Pada akhirnya, O menyisaka sedikit lebih banyak waktu untuk mendandani Mithra sebelum melanjutkan perjalanan ke katakomba. Sebab penampilan singa bersayap itu sudah tidak keruan, bahkan menjijikkan.Bayangkan saja, dari kepalanya, Mithra tidak lagi punya wajah yang utuh. Kulit wajah sebelah kanan terkelupas habis, memperlihatkan sebagian tulang wajah dan sedikit serat otot saja. Mata kanannya juga penyok, menggantung-gantung dari soketnya jika melakukan gerak yang spontan. Tubuh Mithra mengalami kerusakan yang jauh lebih parah. Perutnya sobek dan organnya terburai ke mana-mana. Organ hatinya menghilang entah ke mana. Ususnya busuk dan terpotong sebagian dan lambungnya berlubang. Sementara jantung dan paru-parunya masih berada di tempat, tapi tidak lagi berfungsi. Berikutnya bagian sayap. Kedua alat gerak Mithra yang memungkinkannya untuk terbang itu sudah patah semuanya. O ingat satu sayap patah saat bertarung dengannya di katakomba. Sedangkan sebelah sayapnya lagi, barangkali diluc
Semua yang mati di Kota Magna akan bangkit kembali. Baik mayat hidup maupun monster yang sudah dikalahkan O akan bangkit kembali, entah bagaimana, entah kapan. Hal ini terbukti dari mayat-mayat hidup yang kembali hadir di katakomba meskipun O sudah memnakar semuanya. Ya, semuanya bangkit kembali, tak terkecuali Baro Bundon ... hanya saja, O lupa bahwa kesembilan kepala Keluarga Cultio dari sembilan generasi juga berada di mausoleum itu. Ingatan O sempat hilang saat pingsan setelah menyerap Nyx dari Mars, dan tampaknya, salah satu ingatan yang hilang adalah bahwa Baro Bundon tidak sendirian di mausoleum ini.""Tuan ... segera kabur!""Narator bahkan tidak repot-repot memberikan pesan panjang dengan bahasa yang formal, menunjukkan betapa gentingnya keadaan ini. Jangankan sepuluh mayat hidup, melawan Baro Bundon yang bangkit kembali dalam keadaan prima saja, O bakal sangat kesulitan.SLASH!Belasan energi Aura dalam bentuk bulan sabit melayang di udara dan menyambar O. Tanpa ampun, Baro
"Mua, ha, ha, ha!"Tawa jahat O memenuhi seisi mausoleum Keluarga Kultio yang hancur berantakan. Pecahan-pecahan peti batu berserakan, sisi-sisi tembok retak. Lampu gantung yang dulu dijatuhkan O dan rusak, kini semakin rusak, kehilangan estetikanya sama sekali."" ... ""Sementara itu, Narator hanya dapat berdiam diri. Sesekali ia ingin berkomentar perihal kelakuan O, tapi pada detik yang sama, Narator membisukan dirinya. Barangkali, jika akhirnya Narator berani berkomentar, mungkin bunyinya akan seperti ini: ""Hormatilah orang yang sudah mati, Tuan,"" atau mungkin Narator akan mengasihani diri dan mempertanyakan nasibnya sebagai bagian dari sistem, "Sebenarnya aku sedang memandu seorang Tokoh Utama atau seorang calon Raja Iblis?"Namun, yah, Narator tetap diam. O, atau bahkan kita, tidak pernah benar-benar tahu apa yang sedang dipikirkan oleh persona kecerdasan buatan itu."Oke, sudah cukup," kata O, menyudahi makan siangnya. "Narator, tunjukkan status asimilasiku!"Kalau diingat-in
O mengayunkan sabit besarnya dengan anggun. Seperti baling-baling mesin penghalus bumbu, O menebas semua mayat hidup yang merangsek ke arahnya. Tak cukup, O membuat standar tinggi, yaitu sabetan sabitnnya harus mengenai leher atau bagian kepala.SLASH! SLASH!Kepala melayang. Wajah jelek terbagi dua. Leher putus. Tubuh-tubuh mayat hidup itu bergeletakan ke tanah tanpa kepala. Sebagian mencair menjadi Nyx seluruhnya, sebagian lagi tidak menjadi apapun, tapi Nyx tetap merembes dari tubuhnya.Sabit O terus berputar dan berputar. Kepala berterbangan. Nyx berceceran. Kabut hitam mengudara dan berkumpul di kristal inti yang berada dalam rongga dada O. Kemampuan berpikir O memungkinkan semua itu terjadi secara bersamaan.Akhirnya, setelah beberapa menit berputar-putar, jumlah mayat hidup di tanah lapang itu tinggal segelintir saja."Fyuuh! Kenapa banyak sekali mayat hidup di sini?" seru O, "Apa sedang ada arisan?"O berjalan santai di antara potongan-potongan tubuh dan genangan Nyx. Sayangn
"Mua, ha, ha, ha!" tawa O pecah, menggema di udara. Di telinga orang yang tidak mengenal O, tawa itu mungkin terdengar lebih mengerikan dari teriakan seorang Banshee ... Sementara itu, belasan Banshee di kejauhan terendam lumpur tanpa pernah tahu siapa yang menyerang mereka. "" ... "" Narator tidak bisa berkata-kata lagi. O tidak menepati perkataannya untuk berhati-hati saat menggunakn Mana. Namun, di luar itu, Narator sebenarnya mengagumi kemampuan belajar O yang luar biasa. "Grauur!"Mithra menggeram dengan nada imut. Kerangka kucing itu menari-nari di bawah hujan lumpur, meloncat dan berguling sampai tulang putihnya menjadi hitam semua. Seperti O, ia terlihat girang dengan adanya lautan lumpur yang meledak dari perut bumi secara tiba-tiba. "Ugh! Kepalaku sedikit pusing ..."""Anda terlalu banyak menggunakan Mana, Tuan."""Hmm, aku pikir dengan menjadi Lich, kapasitasku meningkat drastis," sanggah O. Ia tidak ingin disalahkan.""Beruntung tidak ada musuh lagi di sini ...""Grrr!
Plaga tersenyum puas mengagumi sihirnya yang indah: sebuah menara api yang menjulang ke langit, dengan lidah-lidah api berbentuk tangan yang mencengkram siapapun dan apapun mejadi arang. Udara panas di sekitar melenyapkan kelembaban, membuat tanah rekah dan rumput-rumput di sekitar mengering seperti dihadapkan dengan terik belasan matahari.Sang Demon menikmati tiap detik dari momen apresiasi itu, dan bahkan membuat sebait syair yang mendeskripsikan keindahannya. Ia begitu menyukai sihir, dan itulah alasan bagi Demon sekuat dirinya melayani Master Malus.Malus bukan sekedar tuan bagi Plaga. Bagi sang Demon, Malus adalah seorang Muse, sumber inspirasinya. Apalagi, dari Keempat Tungkai, hanya dirinyalah yang menggunakan sihir sebagai senjata utama. Mars, sang Dullahan, jelas-jelas tidak tahu apapun soal merapal sihir. Fames, sang Harpy, memiliki sihir elemen angin dan kegelapan yang sangat beragam, tapi sayangnya, otak burung Fames tidak mencukupi syarat untuk mengoptimalkan sihir-sihir
Mithra berlari secepat yang ia bisa melintasi tanah lapang yang membentang sejauh mata memandang. Meskipun sudah menggunakan Sihir Perisai Angin yang dapat menambah kecepatan gerak, Mithra masih kewalahan karena harus membawa penumpang tambahan. Mengingat tubuh Mithra sekarang hanya berupa kerangka dan sepasang sayapnya sudah dicopot ... apalagi, monster hitam raksasa yang mengejar di belakang tak henti-hentinya menyemburkan muntahan bola-bola asam.Monster raksasa yang mengejar O berukuran sangat besar dengan tinggi nyaris 10 meter dan lebar bahu mencapai 3 meter lebih sedikit. Seluruh tubuh monster itu kekar dan berwarna hitam mengilat, seperti atlet binaraga yang mengenakan pakaian silikon di seluruh tubuh.Sepasang kakinya berwujud setengah manusia, setengah kuda; paha besar menjorok ke depan dan betis memanjang ke belakang serupa huruf z dengan kuku-kuku keratin yang terbelah dua. Tubuhnya persis seperti tubuh manusia, kecuali bagian dada yang berjumlah ganda (ya, ada empat puting
"Narator, tunjukkan formula sihir medan yang itu ... Sihir Badai!" O setengah berteriak. Dalam suaranya tercampur rasa girang dan waswas. Girang karena ia akan menggunakan sihir baru dan was was karena dirinya tak merasa lebih baik setelah menggunakan Sihir Air Bah sebelum ini.""Anda yakin, Tuan O?""balas Narator, ""Berdasarkan analisis saya, mental Anda masih merasakan imbas penggunaan sihir medan sebelumnya.""Narator benar. Sejujurnya, tengkorak O masih berdenyut-denyut. Sejauh ini tidak begitu terasa karena ia masih terbawa suasana pertempuran."Kau benar," balas O, "Tapi pilihan apa lagi yang aku punya?"O hanya bisa terus berputar-putar di tanah lapang itu. Jika ia masuk ke permukiman, gerakannya akan terhambat dan musuh segera menangkapnya. Jika ia membut perlindungan, katakanlah dengan Sihir Perisai Batu, maka ia akan jadi sasaran empuk sihir Inferna yang luar biasa daya hancurny itu. Lalu, bagaimana dengan Sihir Sanctus, sihir elemen cahaya yang dapat memberinya sayap untuk t