Nyaris ... O nyaris mati lagi seandainya serangan Mars tidak meleset. Melesetnya pun tipis sekali, hanya satu jengkal. Bidikan Mars meleset karena tangannya membeku, terkunci dalam tembok es setebal satu meter.Ya. Satu detik yang lalu, O dengan sigap menggunakan Glacien, Sihir Tembok Es. Ia berniat untuk membatalkan serangan Mars, tapi usahanya ternyata tidak begitu berhasil."Ew! Payah," kata O sambil segera berbalik dan mengambil langkah seribu. "Yah, setidaknya serangan itu jadi meleset."O segera berlari ke arah pintu keluar secepat mungkin ke arah pintu keluar sementara Mars masih tertahan dalam tembok es. Tiba-tiba ia punya siasat baru, dan untuk mengeksekusinya, ia harus kembali ke koridor sebelumnya.Namun tidak butuh waktu lebih dari 5 detik bagi Mars untuk membebaskan diri. Energi Aura yang terus menerus dipancarkan sang Dullahan menguapkan tembok es setebal 1 meter itu seperti sepotong mentega di atas wajan panas.Mars memasang kuda-kuda berlari. Detik berikutnya, ia melesa
O terjun bebas ke bawah. Di atasnya, tulang-tulang jemarinya terbang menyusul sedikit lebih lambat dari kecepatan jatuhnya."Oho! Mimpiku terwujud, Narator!" seru O. "Aku punya senjata satelit!"""Selamat, Tuan! Imajinasi, kreativitas dan eksekusi Anda memang tidak ada tandingannya!"" sahut Narator, terdengar memuji dengan tulus."Sayangnya, tulang-tulang jariku cuma sembilan biji," kata O lagi. Sekarang posisinya duduk bersila di udara. "Dan gerakannya masih sangat terbatas. Seandainya aku bisa punya kemampuan telekinesis seperti Livor!"O mengubah posisi tubuhnya ke posisi mendarat. Lantai dasar koridor vertikal itu sudah mulai tampak."Eh, apakah aku nanti bisa meminta Scriptum semacam telekinesis?" tanya O.""Tidak,"" jawab Narator, ""Tapi Scriptum yang Anda peroleh nanti akan lebih baik dari itu."""Apakah Scriptum-ku nanti bisa menggerakkan tulang-tulang jariku seperti satelit?"""Kurang lebih begitu, Tuan."""He, he. Baiklah. Aku menanti," kata O, lalu merapal sebuah mantra, "Fl
Suara ledakan memekakkan telinga dan menggetarkan seisi ruangan. Lebih banyak puing-puing berjatuhan, memperbesar lubang di langit-langit dan membuat lebih banyak cahaya memasuki aula itu.. Seandainya O punya gendang telinga, pastilah selaput tipis itu sudah terkoyak. Sementara itu, Mithra melindunginya dari puing-puing yang jatuh."Kerja bagus, Sobat," kata O sambil menepuk-nepuk perut Mithra. Sayangnya, tidak ada lagi rambut lembut di sana. Hanya ada perut sobek dengan usus terburai ..."Grah!" pekik Mars, lalu, "Sky render!"O secara insting bergelayut di perut Mithra. Sementara itu, Mithra langsung melejit ke samping."Ya, ampun, Om. Kalau mau pakai jurus tidak perlu teriak! Kan jadi ketahuan!" ejek O. Sekarang ia sudah menunggangi Mitrhra.""Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang, didapatkan."" Sebuah pesan dari Narator muncul. ""Selama menunggang monster yang terikat kontrak, Anda bisa menyalurkan sihir Anda lewat tunggangan dan beban mental saat menggunakan sihir juga akan terbagi
Tubuh Malus tersentak ke belakang. Kepalanya terbentur bingkai jendela besar tempatnya duduk bersandar. Cahaya gelap di soket matanya bergoyang-goyang, lalu membesar.Salah satu Scriptum yang dimiliki oleh Malus adalah Sensus. Kemampuan ini memungkinkan sang matriark untuk menghubungkan indranya dengan pada simbol-simbol tertentu. Ia mendapatkan Scriptum itu dari salah satu korbannya, seorang peramal hebat, yang jiwanya kini terus tersiksa dalam kristal inti Malus.Sejak Malus menjadi Lich, ia kehilangan indra perasa, peraba, dan penghindu sehingga hanya bisa menghubungkan indra pendengearan dan penglihatannya saja. Meski begitu, kemampuan Malus masih sangat kuat. Ia nyaris mengetahui apa saja yang terjadi di permukaan Kota Magna. Akan tetapi, kemampuan ini tentu punya kelemahan. Dan salah satu kelemahan itu adalah, kerusakan yang terjadi pada simbol penghubungnya juga akan berdampak pada indranya.Beberapa saat yang lalu, Mars, salah satu bawahan terdekatnya, menghubungi lewat simbol
Sejak dua puluh satu jam yang lalu, Kota Magna yang dikenal sebagai kota mati bagaikan hidup kembali. Kota yang awalnya tidak dihuni makhluk hidup selain tumbuhan itu dimasuki oleh ratusan manusia dari gerbang-gerbang megahnya yang tertutup rapat sejak 25 tahun yang lalu.Dua puluh lima tahun yang lalu, serangkaian bencana alam menghancurkan Kota Magna dalam semalam. Gempa bumi hebat disusul dengan badai hujan serta puting beliung muncul begitu saja tanpa tanda-tanda alam apapun. Kota terbesar di Valandria dengan sejarah ribuan tahun itu kemudian mati begitu saja. Infrastruktur Kota Magna yang telah bertahan dari gerusan waktu selama ribuan tahun hanya rusak sedikit, tetapi ratusan ribu penduduknya tak ada yang selamat ... besoknya, ketika orang-orang memeriksa kota itu, mereka dikejutkan dengan geliat yang sama sekali baru, yang tidak berasal dari kesibukan manusia sehari-hari. Kota itu, entah bagaimana dipenuhi oleh mayat-mayat penduduk kota yang berjalan ke sana kemari tanpa tujuan
Di sisi timur Kota Magna, pertempuran masih terus berlanjut. Pasukan kavaleri Kuda Putih dari Kerajaan Lucidum, dibantu dengan sekelompok pendeta dari Ecclesia, mengalahkan ratusan, bahkan ribuan mayat hidup yang terus berdatangan seperti ombak di lautan. Tidak hanya mayat hidup, pasukan gabungan itu juga harus melawan monster-monster dan makhluk kegelapan lainnya. Bahkan, beberapa monster hanya pernah mereka temui dalam cerita-cerita legenda."Jangan menyerah!" seru seorang komandan dari atas kudanya yang besar dan kekar. "Kita sudah pernah mengalahkan Galgalim! Kita akan mengalahkan Raja Iblis lainnya!"Seruan itu ditanggapi dengan lesu. Baik para prajurit maupun pendeta, semuanya sudah sangat kelelahan setelah pertempuran selama berjam-jam. Mereka mendekam di titik yang sama sejak pagi tadi, dan lapisan-lapisan pertahanan mereka semakin terkikis oleh gelombang serangan musuh yang tak pernah berhenti."Omong kosong!" kata seorang pendeta paruh baya. Napasnya memburu. "Dulu kita punya
Sang Pahlawan. Seorang manusia terpilih yang terlahir dengan potensi luar biasa. Namun, potensi besar itu tidak membuat hidup mereka semakin mudah. Justru sebaliknya, kesulitan demi kesulitan menundung mereka; tantangan demi tantangan menghadang di sepanjang hidup mereka. Sebab, memang begitulah hakikatnya seorang Pahlawan, yaitu menaklukkan semua kesukaran, dan akhirnya menjadi simbol harapan bagi manusia lainnya. Semua kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi sepanjang hidup mereka adalah batu asahan untuk mempertajam potensi mereka yang luar biasa.Dari penampakannya, sang Pahlawan tidak berbeda dari manusia biasa pada umumnya. Satu-satunya pembeda yang menjadi identitas seorang Pahlawan adalah senjata pamungkas mereka yang biasa disebut dengan Pedang Suci.Meskipun disebut Pedang Suci, bentuknya tidak terbatas pada pedang saja. Jenis senjata apapun yang digunakan sang Pahlawan sepanjang hidupnya dapat bertransformasi menjadi Pedang Suci. Istilah Pedang Suci juga mengarah pada ene
Mata Sol yang berkaca-kaca penuh harap tiba-tiba mengering penuh kengerian ketika sebuah lingkaran sihir berdiameter puluhan meter terbentuk di langit. Tidak butuh waktu lama untuk lingkaran sihir itu luntur dan berubah wujud menjadi bola-bola api raksasa berwarna keunguan. Berjalannya sihir tersebut menunjukkan betapa mahirnya perapal sihir memanipulasi Mana.Udara kering seketika. Zirah para prajurit yang terbuat dari besi baja pilihan memerangkap hawa panas, membuat keringat mereka berkucuran. Para penyihir dan pendeta dengan sigap merapal sihir-sihir yang dapat melindungi mereka dari bola-bola api itu, namun sayangnya, tidak cukup cepat.Bola api itu sudah berada di atas kepala mereka ...SLASH!Lucius menebaskan Pedang Suci-nya ke arah bola-bola api itu, melepaskan gelombang energi yang membelah semua yang dilaluinya. Bola api itu benar-benar terbelah ..."Jendral Lucius bersama kita!"Sorak sorai kembali bergema. Namun, euforia itu tidak bertahan lama. Sihir itu tidak musnah. Api