Sang Pahlawan. Seorang manusia terpilih yang terlahir dengan potensi luar biasa. Namun, potensi besar itu tidak membuat hidup mereka semakin mudah. Justru sebaliknya, kesulitan demi kesulitan menundung mereka; tantangan demi tantangan menghadang di sepanjang hidup mereka. Sebab, memang begitulah hakikatnya seorang Pahlawan, yaitu menaklukkan semua kesukaran, dan akhirnya menjadi simbol harapan bagi manusia lainnya. Semua kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi sepanjang hidup mereka adalah batu asahan untuk mempertajam potensi mereka yang luar biasa.Dari penampakannya, sang Pahlawan tidak berbeda dari manusia biasa pada umumnya. Satu-satunya pembeda yang menjadi identitas seorang Pahlawan adalah senjata pamungkas mereka yang biasa disebut dengan Pedang Suci.Meskipun disebut Pedang Suci, bentuknya tidak terbatas pada pedang saja. Jenis senjata apapun yang digunakan sang Pahlawan sepanjang hidupnya dapat bertransformasi menjadi Pedang Suci. Istilah Pedang Suci juga mengarah pada ene
Mata Sol yang berkaca-kaca penuh harap tiba-tiba mengering penuh kengerian ketika sebuah lingkaran sihir berdiameter puluhan meter terbentuk di langit. Tidak butuh waktu lama untuk lingkaran sihir itu luntur dan berubah wujud menjadi bola-bola api raksasa berwarna keunguan. Berjalannya sihir tersebut menunjukkan betapa mahirnya perapal sihir memanipulasi Mana.Udara kering seketika. Zirah para prajurit yang terbuat dari besi baja pilihan memerangkap hawa panas, membuat keringat mereka berkucuran. Para penyihir dan pendeta dengan sigap merapal sihir-sihir yang dapat melindungi mereka dari bola-bola api itu, namun sayangnya, tidak cukup cepat.Bola api itu sudah berada di atas kepala mereka ...SLASH!Lucius menebaskan Pedang Suci-nya ke arah bola-bola api itu, melepaskan gelombang energi yang membelah semua yang dilaluinya. Bola api itu benar-benar terbelah ..."Jendral Lucius bersama kita!"Sorak sorai kembali bergema. Namun, euforia itu tidak bertahan lama. Sihir itu tidak musnah. Api
Lucius tewas seketika. Di atas, Fames dan Malus terbang mengitar di titik yang sama. Mata elang Fames memastikan bahwa lawan mereka sudah tewas dengan perut berlubang tertembus pasak es."Saya kira dia akan lebih alot, Master," Fames berkomentar. Ia tahu Master-nya memang sangat kuat, tapi lawan mereka mati terlalu mudah. Bahkan, Quaera pernah bertahan sampai seharian ketika berduel dengan Master Malus."Ya, aku terbang, sih," balas Malus santai. "Tapi memang aneh. Terlalu lemah, bahkan untuk Pahlawan palsu."Fames baru menyadari bahwa lelaki di bawah sana sempat dianggap sebagai sang Pahlawan. "Perlukah kita memeriksanya, Master?""Ya. Aku penasaran dengan Pedang Suci bohongan itu."Fames membentangkan sayapnya dan menukik ke bawah. Ia mendarat semulus burung hantu di atap sebuah bangunan, nyaris tanpa suara. "Biar saya saja, Master," kata Fames, menawarkan diri untuk memeriksa pedang Lucius.Malus mengangguk. Ia duduk di tepi atap dengan santai dan tanpa kekhawatiran apapun. Lucius
Jauh di bawah tanah ...O tergeletak dalam kegelapan pekat. Ia tidak bisa merasakan tubuhnya sama sekali, apalagi menggerakkannya. Namun, setidaknya, ia masih bisa mengedarkan pandangannya ke sekitar."Apakah aku sudah mati?" O berusaha berkata-kata, tapi suaranya tidak keluar ... atau pendengarannya yang jadi tuli?Yah, begitulah kalau punya tubuh berupa kerangka. Kau tidak bisa tahu apakah kau bersuara atau tidak lewat getaran pita suara di tenggorokanmu. O meratapi nasibnya dan menghela napas ... lalu ia terkejut karena menyadari ada sesuatu yang aneh ..."Eh, eh ... tunggu dulu!" O menarik napas lagi dan merasakan dadanya mengembang.Ya! O bisa bernapas lagi! Tubuh manusianya kembali! Tentu saja O merasa girang saat itu juga.Namun, O lagi-lagi terkejut ... sepasang mata besar berwarna kuning bersinar menatapnya dari kejauhan.Lalu kegelapan pekat memudar, menjadi remang. Di sekelilingnya O melihat tubuh raksasa seekor ular melingkarinya. Ia bergidik. Ia bahkan merasa ingin terken
O terbutakan oleh ketamakan saat Narator bilang bahwa ia masih bisa mendapatkan Scriptum tambahan. Yang ia tahu, hanya Scriptum lebih dari satu hanya bisa di dapatkan lewat Elixir, dan ya, kau harus jadi Lich untuk memanfaatkan Elixir itu. Namun, jika Narator berkata ia bisa mendapatkan Scriptum dengan menyelesaikan misi, kenapa tidak?Oleh karena itulah, O memasuki pusaran kegelapan itu tanpa berpikir dua kali. Ia sudah menghadapi berbagai tantangan sejauh ini, dan semakin sulit tantangan itu, semakin besar pula hadiahnya. Tanpa disadarinya, cara berpikir O yang awalnya serba skeptis berubah menjadi lebih optimis.Ini pesan moral yang bagus untuk kalian, para pembaca. Jangan ragu untuk mengambil tantangan yang beradabdi depan mata. Toh, hasilnya cuma ada dua: kalian menang, atau kalian belajar. Yah, meskipun dalam kasus O, dia memang punya motivasi lebih: ketamakannya, he he ...Dengan penuh semangat, O menaiki punggung Mithra. Tidak ada banyak daging di punggung monster malang itu da
Pada akhirnya, O menyisaka sedikit lebih banyak waktu untuk mendandani Mithra sebelum melanjutkan perjalanan ke katakomba. Sebab penampilan singa bersayap itu sudah tidak keruan, bahkan menjijikkan.Bayangkan saja, dari kepalanya, Mithra tidak lagi punya wajah yang utuh. Kulit wajah sebelah kanan terkelupas habis, memperlihatkan sebagian tulang wajah dan sedikit serat otot saja. Mata kanannya juga penyok, menggantung-gantung dari soketnya jika melakukan gerak yang spontan. Tubuh Mithra mengalami kerusakan yang jauh lebih parah. Perutnya sobek dan organnya terburai ke mana-mana. Organ hatinya menghilang entah ke mana. Ususnya busuk dan terpotong sebagian dan lambungnya berlubang. Sementara jantung dan paru-parunya masih berada di tempat, tapi tidak lagi berfungsi. Berikutnya bagian sayap. Kedua alat gerak Mithra yang memungkinkannya untuk terbang itu sudah patah semuanya. O ingat satu sayap patah saat bertarung dengannya di katakomba. Sedangkan sebelah sayapnya lagi, barangkali diluc
Semua yang mati di Kota Magna akan bangkit kembali. Baik mayat hidup maupun monster yang sudah dikalahkan O akan bangkit kembali, entah bagaimana, entah kapan. Hal ini terbukti dari mayat-mayat hidup yang kembali hadir di katakomba meskipun O sudah memnakar semuanya. Ya, semuanya bangkit kembali, tak terkecuali Baro Bundon ... hanya saja, O lupa bahwa kesembilan kepala Keluarga Cultio dari sembilan generasi juga berada di mausoleum itu. Ingatan O sempat hilang saat pingsan setelah menyerap Nyx dari Mars, dan tampaknya, salah satu ingatan yang hilang adalah bahwa Baro Bundon tidak sendirian di mausoleum ini.""Tuan ... segera kabur!""Narator bahkan tidak repot-repot memberikan pesan panjang dengan bahasa yang formal, menunjukkan betapa gentingnya keadaan ini. Jangankan sepuluh mayat hidup, melawan Baro Bundon yang bangkit kembali dalam keadaan prima saja, O bakal sangat kesulitan.SLASH!Belasan energi Aura dalam bentuk bulan sabit melayang di udara dan menyambar O. Tanpa ampun, Baro
"Mua, ha, ha, ha!"Tawa jahat O memenuhi seisi mausoleum Keluarga Kultio yang hancur berantakan. Pecahan-pecahan peti batu berserakan, sisi-sisi tembok retak. Lampu gantung yang dulu dijatuhkan O dan rusak, kini semakin rusak, kehilangan estetikanya sama sekali."" ... ""Sementara itu, Narator hanya dapat berdiam diri. Sesekali ia ingin berkomentar perihal kelakuan O, tapi pada detik yang sama, Narator membisukan dirinya. Barangkali, jika akhirnya Narator berani berkomentar, mungkin bunyinya akan seperti ini: ""Hormatilah orang yang sudah mati, Tuan,"" atau mungkin Narator akan mengasihani diri dan mempertanyakan nasibnya sebagai bagian dari sistem, "Sebenarnya aku sedang memandu seorang Tokoh Utama atau seorang calon Raja Iblis?"Namun, yah, Narator tetap diam. O, atau bahkan kita, tidak pernah benar-benar tahu apa yang sedang dipikirkan oleh persona kecerdasan buatan itu."Oke, sudah cukup," kata O, menyudahi makan siangnya. "Narator, tunjukkan status asimilasiku!"Kalau diingat-in
O mengira bahwa budaya di Valandria tidak berbed jauh dengan budaya Eropa Abad Pertengahan. Namun setelah sesaat mengamati isi ruang tamu, yang barangkali ruangan terbesar, dalam wastu tua itu, perkiraannya tidak begitu tepat.Dalam ruang tamu itu, satu set kursi dan meja tamu tertata melingkar di atas permadani persegi yang membentang dan menutupi lebih dari separuh luasan lantai. Tepat di atas kursi-kursi itu menggantung lampu hias yang terbuat dari kaca, yang mana setiap potongan kaca menyebarkan cahaya dari Lilin-lilin Ahadi yang betengger dalam kandelabra di berbagai tempat. Di sisi ruangan terdapat banyak lemari mewah yang kosong dan rak-rak berisi tumpukan buku usang. Sebuah jam rusak berdiri kaku di seberang ruangan, seolah-olah waktu membeku."Menarik," komentar O. Lalu berbalik menatap Azia yang baru saja menutup pintu. Matanya sempat melihat hibir Azia melngkung tersenyum, lalu segera kembali datar. "Kenapa kau tersenyum begitu, Tante?" Azia menggeleng. "Saya hanya senang,
O memasuki wastu yang berdiri tak jauh dari kataokmba Keluarga Cultio. Dari penampakan luarnya, wastu itu masih berdiri kokoh meskipun lapisan temboknya terkelupas di sana-sini. Bingkai-bingkai jendela dan ambang pintu yang terbuat dari kayu juga masih utuh, bahkan masih menyisakan sedikit cat dan pernis. Semak belukar merimbun di halamannya, menyisakan sedikit saja jalur menuju pintu utama.O menyusuri jalur sempit di antara semak itu. Dari kondisi dedaunan yang merunduk dan patah-patah, tampaknya jalur itu baru saja dilalui oleh seseorang ... seseorang atau sesuatu?O mendadak jadi curiga. Langkahnya terhenti, begitu juga langkah Mithra yang mengekor di belakangnya. Si lelaki misterius berjubah hitam menggantung lemah di punggung Mithra."Kita pergi, Kawan ... atau sebaiknya aku bakar saja rumah mewah ini beserta apapun yang ada di dalamnya?" kata O pada Mithra yang kemudian membalas dengan geraman singkat.O mengangkat tangan kirinya. Hanya tersisa 3 jari di tangan itu, karena keli
O tidak perlu berpikir keras tentang cara agar ia bisa selamat dari penerjunan bebas itu. Di bawah sana, setitik cahaya hijau berkerlip seperti bintang kecil. Cahaya itu berasal dari Mithra, atau lebih tepatnya, dari sihir angin beliung hewan (?) suci itu.Angin kencang menerpa O, meliuk-liuk dan berputar di sekitar tubuhnya. O menari bersama angin itu di udara, berputar dan meluncur dalam lintasan spiral. Seperti seekor burung walet, O menunggangi angin itu dengan anggun. Kedua lengannya merentang serupa sayap, dan saat ketinggiannya hanya beberapa meter saja di atas permukaan tanah, O menggulung tubuhnya.Satu gulungan, dua gulungan. Lalu O menegakkan tubuhnya secara vertikal, persis seperti atlet loncat selam indah. Ia tidak perlu repot memikirkan tempat mendaratnya karena Mithra sudah siap menangkapnya. Dan ...."Hup!" seru O dengan nada penuh kepuasan dan kebanggaan. Ia mendarat di punggung Mithra yang empuk. Jika ia sedang mengikuti sebuah perlombaan atletik, lompatannya barusan
Cockatrice itu mengepakkan sayap, terbang semakin tinggi dan tinggi. Setiap kali si Demon menyemburkan asam atau melemparkan bola api, si Cockatrice berkelit dengan elok. Tubuh besarnya sama sekali tidak mengurangi kegesitan makhluk itu di udara."Hoeek!" O memuntahkan suara (karena ia tidak punya lambung, apalagi isinya). Manuver si Cockatrice di udara membuat pandangan O berputar-putar. Saat itu, ia telah berhasil mencapai punggung si Cockatrice dan duduk di sana. Kemampuan pasif: Keahlian Menunggang membuatnya pantat O bisa menempel dengan baik di bulu-bulu Cockatrice yang sekeras lempeng batu.""Anda baik-baik saja, Tuan O?"" Narator memastikan keadaan O."Menurutmu bagaimana?" balas O, lalu mengeluarkan bunyi-bunyian muntah lagi.Akan tetapi, meskipun mengeluarkan bunyi-bunyi sebagai pertanda tidak baik-baik saja, nyatanya akal O masih sangat encer. Hal itu dibuktikan dengan tiga lingkaran sihir yang menyala-nyala di telapak dan di depan dadanya.O menggunakan tiga sihir berbeda
"Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t
Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting
Plaga tersenyum puas mengagumi sihirnya yang indah: sebuah menara api yang menjulang ke langit, dengan lidah-lidah api berbentuk tangan yang mencengkram siapapun dan apapun mejadi arang. Udara panas di sekitar melenyapkan kelembaban, membuat tanah rekah dan rumput-rumput di sekitar mengering seperti dihadapkan dengan terik belasan matahari.Sang Demon menikmati tiap detik dari momen apresiasi itu, dan bahkan membuat sebait syair yang mendeskripsikan keindahannya. Ia begitu menyukai sihir, dan itulah alasan bagi Demon sekuat dirinya melayani Master Malus.Malus bukan sekedar tuan bagi Plaga. Bagi sang Demon, Malus adalah seorang Muse, sumber inspirasinya. Apalagi, dari Keempat Tungkai, hanya dirinyalah yang menggunakan sihir sebagai senjata utama. Mars, sang Dullahan, jelas-jelas tidak tahu apapun soal merapal sihir. Fames, sang Harpy, memiliki sihir elemen angin dan kegelapan yang sangat beragam, tapi sayangnya, otak burung Fames tidak mencukupi syarat untuk mengoptimalkan sihir-sihir
"Mua, ha, ha, ha!" tawa O pecah, menggema di udara. Di telinga orang yang tidak mengenal O, tawa itu mungkin terdengar lebih mengerikan dari teriakan seorang Banshee ... Sementara itu, belasan Banshee di kejauhan terendam lumpur tanpa pernah tahu siapa yang menyerang mereka. "" ... "" Narator tidak bisa berkata-kata lagi. O tidak menepati perkataannya untuk berhati-hati saat menggunakn Mana. Namun, di luar itu, Narator sebenarnya mengagumi kemampuan belajar O yang luar biasa. "Grauur!"Mithra menggeram dengan nada imut. Kerangka kucing itu menari-nari di bawah hujan lumpur, meloncat dan berguling sampai tulang putihnya menjadi hitam semua. Seperti O, ia terlihat girang dengan adanya lautan lumpur yang meledak dari perut bumi secara tiba-tiba. "Ugh! Kepalaku sedikit pusing ..."""Anda terlalu banyak menggunakan Mana, Tuan."""Hmm, aku pikir dengan menjadi Lich, kapasitasku meningkat drastis," sanggah O. Ia tidak ingin disalahkan.""Beruntung tidak ada musuh lagi di sini ...""Grrr!
O mengayunkan sabit besarnya dengan anggun. Seperti baling-baling mesin penghalus bumbu, O menebas semua mayat hidup yang merangsek ke arahnya. Tak cukup, O membuat standar tinggi, yaitu sabetan sabitnnya harus mengenai leher atau bagian kepala.SLASH! SLASH!Kepala melayang. Wajah jelek terbagi dua. Leher putus. Tubuh-tubuh mayat hidup itu bergeletakan ke tanah tanpa kepala. Sebagian mencair menjadi Nyx seluruhnya, sebagian lagi tidak menjadi apapun, tapi Nyx tetap merembes dari tubuhnya.Sabit O terus berputar dan berputar. Kepala berterbangan. Nyx berceceran. Kabut hitam mengudara dan berkumpul di kristal inti yang berada dalam rongga dada O. Kemampuan berpikir O memungkinkan semua itu terjadi secara bersamaan.Akhirnya, setelah beberapa menit berputar-putar, jumlah mayat hidup di tanah lapang itu tinggal segelintir saja."Fyuuh! Kenapa banyak sekali mayat hidup di sini?" seru O, "Apa sedang ada arisan?"O berjalan santai di antara potongan-potongan tubuh dan genangan Nyx. Sayangn