sudah menunggu, bahkan ada yang sampai pinsan saking takutnya dimarahi tuannya. Tapi apa yang ia dapati saat ini? Seorang wanita yang dengan santainya berjalan pelan, seraya menolak panggilan di ponsel. Yang ia yakini berasal dari sang tuan. "Nona, tidakkah anda cemas jika sampai tuan mengamuk dan menyakiti anda?" Kata sang bofyguard yang berusaha menakuti Agatha, agar segera kekantor pusat. Tapi ia hanya mendapati sebuah kekehan pelan, yang terdengar sangat jelas di indara pendengarannya. 'Apa yang lucu?' Pikirnya. "Nona-" "Berisik!" Kesal Agatha, yang mulai tidak nyaman dengan Pria yang terus mengikutinya seperti anak bebek yang mengikuti induknya. Drrrttt.... Deg! Tangan boduguard itu sontak berkeringat saat melihat sebuah nama yang tertera pada layarnya saat ini, yah... Boss besar. Itulah nama yang tertera dilayar ponselnya saat ini, Agatha yang tahu Rohander yang menghubungi pengawalnya itu sontak berhenti. Berbalik dan menatap pria bertubuh besar dengan setelan formal didepannya, "angkat dan besarkan suaranya, aku ingin dengar." Habislah, belum juga menghentikan detak jantungnya. Agatha malah membuat dirinya berada dalam posisi rumit, tapi mau tak mau ia menuruti perkataan Agatha mengangkat ponselnya dengan mode pembesar suara agar Agatha bisa mendengarnya juga. "Halo tu-tuan?" Jawabnya dengan nada sedikit gugup. "Apa kau ingin mati?" Damn! Suara dingin yang didengarnya saat ini membuat tubuh besarnya bergetar ketakutan, menelan ludah susah payah ia memberanikan diri untuk tetap tenang. "Maaf tuan tapi Nona-" "Dia nyonyamu, bukan nonamu!" Tekan Rohander, yang membuat sang bodyguard kembali menelan ludahnya susah payah. "Berikan ponsel padanya!" Bodyguard itu sontak menyodorkan ponselnya pada Agatha, tapi Agatha yang tidak berniat berbicara dengan Rohander saat ini tidak menerimanya. Yang mana hal itu membuat sang bodyguard akhirnya berlutut, memohon pada Agatha agar wanita itu mau menjawab sang tuan. "Sialan!" Umpat Agatha yang akhirnya menerima ponsel yang tersodor padanya, 'apa Rohander semenakutkan itu? Sampai harus bergetar segala.' Pikir Agatha yang bingung dengan wajah ketakutan luar biasa yang dipancarkan Pria didepannya saat ini. Seakan sosok yang tengah ia hadapi adalah seorang iblis, yang siap merenggut nyawanya kapan saja. "Apa?!" Jengkel Agatha yang menjawab Rohander dengan nada yang ia naikan satu oktaf. "Apa masih lama? Aku menunggumu Sweatheart..." ucap Rohander dengan nada pelan yang terkesan ramah, sehingga membuat bodyguard yang mendengarnya terkejut setengah mati. Tak pernah mendapati sang tuan yang berkata sedemikian lembutnya pada wanita, yah... maklum mungkin karena semua orang tahu jika Rohander sangat membenci wanita. Itulah sebabnya ia terkejut dengan perkataan lembut sang tuan, sebelum... "30 menit lagi." Jawab Agatha dengan santainya, yang membuat pria yang masih dalam posisi berlutut sontak menatapnya terkejut. 'Apa nyonyanya sudah tidak waras, tuan bahkan sudah bersikap lembut. Tapi mengapa jawabannya sangat ketus?' Pikirnya dengan heran menatap Agatha, yang asik melihat komposisi bahan pada bungkusan makanan ringan ditangannya. "AGATHA!" "Adu iya-iya, lima belas menit aku sampai bye!" Selesai menutup ponsel, Agatha segera mengembalikannya. "Kau ingin terus berlutut seperti itu?" Tanya Agatha yang membuat pria yang tengah tenggelam dalam pemikirannya sontak tersadar, bangkit lalu meraih troli belanjaan Agatha dan membawanya kekasir untuk dibayar. Dari sini ia sadar akan satu hal, wanita yang saat ini menunggunya didepan toko bukanlah wanita yang sama seperti yang pernah tuannya bawa. Agatha berbeda, sikap santainya yang menanggapi sang tuan membuat ia yakin jika Agatha sudah cukup mengenal Rohander yang terkenal kejam. Tapi apa benar begitu? Faktanya, Agatha tidak benar-benar mengenal Rohander. Sikap dan kejadian masa lalu tidak bisa menjadi tolak ukur bahwa ia telah mengenal Rohander dengan sangat baik, begitupun sebaliknya. "Apa yang salah Nyonya?" Tanya bofyguard yang diketahui bernama zak, saat melihat kening Agatha yang mengerut. Zak sontak mengikuti arah pandang Agatha, yang jatuh pada seorang wanita hamil yang terlihat hendak menyebrang jalan. "Apa Anda mengenalnya?" "Ya, sangat mengenalnya. Rupanya ia tengah mengandung besar saat ini ya?" "Sepertinya begitu, dilihat dari perutnya yang besar. Ngomong-ngomong dia siapa Anda?" Agatha tersenyum kecil, ia tak menjawab dan hanya tersenyum kecil. Senyuman penuh arti yang hanya dirinya yang tahunapa arti senyuman itu. Melangkahkan kakinya melewati wanita hamil itu tanpa menegurnya sedikitpun, namun dari raut wajahnya Agatha menantikan sesuatu. **** Saat memasuki halaman kantor pusat, Agatha sempat dicegat oleh petugas keamanan kantor. Tapi untunglah keberadaan Zak membuat dirinya mendapatkan akses untuk masuk, yah... walaupun dengan tatapan tidak mengenakan yang ia terima dari beberapa orang. Mungkin karena penampilan Agatha yang hanya mengenakan hoddie dan celana jeans pendek, serta sepatu sneakers biasa membuat ia dipandang rendah. Bahkan saat memasuki lift, Agatha dengan jelas mendengar beberapa cibiran yang mengarah padanya. Mengatakan dirinya jal*ng dan sesuatu yang seperti tidak ada harganya, tapi ayolah gaya pakaian karyawan di kantor ini bahkan lebih mendekati cibiran mereka sendiri. Rok pendek ketat dan kemeja yang kancingnya terbuka sebagian, memperlihatkan belahan dada mereka dengan jelas. "Kira-kira apa yang akan terjadi pada mereka jika aku melapor pada Rohander?" Tanya Agatha yang tiba-tiba saat ia dan Zak memasuki lift, lift yang sama seperti yang digunakan Rohander beberapa saat yang lalu. "Saya tidak tahu Nyonya." Jawab Zak jujur, karena tidak bisa menebak isi pikiran sang tuan dalam bertindak. "Apa mungkin jika kukatakan untuk memotong lidah mereka dan menyuruh mereka memakannya, akan dikabulkan Rohander?" Deg! "Ap-apa kata anda? Gugup Zak yang mendengar kalimat menyeramkan yang keluar dari mulut Agatha, yah cukup menyeramkan untuk orang normal sepertinya. Tinggg! "Ada apa dengan wajahmu?" Tanya Rohander yang menyambut kedatangan Agatha dan Zak didepan lift, untuk beberapa saat Zak terdiam hingga... "Oh aku hanya mengatakan, jika aku melapor padamu tentang orang-orang yang mencibirku. Dan menyuruhmu untuk memotong lidah mereka, kemudian menyuruh mereka untuk memakannya. Apakah kau akan mau?" Jelas Agatha yang sepertinya tahu betul alasan pucatnya wajah Zak. Rohander tersenyum kecil, ia meraih kantong plastik yang dipegang Zak. Dengan wajah datar, ia berkata. "Apa itu benar?" Zak mengangguk sebagai jawaban, tak berani brkata lebih. Hingga... "Sweatheart..." panggil Rohander yang membuat Zak panas-dingin dengan nada penuh aura mencekam, yang hampir membuatnya kesulitan bernafas. "Apa?" "Apa kau ingin aku melakukannya pada mereka? Maksudku memotong lidah mereka dan menyuruh mereka memakannya kemudian?"Zak membulatkan matanya terkejut, sementara Agatha mendelik tak suka. "Dasar sakit jiwa!" Ucap Agatha pelan, dengan wajah yang menggambarkan penghinaan pada pria didepannya saat ini. Sebelum melangkah pergi, mendahului Rohander yang terlihat masih menunggu jawaban darinya."Kumpulkan semua orang yang mencibir Agatha di ruang rapat, akan kubereseskan mereka sesuai dengan perkataan Agatha." Perintah Rohander lewat sambungan ponsel ketika Agatha menghilang dibalik pintu."Awasi mereka." Ucap Rohander pada Zak, yang langsung diangguki olehnya sebelum pergi meninggalkan sang tuan.Disisi lain... Agatha nampak menatap keluar jendela kaca besar, yang memperlihatkan dengan jelas pemandangan kota. Tapi fokusnya bukan pada pemandangan kota yang indah didepannya, tapi pada seorang wanita hamil yang saat ini berjalan memasuki halaman kantor pusat.Agatha menyipitkan matanya saat melihat sebuah kartu yang tergantung dileher wanita hamil tersebut, sesaat setelah menyadari jika wanita itu bagian dal
Pukul 15.00... Agatha membuka matanya, ia menatap jendela besar disampingnya yang menampakan langit yang mendung. "Sepertinya akan hujan." Ucapnya pelan.Agatha kemudian bangkit menuju toilet untuk membasuh wajahnya, namun sesaat kemudian ia terkejut dengan suara bantingan pintu dari luar."SWEATHEART!" Panggil Rohander dengan nada melengking tinggi, Pria itu memasuki kamar namun tak mendapati Agatha yang sedang berada dalam toilet mengetingkan wajahnya."WHAT THE HELL ARE YOU DOING!" Kaget Agatha yang melihat keadaan Rohander yang nampak kacau, dengan beberapa lebam dan darah yang terlihat mengering dibeberapa sudut wajah dan tubuh Pria itu.Tak memedulikan Agatha, Rohander dengan cepat menyambar bibir Agatha melumatnya dengan gerakan kasar. Agatha yang terkejut ini sontak menjauhkan diri, namun telapak tangan Rohander yang bersarang dibelakang kepalanya membuat ia tak bisa menghindar. Dan terpaksa membalas permainan Rohander, sehingga tanpa sadar mengalungkan tangannya leher pria it
"Bagaimana bisa kau menemukan mereka secepat ini?" Tanya Bian pada sosok wanita yang tengah asik memakan makanan ringan ditangannya, dengan kedua kaki yang terpangku diatas meja kerjanya. Wanita itu tak lain adalah Agatha, setelah melewati malam yang melelahkan Agatha terbangun tanpa Rohander disisinya. Pria itu meninggalkan surat pada Agatha melarangnya untuk keluar sampai ia kembali, tapi bukan Agatha namanya jika harus menuturi kemauan Rohander. Ia memilih untuk keluar dari kantor, dan menemui temannya. Bian Holland, seorang hacker yang saat ini bekerja untuk pemerintah. Agatha mengenal Bian saat Pria itu tengah mencairkan uang hasil curiannya, Agatha yakin saat itu Bian memanglah pencuri karena gelagatnya yang tidak biasa. Seperti gugup, dan takut saat Agatha dengan terang-terangan menyakan darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Bian yang tidak bisa menjawab membuat Agatha menyeretnya ke kantor polisi. Siapa yang sangka jika Bian yang seharusnya mendekam di penjara, malah
"Ayah pulang." Dengan wajah lelah, seorang lelaki berusia empat puluhan memasuki rumah. Ia harus pulang terlambat akibat insiden menyebalkan di kereta api. Beruntung ia akhirnya dapat bebas. Ya, ia hanya perlu memberikan sejumlah uang, dan manusia-manusia budak rupiah itu dengan cepat membebaskannya.Semudah itu. "Sayang?" panggilnya. Biasanya anaknya akan berlari menyambut kedatangannya. Tumben anak dan istrinya tidak terlihat."Sayang? Misa?" Kakinya melangkah cepat memasuki rumah. "Saya—ha!" Langkahnya mendadak terhenti saat melihat anak dan istrinya tergeletak di bawah tangga. "Sayang! Misa!"Panik langsung menderanya hingga ia melempar asal tas kerjanya dan berlari menuju anak dan istrinya. Belum sampai beberapa langkah, ia hampir terjungkal saat suara tembakan menggema di keheningan siang waktu itu.Dor!Lampu besar di ruangan tersebut langsung pecah. Jatuh berserak tak karuan. Beberapa detik kemudian langkah kaki teratur terdengar mendekat. Pelan sekali. Semakin dekat, sema
"Bajingan! Sialan! Brengsek!" Maki Agatha seraya menyeka bibirnya yang terlihat bengkak akibat ulah Rohander, bahkan jika saja ia tidak berusaha melepaskan dirinya. Agatha yakin dirinya tidak di jalan saat ini, melainkan diatas kasur melayani nafs* gila Rohander yang seakan tak ada habisnya. Berjalan dengan kesal, Agatha saat ini tengah menuju ke sebuah pemakaman. Tpi bukan pemakaman kedua orang tuanya, tapi pemakaman tempat orang yang berjasa menhgajarkannya segala hal tentang dunia setelah orang tuanya tewas. "Bagaimana kabarmu, guru? Apa didalam sana begitu nyaman?"Yah, Bara Collins. Seorang Pria berumur 45 tahun yang sayangnya harus tewas akibat pengianatan anak didiknya sendiri. Bara Collins, adalah seorang pengajar strategi dan bela diri yang bekerja untuk sekelompok mafia terkenal. Statusnya sebagai mantan pembunuh bayaran yang amat ditakuti, membuat beberapa organisasi mafia mempercayakan anak buah mereka untuk ia didik. Walau memiliki sifat dingin dan tegas, Bara pada ny
"Butuh bantuan?" Tanya Rendra yang sontak membuat Agatha menatap Pria itu seraya berpikir apakah ia akan menerima bantuan Pria di depannya, tidak tahu apa yang dilakukan Rendra untuk membantunya."Bagaimana cara kau membantuku?" Tanya Agatha cepat saat melihat Leo yang mulai mendekati mejanya.Rendra tersenyum penuh arti, sebelum menepuk pahanya. "Kemarilah, duduk di pangkuanku."Agatha membulatkan matanya, terkejut dengan perkataan Rendra. "Apa kau sudah tidak waras?! Bagaimana bisa aku duduk dipangkuan Pria yang baru saja kutemui?!" Tekan Agatha dengan nada pelan agar Leo tak mencurigainya.Tinggal beberapa langkah, Agatha akhirnya menyerah dan duduk di pangkuan Rendra dengan perasaan kesal bercampur marah. Sampai akhirnya Leo berada tepat di samping meja mereka, menatap Agatha dengan penuh banyak pertanyaan dibenaknya."Apa dia kekasihmu Agatha?" Tanya Leo yang penasaran dengan Rendra, yang nampak tenang pada duduknya seraya menyesap secangkir kopi ditangannya.Agatha diam sebentar
Dengan bermodalkan kartu hitam milik Rohander. Agatha dengan berani membeli sebuah mobil mewah dengan harga fantasitis, akibat kemarahannya pada Leo.Ferrari Pininfarina Sergia merah metalik melaju di jalanan pinggiran kota new york yang sepi sekalipun baru sore hari. Itu karena di sepanjang jalan hanya ada cafe, kedai kecil dan bangunan-bangunan tua yang seperti tidak terawat. Agatha menginjak pedal gas, mengendarai mobilnya lebih kencang lagi. Sekalipun nanti itu membuatnya tertangkap kamera pengawas polisi karena melewati batas kecepatan, atau menabrak jalan—Agatha tidak peduli. Bahkan, mati sekarang akan jadi hal yang lebih baik. Mungkin... Agatha mencengkeram roda kemudinya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih. Berharap itu akan melampiaskan perasaannya yang campur aduk. Ia ingin berteriak—tapi tidak bisa. Berkali-kali Agatha mengusap matanya yang buram oleh air mata. Namun, detik selanjutnya air mata sialan itu meluncur kembali, senada dengan dadanya yang sesak—sakit. Nyeri.A
Sibuk dengan kegiatannya, Agatha tidak menyadari jika Rohander kini berdiri dibelakangnya. Bahkan saat Pria itu tersenyum didepan cermin yang Agatha gunakan, tapi hal itu tidak membuat perhatian Agatha tertuju padanya--menatap ponselnya dengan perasaan kesal.Sampai Agatha merasakan sesuatu berhembus dikulit lehernya, ia menatap cermin didepannya. Walaupun terkejut dengan kehadiran Rohander yang entah tahu bagaimana bisa Pria itu mengetahui lokasinya, Agatha diam saja menatap Rohander yang kini menatapnya dengan tatapan setajam elang.Membelai rahang Agatha, Rohander berucap. "Kau sangat cantik dengan penampilan ini, apa kau melakukan ini untuk membujukku hmm?"Agatha mengerutkan keningnya, sesaat terdiam hingga ia menyadari waktu saat ini yang telah menunjukan pukul 22.15. Yang berarti sudah lewat 2 jam lebih dari waktu makan malam."Maaf." Ucap Agatha singkat, namun terdengar begitu terpaksa di dengar Rohander. Yah... mungkin karena ia tidak biasa dengan Agatha yang mudah meminta ma
Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu