Suasana yang begitu mengkhawatirkan, sungguh sangat suram hari ini. Hari yang mungkin tidak bisa di lupakan oleh sang bunda. Bukan mungkin, tapi iya, hari yang benar-benar sangat di bencinya. Hari ini, ia di hadapkan dengan dua situasi, tragedi, dan insiden yang mengukir luka mendalam di hatinya.
Terdengar suara tangisan memenuhi ruangan tersebut. Tangisan yang amat memilukan. Seorang anak laki-laki berlari memeluk ibunya sambil menangis. Namun, tak ada balasan dari sang ibu. Waktu seolah terhenti, perputarannya sangat lambat, seakan merangkak."Laurel, sini sama ayah." anak yang di panggil Laurel itupun menatap ayahnya dengan tatapan sendu, ia lantas segera memeluknya, sangat erat. Bocah kecil itu tampaknya mengerti apa yang sedang terjadi. Ya, karena ia sudah menginjak usia 12 tahun."Ayahh, apa yang terjadi sama kak Lenda. Dan bagaimana dengan adikku Yah. Mengapa bunda sangat sedih hari ini?" Pertanyaan bocah itu menyita perhatian banyak dari ayahnya."Semua akan baik-baik saja nak. Kamu jangan nangis lagi ya," Laurel menurut pada ucapan ayahnya. Tapi, ada hal yang ia sembunyikan. Fakta bahwa ia melihat semua kejadian itu, insiden yang menimpa keluarganya saat ini.Suasana yang di rundung duka, seorang bocah kecil datang dengan kepala yang di balut perban. Ia datang dengan berlinang air mata, mungkin karena sakit yang dirasakannya atau ada hal lain dalam benaknya. Indah, sang bunda yang melihat bocah itu lantas menghapirinya.Plakk..Suara tamparan yang membuat Laurel berlari pada adiknya itu, begitupun dengan ayahnya."Bun..da jangan pukul adik," ucapnya sambil menangis."Indah, hentikan. Dia masih anak-anak. Tidak seharusnya kamu menamparnya seperti itu." Indah tidak mengindahkan perkataan suaminya tersebut. Ia menatap tajam bocah kecil yang menangis dalam diam itu, lalu kembali menghampirinya.Dengan cepat, Indah langsung menampar kembali pipi sang anak yang masih memerah akibat tamparan pertama. Tak di duga, bocah yang masih berusia tiga tahun itu sudah mendapat tampar dari ibunya sendiri.Plaaaakk..Tamparan yang lebih keras dari sebelumnya, membuat bocah itu tersungkur di dinding. Rambut panjangnya menutupi wajah polosnya."Cukup Indah, kamu benar-benar ibu yang buruk. Tidak seharusnya kamu menamparnya seperti itu. Dia anak kamu, anak kandung kamu!!""Mas, dia penyebab semua ini. DIA! Dasar anak pembawa sial!""Lauraa ... ayaah, Laura yah. Be ... berdarah." Melihat Laurel menangis memeluk adiknya itu, Iswan segera berlari dan melihat keadaan bocah yang di sebut Laura tersebut. Kondisinya sangat memprihatinkan.Iswan berlari memanggil dokter untuk menolong buah hati kecilnya itu."Kalian nggak pernah mengerti, dia anak pembawa SIAL! Dia bukan anakku, aku membencinya!"•••"Tidakkk!" Teriak Laura yang terbangun dari tidurnya."Lo kenapa Ra?" Laurel yang memang sedari tadi ada di kamar adiknya itu kaget, dan segera memberi air pada Laura. "Lo pasti mimpi buruk ya?""Hm, iya. Gue juga nggak tau, tapi rasanya aneh. Seperti sangat nyata, tapi mimpi itu tidak begitu jelas.""Udah, hanya mimpi doang.""Tapi di mimpi itu yang gue ingat, bunda berkata kalau gue anak pembawa sial. Sambil teriak lagi, apa ini kilasan dari ingatan gue yang hilang ya?" Laura berharap mendapat jawaban dari kakaknya itu, namun nihil. Kakaknya malam terdiam dan enggan menjawab."Nggak, itu cuma mimpi lo doang, bunga tidur. Yaudah sana mandi, entar telat lagi ke sekolahnya," Laurel mengalihkan topik pembicaraan, sementara Laura hanya mengangguk pasrah.Setelah bersiap beberapa saat, Laura di antar oleh kakaknya kesekolah. Tidak butuh waktu lama untuknya sampai, berhubung jalanan kota masih terbilang cukup sepi."Pagi Ra." Sapa seseorang yang menyejajari langkahnya."Pagi juga Kin.""Emm, tugas matematika lo udah belum?" Tanya Kinan pada Laura, dan benar saja. Kinan tidak mengerjakan tugasnya."Udah dong, jangan bilang lo belum ngerjain tugasnya.""Lo tahu aja sih Ra. Ya jelas belum lah," katanya pada Laura sambil nyengir."Ya ampun Kin, bentar lagi bel masuk bunyi lho. Nih, buruan salin." Tanpa membuang waktu lagi, Kinan langsung dengan sigap menyalin pekerjaan sahabatnya itu. Laura yang melihat tingkah Kinan hanya bisa menggelengkan kepalanya.Kinan memang selalu seperti itu, ia kalah dalam pelajaran matematika. Tapi, Kinan sangat unggul di mata pelajaran Bahasa Inggris. Tidak lama kemudian bel masuk berbunyi. Banyak siswa siswi segera memasuki kelasnya.Saat guru memasuki ruang kelas Laura, semua siswa segera mengambil buku pelajarannya masing-masing. Pagi hari yang cerah di awali dengan pelajaran matematika, sangat menyebalkan bukan?"Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, selamat pagi semua.""W*'alaikumussalam, pagi juga Bu," sapa semua siswa yang ada di kelas tersebut."Kumpulkan tugas kalian di atas meja saya. Bagi yang tidak mengerjakan, silahkan keluar," perkataan yang sadis itu terucap dari mulut sang guru. Yah, guru paling killer di sekolah tersebut, Adelfin M.pd. Seluruh siswa segera mengumpulkan tugasnya, Laura dan Kinan yang paling lambat. Tentu saja, karena Kinan belum selesai menyalin contekannya. Tapi syukurlah Kinan berhasil menyelesaikannya tepat waktu."Oh iya, kita kedatangan siswa baru, masuklah," perintah Bu Adel pada siswa itu, yang ternyata sedari tadi menunggu di balik pintu yang tertutup. Semua siswa takjub melihat siswa baru ini, terlebih para cewek."Baiklah, perkenalkan dirimu.""Assalamu'alaikum semua.""W*'alaikumussalam." Serentak jawaban seluruh siswa dalam kelas tersebut."Hai. Perkenalkan, Rafael Ananda Pratama. Semoga kita bisa berteman baik," ucap siswa yang bernama Rafael itu dengan senyuman yang lebar, membuat para cewek-cewek terhanyut dalam imajinasinya masing-masing. Kecuali Laura, yang tampaknya bodoh amat dengan kehadiran cowok itu."Baik Rafael, silahkan duduk di tempat yang tersedia."Rafael memandang sekitarnya. Dan ternyata hanya ada satu tempat kosong saja, tepat di belakang Laura. Rafael pun segera menuju tempat itu, melewati Laura yang sedari tadi sibuk mengotak-atik bukunya, mungkin menghafal rumus, itu yang di pikiran Rafael saat ini."Hey, kenalin gue ....""Udah tahu, Rafael kan?" Cetus Laura tanpa memalingkan wajahnya."Iya, nama lo?""Laura," jawabnya singkat, bahkan tidak menoleh sedikitpun kepada cowok itu.Cuek bener, tapi kok menarik perhatian gue ya? Batin Rafael. Sejak awal masuk ke kelas tersebut, siswi yang paling menyita perhatiaannya hanya Laura. Tanpa sadar, ternyata Rafael mengukir senyum indah saat memandang gadis itu. Mungkin, inikah rasanya cinta pada pandangan pertama?"Rafael!! Kamu tidak ingin duduk?" "Eh, i ... iya bu, maaf," ucapnya gugup. Ia mungkin belum tahu kalau yang di hadapannya sekarang adalah guru paling killer di sekolah tersebut. Selama pelajaran berlangsung, semua aman-aman saja. Sangat tenang, bahkan serangga pun enggan bersuara, benar-benar hening. Yang terdengar hanyalah suara guru yang mengajar dan ketukan papan tulis.Selama tiga jam pelajaran, saking tegangnya para siswa seakan tercekat dalam ruangan itu. Tapi kini berakhir untuk minggu ini, karena bel istirahat telah berbunyi. Sambutan pagi yang menyebalkan, tapi tidak bagi Laura. Ia sangat menekuni bidang itu, entah karena apa tapi Laura benar-benar menyukainya. Seluruh siswa mulai beranjak untuk ke kantin, mengisi perut mereka yang sedari tadi sarapan sama rumus, begitupun dengan Laura dan Kinan."Laura." Orang yang di panggil tidak menyahut sedikitpun. "Gue boleh ikut kalian nggak? Kan gue siswa baru.""Eh, boleh banget lah. Ya kan Ra?" Jawab Kinan sambil menyikut lengan Laura. Namun, Laura hanya meresponnya dengan menganggukkan kepalanya. Laura memang suka tertutup kepada orang-orang yang tidak akrab dengannya. Kecuali Kinan, mereka telah lama menjadi sahabat.Bahkan, saat mereka terpisah kelas sekalipun, mereka berdua akan mendatangi ruang KepSek untuk protes. Dan anehnya, para guru menuruti kemauan mereka, benar-benar sahabat.Kantinnya sangat ramai, hingga mereka mendapat tempat duduk di pojok. Dengan segera Laura, Kinan, dan Rafael memesan makanan masing-masing."Oh iya, nama lo?""Gue? Gue Kinan, sahabatnya Laura." Jawabnya dengan mengukir senyum yang lebar. Tiba-tiba, ada seseorang yang menepuk pundak Kinan pelan, tapi itu berhasil membuatnya kaget."Halo beb.""Issh, bisa nggak sih Bar, jangan ngagetin orang," decih Kinan kesal pada cowok yang bernama Akbar itu."Maaf lah Kin, masa kek gitu aja kaget sih." Akbar hanya tertawa melihat tingkah Kinan yang baginya begitu lucu. "Eh, halo bro. Kenalin, gue Akbar. Pacarnya Kinan, jangan coba-coba rebut ya. Lu kan sekelas ama dia.""Gua Rafael. Tenang aja, nggak ada yang bakalan ngerebut pacar lo. Aman bro," ucap Rafael sambil menepuk-nepuk pundak Akbar. Mereka berempat duduk di satu meja yang sama, dan Akbar juga sekalian memesan makanan."Tapi kok lo tahu kalau gue sekelas ama Kinan?" Tanya Rafael penasaran."Ya di sekolah ini, namanya siswa baru apalagi cowok cakap kek lo. Pasti cepat tersebar lah, biasa bro, cewek-cewek cepet banget nyebarin kalau soal cowok cakap," ucapnya pada Rafael yang ternyata mengundang tatapan sinis dari Kinan dan Laura."Upsst, maaf. Gue tarik kembali perkataan gue tadi," kata Akbar sambil menelan salivanya saat mendapat tatapan tajam dari dua cewek di depannya ini. Rafael yang melihat hal itu ingin tertawa, tapi ia menahannya jika tidak ingin mendapat masalah dengan dua orang cewek ini.Makanan yang mereka pesan akhirnya datang, tidak ada topik yang serius.Mereka menghabiskan makanan masing-masing dengan bercakap-cakap ringan. Selama di kantin, Laura yang paling banyak diam. Bisa jadi, ia risih dengan kehadiran Rafael yang masih di anggapnya orang asing itu.
"Baby, gue balik kelas dulu ya.""Ih, apaan sih lo. Gak usah alayy," kata Kinan sambil memukul punggung pacarnya itu. Sementara Akbar, hanya tertawa tidak jelas menerima perlakuan pacarnya. Perhatian Rafael tersita pada Laura yang tampak mengukir senyum saat melihat kejadian tersebut. Entah mengapa, Rafael tampak sangat nyaman menatap Laura seperti ini."Lo udah punya pacar belum Ra?" Pertanyaan yang tiba-tiba ia lontarkan menarik perhatian Kinan. Pasalnya, mereka baru beberapa jam lalu bertemu. Dan sangat tidak mungkin jika Rafael sudah memiliki perasaan pada Laura."Jangan bilang lo naksir sama Laura," Kinan menyelidik sudut wajah Rafael. Mencari-cari apakah benar Rafael menyukai sahabatnya itu."Ngapain lo nanya? Bukan urusan lo!""Ya gue hanya penasaran aja. Gitu amat lo jawabnya, sadis."Tanpa menghiraukan apa yang di katakan Rafael padanya, Laura beranjak dan ingin kembali ke kelasnya. Begitupun dengan Akbar, yang sudah berada di selasar terpisah menuju kelasnya. Rafael mendekati Kinan yang juga tengah bergegas kembali ke kelas."Kinan.""Ya? Ada apa?" Tanya Kinan sambil menengok ke arah suara yang memanggilnya tadi."Laura memang seperti itu ya? Sikapnya dingin banget, gue jadi takut di dekatnya.""Ha? Lo takut? Beneran?" Tanya Kinan seakan meledek Rafael."Dia memang seperti itu, tapi hanya pada orang asing dan orang yang tidak akrab dengannya. Tapi dia orangnya baik kok, lembut. Cuman lo perlu bersabar aja, biar dia nggak bersikap dingin lagi ke lo. Ya intinya, kalo lo nggak mau dia bersikap dingin, lo harus akrab dengannya. Yah sebagai seorang teman."Rafael mengangguk paham. Wajar saja jika orang tampak lebih misterius terhadap orang baru. Itu juga sikap mutlak manusia, bukan."Menarik," gumam Rafael yang masih bisa terdengar oleh Kinan."Lo suka?""Terlalu dini untuk bilang suka, gue jalanin aja dulu."Rafael tertawa renyah sembari menatap punggung Laura yang sudah berjalan menjauhi keduanya. Ini kali pertama bagi Rafael merasa tertarik dengan seorang cewek yang bahkan baru di temuinya beberapa jam yang lalu."Woy!" Kinan menepuk kasar punggung Rafael, "mau balik kelas kagak?""I-iya iya, bikin kaget aja."Mereka berjalan menyusul Laura yang sudah terpisah beberapa meteri di depan. Saatnya kembali bergelut dengan mata pelajaran di sekolah itu.✿✿✿Pelajaran selanjutnya segera di mulai, para siswa kembali sibuk mengotak-atik buku pelajaran masing-masing, dan sistem belajar mengajar kembali berlangsung. Setelah melewati hari yang melelahkan, akhirnya saat-saat yang selalu di nantikan para siswa pun tiba.Saatnya pulang, karena bel pertanda pulang telah di bunyikan. Seluruh siswa bergegas mengatur barang-barang mereka dan keluar menuju rumah masing-masing.Seperti biasa, Laura di jemput oleh kakaknya, Laurel. Tapi mungkin itu hal baru bagi Rafael. Ia berpikir bahwa itu pacarnya Laura, hal tersebut membuat hatinya sedikit sakit. Entah karena apa, tapi tampaknya yang di katakan Kinan memang benar, ia mempunyai perasaan pada Laura sejak pertama kali bertemu."Ra, pulang bareng gue mau nggak?""Ekhemm, cie cie." Ejek Kinan sambil menyikut perut Laura. Kinan tertawa melihat ekspresi datar yang Laura tunjukkan."Gue selalu di jemput.""Siapa?" Tanya Rafael penasaran."Bukan urusan lo.""Ya udah, Ra. Gue duluan ya, Akbar udah nungguin gue
Hari ini, Laura mempunyai jadwal latihan basket. Ya, karena ia adalah kapten basket putri. Namun, ada sedikit masalah. Kapten basket putra mengundurkan diri karena masalah pribadi. Saat ini, anggota club basket putri dan putra sedang berunding, mencari siapa yang pantas mendapatkan posisi kapten. "Bagaimana ini? Kita kehilangan kapten putra, kita nggak bisa latihan kalau kayak gini." Kata Laura pada anggota tim mereka. Saat ini ia benar-benar bingung harus bagaimana, pertandingan tinggal menghitung minggu."Dari kalian ada gak yang mau ambil posisi kapten?" Laura kembali bertanya, namun tidak ada respon dari tim nya. "Bagaimana? Kalau tidak ada yang mau jadi kapten, kita nggak bisa ikut pertandingan.""Ra, gimana dengan Rafael. Gue denger dia jago main basket," usul salah satu tim basket putra, dan ternyata di setujui oleh seluruh tim."Apa?! Rafael si anak baru itu?" Rafael yang tiba-tiba lewat di tempat itu mendengar namanya di sebut-sebut."Apaan? Kok nama gue di sebut-sebut?""Ah
"Aku jadi iri deh sama Laura," terdengar bisik-bisikan dari barisan penonton cewek. Mereka sedang membicarakan kecocokan Laura dan Rafael."Iya, mereka terlihat cocok. Kepengen deh ada di posisi Laura." Timpal siswa lainnya yang sedang menonton pertandingan tersebut.Kali ini, bola jatuh pada Laura. Cukup lama ia berhasil mengendalikan bola, tapi tidak berhasil melakukan tembakan. Laura terus mencari celah agar dapat melakukan tembakan ke dalam ring, tapi tetap saja dapat di halang oleh Rafael. Hingga akhirnya, Laura tidak dapat mempertahankan bola.Kini, bola di ambil alih oleh Rafael. Laura tampak kesal, dan ia berniat merebut kembali bola dari tangan Rafael, tapi terlambat. Rafael melakukan shooting dari luar garis lapangan sehingga ia mendapatkan three point. Itu artinya, Laura kalah."Gue menang," ucap Rafael mengejek gadis itu."Ah, lo nggak seru. Secepat ini pertandingannya."Sorakan kembali terdengar beberapa saat, Kinan membawakan dua botol minum dan handuk kecil untuk Laura d
Rafael menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Mereka berdua akan makan di tempat itu. Sedari tadi perasaan Laura tidak enak, ia merasa akan ada yang terjadi pad nya. Tapi sejenak, Laura melupakan semua perasaan itu. Mereka berdua memesan dan langsung melahap makanan masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk makan."Nih," Laura hendak memberi uangnya, tapi Rafael melarangnya."Nanti gue yang bayar, nggak ada tapi-tapian." Rafael seakan mengerti ekspresi wajahnya Laura. Sementara Laura hanya bisa menghela nafas dengan sikap Rafael. Mereka bahkan baru bertemu beberapa hari yang lalu, dan sekarang bisa lumayan sedekat ini. Semua terjadi begitu saja, tanpa di rencanakan.Makan malam berlalu begitu cepat. Saatnya untuk Laura kembali ke rumah sebelum ia mendapat masalah besar. Laura menunjukkan jalan menuju rumahnya kepada Rafael karena ini kali pertama Rafael mengantar dirinya pulang. Jalanan kota mulai lenggang, sehingga tidak butuh waktu lama untuk Laura tiba di depan rumah keluarga A
Tok ... tok ... tokLaura membuka matanya setelah mendengar suara ketukan pintu. Ia beranjak duduk dan melihat jam yang ada di nakas dekat tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 5.30 WIB.Hampir aja aku telat, batinnya dalam hati.Tok ... tok ... tok"Laura, ini Bibi bawakan susu.""Iya Bik, bentar." Laura beranjak dari tempat tidur dan segera menuju pintu."Makasih ya Bik.""Laura, kamu baik-baik aja kan?" Bik Mia memperhatikan wajah Laura yang tampak kurang baik."Aku baik-baik aja, nggak perlu khawatir Bik."Laura berusaha tersenyum selebar mungkin untuk menutupi segalanya. Tanpa sengaja, Bik Mia menyentuh pergelangan tangan Laura yang masih terbalut kain kasa itu. Sentuhan Bik Mia mengundang sakit dari luka itu yang membuat Laura sedikit meringis kesakitan. Laura lupa menggunakan deker pelindung pergelangan tangan."Ini kenapa?""Ehh, bukan apa-apa. Hanya luka kecil saja Bik, nggak perlu khawatir.""Kenapa bisa terluka nak? Pasti sakit ya, Bibi akan ambil obat dulu."Laura menghe
Tiba saatnya hari H, hari di mana mereka akan bertanding basket. Seluruh aula pertandingan basket telah di penuhi oleh penonton untuk memberikan semangat kepada tim masing-masing."Sebentar lagi kita akan masuk lapangan, gue harap kalian nggak tegang, dan terus melakukan yang selama ini kita latih bersama."Rafael memberi semangat pada tim basketnya, ia berharap latihan mereka tidak sia-sia."Baiklah, jangan membuang waktu lagi. Sekarang mari kita saksikan pertandingan basket antara SMA N 3 Bandung dan SMA N 5 Bandung. Untuk peserta silahkan masuk ke area pertandingan," kata si pembawa acara.Saat ini, yang akan bertanding pertama adalah basket putra. Setelah melalui sedikit pemanasan, pertandingan akhirnya di mulai. Bola jatuh di tim lawan, dan tim Rafael berusaha merebut bola.Cukup lama bola di kuasai oleh tim lawan, tetapi Rafael berhasil mengendalikan bolanya. Namun, saat hendak melakukan tembakan mereka kehilangan bola. Bola kembali di rebut oleh tim lawan dan akhirnya mereka ber
Nuansa biru mendominasi kamar Laura, cahaya lampu yang remang-remang menemaninya dalam kesunyian malam. Ia mengunci dirinya di dalam kamar, terngiang-ngiang di pikirannya tentang perihal yang di katakan dokter siang itu.Laura kembali membaca hasil tes yang ia sembunyikan dari semua orang, menangis dalam diam, dan menikmati luka yang kian lama kian membesar. Mungkin, ini salah satunya jalan untuknya agar dapat mengakhiri semua luka di hati nya."Gue bakalan nantiin hari itu, hari yang mampu membuat Bunda ma Ayah bahagia. Inilah jalan yang di berikan Tuhan buat gue, buat akhiri penderitaan ini."Laura memandangi pil yang ada di genggamannya, ia membelinya secara diam-diam tanpa seorang pun yang tahu. Laura tidak ingin menjadi beban buat siapapun juga. Ia ingin hidup dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Sampai tiba waktunya untuk kembali kepada Sang Pencipta.Laura mengambil satu butir pil, lalu meminumnya. Itu pil penghilang rasa sakit, hanya itu tompangannya saat ini. Saat ia benar-be
Suasana meja makan seperti biasanya, tidak ada yang menarik bagi Laura. Bahkan, ia sangat tidak nyaman jika ada di meja makan, di antara keluarga yang tengah bercanda gurau itu.Laura bisa sesekali tersenyum saat mendapati hal lucu yang di lakukan Laurel, tapi hatinya juga terluka saat ia hanya menjadi penonton, tanpa bisa melakukan apa-apa yang mampu membuat Ayah dan Bundanya bahagia. Laura sangat ingin, melihat senyum dari orang tuanya karena dirinya, tapi itu mustahil. Ia tidak akan pernah bisa melakukannya."Yah, Bun. Seminggu lagi Laurel harus pergi ke London. Ada pertukaran mahasiswa KKN, Laurel di izinkan?""Tentu saja sayang," kata Indah sambil mengusap rambut putranya dengan penuh kasih sayang."Berapa lama kamu di sana?""Hm, nggak lama kok yah. Hanya sekitar 10-14 hari," Laurel tetap melanjutkan makannya."Jaga diri baik-baik tuh di sana."Laurel hanya mengangguk mendengar perkataan Indah, ada sesuatu yang terus menganggu pikirannya, Laura. Bagaimana dengan adik kesayanganny
"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Nyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdenga
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken
Hilir mudik kenderaan terus menyambut indra pendengaran, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa bosan. Setiap saat, hanya bunyi kenderaan yang terus terdengar. Mungkin, begitulah nasib orang yang tinggal dan menetap di kota."Rafael?"Suara seorang cewek memanggil nama Rafael, suara yang terdengar tidak begitu asing baginya. Rafael yang sedang membaca buku di taman kota menoleh ke arah suara, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang memanggilnya.Terpisah tiga meter dari tempatnya duduk, seorang cewek dengan style berkelas berdiri sembari memperhatikan dirinya. Cewek itu menggunakan rok yang panjangnya bahkan tidak mencapai lutut, dengan atasan pakaian lengan panjang.Rambutnya tergerai rapi, nampak indah jika di pandang. Cewek itu tersenyum, lantas berjalan lebih dekat ke aeah Rafael yang bahkan masih mencoba mencari tahu siapa cewek tersebut."Eh, apa kabar?""Kita saling kenal, ya?" Rafael ber
Suasana tempat itu lenggang. Walaupun banyak orang yang berlalu lalang, tetap saja mereka hanya sibuk pada pekerjaan masing-masing. Alya menggulir layar ponselnya malas, ia sedang menunggu Laurel untuk sekedar bertemu sapa.Ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, terpampang jelas di layar ponsel nomor tanpa tuan. Tidak ada nama disana."Kau sudah gila, ya!?"Amarahnya memuncak ketika menerima panggilan telepon tersebut. Bukan kata sapaan lagi yang menyambut indra pendengaran si penelpon, tapi kata yang terkesan kasar untuk sekedar awal pembicaraan."Kau ingin membunuhku!?""Eits, tenang nona Alya." Suara berat dari seberang sana menanggapi, "jika saya ingin membunuh anda, pasti dokter Laurel sudah berduka sekarang."Orang itu terkekeh, seakan menikmati permainan yang ia buat. Ekspresi wajah Alya terlihat masam, sepertinya ia tidak menyukai situasi seperti sekarang."Mengapa? Anda sudah takut?
Kembali terbayang dalam benak Indah tentang senyuman Laura yang baru saja ia lihat. Senyuman yang begitu tulus. Rasanya, keinginan Laura seakan sudah tercapai. Ia hanya ingin mendengar kalimat itu dari mulut Indah, kalimat sayang yang sudah dinantikannya selama 14 tahun terakhir."Laura! Bangun, nak! Bangun!" Indah menggoyang goyangkan tubuh tidak bernyawa milik Laura, berharap keajaiban akan segera datang menyapa hati yang luka, mungkin sekaligus memperbaiki mental yang mulai meremuk."Jangan siksa Bunda seperti ini, Bunda ingin kamu kembali!""Cukup ya, tante!" Kinan menghempaskan tangan Indah dari tubuh Laura. Ia tahu, tidak seharusnya ia ikut campur dalam urusan keluarga Alibasyah. Tapi hati nuraninya tidak menerima hal tersebut."Apa tante belum puas, sudah buat hidup Laura menderita?"Jangankan menjawab pertanyaan Kinan, Indah lebih memilih bungkam dan terus menatap Laura. Ia tahu kesalahan yang di perbuatnya, Indah tahu jelas hal tersebut.Tapi a