CERITA SEBENARNYA DI DUNIA FAKTACerita ini belum selesai. Aku sebenarnya khawatir umur kalian pendek kalau baca cerita ini. Yah, maaf ya bikin kalian pusing sama jalan pikiran Detektif Bee dan Opposite Briella. Mereka berdua adalah karakter novel yang aku ciptakan dan diambil dari karakter dunia nyata, yaitu sahabat penaku yang panggilannya juga “Bee”.Bee itu dibaca “Bi”, kalian selama dari bab satu sampe akhirnya Tania yang benar-benar adalah psikopat imut, cantik, dan memiliki kejahatan sikap yang ia sendiri anggap kebaikan.Jadi sebenarnya, aku punya misi untuk mencari Bee, Bee di dunia nyata dalam hidupku, bukan dalam novel. Ini juga akan aku ceritakan pada kalian, teman-teman. Soalnya mungkin banyak hal yang bisa bikin jantung ngelitikin pembuluh darah. Anggap saja begitu. Sudahlah, kalian percaya saja.Nah, aku mau ceritain pembunuhan otak yang dilakukan seorang bernama Natalie, yaitu AKU. Pembunuhan ini bertujuan untuk menekan hormon stres pada pikiran aku sendiri. Terkesan s
14 April 2021Warda dan WijaSebulan setelah aku ngerasa harus mencari kebebasan, aku akhirnya diizinkan Nyokap untuk punya cita-cita. Bukan punya mimpi besar layaknya para admiral pertahanan negara. Ini lebih kepada menebarkan benih-benih kemauan aku yang besar untuk melihat DUNIA BARU. Aku berasa jadi Hitami kalau terus-menerus bahagia sendiri. Aku butuh sahabat nyata, bukan sekedar banyak tapi virtual semua.Bukannya aku gak bersyukur punya banyak pengikut selama aku menyelami dunia live streaming ataiupun konten kreator. Hanya saja, aku perlu berbagi kebahagiaan sekaligus kegilaan untuk orang lain. Dan orang-orang itu akhirnya kutemukan di padang pasir nan tandus, tak berbulu, tak bercahaya, tapi berbeda karena bentuknya seperti salju abadi. Sebut saja padang pasir itu adalah khayalan tingkat tinggi aku semua tentang kehidupan persahabatan kami nantinya.Dan mereka punya nama kembar. Anggap aja kembar identik. Nama awalnya sama yaitu Veny. Yang satu namanya Veny Wardani mahluk bet
Selama mengenal Warda dan Wija, gue hampir gak mau balik rumah lagi. Gue nelpon Bokap dan memberitahu kalau gue punya misi hidup. Misi hidup itu bernama ‘PT Kucing Jalanan’. Tapi kalian jangan resah, gue gak berniat mengumpulkan kucing-kucing gak terurus dan mengunci mereka di ruangan gas beracun.‘Udah kayak pemikiran dalam novel ‘The Gas Room’ karya Stephen Spagnesti’,’ kata Wija.‘Eh lo baca novel penulis luar juga, Ja?”‘Iya, cuman dialognya banyak banget novel itu,’ jawabnya menyudahi. Karena mungkin kalian memiliki jantung yang lemah untuk dirangsang dengan sengatan metafora gue, jadi gak gue bahas lagi. Gue merasa sekarang jadi orang setengah gila, sebab dari kemarin, Wirda nelepon gue, katanya ‘Ada ide buat bisnis manusia nih, Nat!’. Dan gue mulai curiga kalau sebenarnya gue dan sahabat-sahabat gue memiliki bakat menjadi orang stres. Cuman gue bingung, maksudnya Wirda apa? Waktu itu gue lagi berdua sama Wija. Kami lagi nonton horor. Judulnya ‘Beranak Dalam Sangkar Walet’. Rup
Di tengah rencana dan tujuan aneh untuk menyatukan teman-teman, sering secara spontan kerinduan akan sosok Hitami menggerayangi hati aku. Mungkin ini karena selama 2 bulan terakhir aku merasakan hal yang ingin dirasakan Hitami sendiri, “kebebasan”. Hitami sudah seperti renkarnasi aku kalau terlahir sebagai hewan. Sebut saja “binatang”. Nah, maka dari itu aku ingin mengumpulkan semua teman-teman aku di belantara-belantara nun jauh di tempat mereka masing-masing, untuk bisa aku berikan sebuah hasil akhir. Hasil akhir dari tujuan hidup aku yang baru berdasarkan pemikiran Hitami.Aku menganggap Hitami sudah memberikan pemikiran hewaninya terhadap aku meski gak pakai bahasa manusia. Aku bisa mendengar suara pikirannya layaknya aku mendengar separuh diri aku sendiri. Dan menurut aku, Bokap adalah manusia paling berdosa terhadap hidup Hitami. Terlebih, Hitami harus mendengar suara gas beracun Bokap kalau lagi pemanasan paru-paru tiap shubuh.Mungkin hampir tiap pagi Hitami menjerit. “Ya Tu
Wija mengangguk.Aku berasa ingin mati. Sementara Cunnul tetap polos dan memilih mengikuti tanpa perlu ada pertanyaan bertubi-tubi. Di ujung pantai aku mencoba meluruskan pembicaraan, “Nul, lo mau gak kalau misalkan ajakin aku ke Bandung?”“Kenapa tiba-tiba lo mau ikut?”“Ya, jadi...”“Lo gak lagi ada nyembunyiin sesuatu, kan?”“Hah?”“Ya lo bersikap seolah-olah lo senang banget berpetualang ke sana kemari. Lo bukannya lebih suka di rumah aja, main mobile legend habis live streaming, ngemutin pisang goreng, main-main sama burung Bokap lo yang namanya Hitami itu?”“Haha,” aku ketawa ngakak sambil berlutut karena pikiran polos Cunnul yang aku kenal ternyata bisa mendadak liar seperti itu.“Eh-eh Nat, sadar Nat, sadar. KONtrol-KonTROL.”Selepas berhasil mengontrol tawa, aku akhirnya bertanya hal yang seharusnya aku tanya sejak tadi, “Mungkin gak kalau kita semua berkumpul, Nul?”“Kita?”tanya Cunnul balik.“Ya, maksud aku...”“Kita siapa yang lo maksud?”Aku mendadak berpikir cepat untuk m
“Soal pengkhiantan,” lanjut Cunnul. “Aku rasa bulu babi definisi dari rasa syukur yang harus dipelajari manusia-manusia kayak kita.”Aku belum ingin merespon dan membiarkan pertukaran pikiran filsuf mereka mengalir mulus.“Iya, Nul. Hidup di lautan bebas tapi mereka malah dicari-cari sama manusia yang lebih sempurna hidupnya seperti kita. Mereka gak pernah nyari-nyari manusia, padahal hidup mereka gitu-gitu aja. Entah kenapa kita yang membutuhkan mereka, entah sekedar dimainin, dimakan, atau cuman jadi hiburan. Dan kita rela mengasingkan diri dari keramaian hidup di sana demi mencari mereka,” kata Wija dengan bernada puitis.“Terus letak pengkhianatannya di mana?” timpalku.“Lo belum ngerti juga, Nat?” Cunnul balik menimpal.Aku ngerasa kalau aku memang harus diam dulu.“Di daratan terlalu banyak pengkhianatan, perceraian, pertengkaran, bahkan perang dingin antar saudara sendiri,” lanjut Cunnul. “Sementara bulu babi, hewan-hewan laut, serta ikan-ikan di lautan, mereka bisa jadi seperti
Hari itu mereka semua bertanya apakah naskah novel "Konser Berdarah" itu sudah aku kirimkan ke penerbit. Aku menjawab kalau ada seseorang yang juga bertindak melebihi penerbit dan perlu menjadi orang pertama yang menerima itu. Aku menakut-nakut mereka dengan mengatakan kalai kami akan menghadapi kasus serupa di dunia nyata, selayaknya TANIA. Padahal memang benar adanya...Hari itu aku rasanya ingin menabok mulut aku sendiri. Bee gak pernah jelas dalam urusan memberitahu maksud dan tujuan setiap urutan rencananya. Kalau aku ketemu dia di Bandung, aku akan memindahkan niat untuk menabok jidatnya. Cuman, hati aku ragu karena dia “tamvan”.Keesokan harinya setelah mendapatkan tiga ekor bulu babi, aku mencoba pamit ke Bokap lewat panggilan telepon. Aku belum memberitahu,ya? Bokap sudah memilih kembali bekerja di proyek adiknya di Palu, Sulawesi Tengah. Sebenarnya aku memohon Bokap gak perlu kerja lagi, aku yang akan mengirim uang dari penghasilan kerja offline dan online.Usaha batik aku
Aku mencoba membelokkan arah pikiran ke luar jendela mobil. Di ujung jalan mendekati area masuk bandara, nampak sosok yang gak asing.“Nul,” kata aku sambil menarik sedikit lengan bajunya. “Itu!”“Siapa?” tanya Cunnul seraya mengikuti arah jari telunjukku.“Bang Muis?”“Iya,” jawabku.“Ada apa, Nat?” tanya Wija.“Abangnya Cunnul.”“Di mana?” tanya Bokap Wija sambil memutar arah kepala ke kiri dan ke kanan.“Area dekat garis awal bandara, Om,” jawab aku.“Bukannya, dia bilang lagi selesain proyek di Papua?”“Mungkin baru balik, Pa,” kata Wija.“Tapi bestie Papa itu kalau balik, pasti ngabarin.”Di sini, entah kenapa aku ngerasa geli dengan kosakata bestie yang keluar dari mulut pria untuk pria lain.“Papa mau ngapain?” tanya Wija melihat Bokapnya yang keluar mobil sambil mengeluarkan ponsel.“Papa mau nelepon dia, kayaknya dia lagi mau balik ke Papua.”Bokap Wija terlihat begitu yakin dengan ucapannya dan memilih tetap menelpon Bang Muis. Kami bertiga berfokus pada gerakan mulut Bokap
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"