Seminggu kemudian, Laura dan keluarganya mengantar Laurel ke bandara. Untunglah, Laura di izinkan ikut mengantar Laurel ke bandara. Laura sedih, selama beberapa hari ia pasti akan merindukan kakaknya.Bukan hanya itu, Laura juga takut dengan apa yang akan terjadi padanya selama Laurel tidak ada. Tapi, mau tidak mau ia harus menjalaninya sendiri. Hanya satu hal yang terlintas di pikirannya, Laura mau kakaknya akan pulang dengan selamat.Setelah berpamitan dengan ayah dan ibunya, Laurel menghampiri Laura, memeluknya erat yang membuat Laura meneteskan air mata."Lo harus bisa baik-baik saja, ya?" Laurel menghapus air mata adiknya dengan tangannya. Dan Laura berusaha tersenyum sebaik mungkin. Ia tidak mau membuat Laurel bersedih saat akan pergi."Gue pasti akan baik-baik aja," katanya sambil tersenyum.Setelah menerima jawaban itu, Laurel segera pergi, karena pesawat akan segera lepas landas. Melihat kakaknya yang sudah berangkat, Laura dan keluarganya kembali ke mobil untuk pulang ke ruma
Laura terbangun dari tidurnya, kepalanya sakit, dan tangannya perih. Ia melihat ada beberapa sayatan di tangannya. Laura segera bangun dan merapikan tempat tidur. Tidak lupa juga ia membersihkan darah kering yang ada di lantai dekat ranjang.Karena ini hari libur, ia mandi dan diam di kamar. Sejak semalam Laura tidak keluar kamar, bahkan tidak makan malam. Hal itu membuat Bik Mia khawatir. Bik Mia membawakan sarapan ke kamar Laura.Tok ... tok ... tokMendengar suara ketukan pintu, Laura bergegas menuju pintu dan membukanya. Nampak sosok Bik Mia dengan nampan di tangannya."Non belum makan sejak semalam, jadi Bibi bawakan sarapan.""Iya, makasih banyak ya Bik." Laura berkata sambil tersenyum. Ia berusaha menutupi luka yang saat ini ia rasa. Laura benar-benar tidak mau ada yang mengetahui tentang hal itu."Non, baik-baik aja kan? Apa nyonya melakukan sesuatu pada non?""Aku baik-baik aja, Bik. Tidak perlu khawatir," Laura meyakinkan Bik Mia bahwa ia baik-baik saja. Sebenarnya Bik Mia ti
Laura membuka gagang pintu depan, ia mengintip ke dalam rumahnya. Tidak ada satupun yang ia lihat, sepi dan senyap, tampaknya semua orang sudah tidur.Laura membuka pintu dengan hati-hati, untungnya ia mempunyai kunci cadangan. Laura masuk ke dalam rumah tanpa suara. Saat ia membuka pintu kamar, Laura mendengar suara langkah kaki. Ia menoleh ke belakang dan yap, itu adalah ibunya.Plakk.."Dari mana saja kamu malam-malam begini?" Indah menampar Laura dengan tamparan yang sangat keras. Pasti menyakitkan bukan?"Aku ... aku pergi sama temen, bun.""Kamu emang anak kurang ajar. Menyesal saya udah pernah lahirin kamu," kata-kata Indah yang membuat Laura sangat terpukul. Ia benar-benar sedih, dan kecewa. Ibu yang sangat ia hormati mengatakan hal seperti itu. Anak mana yang tidak sakit hati."Kenapa juga saya di lahirin? Kenapa?!" Laura lepas kendali. Ia tidak mampu menahan emosinya lagi, suara Laura membangunkan Bik Mia dan Iswan. Merasa ada yang tidak beres, mereka berdua bergegas ke tempa
Laura terbangun dari tidurnya, badannya pegal-pegal, dan lagi kepalanya yang masih pusing sejak semalam. Ia menatap dirinya di cermin, berusaha mengukir senyuman yang indah.Itu berhasil, ia bisa terlihat baik-baik saja sekarang. Tapi ada satu hal lagi, penyakitnya kambuh. Tapi itu tidak masalah baginya, rasa sakit seperti teman baginya.Sejujurnya, Laura saat ini tidak baik-baik saja. Baik itu fisik ataupun psikis nya. Laura menderita penyakit 'kardiomegali', atau pembengkakkan pada jantung. Saat ia pingsan hari itu, dokter menyerahkan hasil tes yang ia sembunyikan selama ini. Laura segera mandi dan bersiap ke sekolah. Ia juga membawa pil itu bersamanya.Saat sarapan, Laura hanya diam seperti biasanya, tidak memperdulikan apa yang di katakan ayah dan ibunya. Laura berpamitan, walaupun tidak di respon oleh ibunya, setidaknya ia tahu tentang tata krama.Tidak di sangka, Rafael ternyata sudah menunggunya di depan gerbang rumah. Memang sih, selama Laurel tidak ada, Rafael yang akan selalu
Dua bulan berlalu begitu cepat. Seluruh kelas XII bersiap untuk memasuki ruang ujian. Seperti yang di katakan dua bulan yang lalu. Ini adalah penentu nasib mereka, lulus atau tidak, itu tergantung usaha mereka semua. Selama seminggu, para siswa kelas XII termasuk Laura, Rafael, Kinan dan Akbar bersusah payah agar mendapat nilai terbaik di ujian ini.Setidaknya ujian kali ini, Kinan dan Akbar lebih serius dari biasanya. Karena memang setiap ujian, Kinan akan bergantung pada Laura, dan Akbar terpisah kelas dengan mereka. Mungkin Akbar akan menyimpan contekan di bawah mejanya.Laurel juga sudah kembali dari London sebulan yang lalu. Tapi karena kesibukannya, Laura tetap di antar jemput oleh Rafael. Tentu saja, Rafael sangat senang dengan hal itu. Ia mempunyai waktu sedikit lebih lama bersama Laura.Laurel sibuk dengan skripsi yang harus segera di kumpulkan nya ke dosen. Itulah hal yang tidak dapat ia hindari. Tidak banyak yang berubah akhir-akhir ini. Begitupun dengan usaha Laura untuk me
Keesokan harinya, Laura terbangun saat kakaknya mengelus rambutnya dengan lembut. Laurel membawakan susu untuknya."Kakak? Lo di sini?" Laura beranjak duduk."Gue bawain susu buat lo.""Oh, makasih ya, kak."Laura bangkit dari duduknya dan menuju ke kamar mandi. Ia membersihkan diri dan segera meminum susu yang Laurel bawakan. Hari ini hari libur, seperti biasa, Laura menghabiskan waktunya di kamar.Melepaskan seluruh beban pikirannya. Lebih lagi, dalam waktu dekat ini akan ada pengumuman kelulusan di sekolahnya. Laura akan mencoba untuk mengajak ibu atau ayahnya. Walaupun serasa mustahil baginya, tapi tidak ada salahnya untuk mencoba.Sebelumnya, Laurel kembali ke kamar Laura untuk memberitahu satu hal. Hari ini Laurel akan berkunjung ke rumah Alya. Sementara ayahnya, ada urusan mendadak di kantor. Laura hanya mengangguk saat Laurel memberitahukan hal itu.Tok ... tok ... tok"Hem, siapa lagi sih." Laura tampak kesal, karena ia beberapa kali bangun dari tempat tidurnya. Hal itu sangat
Laurel bingung harus mencari adiknya di mana. Ia menanyakan tentang keberadaan Laura pada Bik Mia, namun nihil. Bik Mia tidak mengetahui dimana Laura berada saat ini. Saat melewati area danau, tiba-tiba ia melihat dua orang yang sedang duduk di tepian danau itu. Laurel menepikan mobilnya, ia memperhatikannya.Dan ternyata benar, itu adalah Laura dan Rafael. Ia lega, karena Laura baik-baik saja. Karena saat ini, adiknya sedang berada bersama Rafael."Hm, pemandangan di sini sejuk banget, ya." keduanya menengok ke arah suara, dan mendapati Laurel yang sedang berdiri di belakang mereka."Kakak?" Laura berdiri yang di ikuti dengan Rafael. "Bagaimana lo bisa ada di sini, kak?""Emang gue nggak bisa ada di sini?""Ya bukan gitu kak. Gimana sih lo," Laura memperhatikan sekitar, ia mengira kalau Alya sedang bersama kakaknya itu."Eh, bro. Kita ketemu lagi. Makasih ya udah jagain Laura selama ini," kata Laurel sambil menepuk-nepuk pundaknya Rafael. Sementara Rafael hanya tersenyum sebagai jawab
Hari ini, adalah hari kelulusan Laura. Tidak heran jika sekarang Laura sangat lama bersiap. Banyak yang ingin ia persiapkan. Tapi yang menjadi masalahnya saat ini, siapa yang akan menghadiri acaranya? Laura bahkan tidak berani mengatakan hal ini pada orang tuanya.'Bagaimana gue bakalan kasih tahu bunda ma ayah, gue aja gak berani. Ayah, pasti ia sibuk di kantor. Kakak? Ia pasti sibuk dengan para pasiennya. Dan bunda? Tidak mungkin bunda mau menghadiri kelulusan gue, bunda kan sangat benci sama gue. Hm, Bik Mia mau gak ya?' Batinnya bingung.Tidak ada pilihan lain, Laura memutuskan untuk mengajak Bik Mia ke sekolahnya. Laura berjalan gontai ke dapur, selagi meja makan masih sepi. Ia memeluk Bik Mia dari belakang, tentu saja hal itu membuat Bik Mia kaget."Non, bikin Bibi kaget aja deh.""Hehe, maaf ya, Bik.""Apa non perlu sesuatu?" Bik Mia menanyakan maksud dari tindakan Laura saat ini."Iya nih Bik. Hari ini kan hari kelulusan Laura, Bibi mau kan menghadirinya?" Laura menatap Bik Mia
"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Nyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdenga
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken
Hilir mudik kenderaan terus menyambut indra pendengaran, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa bosan. Setiap saat, hanya bunyi kenderaan yang terus terdengar. Mungkin, begitulah nasib orang yang tinggal dan menetap di kota."Rafael?"Suara seorang cewek memanggil nama Rafael, suara yang terdengar tidak begitu asing baginya. Rafael yang sedang membaca buku di taman kota menoleh ke arah suara, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang memanggilnya.Terpisah tiga meter dari tempatnya duduk, seorang cewek dengan style berkelas berdiri sembari memperhatikan dirinya. Cewek itu menggunakan rok yang panjangnya bahkan tidak mencapai lutut, dengan atasan pakaian lengan panjang.Rambutnya tergerai rapi, nampak indah jika di pandang. Cewek itu tersenyum, lantas berjalan lebih dekat ke aeah Rafael yang bahkan masih mencoba mencari tahu siapa cewek tersebut."Eh, apa kabar?""Kita saling kenal, ya?" Rafael ber
Suasana tempat itu lenggang. Walaupun banyak orang yang berlalu lalang, tetap saja mereka hanya sibuk pada pekerjaan masing-masing. Alya menggulir layar ponselnya malas, ia sedang menunggu Laurel untuk sekedar bertemu sapa.Ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, terpampang jelas di layar ponsel nomor tanpa tuan. Tidak ada nama disana."Kau sudah gila, ya!?"Amarahnya memuncak ketika menerima panggilan telepon tersebut. Bukan kata sapaan lagi yang menyambut indra pendengaran si penelpon, tapi kata yang terkesan kasar untuk sekedar awal pembicaraan."Kau ingin membunuhku!?""Eits, tenang nona Alya." Suara berat dari seberang sana menanggapi, "jika saya ingin membunuh anda, pasti dokter Laurel sudah berduka sekarang."Orang itu terkekeh, seakan menikmati permainan yang ia buat. Ekspresi wajah Alya terlihat masam, sepertinya ia tidak menyukai situasi seperti sekarang."Mengapa? Anda sudah takut?
Kembali terbayang dalam benak Indah tentang senyuman Laura yang baru saja ia lihat. Senyuman yang begitu tulus. Rasanya, keinginan Laura seakan sudah tercapai. Ia hanya ingin mendengar kalimat itu dari mulut Indah, kalimat sayang yang sudah dinantikannya selama 14 tahun terakhir."Laura! Bangun, nak! Bangun!" Indah menggoyang goyangkan tubuh tidak bernyawa milik Laura, berharap keajaiban akan segera datang menyapa hati yang luka, mungkin sekaligus memperbaiki mental yang mulai meremuk."Jangan siksa Bunda seperti ini, Bunda ingin kamu kembali!""Cukup ya, tante!" Kinan menghempaskan tangan Indah dari tubuh Laura. Ia tahu, tidak seharusnya ia ikut campur dalam urusan keluarga Alibasyah. Tapi hati nuraninya tidak menerima hal tersebut."Apa tante belum puas, sudah buat hidup Laura menderita?"Jangankan menjawab pertanyaan Kinan, Indah lebih memilih bungkam dan terus menatap Laura. Ia tahu kesalahan yang di perbuatnya, Indah tahu jelas hal tersebut.Tapi a