Dentuman senjata bergema di sepanjang halaman mansion. Rohander berdiri di depan anak buahnya, tangannya kokoh menggenggam pistol sementara pandangannya tetap fokus pada Lucas di kejauhan. Asap tipis mengepul dari tembakan sebelumnya, membungkus udara dengan aroma mesiu yang tajam.Di balik tembok batu mansion, Agatha memeluk tubuhnya sendiri. Bukan karena takut, tapi karena desakan perasaan yang tak ia mengerti. Kedua tangannya sedikit gemetar saat ia meraba lehernya, di mana jejak luka tipis bekas peluru Lucas beberapa hari lalu masih samar terasa.Namun, alih-alih gentar, dia mendapati dirinya malah tersenyum. Bukan senyum kemenangan, melainkan senyum penuh kebingungan. Lucas menginginkannya? Bukan hanya sebagai adik yang hilang, tetapi karena sesuatu yang lebih besar. Apa maksudnya?Suara teriakan seseorang di luar membuyarkan pikirannya. Agatha mengintip dari balik jendela. Rohander berlutut di tengah halaman, berusaha menahan rasa sakit di bahunya yang terkena peluru. Darah mene
Langkah Agatha dan Lucas menuju ke dalam kegelapan malam, jauh dari reruntuhan mansion yang seharusnya menjadi rumahnya. Suara desau angin seakan mengiringi perjalanan mereka, membawa harapan sekaligus ancaman. Di belakang mereka, Rohander berdiri tertegun, merasakan sakit yang menyengat di dadanya. Tidak hanya karena Agatha yang memilih pergi, tetapi juga karena ketidakpastian akan masa depan yang menanti mereka semua.Agatha menoleh sebentar, melihat Rohander yang terdiam, tatapannya penuh keraguan. Di dalam hatinya, rasa bersalah mulai menghantui, tetapi tekad untuk mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya lebih kuat. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke Lucas yang melangkah mantap, wajahnya tampak tenang seperti lautan yang tenang namun menyimpan badai di bawah permukaannya.“Ke mana kita pergi?” Agatha bertanya, berusaha mengabaikan kegelisahan yang bergejolak di dalam dirinya.Lucas berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Tempat yang aman,” katanya, suara rendah dan pe
Ruangan itu penuh ketegangan, seperti udara berat yang sulit untuk dihirup. Agatha berdiri di dekat jendela, merasakan setiap getaran yang memantul dari dinding-dinding dingin mansion. Perasaan gelisah yang sudah mengikutinya selama dua hari ini semakin kuat. Sesuatu yang buruk akan terjadi, ia tahu itu.Langkah-langkah kaki menggema di lorong. Pintu terbuka, tetapi sosok yang muncul bukanlah Lucas. Itu adalah pria berwajah dingin, dengan tatapan obsesi yang memancar dari sorot matanya. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat dia mendekat, langkahnya seperti irama maut."Agatha," suaranya tenang, tapi dingin. "Apa kau sudah siap?"Agatha mundur, rasa waspada memuncak dalam dadanya. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara gemetar, meskipun ia berusaha mempertahankan sikap tegar. Tatapannya tetap pada pria itu, seperti mencoba membaca niatnya, tetapi senyumnya hanya semakin menakutkan.Sebelum pria itu bisa menjawab, pintu kembali terbuka dengan keras. Rohander muncul, wajahnya penu
Untuk pertama kalinya, Agatha tampak benar-benar hancur. Wajahnya tak lagi dipenuhi amarah atau keberanian seperti biasanya—hanya kepedihan dan kehilangan yang terukir jelas di sana. Namun, Rohander, dengan dingin dan keputusannya yang tak tergoyahkan, mengambil tindakan yang lebih keras. Dia tahu Agatha sedang berada di ujung kehancuran, tetapi dia tidak bisa membiarkannya bebas, terutama dalam kondisinya sekarang.Rohander menarik Agatha ke dalam kamar besar yang sunyi dan kosong, lalu menutup pintu dengan kunci tebal. Agatha berdiri di tengah ruangan, menatap pintu dengan tatapan kosong sebelum akhirnya tersadar dengan apa yang sedang terjadi. Dengan suara gemetar dan tercekik, ia mulai berteriak.“Kau pikir ini akan menyelesaikan semuanya, Rohander?!” teriak Agatha, memukul pintu dengan telapak tangannya yang semakin memerah. "Kau pikir dengan mengurungku di sini, kau bisa menghilangkan rasa sakit ini?!" Rohander berdiri di luar kamar, mendengar setiap kata yang dilontarkan Agath
"Aku pergi dulu, jadilah wanita baik. Hmm..."CUP!Ketika Rohander pergi untuk urusan bisnis, mansion yang sebelumnya tegang terasa sedikit lebih sunyi. Agatha duduk di tepi tempat tidur, memandangi laut yang tenang di luar jendela, pikirannya dipenuhi dengan kebingungan dan rasa frustasi. Rasa terkekang yang selama ini dia pendam semakin membuatnya gelisah. Kesempatan ini harus dia manfaatkan. Tanpa Rohander di mansion, dia merasa ini adalah saatnya untuk mencoba melarikan diri.Agatha berjalan mondar-mandir di kamar, matanya berkeliaran mencari jalan keluar yang tak akan menarik perhatian para penjaga. Akhirnya, dia menatap balkon di luar kamar, satu-satunya jalan keluar yang cukup terbuka. Walaupun terlihat berbahaya, Agatha tak ragu. Dengan tekad kuat, dia membuka pintu balkon dan menatap ke bawah, kakinya menggigil melihat ketinggian."Aku bisa melakukan ini," gumamnya pelan. Tanpa pikir panjang, Agatha mulai memanjat pagar balkon, jari-jarinya berpegang erat pada tepian batu. K
Agatha duduk di ruang tengah mansion, tubuhnya terasa lelah setelah berbagai usaha melarikan diri yang selalu berakhir gagal. Matanya terpejam sejenak, mencoba melupakan perasaan putus asa yang mulai menggerogoti semangatnya. Di sampingnya, beberapa camilan tergeletak tak tersentuh, hanya menjadi saksi bisu dari keletihan fisik dan mental yang ia rasakan.Sementara itu, suara langkah kaki Rohander terdengar mendekat, dengan kehadirannya yang selalu membawa atmosfer berat. Agatha tetap diam, enggan memberi reaksi meski dalam hatinya ia tahu Rohander akan segera muncul dengan ejekan atau komentar sinisnya.Benar saja, begitu Rohander memasuki ruang tengah dan melihat Agatha yang duduk tak berdaya, dia mendengus sinis. "Kau menyerah begitu cepat? Padahal aku pikir kau wanita yang lebih tangguh daripada ini," katanya dengan nada mengejek, berdiri di depan Agatha yang tampak tak terpengaruh.Agatha membuka matanya, menatap Rohander dengan pandangan malas. “Terserah apa katamu. Aku terlalu
Agatha terbangun dengan napas tersengal, matanya yang dulu penuh dengan api perlawanan kini tampak sayu. Dia duduk di atas sofa, merasakan dinginnya kain di bawah tubuhnya. Tangannya bergetar pelan saat dia menyadari bahwa dia tidak sendirian—Rohander duduk di kursi di depannya, kedua lengannya disilangkan di dada, mata gelapnya tajam, memperhatikannya dengan intens.Cahaya sore yang menyelinap dari jendela membentuk bayangan halus di wajahnya, tapi Rohander tidak bergerak, hanya mengamati setiap perubahan kecil dalam ekspresi Agatha. Dia berusaha menutupi kekalutannya dengan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja," suaranya terdengar pecah, nyaris seperti bisikan. Namun, di dalam dadanya, denyut ketegangan terus bertalu-talu, tak tertahankan.“Jangan berbohong, Agatha,” suara Rohander rendah, tapi ada sesuatu yang keras dan dingin di balik nada itu, yang membuat kata-katanya seperti cambukan halus. "Kau tidak baik-baik saja." Ujung bibirnya melengkung sedikit, hampir seolah mengejek, t
Pagi itu, suasana di mansion berubah. Rohander, yang biasanya menyendiri, kini menerima kunjungan para tokoh penting dari dunia bisnis dan kriminal yang hanya sesekali muncul di tempat itu. Setiap tamu yang tiba disambut dengan penjagaan ketat, menandakan betapa pentingnya pertemuan kali ini. Agatha, yang masih terperangkap dalam keputusasaannya, memperhatikan dari jendela kamarnya, merasa jengkel namun penasaran.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan Rohander muncul, mengamati Agatha dengan pandangan tak tertebak. "Turun bersamaku. Aku ingin kau ada di sana."Agatha, yang masih belum pulih dari percakapan mereka sebelumnya, mendengus. “Apa aku harus ikut? Ini urusanmu, bukan urusanku.”Rohander tidak menjawab, hanya memberikan tatapan tegas yang membuat Agatha mengerti bahwa ini bukanlah undangan, melainkan perintah. Tanpa kata-kata, ia menuntunnya ke ruang pertemuan, tangannya menggenggam lengan Agatha dengan kuat namun terasa posesif.Ruangan itu dipenuhi oleh pria-pria berpe
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I
Cahaya lembut menembus kelopak mata Agatha, mengusik tidurnya yang gelisah. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di kamar yang terasa asing. Seketika itu juga, wajah Rohander muncul dalam pandangannya, dingin dan penuh amarah, berdiri tegak di samping tempat tidurnya.“Kau akhirnya bangun juga,” kata Rohander, suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Agatha masih terlalu lemah untuk merespons dengan lantang, tapi tatapannya tak kalah sengit. Ia mencoba duduk, namun kepalanya masih terasa berat. Rohander tidak menawarkan bantuan, malah menatapnya dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Sepertinya tidur panjangmu tidak membuatmu jadi lebih bijak,” lanjutnya. “Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri, Agatha?”Agatha mengerutkan kening, merasa muak dengan nada suara dingin itu. "Aku tidak perlu ceramah darimu, Rohander," jawabnya pelan namun tajam, menatap lurus ke arahnya. “Lagipula, aku hanya mengambil pil itu karena... kar
Ruangan VVIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin yang memonitor kondisi Agatha, yang tidur dengan wajah pucat dan lelah di atas ranjang. Di sampingnya, Rohander duduk terdiam, tatapannya terpaku pada wajah Agatha yang terlihat tenang dalam tidurnya, meski seluruh tubuhnya dikelilingi berbagai alat medis. Raut wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh kendali, kini dipenuhi kegelisahan dan ketakutan yang dalam.Rohander menggenggam tangan Agatha erat, seakan takut ia akan menghilang begitu saja jika ia melepaskannya. "Agatha..." bisiknya, suaranya parau, nyaris tersendat. "Aku tidak pernah membayangkan ini akan sejauh ini… aku tidak pernah berpikir aku bisa merasa setakut ini. Kehilangan kamu… itu adalah mimpi buruk yang tak ingin aku hadapi."Matanya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, air mata mulai menetes di pipinya, perlahan-lahan. Tangannya bergetar, tapi tetap mencengkeram tangan Agatha dengan kuat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia adalah pusat kendal