Dullahan itu menyusul O ke dalam aula yang gelap gulita. Kaki besarnya melangkah dengan irama tetap, karena keadaan gelap atau terang tidak ada bedany baginya. Sebab, ia dapat merasakan dan membedakan Mana yang berada di sekitarnya.Sebagai gambaran bagaimana indra Dullahan yang unik itu digunakan, cobalah kalian meletakkan kertas putih di atas uang koin. Kemudian, sambil menekan kertas itu, gesekkan sebuah pensil ke atas permukaan kertas dengan gaya mengarsir. Maka gambar yang ada pada koin akan tercetak di kertas itu. Dullahan adalah kertasnya, Mana adalah arang pensil itu, sementara koin adalah keadaan sekitarnya. Dullahan itu meraba Mana di sekelilingnya untuk mendapatkan gambaran. Ia sedang mencari seekor monster berjenis Lich yang ditenggarai telah menyerap Nyx dalam jumlah besar. Nyx itu dibutuhkan oleh tuannya. Segera.Namun, setelah berusaha mencari cukup lama, Dullahan itu itu tidak menemukan Lich itu di manapun. Langit-langit kosong. Lantai dipenuhi dengan puing, kotoran, d
"Medicor!"O menggunakan Sihir Penyembuh, sihir cahaya yang beraiinat fatal untuk makhluk kegelapan berjenis mayat hidup. Sihir ini dapat menyembuhkan daging yang luka, tapi pada mayat hidup akan berfungsi sebaliknya, bahkan pada mayat hidup kelas atas seperti Death Knight sekalipun.Siapa sangka sihir dasar seperti ini bisa digunakan untuk mengalahkan monster kelas atas? Namun O sudah membuktikan, bahwa yang terpenting adalah bagaimana sihir itu digunakan, dan bukan kekuatan ataupun tingkat kerumitannya."Medicor!" O menggunakan sihir itu sekali lagi. Ia menerapkan pengalamannya menggunakan sihir ini pada peti-peti mati di Mausoleum Baro Bundon. Seperti pada peti mati itu, gelombang cahaya penyembuh sihir Medicor ini dapat merambat di bebatuan yang mengurung targetnya."Urgh!" O terjatuh dan berlutut. Pandangannya kabur. Ia sudah menggunakan terlalu banyak Mana dalam rentang waktu yang terlalu pendek. "Mudah-mudahan kau sudah tenang di sana, ya Om," katanya penuh harap. ia berharap Du
Nyaris ... O nyaris mati lagi seandainya serangan Mars tidak meleset. Melesetnya pun tipis sekali, hanya satu jengkal. Bidikan Mars meleset karena tangannya membeku, terkunci dalam tembok es setebal satu meter.Ya. Satu detik yang lalu, O dengan sigap menggunakan Glacien, Sihir Tembok Es. Ia berniat untuk membatalkan serangan Mars, tapi usahanya ternyata tidak begitu berhasil."Ew! Payah," kata O sambil segera berbalik dan mengambil langkah seribu. "Yah, setidaknya serangan itu jadi meleset."O segera berlari ke arah pintu keluar secepat mungkin ke arah pintu keluar sementara Mars masih tertahan dalam tembok es. Tiba-tiba ia punya siasat baru, dan untuk mengeksekusinya, ia harus kembali ke koridor sebelumnya.Namun tidak butuh waktu lebih dari 5 detik bagi Mars untuk membebaskan diri. Energi Aura yang terus menerus dipancarkan sang Dullahan menguapkan tembok es setebal 1 meter itu seperti sepotong mentega di atas wajan panas.Mars memasang kuda-kuda berlari. Detik berikutnya, ia melesa
O terjun bebas ke bawah. Di atasnya, tulang-tulang jemarinya terbang menyusul sedikit lebih lambat dari kecepatan jatuhnya."Oho! Mimpiku terwujud, Narator!" seru O. "Aku punya senjata satelit!"""Selamat, Tuan! Imajinasi, kreativitas dan eksekusi Anda memang tidak ada tandingannya!"" sahut Narator, terdengar memuji dengan tulus."Sayangnya, tulang-tulang jariku cuma sembilan biji," kata O lagi. Sekarang posisinya duduk bersila di udara. "Dan gerakannya masih sangat terbatas. Seandainya aku bisa punya kemampuan telekinesis seperti Livor!"O mengubah posisi tubuhnya ke posisi mendarat. Lantai dasar koridor vertikal itu sudah mulai tampak."Eh, apakah aku nanti bisa meminta Scriptum semacam telekinesis?" tanya O.""Tidak,"" jawab Narator, ""Tapi Scriptum yang Anda peroleh nanti akan lebih baik dari itu."""Apakah Scriptum-ku nanti bisa menggerakkan tulang-tulang jariku seperti satelit?"""Kurang lebih begitu, Tuan."""He, he. Baiklah. Aku menanti," kata O, lalu merapal sebuah mantra, "Fl
Suara ledakan memekakkan telinga dan menggetarkan seisi ruangan. Lebih banyak puing-puing berjatuhan, memperbesar lubang di langit-langit dan membuat lebih banyak cahaya memasuki aula itu.. Seandainya O punya gendang telinga, pastilah selaput tipis itu sudah terkoyak. Sementara itu, Mithra melindunginya dari puing-puing yang jatuh."Kerja bagus, Sobat," kata O sambil menepuk-nepuk perut Mithra. Sayangnya, tidak ada lagi rambut lembut di sana. Hanya ada perut sobek dengan usus terburai ..."Grah!" pekik Mars, lalu, "Sky render!"O secara insting bergelayut di perut Mithra. Sementara itu, Mithra langsung melejit ke samping."Ya, ampun, Om. Kalau mau pakai jurus tidak perlu teriak! Kan jadi ketahuan!" ejek O. Sekarang ia sudah menunggangi Mitrhra.""Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang, didapatkan."" Sebuah pesan dari Narator muncul. ""Selama menunggang monster yang terikat kontrak, Anda bisa menyalurkan sihir Anda lewat tunggangan dan beban mental saat menggunakan sihir juga akan terbagi
Tubuh Malus tersentak ke belakang. Kepalanya terbentur bingkai jendela besar tempatnya duduk bersandar. Cahaya gelap di soket matanya bergoyang-goyang, lalu membesar.Salah satu Scriptum yang dimiliki oleh Malus adalah Sensus. Kemampuan ini memungkinkan sang matriark untuk menghubungkan indranya dengan pada simbol-simbol tertentu. Ia mendapatkan Scriptum itu dari salah satu korbannya, seorang peramal hebat, yang jiwanya kini terus tersiksa dalam kristal inti Malus.Sejak Malus menjadi Lich, ia kehilangan indra perasa, peraba, dan penghindu sehingga hanya bisa menghubungkan indra pendengearan dan penglihatannya saja. Meski begitu, kemampuan Malus masih sangat kuat. Ia nyaris mengetahui apa saja yang terjadi di permukaan Kota Magna. Akan tetapi, kemampuan ini tentu punya kelemahan. Dan salah satu kelemahan itu adalah, kerusakan yang terjadi pada simbol penghubungnya juga akan berdampak pada indranya.Beberapa saat yang lalu, Mars, salah satu bawahan terdekatnya, menghubungi lewat simbol
Sejak dua puluh satu jam yang lalu, Kota Magna yang dikenal sebagai kota mati bagaikan hidup kembali. Kota yang awalnya tidak dihuni makhluk hidup selain tumbuhan itu dimasuki oleh ratusan manusia dari gerbang-gerbang megahnya yang tertutup rapat sejak 25 tahun yang lalu.Dua puluh lima tahun yang lalu, serangkaian bencana alam menghancurkan Kota Magna dalam semalam. Gempa bumi hebat disusul dengan badai hujan serta puting beliung muncul begitu saja tanpa tanda-tanda alam apapun. Kota terbesar di Valandria dengan sejarah ribuan tahun itu kemudian mati begitu saja. Infrastruktur Kota Magna yang telah bertahan dari gerusan waktu selama ribuan tahun hanya rusak sedikit, tetapi ratusan ribu penduduknya tak ada yang selamat ... besoknya, ketika orang-orang memeriksa kota itu, mereka dikejutkan dengan geliat yang sama sekali baru, yang tidak berasal dari kesibukan manusia sehari-hari. Kota itu, entah bagaimana dipenuhi oleh mayat-mayat penduduk kota yang berjalan ke sana kemari tanpa tujuan
Di sisi timur Kota Magna, pertempuran masih terus berlanjut. Pasukan kavaleri Kuda Putih dari Kerajaan Lucidum, dibantu dengan sekelompok pendeta dari Ecclesia, mengalahkan ratusan, bahkan ribuan mayat hidup yang terus berdatangan seperti ombak di lautan. Tidak hanya mayat hidup, pasukan gabungan itu juga harus melawan monster-monster dan makhluk kegelapan lainnya. Bahkan, beberapa monster hanya pernah mereka temui dalam cerita-cerita legenda."Jangan menyerah!" seru seorang komandan dari atas kudanya yang besar dan kekar. "Kita sudah pernah mengalahkan Galgalim! Kita akan mengalahkan Raja Iblis lainnya!"Seruan itu ditanggapi dengan lesu. Baik para prajurit maupun pendeta, semuanya sudah sangat kelelahan setelah pertempuran selama berjam-jam. Mereka mendekam di titik yang sama sejak pagi tadi, dan lapisan-lapisan pertahanan mereka semakin terkikis oleh gelombang serangan musuh yang tak pernah berhenti."Omong kosong!" kata seorang pendeta paruh baya. Napasnya memburu. "Dulu kita punya
O mengira bahwa budaya di Valandria tidak berbed jauh dengan budaya Eropa Abad Pertengahan. Namun setelah sesaat mengamati isi ruang tamu, yang barangkali ruangan terbesar, dalam wastu tua itu, perkiraannya tidak begitu tepat.Dalam ruang tamu itu, satu set kursi dan meja tamu tertata melingkar di atas permadani persegi yang membentang dan menutupi lebih dari separuh luasan lantai. Tepat di atas kursi-kursi itu menggantung lampu hias yang terbuat dari kaca, yang mana setiap potongan kaca menyebarkan cahaya dari Lilin-lilin Ahadi yang betengger dalam kandelabra di berbagai tempat. Di sisi ruangan terdapat banyak lemari mewah yang kosong dan rak-rak berisi tumpukan buku usang. Sebuah jam rusak berdiri kaku di seberang ruangan, seolah-olah waktu membeku."Menarik," komentar O. Lalu berbalik menatap Azia yang baru saja menutup pintu. Matanya sempat melihat hibir Azia melngkung tersenyum, lalu segera kembali datar. "Kenapa kau tersenyum begitu, Tante?" Azia menggeleng. "Saya hanya senang,
O memasuki wastu yang berdiri tak jauh dari kataokmba Keluarga Cultio. Dari penampakan luarnya, wastu itu masih berdiri kokoh meskipun lapisan temboknya terkelupas di sana-sini. Bingkai-bingkai jendela dan ambang pintu yang terbuat dari kayu juga masih utuh, bahkan masih menyisakan sedikit cat dan pernis. Semak belukar merimbun di halamannya, menyisakan sedikit saja jalur menuju pintu utama.O menyusuri jalur sempit di antara semak itu. Dari kondisi dedaunan yang merunduk dan patah-patah, tampaknya jalur itu baru saja dilalui oleh seseorang ... seseorang atau sesuatu?O mendadak jadi curiga. Langkahnya terhenti, begitu juga langkah Mithra yang mengekor di belakangnya. Si lelaki misterius berjubah hitam menggantung lemah di punggung Mithra."Kita pergi, Kawan ... atau sebaiknya aku bakar saja rumah mewah ini beserta apapun yang ada di dalamnya?" kata O pada Mithra yang kemudian membalas dengan geraman singkat.O mengangkat tangan kirinya. Hanya tersisa 3 jari di tangan itu, karena keli
O tidak perlu berpikir keras tentang cara agar ia bisa selamat dari penerjunan bebas itu. Di bawah sana, setitik cahaya hijau berkerlip seperti bintang kecil. Cahaya itu berasal dari Mithra, atau lebih tepatnya, dari sihir angin beliung hewan (?) suci itu.Angin kencang menerpa O, meliuk-liuk dan berputar di sekitar tubuhnya. O menari bersama angin itu di udara, berputar dan meluncur dalam lintasan spiral. Seperti seekor burung walet, O menunggangi angin itu dengan anggun. Kedua lengannya merentang serupa sayap, dan saat ketinggiannya hanya beberapa meter saja di atas permukaan tanah, O menggulung tubuhnya.Satu gulungan, dua gulungan. Lalu O menegakkan tubuhnya secara vertikal, persis seperti atlet loncat selam indah. Ia tidak perlu repot memikirkan tempat mendaratnya karena Mithra sudah siap menangkapnya. Dan ...."Hup!" seru O dengan nada penuh kepuasan dan kebanggaan. Ia mendarat di punggung Mithra yang empuk. Jika ia sedang mengikuti sebuah perlombaan atletik, lompatannya barusan
Cockatrice itu mengepakkan sayap, terbang semakin tinggi dan tinggi. Setiap kali si Demon menyemburkan asam atau melemparkan bola api, si Cockatrice berkelit dengan elok. Tubuh besarnya sama sekali tidak mengurangi kegesitan makhluk itu di udara."Hoeek!" O memuntahkan suara (karena ia tidak punya lambung, apalagi isinya). Manuver si Cockatrice di udara membuat pandangan O berputar-putar. Saat itu, ia telah berhasil mencapai punggung si Cockatrice dan duduk di sana. Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang membuatnya pantat O bisa menempel dengan baik di bulu-bulu Cockatrice yang sekeras lempeng batu.""Anda baik-baik saja, Tuan O?"" Narator memastikan keadaan O."Menurutmu bagaimana?" balas O, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian muntah lagi.Akan tetapi, meskipun mengeluarkan bunyi-bunyi sebagai pertanda tidak baik-baik saja, nyatanya akal O masih sangat encer. Hal itu dibuktikan dengan tiga lingkaran sihir yang menyala-nyala di telapak dan di depan dadanya.O menggunakan tiga sihir berbeda
"Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t
Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting
Plaga tersenyum puas mengagumi sihirnya yang indah: sebuah menara api yang menjulang ke langit, dengan lidah-lidah api berbentuk tangan yang mencengkram siapapun dan apapun mejadi arang. Udara panas di sekitar melenyapkan kelembaban, membuat tanah rekah dan rumput-rumput di sekitar mengering seperti dihadapkan dengan terik belasan matahari.Sang Demon menikmati tiap detik dari momen apresiasi itu, dan bahkan membuat sebait syair yang mendeskripsikan keindahannya. Ia begitu menyukai sihir, dan itulah alasan bagi Demon sekuat dirinya melayani Master Malus.Malus bukan sekedar tuan bagi Plaga. Bagi sang Demon, Malus adalah seorang Muse, sumber inspirasinya. Apalagi, dari Keempat Tungkai, hanya dirinyalah yang menggunakan sihir sebagai senjata utama. Mars, sang Dullahan, jelas-jelas tidak tahu apapun soal merapal sihir. Fames, sang Harpy, memiliki sihir elemen angin dan kegelapan yang sangat beragam, tapi sayangnya, otak burung Fames tidak mencukupi syarat untuk mengoptimalkan sihir-sihir
"Mua, ha, ha, ha!" tawa O pecah, menggema di udara. Di telinga orang yang tidak mengenal O, tawa itu mungkin terdengar lebih mengerikan dari teriakan seorang Banshee ... Sementara itu, belasan Banshee di kejauhan terendam lumpur tanpa pernah tahu siapa yang menyerang mereka. "" ... "" Narator tidak bisa berkata-kata lagi. O tidak menepati perkataannya untuk berhati-hati saat menggunakn Mana. Namun, di luar itu, Narator sebenarnya mengagumi kemampuan belajar O yang luar biasa. "Grauur!"Mithra menggeram dengan nada imut. Kerangka kucing itu menari-nari di bawah hujan lumpur, meloncat dan berguling sampai tulang putihnya menjadi hitam semua. Seperti O, ia terlihat girang dengan adanya lautan lumpur yang meledak dari perut bumi secara tiba-tiba. "Ugh! Kepalaku sedikit pusing ..."""Anda terlalu banyak menggunakan Mana, Tuan."""Hmm, aku pikir dengan menjadi Lich, kapasitasku meningkat drastis," sanggah O. Ia tidak ingin disalahkan.""Beruntung tidak ada musuh lagi di sini ...""Grrr!
O mengayunkan sabit besarnya dengan anggun. Seperti baling-baling mesin penghalus bumbu, O menebas semua mayat hidup yang merangsek ke arahnya. Tak cukup, O membuat standar tinggi, yaitu sabetan sabitnnya harus mengenai leher atau bagian kepala.SLASH! SLASH!Kepala melayang. Wajah jelek terbagi dua. Leher putus. Tubuh-tubuh mayat hidup itu bergeletakan ke tanah tanpa kepala. Sebagian mencair menjadi Nyx seluruhnya, sebagian lagi tidak menjadi apapun, tapi Nyx tetap merembes dari tubuhnya.Sabit O terus berputar dan berputar. Kepala berterbangan. Nyx berceceran. Kabut hitam mengudara dan berkumpul di kristal inti yang berada dalam rongga dada O. Kemampuan berpikir O memungkinkan semua itu terjadi secara bersamaan.Akhirnya, setelah beberapa menit berputar-putar, jumlah mayat hidup di tanah lapang itu tinggal segelintir saja."Fyuuh! Kenapa banyak sekali mayat hidup di sini?" seru O, "Apa sedang ada arisan?"O berjalan santai di antara potongan-potongan tubuh dan genangan Nyx. Sayangn