Satu pukulan terakhir mendarat bertepatan derap kaki masuk ke dalam ruangan yang sama. Bunyi dentingan benda jatuh dan serpihan kaca menyebar ke beberapa titik, menjeda keadaan darurat yang berlangsung beberapa saat lalu.Travis maupun Xelle membeku menatap kehadiran Rose yang menyorot keduanya dengan reaksi tertahan. Pandangan tidak fokus disertai wajah memerah, perlahan mendekat—dari langkah pelan menuju gerakan cepat.Napas Rose menggebu kasar. “Dia sedang tidak sadarkan diri, kau malah memukulnya!” tuding Rose tak henti mencecar. Mendorong Xelle sejauh mungkin—memisahkan pria itu dari jangkauan siapa pun.“Tidak sadarkan diri apa? Dia sudah tidak ada di sana! Aku akan menghajarnya sampai dia kembali!” “Berhenti!” ucap Rose, menahan tubuh yang hendak beranjak. “Dia tidak ada di sana? maksudmu ....” Kalimatnya menggantung di udara. Gendang telinga Rose seakan terisi suara berdenging setelah memaknai pernyataan Xelle yang sarat akan kekecewaan.“Ya. Just like that. He was dead." D
Don’t make me close one more door. I don’t wanna hurt anymore.-Whitney Houston-...“Dara ....” Sayup – sayup suara dari dalam kamar terdengar gamang. Rose berdiri di depan pintu. Baru kembali setelah membersihkan sisa kekacauan pecahan kaca dan pancake yang terbuang sia-sia. Dia hanya meninggalkan Theo sebentar. Namun, ketika masuk ke dalam ruangan. Pergerakan kecil dari tubuh yang membentang di atas ranjang, menimbulkan gejolak rasa yang tidak bisa Rose mengerti.Theo tak henti menggumamkan nama wanita lain. Bulir keringat dingin mencuak ke permukaan. Terlihat tidak tenang, tenggelam dalam mimpi buruk paling menyakitkan.“Dara ...,” lirih Theo makin jelas tatkala posisi Rose tak lagi berjarak.Bersimpuh dengan berbagai rasa ingin tahu. Ada berapa banyak wanita yang pernah singgah di kehidupan Theo, selain salah satunya digadang sebagai mantan istri.Mungkinkah Dara ...?“Theo.”Tidak berani sepenuhnya menepuk wajah yang dipenuhi memar. Hanya bisa memanggil, berharap netra abu –
Bukan siapa – siapa ....Dengan kondisi lemah seperti itu, tidak bisa dimungkiri kebohongan Theo tersirat begitu jelas. Rose mendesah, tidak ingin membahas masalah yang akan memperburuk kondisi pria di hadapannya.Dia tersenyum singkat, seolah menegaskan—permbicaraan cukup sampai selimut tebal ditarik, menutup separuh tubuh besar yang terkulai di sandaran ranjang. Siapa pun masa lalu Theo, Rose tidak ingin terlibat apalagi peduli. “Kau harus istirahat. Mungkin sebentar lagi Travis akan datang memeriksa keadaanmu,” ucap Rose, bersikap tenang. “Aku kenapa?”“Kau kenapa? Kau pingsan dari semalam. Membuat semua orang di sini cemas, termasuk teman konyolmu yang hampir membuat wajahmu hancur. Tapi aku rasa memang sudah hancur.” Rose meringis, memperhatikan memar di beberapa bagian dan luka sobek di sudut bibir Theo. Tidakkah pria itu merasa kesakitan setelah apa yang diterima? Dia terlihat santai, meski sesekali kalimatnya terjeda dengan menyentuh rahang dengan pelan.“Siapa teman konyol
Langkah lebar melaju lurus meninggalkan beberapa titik kecemasan. Sisa tenaga yang ada dipaksa tergerah, mencegat jejak yang nyaris mencapai pintu keluar. Theo mengayunkan lengan ke depan, memiting Xelle tanpa menyakiti lawannya—dia butuh penyanggah sekadar menopang beban tubuh.“Berhenti, sialan. Rose bisa menggorengku hidup-hidup sampai dia tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ucap Theo, perlahan—menarik napas, menetralkan rongga yang terasa menyempit.“Apa wajahku terlihat peduli? Fuck yourself. Aku tidak akan berhenti, jika itu menyangkut keselamatan Rose. Semoga saja kau tidak lupa atas sesuatu yang pernah terjadi di masa lalumu.” “It’s absolutelly not your fucking business. Kau tidak perlu mengingatkanku tentang hal itu. Satu yang harus kau tahu, wanita sebar- bar Rose tidak mudah tersentuh seperti Dara. Kalau kau masih bertekad memberitahu Rose apa yang sudah terjadi. Aku akan membocorkan sebuah fakta pada Bridgette, yang tidak wanita itu ketahui.”“Fakta apa?” Suara serak dan d
Kesempatan tidak pernah datang menjadi peluang kedua. Kegagalan yang dipaksa berlanjut, hanya akan menyisakan perasaan gugur. Usaha meramu penawar dengan beberapa uji coba terus menunjukkan hasil negatif. Travis tidak mengerti kesalahan seperti apa yang dia lakukan saat mencampurkan zat tambahan dan esktrak tanaman. Partikel kecil yang terendap dari bahan tersebut tidak mengeluarkan enzim yang cukup untuk menetralkan aktivitas neuron dalam kandungan bakteri. Hanya nol koma sekian persen. Travis butuh senyawa lebih banyak, yang bisa melawan perkembangan racun di dalam tubuh Theo.Kedatangan Mr. O’Connor tidak mungkin diharapkan. Pria paruh baya itu akan melakukan konsolidasi bersama rekan bisnisnya di negeri kincir angin. Satu – satunya cara yang bisa Travis manfaatkan hanya dengan menciptakan antidot sendiri sebelum 24 jam berlalu. Yang sialnya sampai saat ini belum menemukan titik terang.Hampir enam jam berkutik di lab pribadi bersama Xelle, membuat Travis merasa kerja kerasnya be
Menghindar sejauh mungkin dari amukan beruang yang sedang meraung, menggetarkan seisi gedung dengan derap kaki yang terus melaju ke depan. Rose menutup, sekaligus mengunci pintu ruangan yang diperuntukan khusus sebagai tempat perawatan.Deru napasnya memacu cepat, menetralkan kembali debaran jatung yang bertalu – talu keras. Sesaat perhatian Rose teralihkan, ditatap pria yang tengah memejam di atas ranjang—pemulihan kondisi lemah, sepenuhnya membutuhkan ketenangan.“Rose! Buka pintunya.”Suara bersumber dari arah luar membuat Rose terlonjak. Xelle mengejarnya sampai ke ruang serba putih. Apa yang akan pria itu lakukan setelah Rose menerjang aset berharganya?“Buka, Rose!”“Tidak mau!”Hening. Rose berbalik, menyorot pintu pembatas setengah waspada. Barangkali Xelle sedang mempersiapkan diri sekadar mendobrak pemisah di antara mereka.Atas perbuatannya Rose yakin, Xelle tidak akan segan menyeretnya keluar, sebagaimana pria itu biasa bersikap. Dia harus mencari tempat persembunyian sebel
“Aku rasa otak kalian saling berkesinambungan. Sama-sama tidak beres, isinya kotor. Perlu dicuci dengan pembersih kamar mandi,” gerutu Rose, pelan-pelan memisahkan diri dari kedekatan tak berjarak. Tak ingin mempertaruhkan kondisi Theo yang tak lebih baik dari beberapa saat lalu. Pria itu hanya memejam selepas kepergian dua orang di antara mereka. Benar-benar berbeda, tidak bersikap seperti biasanya.“Theo?” panggil Rose memastikan.Diamnya membuat Rose waspada. Tidak tahu apa yang lebih buruk melihat gerakan dada yang begitu lambat. “Bisakah Travis memasang kembali masker oksigen untukmu?”“Aku lebih nyaman seperti ini, Sugar.”“Kau yakin? Aku lihat kondisimu bertambah lemah.”Mengangguk samar. Theo tersenyum tipis, nyaris tak terlihat bagaimana sudut bibir itu melengkung kecil. Dia baik-baik saja. Hanya merasakan sedikit keanehan dari tubuh yang sungkar sekadar berpindah posisi.“I’m good. Just a little bit problem. Sebelah kakiku seperti mati rasa.”Alis Rose bertaut heran. “Itu ma
Bercermin pada diri sendiri, sekarang Lion mengerti bagaimana rasanya mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Terjal bila harus diungkapkan—berharap pada manusia merupakan bagian paling buruk. Seperti permintaan Verasco, Lion tidak akan menghubungi pria paruh baya itu lagi sekadar menemukan petunjuk.Beruntung saat ini mereka memegang satu barang bukti—dart buatan yang dikhusukan untuk melepas cairan butolium. Lion memperhatikan senjata runcing tersebut. Terpaksa mengeluarkannya dari ruang bawah tanah atas permintaan Theo. Beranjak dari remang-remang cahaya. Lion melangkah menaiki anak tangga, kemudian berbelok menuju lorong yang masing – masing pilarnya terpasang lampu kuning.Meninggalkan pintu rahasia. Lion berjalan lurus, menapaki anak tangga berbeda. Ruang kerja menjadi tujuan utamanya. Lion turut meraih laptop Theo yang tergeletak di atas meja. Hanya itu yang dia lakukan sebelum berbalik—pergi meninggalkan hawa dingin berselimut tebal.Seharusnya perhatian Lion hanya t