Home / Romansa / OBSESI PRIA BERKUASA / Menentukan nasibnya sendiri

Share

Menentukan nasibnya sendiri

Author: Chatrin
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah kepergian Lucas, ruangan terasa sunyi meski ketegangan belum sepenuhnya hilang. Agatha menarik napas panjang, memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya berdiri dari kursinya. Dia merasa harus melangkah maju, tapi belum tahu ke arah mana.

Rohander memperhatikan Agatha dengan cermat, ekspresinya sulit ditebak. "Apa yang sebenarnya ada di kepalamu, Agatha?" tanyanya pelan, tapi tajam.

Agatha membuka matanya, tatapannya sekarang jauh lebih tenang. “Aku tidak bisa hanya menunggu dan membiarkan semuanya terjadi. Ini hidupku, Rohander. Lucas mungkin saudaraku, dan kau… kau bagian penting dari hidupku sekarang, tapi aku bukan milik siapa pun. Aku harus membuat keputusanku sendiri.”

Rohander mendekat, menghentikan langkahnya tepat di depannya. Dia menatap Agatha dengan intensitas yang membuat jantung Agatha sedikit berdegup lebih kencang. "Dan keputusanku adalah melindungimu, apa pun yang terjadi. Apakah kau menyukai itu atau tidak."

Agatha tertawa kecil, meski tidak ada humor dalam
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Alasan menginginkanmu

    Hari itu, mansion terasa sepi setelah serangan dari anak buah Lucas berhasil dipukul mundur. Namun, Rohander dan Agatha tahu ini hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Lucas bukanlah tipe orang yang menyerah begitu saja. Dan konflik utama di antara mereka mulai terungkap dengan lebih jelas.Agatha berjalan di sisi Rohander, tatapannya penuh kecemasan yang ia sembunyikan dengan baik. Meski berhasil melawan serangan Lucas sebelumnya, perasaan gelisah menyelimuti pikirannya. Ia merasakan ada yang lebih dari sekadar pertarungan kekuasaan atau klaim keluarga. Ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang dimainkan."Kita tidak bisa terus seperti ini, Rohander," bisik Agatha, matanya menatap lurus ke depan. "Lucas tidak akan berhenti hanya karena kita berhasil menghentikan serangan pertama. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?"Rohander menghela napas panjang, menghentikan langkahnya dan menatap Agatha dengan pandangan yang lebih serius dari biasanya. "Ada banyak hal yang kau belu

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Ajari aku

    Dentuman senjata bergema di sepanjang halaman mansion. Rohander berdiri di depan anak buahnya, tangannya kokoh menggenggam pistol sementara pandangannya tetap fokus pada Lucas di kejauhan. Asap tipis mengepul dari tembakan sebelumnya, membungkus udara dengan aroma mesiu yang tajam.Di balik tembok batu mansion, Agatha memeluk tubuhnya sendiri. Bukan karena takut, tapi karena desakan perasaan yang tak ia mengerti. Kedua tangannya sedikit gemetar saat ia meraba lehernya, di mana jejak luka tipis bekas peluru Lucas beberapa hari lalu masih samar terasa.Namun, alih-alih gentar, dia mendapati dirinya malah tersenyum. Bukan senyum kemenangan, melainkan senyum penuh kebingungan. Lucas menginginkannya? Bukan hanya sebagai adik yang hilang, tetapi karena sesuatu yang lebih besar. Apa maksudnya?Suara teriakan seseorang di luar membuyarkan pikirannya. Agatha mengintip dari balik jendela. Rohander berlutut di tengah halaman, berusaha menahan rasa sakit di bahunya yang terkena peluru. Darah mene

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Pilihannya atau rencana?

    Langkah Agatha dan Lucas menuju ke dalam kegelapan malam, jauh dari reruntuhan mansion yang seharusnya menjadi rumahnya. Suara desau angin seakan mengiringi perjalanan mereka, membawa harapan sekaligus ancaman. Di belakang mereka, Rohander berdiri tertegun, merasakan sakit yang menyengat di dadanya. Tidak hanya karena Agatha yang memilih pergi, tetapi juga karena ketidakpastian akan masa depan yang menanti mereka semua.Agatha menoleh sebentar, melihat Rohander yang terdiam, tatapannya penuh keraguan. Di dalam hatinya, rasa bersalah mulai menghantui, tetapi tekad untuk mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya lebih kuat. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke Lucas yang melangkah mantap, wajahnya tampak tenang seperti lautan yang tenang namun menyimpan badai di bawah permukaannya.“Ke mana kita pergi?” Agatha bertanya, berusaha mengabaikan kegelisahan yang bergejolak di dalam dirinya.Lucas berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Tempat yang aman,” katanya, suara rendah dan pe

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Meskipun hanya kebencian yang kau miliki untukku

    Ruangan itu penuh ketegangan, seperti udara berat yang sulit untuk dihirup. Agatha berdiri di dekat jendela, merasakan setiap getaran yang memantul dari dinding-dinding dingin mansion. Perasaan gelisah yang sudah mengikutinya selama dua hari ini semakin kuat. Sesuatu yang buruk akan terjadi, ia tahu itu.Langkah-langkah kaki menggema di lorong. Pintu terbuka, tetapi sosok yang muncul bukanlah Lucas. Itu adalah pria berwajah dingin, dengan tatapan obsesi yang memancar dari sorot matanya. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat dia mendekat, langkahnya seperti irama maut."Agatha," suaranya tenang, tapi dingin. "Apa kau sudah siap?"Agatha mundur, rasa waspada memuncak dalam dadanya. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara gemetar, meskipun ia berusaha mempertahankan sikap tegar. Tatapannya tetap pada pria itu, seperti mencoba membaca niatnya, tetapi senyumnya hanya semakin menakutkan.Sebelum pria itu bisa menjawab, pintu kembali terbuka dengan keras. Rohander muncul, wajahnya penu

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Kalian semua sama saja!

    Untuk pertama kalinya, Agatha tampak benar-benar hancur. Wajahnya tak lagi dipenuhi amarah atau keberanian seperti biasanya—hanya kepedihan dan kehilangan yang terukir jelas di sana. Namun, Rohander, dengan dingin dan keputusannya yang tak tergoyahkan, mengambil tindakan yang lebih keras. Dia tahu Agatha sedang berada di ujung kehancuran, tetapi dia tidak bisa membiarkannya bebas, terutama dalam kondisinya sekarang.Rohander menarik Agatha ke dalam kamar besar yang sunyi dan kosong, lalu menutup pintu dengan kunci tebal. Agatha berdiri di tengah ruangan, menatap pintu dengan tatapan kosong sebelum akhirnya tersadar dengan apa yang sedang terjadi. Dengan suara gemetar dan tercekik, ia mulai berteriak.“Kau pikir ini akan menyelesaikan semuanya, Rohander?!” teriak Agatha, memukul pintu dengan telapak tangannya yang semakin memerah. "Kau pikir dengan mengurungku di sini, kau bisa menghilangkan rasa sakit ini?!" Rohander berdiri di luar kamar, mendengar setiap kata yang dilontarkan Agath

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Usaha pelarian yang sia-sia

    "Aku pergi dulu, jadilah wanita baik. Hmm..."CUP!Ketika Rohander pergi untuk urusan bisnis, mansion yang sebelumnya tegang terasa sedikit lebih sunyi. Agatha duduk di tepi tempat tidur, memandangi laut yang tenang di luar jendela, pikirannya dipenuhi dengan kebingungan dan rasa frustasi. Rasa terkekang yang selama ini dia pendam semakin membuatnya gelisah. Kesempatan ini harus dia manfaatkan. Tanpa Rohander di mansion, dia merasa ini adalah saatnya untuk mencoba melarikan diri.Agatha berjalan mondar-mandir di kamar, matanya berkeliaran mencari jalan keluar yang tak akan menarik perhatian para penjaga. Akhirnya, dia menatap balkon di luar kamar, satu-satunya jalan keluar yang cukup terbuka. Walaupun terlihat berbahaya, Agatha tak ragu. Dengan tekad kuat, dia membuka pintu balkon dan menatap ke bawah, kakinya menggigil melihat ketinggian."Aku bisa melakukan ini," gumamnya pelan. Tanpa pikir panjang, Agatha mulai memanjat pagar balkon, jari-jarinya berpegang erat pada tepian batu. K

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Sebuah fakta

    Agatha duduk di ruang tengah mansion, tubuhnya terasa lelah setelah berbagai usaha melarikan diri yang selalu berakhir gagal. Matanya terpejam sejenak, mencoba melupakan perasaan putus asa yang mulai menggerogoti semangatnya. Di sampingnya, beberapa camilan tergeletak tak tersentuh, hanya menjadi saksi bisu dari keletihan fisik dan mental yang ia rasakan.Sementara itu, suara langkah kaki Rohander terdengar mendekat, dengan kehadirannya yang selalu membawa atmosfer berat. Agatha tetap diam, enggan memberi reaksi meski dalam hatinya ia tahu Rohander akan segera muncul dengan ejekan atau komentar sinisnya.Benar saja, begitu Rohander memasuki ruang tengah dan melihat Agatha yang duduk tak berdaya, dia mendengus sinis. "Kau menyerah begitu cepat? Padahal aku pikir kau wanita yang lebih tangguh daripada ini," katanya dengan nada mengejek, berdiri di depan Agatha yang tampak tak terpengaruh.Agatha membuka matanya, menatap Rohander dengan pandangan malas. “Terserah apa katamu. Aku terlalu

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Bahkan jika hanya kebencian

    Agatha terbangun dengan napas tersengal, matanya yang dulu penuh dengan api perlawanan kini tampak sayu. Dia duduk di atas sofa, merasakan dinginnya kain di bawah tubuhnya. Tangannya bergetar pelan saat dia menyadari bahwa dia tidak sendirian—Rohander duduk di kursi di depannya, kedua lengannya disilangkan di dada, mata gelapnya tajam, memperhatikannya dengan intens.Cahaya sore yang menyelinap dari jendela membentuk bayangan halus di wajahnya, tapi Rohander tidak bergerak, hanya mengamati setiap perubahan kecil dalam ekspresi Agatha. Dia berusaha menutupi kekalutannya dengan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja," suaranya terdengar pecah, nyaris seperti bisikan. Namun, di dalam dadanya, denyut ketegangan terus bertalu-talu, tak tertahankan.“Jangan berbohong, Agatha,” suara Rohander rendah, tapi ada sesuatu yang keras dan dingin di balik nada itu, yang membuat kata-katanya seperti cambukan halus. "Kau tidak baik-baik saja." Ujung bibirnya melengkung sedikit, hampir seolah mengejek, t

Latest chapter

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Kabar terbaru

    Pisau di tangan Rohander memancarkan sinar biru yang tajam, membuat seluruh ruangan seperti terselimuti kabut dingin. Agatha merasakan hawa aneh menyusup ke kulitnya, seperti sesuatu sedang mencoba menyeretnya ke dalam kegelapan."Pisau itu…" Clara bergumam, matanya melebar. "Itu bukan senjata biasa. Dia menggunakan sesuatu yang tidak manusiawi!"Rohander tersenyum puas, mencium ketakutan di wajah mereka. "Kalian benar, Clara. Pisau ini adalah warisan dari tempat yang tak bisa kalian bayangkan. Hanya sedikit yang berani menyentuhnya, apalagi menggunakannya."“Omong kosong!” seru Agatha, mencoba menenangkan kegelisahannya. “Pisau itu tidak akan menyelamatkanmu dari apa yang sudah kau lakukan, Rohander!”“Oh, sayangku, ini bukan soal menyelamatkan,” Rohander mengayunkan pisau itu perlahan, dan sebuah retakan aneh muncul di udara, seperti kaca yang pecah. "Ini soal memastikan kau tak pernah pergi dariku."Retakan itu melebar, dan dari baliknya muncul bayangan-bayangan gelap berbentuk sep

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Tidak bergantung pada senjata

    Di dalam vila, Agatha merasakan detik-detik itu bergerak lebih lambat dari biasanya.Rohander berdiri di dekat perapian, tatapannya seperti pemangsa yang tidak sabar menunggu mangsanya jatuh ke dalam perangkap. Agatha menundukkan kepala, pura-pura menyerah sementara pikirannya bekerja cepat untuk memikirkan langkah selanjutnya."Kau tahu, Agatha," Rohander memulai, nada suaranya santai namun menusuk, "aku selalu kagum pada ketabahanmu. Bahkan ketika kau mencoba melarikan diri dariku, kau melakukannya dengan cara yang mengesankan."Agatha mendongak, matanya bertemu dengan matanya yang dingin. "Dan itu tidak memberitahumu sesuatu, Rohander? Aku tidak ingin berada di sini."Rohander menghela napas, seolah-olah dia bosan mendengar penolakan itu. "Mungkin aku harus lebih jelas. Kau tidak punya pilihan lagi. Aku sudah memberimu waktu dua tahun, Agatha. Cukup sudah."Sebelum Agatha sempat membalas, pintu ruang tamu terbuka. Seorang pria berseragam hitam masuk dan berbisik di telinga Rohander

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Faksi

    Di luar, malam terasa mencekam. Suara tembakan masih terdengar berselang-seling, membuat langkah mereka semakin terburu-buru. Agatha berusaha menjaga ketenangannya meski tubuhnya masih lemah. Clara berjalan di depan, memimpin mereka menuju mobil yang sudah disiapkan di sisi lain properti.“Siapa yang menyerang?” tanya Rohander dengan nada penuh ancaman, matanya menyapu area sekitar seperti elang mengintai mangsa.“Orang-orang dari faksi yang selama ini bersembunyi,” jawab Clara cepat, tapi ia tidak memberi detail lebih jauh.“Apa maksudmu dengan ‘faksi’? Jelaskan, Clara!” desak Rohander, namun Clara tetap fokus berjalan.Agatha, yang berjalan di belakang mereka, mendesah pelan. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya, Rohander?” katanya dengan nada mengejek. “Selama ini kau sibuk menjaga kekuasaanmu, tapi kau lupa bahwa kekuasaan selalu menarik musuh dari bayang-bayang.”Rohander menoleh tajam. “Jika ini tentang pengkhianat dalam organisasiku, aku akan menyelesaikannya.”“Bukan hanya

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Bukan tentang kabur

    Malam itu, setelah kejadian di galeri, Agatha duduk di balkon apartemennya, menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sejuk berhembus pelan, membawa ketenangan yang aneh namun tidak sepenuhnya menghapus kegelisahan di dalam dirinya. Pertemuan dengan Rohander tadi masih mengendap di pikirannya, mengusik setiap sudut emosi yang berusaha ia kubur selama dua tahun terakhir.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Clara."Kau baik-baik saja? Aku melihat wajahmu setelah pria itu pergi."Agatha tersenyum tipis, meski sedikit pahit. Clara selalu perhatian padanya. Ia mengetik balasan dengan cepat."Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli. Jangan khawatir, aku tahu apa yang harus kulakukan."Namun, apa benar ia tahu? Suara Rohander masih terngiang-ngiang di kepalanya, terutama kalimat terakhir yang diucapkannya: "Aku tidak akan menyerah."Agatha memejamkan matanya, mencoba menepis rasa takut dan keraguan. Ia telah bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang damai ini, dan

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Aku tidak bisa melupakanmu

    Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Terima kasih untuk segalanya

    Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Hidup barunya

    Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Kalimat yang mengusik benak

    Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j

  • OBSESI PRIA BERKUASA   Lelah dari semua kebohongan

    Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu

DMCA.com Protection Status