Wajah Suri merona merah ketika mendengar ucapan Romeo yang menggoda. Dengan perlahan, ia melepaskan tangan Romeo yang memeluknya erat. "Aku... aku mau mandi dulu. Badanku lengket," ucapnya, suaranya nyaris berbisik.Romeo tersenyum lembut, matanya penuh perhatian. "Tentu, Sayang. Mandi saja, tapi di kamar utama kita di atas. Baju-bajumu ada di sana.”Suri mengangguk pelan, setuju dengan saran dari sang suami. Ketika ia mencoba bangkit dari tempat tidur, Romeo tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Mau kugendong saja ke atas? Kalau kamu masih lemas, aku tidak keberatan."Suri menggeleng cepat, matanya melebar karena terkejut. “Tidak usah. Aku masih bisa jalan sendiri. Lagi pula, tidak enak kalau nanti dilihat Pak Gading dan Bu Murni.”Romeo mengangguk, senyum di bibirnya tak kunjung surut. “Kalau begitu, aku akan menemanimu.”Tanpa menunggu lebih lama, Romeo melingkarkan tangannya ke pinggang sang istri dengan lembut. Bersama-sama mereka keluar dari kamar dan berjalan menuju tangga. Saat
Suri menatap Romeo dengan bulir bening yang masih membasahi pipinya. Ia tidak pernah merasa begitu dicintai seperti saat ini. Tanpa ragu, Suri mengangguk, matanya berkilauan dengan kebahagiaan yang sulit ia sembunyikan.“Iya,” jawabnya penuh keyakinan. “Aku adalah milikmu, selamanya.”Romeo tersenyum lega, senyum yang membuat hati Suri semakin jatuh cinta. Cincin di jari manisnya terasa hangat, seolah menjadi pengingat bahwa cinta mereka telah menemukan jalan untuk kembali.“Terima kasih, Sayang. Anggap saja hari ini adalah malam pengantin kita,” bisiknya di telinga Suri. “Kita nikmati malam ini, Suri. Hanya kamu dan aku. Tidak ada yang lain.”Keduanya saling beradu pandang dalam keheningan. Semakin lama, tatapan mereka semakin dalam, mengunci pergerakan satu sama lain. Suri bisa merasakan sinar mata Romeo yang penuh hasrat, seolah ingin memujanya tiada henti. Detik selanjutnya, hati Suri berde
Dalam keheningan malam, tubuh Suri dan Romeo masih saling melekat di bawah selimut. Nafas mereka perlahan stabil setelah badai asmara yang mereka lewati bersama. Romeo membelai rambut Suri dengan lembut, bibirnya mengecup puncak kepala istrinya. "Kalau kamu mengantuk, tidurlah," bisiknya dengan suara rendah dan hangat.Suri menggeleng pelan, menyandarkan wajahnya di dada bidang Romeo yang naik-turun dalam ritme menenangkan. "Aku belum mengantuk," jawabnya tersenyum kecil. Matanya memancarkan kehangatan yang hanya bisa ia tunjukkan pada Romeo.Romeo mengangguk, lalu mengusapkan ibu jarinya ke pipi Suri. "Kalau begitu, kita lakukan pillow talk. Mulai sekarang, setiap malam sebelum tidur, kita harus bicara dari hati ke hati. Tidak boleh ada yang dirahasiakan. Setuju?"Suri mengangguk pelan, lalu menaruh kepalanya lagi di dada Romeo. “Aku setuju," balas Suri. Dengan gerakan penuh kasih, Romeo lantas mengelus punggung Suri."Setelah ini, aku akan mengajakmu ke beberapa dokter terbaik di
Dengan wajah yang masih cemberut, Raysa akhirnya menyerah pada rasa lapar yang mulai menguasainya. Wanita itu menyesap jus strawberry yang dipesan Kenzo sebelum mengambil sepotong kepiting. Namun, saat dia mencoba membuka cangkangnya, perjuangannya dimulai.Cangkang kepiting itu keras, dan meskipun Raysa sudah mencoba berbagai cara, mulai dari menggunting hingga mengetuk-ngetuknya dengan alat pemecah, hasilnya tetap nihil. Raysa mendengus kesal. Cangkang itu seolah mengejeknya dengan tetap kokoh.Kenzo, yang sejak tadi menikmati makanannya dengan santai, memperhatikan usaha Raysa dengan senyum tipis di bibirnya. Ketika Raysa hampir menyerah, Kenzo tiba-tiba berdiri dari kursi.“Mau apa?” tanya Raysa curiga.Kenzo tidak menjawab. Detik berikutnya, Raysa terkejut karena Kenzo tiba-tiba memeluknya dari belakang. Kehangatan tubuh pria itu membuat Raysa terpaku, dan ia bahkan lupa bernapas sejenak.Kenzo menggerakkan tangannya dengan cekatan, mengambil kepiting yang tadi menjadi musuh bebu
Pagi di vila terasa begitu tenang, hingga suara ketukan di pintu memecah keheningan. Romeo dan Suri masih terlelap, saling berpelukan di balik selimut tebal. Mereka tidur sangat nyenyak usai terlarut dalam kehangatan cinta semalam. "Tuan Muda, Nyonya, sarapannya sudah siap," panggil Bu Murni sambil mengetuk pintu. Mendengar suara dari balik pintu, Suri menggeliat pelan dan membuka matanya lebih dulu. Dengan suara serak khas bangun tidur, ia menjawab, "Iya, Bu Murni." Matanya melirik jam di dinding. Pukul delapan lewat lima belas menit. Suri terkejut, menyadari mereka sudah tidur terlalu lama. Ia mengguncang pelan lengan Romeo untuk membangunkannya. "Romeo, bangunlah," ucapnya sedikit panik. Romeo hanya mengerjap malas, matanya separuh terbuka. "Kenapa? Ada apa?" tanyanya dengan suara serak dan berat, tanda ia masih setengah sadar. "Ini sudah siang, Sayang. Bu Murni dari tadi membangunkan kita," Suri menjelaskan. Alih-alih bangun, Romeo malah bergeser lalu menarik Suri kemb
Romeo menggenggam tangan Suri erat ketika mereka melangkah keluar dari kamar. Wajah keduanya memancarkan kebahagiaan yang hangat, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Suri, yang mengenakan gaun berbahan sifon, terlihat begitu anggun meski tanpa riasan.Mereka menuruni tangga kayu yang menghubungkan kamar mereka ke ruang makan di lantai bawah. Udara pagi terasa segar, menguar dari jendela besar yang menghadap langsung ke pegunungan. Di meja makan, hidangan telah tertata rapi—nasi goreng, roti lapis, buah segar, dan teh hangat. “Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Muda,” sapa Pak Gading. “Silakan duduk. Sarapannya sudah siap.” Suri mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih. Semuanya terlihat lezat.” Romeo menarikkan kursi untuk Suri, membuat Suri menunduk malu sebelum duduk. Ia lalu duduk di kursinya sendiri, berhadapan langsung dengan jendela besar yang memperlihatkan panorama alam pegunungan. Kabut tipis masih menyelimuti puncak-puncak gunung, menciptakan pemandangan yang hampir s
Suri memekik kecil saat merasakan bibir suaminya menelusuri kulit punggungnya yang terbuka. Sementara jemari Romeo bergerak dengan terampil, membuka kaitan terakhir yang masih melekat. Setelah tak ada yang tersisa, ia pun membelai setiap lekuk tubuh Suri dengan gerakan menggoda.Suara lenguhan nan indah lolos dari bibir Suri, membuat semangat Romeo kian membara. Tanpa banyak kata, lelaki itu berpindah ke depan. Ia memandang kagum keindahan yang kini terpampang di hadapannya, sebelum membaringkan Suri ke atas karpet bulu yang terhampar di tengah ruangan.Ditatap seperti itu oleh Romeo, membuat Suri merona dan berusaha menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.“Aku ingin melihatnya, Sayang. Jangan ditutup,” protes Romeo menyingkirkan tangan sang istri.Suri langsung menunduk dengan wajah memerah. “A-aku malu.”“Kenapa mesti malu? Kamu sudah menjadi milikku seutuhnya,” balas Romeo, kabut gairah tersirat jelas dari sorot matanya. Detik berikutnya, Suri dibuat tak berdaya ketika Romeo mengec
Matahari mulai condong ke barat, menebarkan sinar keemasan yang menembus sela-sela pepohonan di sekitar vila. Romeo menggandeng tangan Suri, menyusuri jalan setapak yang membentang di antara hamparan hijau perbukitan. Mereka membiarkan angin gunung yang segar menyapu wajah dan rambut mereka.“Lihat ke arah sana, Sayang,” Romeo menunjuk ke arah pegunungan yang berdiri megah di kejauhan. Puncaknya yang tertutup kabut tampak seperti mahkota raksasa.Suri mengangguk, matanya berbinar menatap panorama alam yang membentang di hadapannya. “Indah sekali, Romeo.”“Tempat ini memang indah. Tapi, rasanya jauh lebih indah saat ada kamu di sini,” ucap Romeo.Suri tersenyum, pipinya bersemu merah. “Mungkin karena tempat ini memang membutuhkan seseorang untuk berbagi keindahannya.” Melihat Romeo memandangnya penuh kehangatan, Suri sedikit salah tingkah. Di dekat mereka, terdapat sebuah danau kecil yang tenang. Airnya memantulkan bayangan pepohonan pinus di sekelilingnya, dengan riak-riak kecil ya
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Langkah-langkah ringan terdengar menuruni tangga spiral di tengah mansion. Suri, mengenakan gaun rumah dan syal tipis di bahunya, turun dengan anggun sambil menoleh ke arah dapur. Ada sedikit garis khawatir di ujung matanya—sebuah kebiasaan yang tak bisa dihapuskan oleh waktu, terlebih saat menyangkut anak-anaknya.“Tini, makan malamnya sudah siap?” tanya Suri kepada salah satu pelayan. “Iya, Nyonya. Tinggal disajikan,” jawab sang pelayan sambil membungkuk sopan.Suri mengangguk, lalu mengarahkan pandangannya ke ruang kerja untuk mencari keberadaan Romeo.“Sayang, ayo makan malam dulu!”Pintu ruang kerja terbuka. Romeo menoleh dan membalas, “Baik, Sayang. Kami segera ke sana.”Ia pun berdiri dan menepuk bahu Jevandro ringan. “Ayo, Nak. Waktunya makan malam.”Jevandro bangkit, masih dalam diam, tetapi wajahnya tampak lebih ringan daripada saat ia datang tadi.Ketika mereka keluar dari ruang kerja, pandangan Suri jatuh pada sosok putra sulungnya. Wajah itu kini tumbuh menjadi dewasa, t
Selesai melakukan tugasnya, Jeandra segera menarik tangannya, seolah takut berada terlalu lama dalam lingkar keintiman yang tidak ia harapkan. Ia melangkah mundur, menghindari tatapan Kenan yang kini telah berbalik dan mulai mengenakan kembali kaos polo putihnya.“Saya tidak mau makan malam bersama Bapak,” tolak Jeandra tegas. “Saya lebih suka makan sendiri.”Kenan menatapnya sebentar, wajahnya tak menunjukkan perubahan apa pun. Pria itu hanya mengangguk, nyaris tanpa emosi. “Baiklah,” sahutnya ringan. "Kalau begitu, saya pulang sekarang.”Kenan menenteng tasnya, lalu menoleh sejenak sebelum melangkah ke pintu. “Jangan lupa, besok masuk kantor seperti biasa. Kamu tetap sekretaris saya, dan besok ada meeting penting. Datanglah tepat waktu.”“Ya, ya,” jawab Jeandra malas, mengibaskan tangannya tanpa menoleh.Dengan cepat, ia berjalan mendahului Kenan ke depan pintu apartemen. Sesampainya di sana, Jeandra berdiri dengan punggung lurus dan kepala sedikit menoleh ke samping. Tanpa ragu,
Kenan lantas duduk bersandar di sofa empuk ruang tengah apartemen Jeandra, seolah ruangan itu telah lama menjadi miliknya. Cahaya temaram lampu gantung menciptakan siluet tegas di wajah tampannya yang selalu tenang dan sulit ditebak. Matanya menatap Jeandra sekilas, sebelum merogoh tas kerja kulit hitam yang ia bawa sejak tadi.Dengan gerakan terukur, Kenan mengeluarkan map dokumen berwarna gading lalu meletakkan di atas meja kaca di hadapannya.“Ini,” ucapnya seraya mendorong map itu ke arah Jeandra. “Draft perjanjian dari pengacara saya. Kami sudah berdiskusi cukup panjang tadi siang.”Jeandra menatap benda itu dengan kening berkerut, enggan menyentuhnya.“Dalam perjanjian ini,” lanjut Kenan tenang, “disepakati bahwa pernikahan kita akan tetap dijalankan selama enam bulan ke depan, demi menjaga nama baik keluarga saya, dan nama baik kamu juga. Setelah itu, saya akan memberimu satu milyar sebagai kompensasi perceraian.”Jeandra membelalak. “Enam bulan?” Sorot matanya menatap Kenan se
Langit nampak cerah ketika Jeandra tiba di butiknya, setelah hampir satu minggu tak menampakkan diri. Kedatangannya disambut dengan wajah-wajah penuh rindu dari para staf dan asistennya. Wangi lembut bunga peony yang menjadi ciri khas interior butik itu menguar di udara, memberikan rasa tenteram yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk sejenak, Jeandra merasa seperti pulang ke rumah kedua.“Bu Jeandra! Akhirnya datang juga,” seru Clara, asistennya yang setia, sembari menghampiri dengan antusias. Pegawai-pegawai lain ikut menyapa dan beberapa bahkan secara spontan memberikan pelukan ringan. “Kami pikir Anda tidak akan kembali dalam waktu dekat,” tambahnya dengan senyum lebar.Jeandra tertawa kecil. “Aku rindu tempat ini, tapi belum bisa datang setiap hari. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di luar."Suasana hangat itu mendadak bertambah ramai, saat seorang wanita melangkah keluar dari ruang rias. Ia adalah Melina Pertiwi, calon pengantin dari keluarga pengusaha ternama yang s
Meski sempat nyaris menolak dengan halus, Serin akhirnya menganggukkan kepala ketika Suri kembali mengajaknya makan siang. Ia mengikuti langkah Suri dan Jeandra menuju ruang makan keluarga dengan ragu-ragu. Kesadaran bahwa dirinya sedang berdiri di ambang perubahan besar—membuat hatinya berdebar.Selama makan siang, Serin lebih banyak menunduk dan menyentuh makanan di piringnya tanpa benar-benar mengecap rasanya. Namun, suasana akrab di meja makan membuat dada Serin terasa hangat. Sudah lama sekali ia tak merasakan atmosfer kekeluargaan seperti ini—sejak kepergian kedua orangtuanya.Terlebih, keramahan Jeandra yang sering menyelipkan obrolan ringan, serta perhatian halus dari Suri membuat Serin mulai merasa diterima, walau ia masih takut untuk terlalu banyak bicara. Ia lebih suka mendengar, mencatat dalam benaknya bagaimana sebuah keluarga yang sesungguhnya saling berinteraksi.Selesai makan siang, Serin kembali berdiri dengan sopan, lalu membungkukkan tubuh sedikit.“Terima kasih ban
Mendengar pengakuan dari bibir Serin, Jeandra nyaris tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Tatapan gadis itu memang tampak tulus, tetapi Jeandra mampu membaca lebih dalam dari sekadar kilau bening di bola mata seseorang. Ada yang disembunyikan, ada rasa yang terlalu ganjil untuk sekadar disebut cinta dalam waktu sesingkat itu. Dengan gerakan spontan, Jeandra memutar tubuh Serin agar menghadap ke arahnya. Kedua tangan Jeandra memegang bahu ramping Serin dengan kehangatan yang menguatkan, seperti seorang kakak yang sedang mencoba memahami keputusan adiknya.“Tatap mataku, Serin,” tukas Jeandra. “Jawab aku dengan jujur… apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Jevan? Atau, kamu mengatakan semua ini atas suruhan seseorang?”Serin terdiam beberapa detik. Matanya membeku dalam kecamuk batin yang tak terucap. Di hadapannya, Jeandra menanti dengan penuh kesungguhan, seolah tak rela satu keping kebohongan pun bersembunyi.Serin tahu, Jeandra menuduhnya menyembunyikan kebenaran.
Kalimat menenangkan yang diucapkan oleh Suri dan Romeo membuat suasana di ruangan itu terasa berbeda. Serin tak lagi merasa berada di ruang penghakiman, melainkan berada di tempat di mana ia bebas bersuara —tanpa prasangka, tanpa syarat.Sembari menggigit bibirnya, Serin mengangguk perlahan. Suara lirihnya keluar seperti bisikan dari jiwa yang selama ini terkunci rapat.“Terima kasih… telah menerima saya di sini.”Tak berselang lama, pelayan datang untuk menyajikan minuman, membuat keheningan sejenak mengendap di antara mereka. Suri menyesap teh di hadapannya, seakan ingin memberi jeda sebelum pertanyaan berikutnya dilontarkan.Tatapannya yang lembut terarah kembali menyentuh wajah Serin, mencoba menyelami rahasia yang tersimpan di balik sorot mata gadis itu.Pada akhirnya, Suri mulai mengajukan pertanyaan yang sejak semalam mengganjal di hatinya.“Serin,” panggilnya tenang. “Benarkah sekarang kamu bekerja sebagai karyawan magang di bagian call center?” “Iya, Tante, sebelumnya saya m
Serin menunduk dalam-dalam. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahannya. Ia harus kuat. Ia tidak boleh gentar. Karena satu langkah saja yang salah, maka bukan hanya pekerjaannya yang akan lenyap, tapi juga martabat yang selama ini ia pertahankan dengan segenap tenaga.Seiring roda mobil yang menggesek halus permukaan aspal, denting waktu seakan melambat di telinga Serin. Keringat dingin mulai menggenang di dahinya, membasahi kulit tipis yang pucat pasi. Telapak tangannya lembap, menggigil oleh gugup yang tak mampu ia redam. Bola matanya menatap kosong ke jendela yang menampilkan dunia asing—megah dan berkelas—yang terasa begitu jauh dari kehidupannya sehari-hari. Ia tidak tahu di mana letak mansion keluarga Albantara. Bahkan, membayangkan wujudnya pun ia tidak berani.Namun satu hal yang ia yakini, rumah itu pasti tidak seperti rumah—melainkan seperti istana para raja.Serin memejamkan mata sejenak, bagaikan seorang tawanan yang hendak dibawa menuju ruang sidang. Ia tak