“Soal pengkhiantan,” lanjut Cunnul. “Aku rasa bulu babi definisi dari rasa syukur yang harus dipelajari manusia-manusia kayak kita.”Aku belum ingin merespon dan membiarkan pertukaran pikiran filsuf mereka mengalir mulus.“Iya, Nul. Hidup di lautan bebas tapi mereka malah dicari-cari sama manusia yang lebih sempurna hidupnya seperti kita. Mereka gak pernah nyari-nyari manusia, padahal hidup mereka gitu-gitu aja. Entah kenapa kita yang membutuhkan mereka, entah sekedar dimainin, dimakan, atau cuman jadi hiburan. Dan kita rela mengasingkan diri dari keramaian hidup di sana demi mencari mereka,” kata Wija dengan bernada puitis.“Terus letak pengkhianatannya di mana?” timpalku.“Lo belum ngerti juga, Nat?” Cunnul balik menimpal.Aku ngerasa kalau aku memang harus diam dulu.“Di daratan terlalu banyak pengkhianatan, perceraian, pertengkaran, bahkan perang dingin antar saudara sendiri,” lanjut Cunnul. “Sementara bulu babi, hewan-hewan laut, serta ikan-ikan di lautan, mereka bisa jadi seperti
Hari itu mereka semua bertanya apakah naskah novel "Konser Berdarah" itu sudah aku kirimkan ke penerbit. Aku menjawab kalau ada seseorang yang juga bertindak melebihi penerbit dan perlu menjadi orang pertama yang menerima itu. Aku menakut-nakut mereka dengan mengatakan kalai kami akan menghadapi kasus serupa di dunia nyata, selayaknya TANIA. Padahal memang benar adanya...Hari itu aku rasanya ingin menabok mulut aku sendiri. Bee gak pernah jelas dalam urusan memberitahu maksud dan tujuan setiap urutan rencananya. Kalau aku ketemu dia di Bandung, aku akan memindahkan niat untuk menabok jidatnya. Cuman, hati aku ragu karena dia “tamvan”.Keesokan harinya setelah mendapatkan tiga ekor bulu babi, aku mencoba pamit ke Bokap lewat panggilan telepon. Aku belum memberitahu,ya? Bokap sudah memilih kembali bekerja di proyek adiknya di Palu, Sulawesi Tengah. Sebenarnya aku memohon Bokap gak perlu kerja lagi, aku yang akan mengirim uang dari penghasilan kerja offline dan online.Usaha batik aku
Aku mencoba membelokkan arah pikiran ke luar jendela mobil. Di ujung jalan mendekati area masuk bandara, nampak sosok yang gak asing.“Nul,” kata aku sambil menarik sedikit lengan bajunya. “Itu!”“Siapa?” tanya Cunnul seraya mengikuti arah jari telunjukku.“Bang Muis?”“Iya,” jawabku.“Ada apa, Nat?” tanya Wija.“Abangnya Cunnul.”“Di mana?” tanya Bokap Wija sambil memutar arah kepala ke kiri dan ke kanan.“Area dekat garis awal bandara, Om,” jawab aku.“Bukannya, dia bilang lagi selesain proyek di Papua?”“Mungkin baru balik, Pa,” kata Wija.“Tapi bestie Papa itu kalau balik, pasti ngabarin.”Di sini, entah kenapa aku ngerasa geli dengan kosakata bestie yang keluar dari mulut pria untuk pria lain.“Papa mau ngapain?” tanya Wija melihat Bokapnya yang keluar mobil sambil mengeluarkan ponsel.“Papa mau nelepon dia, kayaknya dia lagi mau balik ke Papua.”Bokap Wija terlihat begitu yakin dengan ucapannya dan memilih tetap menelpon Bang Muis. Kami bertiga berfokus pada gerakan mulut Bokap
“Aduh,” kata Wija.“Bigo itu apa, ya?” tanya aku.“Kamu bukannya agen bigo juga, Nat? Kamu kerja sama admin kamu yang di T*k T0k itu, kan?”tanya Bang Muis terang-terangan.“Oh, aplikasi Bi*o,” kata aku datar.“Tapi ngapain diriset?” tanya Wija ke Cunnul.“Ehhh,” lagi-lagi Cunnul hanya bersuara sepert itu.Aku lantas melihat tajam ke arah Cunnul seraya berkata, ”Nul?”“Ya, Nat?”“Pengen gebuk, deh.”Om Dedi senyum.“Riset apa Nul?” tanya Wija berlanjut.“Itu loh Wija, Nata, riset untuk mengetahui, mengapa dua tahun terakhir ini, BI*O begitu populer?”“Hmm,” kata aku yang sebenarnya sudah mengerti hal-hal yang terjadi di balik layar. “Bang Muis jadi admin agenci Bi*o sekarang?”“Hmm,” Bang Muis enggan menjawab.Wajahnya merah padam.“Kau main begituan, juga Beb?” tanya Om Dedi.“Papa?”“Eh, enggak Ja, Papa Cuma nanya ke Bang Muis.”“Tapi kenapa ada kata juga” jiwa interogasri Wija kambuh.Dia menyipitkan kedua kelopak matanya dan menayangkan tatapan tajam ke arah Bokapnya sendiri. Aku
Hari selanjutnya adalah 30 April 2021. Kami mendarat di Surabaya 2 hari sebelumnya. Aku berpisah sementara dari mereka bertiga setelah beberapa hari menginap di hotel milik Bang Jo. Kami gak langsung ke Bandung, karena kebetulan Bang Muis punya urusan silaturahmi ala pria mapan dengan sahabatnya itu.Tempatnya di Solo. Jadi, aku ada kesempatan untuk mengambil titipan dari Bee, topeng bercorak pusaran. Dan Bee sepertinya memang sudah memikirkan ini matang-matang. Mungkin karena Bang Muis sudah memberiahu Bee mengenai niatnya untuk mampir ke Solo. Aku bahkan belum ada waktu memikirkan maksud kalimat pesan Bee sebelumnya. Mengenai Bee yang lain. Bee yang berbeda.Di sini, ada hal mengejutkan. Bang Jo, sebagai pemilik hotel, memiliki hak akses ke sebuah kamar. Kamar itu katanya Bee, dulunya disewa oleh Bee lain yang dia ceritakan. Tempat Bee misterius itu mengumpulkan teman-teman, melakukan edting video, dan siaran langsung. Apa mungkin dia? Kalian berada dalam pikiranku?Lantaran pikiran
“Ih, Bang Jo, enggak ah. Kan itu kalau di filmnya doang penjahat.”“Apa nama penjahatnya?”Pertanyaan Bang Jo langsung mengingatkan aku pada seseorang yang dulu familiar di Tik Tok. Tapi, topengnya berbeda. Dia gak pakai topeng bercorak seperti ini saat siaran langsung.”“Nata?” “Eh, iya. Bang Jo nanya apa tadi?”“Eh, enggak apa-apa, Nat. Lupain aja,” kata Bang Jo seraya menunduk.“Maaf tadi aku... kepikiran sesuatu Bang Jo. Gak apa-apa kok, tadi Bang Jo nanya apa?”“Kamu kepikiran nama akun temanmu itu ya? Nama akun Tik Tok-nya itu...”“Bentar-bentar Bang Jo,” kataku memotong karena Bee mengirim pesan petunjuk lagi.“Password laptopnya Bee, BeeGUmi95.”“Ini kan nama...”“Kenapa, Nat?”“Nama akun Tik T*k Bee tadi apa Bang Jo?”“TOBI. Huruf besar semua, Nat.”“Lah? Bukannya Beegumi?”“Oh, itu nama akunnya kalau siaran langsung di LI*EE.”“Bukannya Bee cuma streaming di Tik T*k, ya?”“Lah, katanya dekat sama kamu, kok kamu gak tahu?”“Sebentar,” kata aku pendek sambil duduk
Apa Umi tahu Bee punya penyakit keras? Terlalu banyak pertanyaan di kepala aku saat itu. Aku nangis di kamar hotel Bee sendiri. Papan ketikan laptopnya pun basah karena kejatuhan air mata aku.“Bee lo di mana sebenarnya sekarang?”Hanya itu garis besar pertanyaan yang bikin aku mati mental. Mati akal. Mati semua syaraf tubuh aku. Yang bisa aku lakukan hanyalah setia menelusuri isi laptop Bee. Aku berusaha tetap fokus agar bisa bertemu Bee di Room Nakama dan mengetahui kenyataan sebenarnya.Gak mau kalau sahabat pertama aku memiliki rahasia beban hidup sendiri, gak sehat, terjadi hal buruk, apalagi menghilang dari Bumi.Saat aku berhenti nangis pun, aku gak berani membuka pesan Bee sementara waktu. Lebih memilih menelusuri laptopnya. Aku membuka folder berjudul “Room Nakama”. Di situ ada surat Bee untuk Umi yang sebelumnya belum sempat aku bacain ke kalian, karena aku langsung bertanya ke Bee. Sebenarnya, isi suratnya pendek.Yum, aku makan nasi korea di kotanya Warda sama Kurama, si A
Menghubungi Cunnul setelah mengetahui identitas rahasia Bee adalah pilihan saat itu. Aku memang belum mengetahui Bee mana yang aku sudah ketahui. Cunnul dengan teganya belum membalas pesan aku. Cunnul dan yang lain sedang berada di kamar hotel berbeda. Aku perlu mengecek sendiri.“Nat,” akkhirnya Cunnul membalas.“Iya, Nul, lo keluar ke ruang tamu Hotel bentar deh.”“Lo udah di situ?”“Enggak, ini aku juga baru mau jalan. Lo cepat ya ada hal penting yang sudah aku kumpulin. Yah, meskipun belum semuanya juga sih.”“Maksudnya gimana, Nat? Ini aku udah mau nyampe. Tapi aku gak ajak Wija, soalnya dia lagi sama Om Dedi.”“Iya, gak usah. Itu justru lebih baik.”*** KOMEDI SEGITIGAKata salah seorang penulis favorit aku, kita harus memberikan segalanya bagi orang yang gak perlu meminta apapun dari kita. Aku mikirnya jangan-jangan yang dimaksud si penulis adalah Bokap aku. Bokap aku meskipun kumisnya seperti lele, bulu hidungnya menyembur agak sedikit keluar, dan kentutnya paling romantis sed
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"