Sejak dua puluh satu jam yang lalu, Kota Magna yang dikenal sebagai kota mati bagaikan hidup kembali. Kota yang awalnya tidak dihuni makhluk hidup selain tumbuhan itu dimasuki oleh ratusan manusia dari gerbang-gerbang megahnya yang tertutup rapat sejak 25 tahun yang lalu.Dua puluh lima tahun yang lalu, serangkaian bencana alam menghancurkan Kota Magna dalam semalam. Gempa bumi hebat disusul dengan badai hujan serta puting beliung muncul begitu saja tanpa tanda-tanda alam apapun. Kota terbesar di Valandria dengan sejarah ribuan tahun itu kemudian mati begitu saja. Infrastruktur Kota Magna yang telah bertahan dari gerusan waktu selama ribuan tahun hanya rusak sedikit, tetapi ratusan ribu penduduknya tak ada yang selamat ... besoknya, ketika orang-orang memeriksa kota itu, mereka dikejutkan dengan geliat yang sama sekali baru, yang tidak berasal dari kesibukan manusia sehari-hari. Kota itu, entah bagaimana dipenuhi oleh mayat-mayat penduduk kota yang berjalan ke sana kemari tanpa tujuan
Di sisi timur Kota Magna, pertempuran masih terus berlanjut. Pasukan kavaleri Kuda Putih dari Kerajaan Lucidum, dibantu dengan sekelompok pendeta dari Ecclesia, mengalahkan ratusan, bahkan ribuan mayat hidup yang terus berdatangan seperti ombak di lautan. Tidak hanya mayat hidup, pasukan gabungan itu juga harus melawan monster-monster dan makhluk kegelapan lainnya. Bahkan, beberapa monster hanya pernah mereka temui dalam cerita-cerita legenda."Jangan menyerah!" seru seorang komandan dari atas kudanya yang besar dan kekar. "Kita sudah pernah mengalahkan Galgalim! Kita akan mengalahkan Raja Iblis lainnya!"Seruan itu ditanggapi dengan lesu. Baik para prajurit maupun pendeta, semuanya sudah sangat kelelahan setelah pertempuran selama berjam-jam. Mereka mendekam di titik yang sama sejak pagi tadi, dan lapisan-lapisan pertahanan mereka semakin terkikis oleh gelombang serangan musuh yang tak pernah berhenti."Omong kosong!" kata seorang pendeta paruh baya. Napasnya memburu. "Dulu kita punya
Sang Pahlawan. Seorang manusia terpilih yang terlahir dengan potensi luar biasa. Namun, potensi besar itu tidak membuat hidup mereka semakin mudah. Justru sebaliknya, kesulitan demi kesulitan menundung mereka; tantangan demi tantangan menghadang di sepanjang hidup mereka. Sebab, memang begitulah hakikatnya seorang Pahlawan, yaitu menaklukkan semua kesukaran, dan akhirnya menjadi simbol harapan bagi manusia lainnya. Semua kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi sepanjang hidup mereka adalah batu asahan untuk mempertajam potensi mereka yang luar biasa.Dari penampakannya, sang Pahlawan tidak berbeda dari manusia biasa pada umumnya. Satu-satunya pembeda yang menjadi identitas seorang Pahlawan adalah senjata pamungkas mereka yang biasa disebut dengan Pedang Suci.Meskipun disebut Pedang Suci, bentuknya tidak terbatas pada pedang saja. Jenis senjata apapun yang digunakan sang Pahlawan sepanjang hidupnya dapat bertransformasi menjadi Pedang Suci. Istilah Pedang Suci juga mengarah pada ene
Mata Sol yang berkaca-kaca penuh harap tiba-tiba mengering penuh kengerian ketika sebuah lingkaran sihir berdiameter puluhan meter terbentuk di langit. Tidak butuh waktu lama untuk lingkaran sihir itu luntur dan berubah wujud menjadi bola-bola api raksasa berwarna keunguan. Berjalannya sihir tersebut menunjukkan betapa mahirnya perapal sihir memanipulasi Mana.Udara kering seketika. Zirah para prajurit yang terbuat dari besi baja pilihan memerangkap hawa panas, membuat keringat mereka berkucuran. Para penyihir dan pendeta dengan sigap merapal sihir-sihir yang dapat melindungi mereka dari bola-bola api itu, namun sayangnya, tidak cukup cepat.Bola api itu sudah berada di atas kepala mereka ...SLASH!Lucius menebaskan Pedang Suci-nya ke arah bola-bola api itu, melepaskan gelombang energi yang membelah semua yang dilaluinya. Bola api itu benar-benar terbelah ..."Jendral Lucius bersama kita!"Sorak sorai kembali bergema. Namun, euforia itu tidak bertahan lama. Sihir itu tidak musnah. Api
Lucius tewas seketika. Di atas, Fames dan Malus terbang mengitar di titik yang sama. Mata elang Fames memastikan bahwa lawan mereka sudah tewas dengan perut berlubang tertembus pasak es."Saya kira dia akan lebih alot, Master," Fames berkomentar. Ia tahu Master-nya memang sangat kuat, tapi lawan mereka mati terlalu mudah. Bahkan, Quaera pernah bertahan sampai seharian ketika berduel dengan Master Malus."Ya, aku terbang, sih," balas Malus santai. "Tapi memang aneh. Terlalu lemah, bahkan untuk Pahlawan palsu."Fames baru menyadari bahwa lelaki di bawah sana sempat dianggap sebagai sang Pahlawan. "Perlukah kita memeriksanya, Master?""Ya. Aku penasaran dengan Pedang Suci bohongan itu."Fames membentangkan sayapnya dan menukik ke bawah. Ia mendarat semulus burung hantu di atap sebuah bangunan, nyaris tanpa suara. "Biar saya saja, Master," kata Fames, menawarkan diri untuk memeriksa pedang Lucius.Malus mengangguk. Ia duduk di tepi atap dengan santai dan tanpa kekhawatiran apapun. Lucius
Jauh di bawah tanah ...O tergeletak dalam kegelapan pekat. Ia tidak bisa merasakan tubuhnya sama sekali, apalagi menggerakkannya. Namun, setidaknya, ia masih bisa mengedarkan pandangannya ke sekitar."Apakah aku sudah mati?" O berusaha berkata-kata, tapi suaranya tidak keluar ... atau pendengarannya yang jadi tuli?Yah, begitulah kalau punya tubuh berupa kerangka. Kau tidak bisa tahu apakah kau bersuara atau tidak lewat getaran pita suara di tenggorokanmu. O meratapi nasibnya dan menghela napas ... lalu ia terkejut karena menyadari ada sesuatu yang aneh ..."Eh, eh ... tunggu dulu!" O menarik napas lagi dan merasakan dadanya mengembang.Ya! O bisa bernapas lagi! Tubuh manusianya kembali! Tentu saja O merasa girang saat itu juga.Namun, O lagi-lagi terkejut ... sepasang mata besar berwarna kuning bersinar menatapnya dari kejauhan.Lalu kegelapan pekat memudar, menjadi remang. Di sekelilingnya O melihat tubuh raksasa seekor ular melingkarinya. Ia bergidik. Ia bahkan merasa ingin terken
O terbutakan oleh ketamakan saat Narator bilang bahwa ia masih bisa mendapatkan Scriptum tambahan. Yang ia tahu, hanya Scriptum lebih dari satu hanya bisa di dapatkan lewat Elixir, dan ya, kau harus jadi Lich untuk memanfaatkan Elixir itu. Namun, jika Narator berkata ia bisa mendapatkan Scriptum dengan menyelesaikan misi, kenapa tidak?Oleh karena itulah, O memasuki pusaran kegelapan itu tanpa berpikir dua kali. Ia sudah menghadapi berbagai tantangan sejauh ini, dan semakin sulit tantangan itu, semakin besar pula hadiahnya. Tanpa disadarinya, cara berpikir O yang awalnya serba skeptis berubah menjadi lebih optimis.Ini pesan moral yang bagus untuk kalian, para pembaca. Jangan ragu untuk mengambil tantangan yang beradabdi depan mata. Toh, hasilnya cuma ada dua: kalian menang, atau kalian belajar. Yah, meskipun dalam kasus O, dia memang punya motivasi lebih: ketamakannya, he he ...Dengan penuh semangat, O menaiki punggung Mithra. Tidak ada banyak daging di punggung monster malang itu da
Pada akhirnya, O menyisaka sedikit lebih banyak waktu untuk mendandani Mithra sebelum melanjutkan perjalanan ke katakomba. Sebab penampilan singa bersayap itu sudah tidak keruan, bahkan menjijikkan.Bayangkan saja, dari kepalanya, Mithra tidak lagi punya wajah yang utuh. Kulit wajah sebelah kanan terkelupas habis, memperlihatkan sebagian tulang wajah dan sedikit serat otot saja. Mata kanannya juga penyok, menggantung-gantung dari soketnya jika melakukan gerak yang spontan. Tubuh Mithra mengalami kerusakan yang jauh lebih parah. Perutnya sobek dan organnya terburai ke mana-mana. Organ hatinya menghilang entah ke mana. Ususnya busuk dan terpotong sebagian dan lambungnya berlubang. Sementara jantung dan paru-parunya masih berada di tempat, tapi tidak lagi berfungsi. Berikutnya bagian sayap. Kedua alat gerak Mithra yang memungkinkannya untuk terbang itu sudah patah semuanya. O ingat satu sayap patah saat bertarung dengannya di katakomba. Sedangkan sebelah sayapnya lagi, barangkali diluc