"Nara Kamila, kamu dan anakku bagaikan langit dan bumi! Keluarga kami tidak akan memberikan restu sampai kapan pun. Jadi, kami mau hubungan kalian berakhir sekarang."
Bagaikan petir menyambar tepat di ulu hati, ucapan Ibu dari Abimanyu itu sukses membuatku diam terpaku di atas sofa mahal milik keluarga pria itu.Rasanya, tidak ada masalah sama sekali sebelumnya. Tepat jam empat pagi, aku sudah datang ke rumah besar ini–membawa berbagai macam bahan makanan yang sore kemarin kubeli, memasaknya, dan menatanya dengan rapi. Bahkan, aku membantu merapikan rumah dalam rangka penyambutan kekasihku yang baru pulang dari luar negeri.Sebenarnya, ada apa ini?“Bu–”
Belum sempat aku berbicara, Ibu dari kekasihku itu memotong ucapanku, "Kamu itu hanya lulusan SMA, Nara. Berbeda dengan Abimanyu yang lulusan S1 dari luar negeri dan penerus perusahaan Papanya nanti.”“Kami sendiri bingung denganmu. Keluargamu kan bisa dikatakan mampu, tapi kenapa kamu cuma lulusan SMA? Belum lagi, kamu cuma kerja di sebuah minimarket kecil dengan gaji tidak sampai 10 juta,” sinisnya, “memalukan!”Mataku sontak berkaca-kaca mendengar semua hinaan wanita di hadapanku itu.Karena tahu semua pembelaanku sia-sia, kuputuskan menatap Abimanyu yang duduk di seberangku. Aku berharap lelaki yang sudah menjalin hubungan selama tujuh tahun denganku itu bisa berbuat sesuatu karena tahu apa yang telah terjadi padaku selama ini.Namun, aku salah.Dia justru hanya diam.Hal itu membuat sang Ibu semakin menjadi-jadi."Saya akui, kamu memang baik, rajin, dan pandai dalam mengolah masakan lezat. Tapi, kemampuan itu membuatmu lebih cocok menjadi asisten rumah tangga kami dibanding seorang menantu.”
“Kadang, hidup ini memang keras. Karena baik, makanya saya mau memberitahumu tentang hal ini. Nara, kamu patut sadar diri dan malu. Lulusan SMA, tapi bermimpi untuk menjadi seorang istri Abimanyu? Itu tidak mungkin...." tambahnya lagi.Deg!
Aku terus beristighfar dalam hati agar diberi ketenangan menghadapi situasi mendadak ini."Jika memang hubungan kami tidak mendapatkan restu, kenapa Ibu dan keluarga, tidak menolak saya dari awal? Padahal, hubungan kami sudah tujuh tahun lamanya," ucapku memberanikan diri."Sederhana saja. Itu semua karena permintaan Abimanyu,” ucapnya tersenyum sinis, “jika sejak awal dia menuruti ucapan kami, mungkin tidak akan selama ini hubungan kalian ...."Mendengar hal itu, keningku tanpa sadar berkerut. "Jadi, sekarang Abimanyu menyetujui penolakan Ibu pada hubungan kami?"Segera kutatap kembali kekasihku yang lagi-lagi diam membisu.Kekecewaan perlahan muncul di dalam hati. Kupikir kehadirannya setelah 4 tahun menjalin hubungan jarak jauh akan membawa kebahagiaan. Namun, aku ternyata salah. Abimanyu justru membawa racun yang siap membunuhku."Jadi, bagaimana?” ucap sang ibu lagi, “kamu bisa lihat, dia duduk di depan kamu tanpa membantah sedari tadi, kan?"Senyum meremehkan dan mentertawakanku terbit di wajah wanita di depanku ini.
Kukepalkan tangan menahan emosi mendengar hinaan bertubi-tubi.“Rupanya, sia-sia selama ini aku mengabdi pada Abimanyu dan keluarga,” tawaku sumbang menertawai kebodohanku, “Bukan aku pamrih, tetapi kapan pun Ibu meminta bantuan, aku selalu ada. Kapan pun Ibu panggil, aku juga selalu datang, bahkan untuk mengepel seluruh rumah ini aku sanggupi.”“Abimanyu selalu mengatakan untuk mendapatkan restu dari kalian, aku harus menuruti apapun yang Ibu minta. Tapi, nyatanya?" Aku kembali berkata dengan lelehan air mata yang mulai tidak mampu aku tahan.Namun, rupanya kedua orang itu seperti tak punya hati. Mereka tak tergerak sama sekali."Haha,” tawa Ibunya merendahkan, “jangan mimpi! Kami ini bukan keluarga sembarangan. Sebagai calon pengusaha sukses di masa depan, Abimanyu butuh perempuan yang menyandang pendidikan tinggi lulusan luar negeri juga.”“Mana cocok anakku ini disandingkan sama wanita rendahan seperti kamu?!" cibirnya lagi, hingga aku kehilangan kata-kata.Saat ini, hatiku hancur dan sakit luar biasa.Kuperhatikan kembali, pria yang kucintai selama ini."Bi ...." Aku memanggil kekasihku itu.Namun, dia masih menatapku dengan tatapan dingin, lalu berkata, "Pulanglah, kamu sudah bekerja keras seharian di rumahku.”“Terima kasih juga atas kebaikannya selama ini. Ibu benar, kita tidak sepadan. Dan maaf, kami tidak bisa mengajak kamu untuk merayakan kepulanganku. Acara ini hanya keluarga besar dan tamu khusus saja...."Ringan dan tanpa beban, Abimanyu menyiram lukaku dengan air cuka.Rasanya, perih sekali.Ucapannya benar-benar sukses membuat hatiku seakan hancur menjadi serpihan kecil."Kamu jahat sekali, Bi." Aku menatapnya dalam, berharap dia menyadari tingkahnya yang menyakiti diriku."Katakan bahwa semua ini hanya sandiwara. Kalian semua sedang mengerjaiku, kan?"
Tak lama, aku tertawa sumbang menyadari kebodohanku. Bisa-bisanya aku berharap bahwa semua ini hanya sebatas prank."Nara, meski lulusan SMA, setahuku kau bukan orang yang bodoh, kan?” tanya Abimanyu dingin, “Apa sulit bagimu untuk mengartikan maksud ucapanku tadi?"Ditatapnya diriku dengan penuh ketidaksukaan.Tubuhku sontak membeku."Haha,” tawa merendahkan kembali terdengar.Milka, adik perempuan Abimanyu yang baru sampai di ruang tamu, tiba-tiba berkata, “Sudahlah, Kak. Jangan terlalu jujur, nanti kering air matanya."Ia lalu menatapku hina. "Pulanglah, Nara! Kami rasa semua ini cukup jelas. Hubungan kalian berakhir sampai di sini," usirnya.Aku menarik napas dalam. Segera kusadari bahwa bertahan di sini akan lebih sia-sia.Dengan mempertahankan harga diri tersisa, aku pun berdiri sembari mengangkat daguku."Baik. Terima kasih atas jamuannya hari ini," ujarku lalu meninggalkan rumah berlantai tiga itu dengan rasa kecewa.****"Kamu tidak usah kuliah, mending kerja saja, otak pas-pasan juga. Lagian, kami sudah mendaftarkan Mouren kuliah di luar negeri. Jadi, uang Ayah semua untuk biaya Mouren."Ucapan Ibu Lida, istri baru ayahku saat itu, tiba-tiba terngiang kala menatap ulang rumah Abimanyu yang pagarnya sudah tertutup rapat kembali setelah aku keluar dari sana.Tanpa sadar, air mataku turun."Jika bukan karena Ibu Lida, aku tidak mungkin hanya lulusan SMA. Ya Allah, kenapa ayahku lebih sayang pada Ibu Lida dan anak tirinya, Mouren?" Aku bergumam dalam hati.Dengan langkah gontai, aku pun mulai meninggalkan rumah Abimanyu.Kukuatkan diri ini untuk pulang kembali ke rumah meski dalam keadaan hampa, hancur, dan pupus harapan untuk berumah tangga dengan manusia yang kuanggap nyaris sempurna.Sepanjang perjalanan, aku terus terdiam, sampai aku memasuki kamarku dan teringat sesuatu.‘Buku Tabungan.’ batinku.Segera, kuambil buku tabungan yang sebenarnya kusiapkan untuk membantu biaya resepsi pernikahan nanti. Tapi, apa daya ternyata Allah punya rencana lain."Tabungan ini akan kugunakan untuk buka usaha. Akan buktikan pada mereka bahwa wanita yang lulusan SMA ini, kelak akan menjadi orang yang sukses!!" tekadku sembari mematut diri di depan kaca.Namun, konsentrasiku pecah kala mendengar suara teriakkan Mouren terdengar dari luar. "Mami …. Aku dilamar…!"Deg!Mouren dilamar? Oleh siapa?“Hahahaaa ....Selamat, anak mama tersayang!”Aku masih saja mendengar suara tawa penuh kebahagiaan dari luar kamarku yang memang bersebelahan dengan milik Mouren–anak yang dibawa ibu tiriku. Hal ini menarikku kembali ke masa lalu. Saat aku berusia 9 tahun, Ibuku meninggal dan Ayah resmi menikahi Mama Lida tak lama setelahnya. Hanya butuh waktu lima bulan, Mama Lida dan Mouren datang ke rumah ini–membawa perubahan besar di hidupku. Aku bagaikan anak yang tidak terurus, tidak diperhatikan, dan sering diacuhkan. Namun, aku ikhlas dan berlapang dada karena tahu jika melawan pun, akan percuma. Dulu, aku pernah juara 2 dan Mouren juara 1, tetapi hanya dia yang mendapatkan selamat. Mereka menulikan telinga atas pemberitahuanku mengenai pencapaianku. Kuakui Mouren yang merupakan blasteran Indonesia dan Jerman itu cukup cantik dan juga lumayan pintar. Mungkin, sebab itulah, Ayah dan Mama Lida, memprioritaskan pendidikannya dari awal hingga kini. Perih, jika kuingat masa itu. ‘Kupiki
"Apa? Kamu sama Abimanyu putus, karena masalah pendidikan kamu yang hanya sampai SMA?" pekik Siska, sahabat baikku, setelah aku selesai bercerita.Hari ini, di sebuah taman kecil di pinggiran kota, aku memang menemuinya untuk curhat. Aku tak tahu harus merespons apa, selain menunduk sambil mengangguk. "Kurang ajar sekali keluarga itu! Mentang-mentang mereka kaya, seenaknya mereka buang kamu? Padahal, mereka menjadikan kamu pesuruh mereka,” ucapnya membara, “Apa kata aku, Ra?! Keluarga mereka itu cuma manfaatin kamu ...." "Kupikir mereka hanya mengujiku selama ini, memberiku begitu banyak kerjaan, dan selalu meminta tenagaku semau mereka. Tapi, aku nggak nyangka, mereka sebenarnya tidak suka padaku." Siska tampak mengepalkan tangannya. Nampak binar amarah terlihat di matanya. "Brengsek! Seenaknya saja mereka menginjak harga diri kamu, Ra?! Aku nggak rela jika kamu diginikan!” ucapnya dengan nada tinggi. Sahabatku itu bahkan tersenggal menahan emosi. Dia diam beberapa saat sebelu
Aku tertegun."Tapi Mama Lida mengambil uang tabunganku, Yah. Uang itu mau aku gunakan untuk buka usaha," jawabku dengan suara serak. "Mama kan cuma pinjam, masa nggak boleh?" sahut Mama Lida. "Aku perlu uang itu, tolong kembalikan," pintaku dengan nada memohon. "Sudah-sudah, perkara uang saja kamu ributkan. Memangnya, berapa uang kamu yang Mama Lida pakai?" tanya Ayah. "Di dalam ATM itu, ada uangku 50 juta, Yah. Hasil tabunganku selama bekerja beberapa tahun ini. Aku rela menahan segala keinginanku untuk berbelanja demi bisa membuka usaha. Tapi, Mama Lida diam-diam mengambil uangku dan menggunakannya tanpa izinku," ucapku panjang lebar. Ayahku tampak membelalak kala mendengar nominalnya. Sepertinya, ia tak menyangka jika aku dapat menabung sebanyak itu. "Ini demi Mouren, Yah. Keluarga calon suaminya akan datang malam ini. Mama cuma ingin menyambut mereka dengan hidangan terbaik dan menunjukkan pada mereka bahwa kita layak menjadi keluarga. Karena mereka orang kaya, Mama nggak m
"Benar sekali, kami datang kemari, ingin melamar Mouren, untuk menjadi istri Abimanyu."Bukan pria itu yang menjawab, tetapi sang ibu–yang selalu berpenampilan glamor dengan gaya angkuh itu–menjawab. Ia menatapku dengan tatapan mengejek. Sungguh, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apalagi. Rasanya sakit, hancur. Aku merasa ditipu dan dibodohi selama ini. Kutatap kembali Abimanyu yang tak merasa bersalah sama sekali dan hanya menatap tidak peduli. "Sayang ...." Suara Mouren terdengar dari dalam. Wanita blasteran itu langsung berjalan keluar dan menyapa keluarga Abimanyu. "Hei, kamu cantik sekali malam ini," puji wanita paruh baya yang ada di dekatiku ini, ketika Mouren bersalaman dan mencium tangannya. Semua tersenyum ramah pada Mouren, seakan-akan mereka tidak peduli dengan keberadaanku, yang masih diam terpaku di dekat mereka. "Calon besan, mari masuk," seru Mama Lida, yang menyusul Mouren keluar. Melihat itu, emosiku mendidih. Luar biasa sekali sandiwara keluarga-kel
Dengan bantuan beberapa orang di sekitar, aku membawa Nenek asing itu ke Puskesmas terdekat yang cukup besar. Hal ini dikarenakan jarak rumah sakit sepertinya terlalu jauh.Pikiranku seketika menjadi kacau kala melihat jam sudah menunjukkan 8 pagi lewat 30 menit."Shitt, aku sudah terlambat 30 menit," gumamku.Kuperhatikan perawat dan dokter yang sedang keluar dari ruang UGD. Mereka mengatakan, jika Nenek itu baik-baik saja. Ia pingsan karena terlalu terkejut."Jadi, Anda bisa tenang dan menyelesaikan biaya administrasinya. Terima kasih." Deg! Seketika, aku bingung harus bagaimana. Uang saja, aku tidak punya. Lantas, bagaimana aku harus membayarnya?Entah kenapa hidupku menjadi semakin rumit saja. Kuhubungi Zaskia, untuk meminjam uangnya. Aku juga terpaksa harus izin dari tempat kerja, karena tidak bisa masuk kerja hari ini."Zas, bisakah aku pinjam uang. Maaf sebelumnya, jika aku terus membuat kamu repot, aku perlu sekali untuk membayar administrasi.""Perlu berapa?" tanya Zaskia
Aku menarik napas panjang sebelum mengangguk.Nenek yang namanya saja belum kuketahui itu tampak berbinar. Ada sedikit rasa haru di hati melihat itu.'Ya Allah, mau tidak mau, aku terpaksa membawa Nenek asing ini ke rumah kontrakkan Zaskia,' batinku, 'semoga sahabatku itu mau mengerti kondisinya.'*******Di rumah kontrakan Zaskia, aku pun merapikan tempat tidur dan meminta Nenek asing itu untuk beristirahat.Setelahnya, aku menyiapkan makan malam dan memastikan Nenek itu menghabiskannya.Lama aku terdiam sampai aku melihat Zaskia tampak bingung melihat Nenek asing itu sedang makan."Ha--lo?" sapanya sedikit terjeda.Aku menatap Zazkia dengan senyum tak enak.Dari lirikan mata, aku menyadari sahabatku yang baru pulang kerja itu memintaku masuk ke dalam kamarnya."Kita nggak kenal dia siapa, Ra," ucap Zazkia membuka percakapan, "kok kamu bisa-bisanya membawa dia ke sini?"Perempuan itu nampak sekali tidak senang dengan keputusanku ini yang membawa Nenek itu.Perasaanku semakin tidak en
Bab8"Kamu datang kemari? Nenek pikir kalian tidak akan mau perduli lagi. Entah wanita tua ini mati atau apalah itu," ucap nenek asing tadi, pada lelaki yang mengaku cucunya.Aku dan Zaskia hanya bisa terdiam, dengan jarak yang tidak begitu jauh dari kamarku. Kami tidak berani mendekat."Nenek, tolong jangan seperti ini. Seluruh keluarga besar kita sedang kebingungan mencari keberadaan Nenek. Dan tidak seharusnya, Nenek ikut orang asing begitu saja," ujar lelaki itu."Meskipun dia orang asing, dia begitu tulus menolong wanita tua sepertiku ini. Bukannya kalian senang, jika aku tidak ada di rumah lagi? Kalian sendiri yang mengatakan, semakin tua aku semakin cerewet dan menyusahkan.""Nek, maafkan ucapan Kelvin. Nenek tahu sendiri, dia mewarisi sifat Ibu. Sebaiknya kita pulang ya, Nek. Kasihan Papa, dia sangat khawatir dengan hilangnya Nenek," bujuk lelaki itu."Nenek tetap mau di sini saja," jawab Nenek asing itu.Zaskia menoleh ke arahku."Jika tuan Angkasa marah, aku bisa kena imbasn
Bab9"Nara, kamu ...." lelaki yang menjadi atasan di toko tempatku bekerja itu terkejut, karena aku membuka pintu ruangannya tiba- tiba.Ceroboh sekali aku ini, kupikir dia sedang berbicara dengan seseorang di dalam ruangannya. Ternyata, dia berbicara melalui panggilan telepon.Sebab nampak di tangannya, sedang memegang telepon yang masih terlihat kontak panggilan seseorang."Tidak sopan sekali," gerutunya."Maaf jika saya tidak sopan. Saya kemari ingin meminta kejelasan, kenapa saya tiba- tiba dipecat begitu saja, tanpa ada alasannya," ujarku dengan tegas."Terserah saya mau memecat kamu dengan alasan apapun. Lagi pula, kamu hanya pekerja lepas, tidak ada kontrak yang mengikat kamu di toko ini, jadi saya bebas mau memecat kamu kapanpun.""Setidaknya berikan saya alasannya, apa yang membuat Bapak tega, memecat saya begitu saja," jawabku lagi."Karena saya tidak ingin kamu ada di toko ini lagi, puas?" Kalau sudah begini jawabannya, akan sangat percuma aku bicara lagi. "Baiklah, terim
Bab60Tiba- tiba hati nyonya Rengganis merasa sakit, melihat nasib malang yang menimpa Nara."Kamu lupa tentang asalmu! Kamu juga bukan siapa- siapa, Bu. Harta dan kuasa yang saat ini kita miliki hanyalah titipan. Lihat keadaan kita sekarang, aku sakit- sakitan, kedua anak kita pergi meninggalkan rumah ini. Percuma kita punya rumah mewah, tapi di dalamnya tidak ada cinta. Entah nanti ketika aku mati, apakah kamu mampu hidup sendiri, atau aku mati tanpa ada siapapun disisiku," lirih tuan Tantaka saat itu.Membuat perasaan dihati nyonya Rengganis mulai terketuk."Wanita itu tidak salah apa- apa, tapi dia harus menderita parah dalam hidupnya. Dibuang keluarga, karena Ibu tiri dan adiknya yang gila harta. Aku yakin, dia pun tidak mau hidup begitu, Bu. Tidak sepantasnya kamu menambah luka dihidupnya. Jangan menyumbang derita di hidup orang lain," lanjut tuan Tantaka."Angkasa ...." tuan Tantaka berteriak, mendekati Angkasa yang ternyata sudah menarik rambut Nara seenaknya.Teriakkan tuan T
Bab59"Mona ...."Wanita cantik itu tersenyum dan mendekati Bram."Sudah kuduga ini kamu. Kenapa, kamu kehilangan Nara?""Kenapa kamu bisa tau?""Kamu belum tahu apa- apa, Bram. Angkasa yang membawa Nara pergi, entah pergi kemana aku juga belum tau.""Maksud kamu apa? Dan kenapa Angkasa membawa Nara pergi, jelaskan yang benar, aku nggak lagi baik- baik saja, Mon. Tolong jangan bergurau.""Siapa yang bergurau, faktanya Nara memang pergi bersama Angkasa, suami sah Nara.""Suami sah? Kamu gila, aku sudah tegasin sama kamu ya, Mon. Aku nggak lagi baik- baik saja. Kita memang kenal, tapi kita tidak dekat, jadi jangan seperti ini, aku nggak suka ya."Bramantio nampak marah dan tidak suka, mendengar informasi yang dibawakan Monalisa dengan tujuan tertentu."Angkasa itu memang suaminya, dan lelaki kecil yang saat itu bersama Angkasa, itu adalah anak mereka. Kamu tidak tahu apa- apa, kamu ditipu wanita itu, entah dengan tujuan apa, mungkin saja karena uang. Yang jelas, semua yang aku katakan f
Bab58Jam 9 malam, nyonya Rengganis pulang ke rumahnya, bersama dengan Monalisa.Seharian ini, setelah pergi dari kantor Angkasa, kedua wanita ini memilih untuk pergi shopping dan bersantai di restoran mewah.Plakkk ....1 tamparan keras mendarat di wajah nyonya Rengganis, ketika wanita itu pulang bersama dengan Monalisa."Ibu, ada apa ini? Kenapa Ibu pukul saya?" tanya nyonya Rengganis pada nenek Asia.Pak Tantaka hanya diam disofa single, sambil menatap ponselnya yang terus- menerus melakukan panggilan pada nomor Angkasa."Apa yang sudah kamu dan wanita licik ini lakukan pada cucuku? Sampai- sampai dia memilih pergi dari kota ini?" bentak nenek Asia, membuat nyonya Rengganis terkejut."Maksud Ibu siapa? Angkasa? Bukankah tadi dia ada di kantor."Nyonya Rengganis benar- benar merasa kesal atas semua perbuatan nenek Asia padanya, yang dengan teganya menampar wajahnya begitu saja.Panas, panas pukulan tangan nenek Asia, masih begitu terasa dipipi kirinya."Dasar menantu bodoh! Mau saja
Bab57"Angkasa, buka! Kamu mau Ibu mati di depan ruangan kamu?" tanya suara di depan yang mulai pelan.Angkasa menarik rambutnya dengan kesal, kemudian lelaki yang kini tubuhnya nampak kurus itu pun terlihat bimbang untuk membukakan pintu.Karena dia yakin, jika Ibunya bertemu dengan Nara, maka akan semakin ribet keadaannya.Nara melirik sejenak ke arah Angkasa, memindai wajah yang masih tampan itu. Sayangnya, tubuhnya nampak semakin kurus, tidak terawat lagi.Bahkan hal baru yang Nara mulai ketahui, kini Angkasa mulai mengisap rokok. Terlihat dari asbaknya yang ada di atas meja, dan roko serta korek api yang juga ada di sana.Padahal yang Nara tahu, dulu lelaki di depannya ini, tidak menyukai rokok sama sekali. Setelah sekian tahun terpisah, banyak perubahan Angkasa, yang mengarah ke negatif di mata Nara."Angkasa," lirih suara di depan, yang disusul suara panik lainnya."Angkasa, ibu sesak napas," pekik suara dari luar, yang mereka kenali suara Monalisa."Shiiit." Angkasa sangat kes
Bab56"Angkasa ...." Akhirnya Monalisa berteriak. Sayangnya, Angkasa tidak menghiraukannya sama sekali. Ketika memasuki ruangan, Angkasa melepaskan pergelangan tangan Nara. Nara terdiam sejenak, sembari menarik napas dalam- dalam, mencoba menghilangkan perasaan takut dan gugupnya.Telapak tangan Nara basah, ada perasaan was- was menggerogoti hatinya."Ada apa kemari? Pasti sangat begitu penting, sampai kamu datang kesini, setelah berhari- hari menghilang," ujar Angkasa membuka obrolan.Nara duduk disofa, mencoba menjawab dengan tenang, demi Baskara, anak yang telah mengobati rindu dihatinya, setelah sekian tahun menanggung perasaan sakit hati, karena merindukan anak semata wayang."Demi Baskara," lirih Nara."Aku memberanikan diri datang kemari. Demi dia, demi anakku," lanjut Nara, membuat Angkasa yang tadinya berdiri membelakangi Nara, sambil menatap ke arah dinding kaca, kini berbalik badan, melemparkan pandangan pada Nara yang duduk dengan tatapan datar.Sangat jauh dengan Nara ya
Bab55Nara berdiri, dan perlahan mundur."Ngapain kamu? Jangan mendekat," bentak Nara, dengan tatapan penuh ketidaksukaan."Nara, aku rindu, rindu sama kamu," lirih lelaki itu, yang tidak lagi lanjut melangkah."Rindu apa? Bulshit. Kamu jahat, kamu perusak kebahagiaanku," ucap Nara dengan suara bergetar."Karena kamu aku menderita, aku terbuang dari keluarga dan aku harus melewati berbagai macam kedukaan," lanjut Nara.Tatapan penuh kekecewaan bercampur luka, terpancar jelas diwajah cantik Nara.Nara yang dulu sederhana, kini menjadi Nara yang cantik, modis dan putih bersih terawat.Membuat kekaguman dimata lelaki yang kini berhadapan dengannya."Aku cinta sama kamu, Nara. Aku nggak bahagia, menyaksikan kamu berumah tangga dengan Angkasa. Kembalilah denganku, Nara. Aku janji, aku akan bahagiakan kamu," ucap lelaki itu."Jangan bicara tentang cinta, pengkhianat, penipu. Demi Allah, Abimanyu, aku benci kamu, aku jijik dan seumur hidup aku akan membenci kamu," tegas Nara."Seharusnya ki
Bab54Merasa mendapat tuduhan yang tidak mengenakkan, nenek Asia pun membantahnya."Nenek tidak mungkin melakukan hal itu, Angkasa," jawab nenek Asia dengan suara bergetar."Tapi fakta yang berkata seperti itu. Diam- diam, nenek berhubungan dengan Nara. Padahal Nenek tahu, aku nyaris gila karena dia tinggalkan. Dan Baskara ikut menanggung lukanya. Padahal, dia tidak tahu apa~apa, yang dia tahu Nara pergi dari kehidupannya." Angkasa berkata dengan suara serak, membuat tangis Baskara menjadi pecah."Nenek, Baskara mohon," lirih anak lelaki itu. Membuat dilema nenek Asia."Baiklah, Nenek minta maaf pada kalian, jika Nenek memilih diam dan menyembunyikan keberadaan Nara. Semua Nenek lakukan, atas permintaan Nara, yang tidak ingin terhubung lagi dengan kamu, Angkasa.""Dan Nenek mau menurutinya, membiarkan cucu Nenek sendiri menderita? Dan cicit Nenek menjadi anak broken home, anak malang yang terlahir dari keluarga yang berantakkan?"Nenek Asia meneteskan air mata, merasa tertekan dengan
Bab53Dengan semangat yang tersisa hanya setengah, Nara pun membukakan pintu ruang kerjanya."Ada apa, Wi?" tanya Nara, kepada pegawainya yang bernama Dwi."Ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda, Bu. Apakah Ibu mau menemuinya? Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan. Jika Ibu menolak, dia akan meminta orang merusak restoran kita."Nara mengeryit."Siapa? Kamu sudah tanyakan namanya?""Pak Angkasa Tantaka, Bu."Mendadak tubuh Nara menjadi gemetar hebat, mendengar nama lelaki itu. Lelaki yang dia rindukan, dia benci dan sekaligus lelaki yang selalu dia hindari selama bertahun- tahun, hingga segumpal kekuatan menariknya kembali dengan berani.Sebelum Nara menjawab, tiba- tiba suara lembut terdengar."Mamah ...." suara kecil anak lelaki itu membuat Nara dan Dwi menoleh ke empu suara.Seorang anak lelaki tampan itu tersenyum, dengan mata yang berkaca- kaca, menatap ke arah Nara.Bola mata kecoklatan itu memancarkan percikkan kerinduan yang mendalam."Mamah, Baskara sudah besa
Bab52Nara terdiam membeku, ketika melihat Bramantio dengan semangatnya berjalan menuju Angkasa.Meskipun dia tahu mengenai status keluarga antara Bram dan Angkasa, tetapi dia tidak mengharapkan adanya pertemuan semacam ini."Lama tidak berjumpa, bagaimana kabar kamu?" tanya Bramantio apa adanya. Angkasa tersenyum sinis, seakan mengejek pertanyaan Bram."Kabarku baik, kamu datang ke Indonesia tanpa memberi kabar kepadaku, kupikir kamu sudah lupa, bahwa kamu mempunyai sepupu.""Kata Nenek kamu selalu sibuk dan nyaris tidak pernah ada di rumahmu. Padahal dari awal aku datang ke Indonesia, aku ingin sekali bertemu kamu, terutama jagoan kecil, Baskara."Angkasa mengernyit, dengan tatapan pertanyaan."Aku tahu dari Nenek, katanya kamu sudah menikah dan memiliki seorang anak laki- laki yang tampan. Kapan- kapan, aku ingin bertamu ke rumah kamu, makan malam gitu." Angkasa terkekeh."Tak usah, aku tidak ingin membuat kamu bahagia."Bramantio mengernyit, mendengar jawaban sarkas Angkasa."Aku