Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.
Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdengaNyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Suasana yang begitu mengkhawatirkan, sungguh sangat suram hari ini. Hari yang mungkin tidak bisa di lupakan oleh sang bunda. Bukan mungkin, tapi iya, hari yang benar-benar sangat di bencinya. Hari ini, ia di hadapkan dengan dua situasi, tragedi, dan insiden yang mengukir luka mendalam di hatinya.Terdengar suara tangisan memenuhi ruangan tersebut. Tangisan yang amat memilukan. Seorang anak laki-laki berlari memeluk ibunya sambil menangis. Namun, tak ada balasan dari sang ibu. Waktu seolah terhenti, perputarannya sangat lambat, seakan merangkak."Laurel, sini sama ayah." anak yang di panggil Laurel itupun menatap ayahnya dengan tatapan sendu, ia lantas segera memeluknya, sangat erat. Bocah kecil itu tampaknya mengerti apa yang sedang terjadi. Ya, karena ia sudah menginjak usia 12 tahun."Ayahh, apa yang terjadi sama kak Lenda. Dan bagaimana dengan adikku Yah. Mengapa bunda sangat sedih hari ini?" Pertanyaan bocah itu menyita perhatian banyak dari ayahnya."Semua akan baik-baik saja nak.
Pelajaran selanjutnya segera di mulai, para siswa kembali sibuk mengotak-atik buku pelajaran masing-masing, dan sistem belajar mengajar kembali berlangsung. Setelah melewati hari yang melelahkan, akhirnya saat-saat yang selalu di nantikan para siswa pun tiba.Saatnya pulang, karena bel pertanda pulang telah di bunyikan. Seluruh siswa bergegas mengatur barang-barang mereka dan keluar menuju rumah masing-masing.Seperti biasa, Laura di jemput oleh kakaknya, Laurel. Tapi mungkin itu hal baru bagi Rafael. Ia berpikir bahwa itu pacarnya Laura, hal tersebut membuat hatinya sedikit sakit. Entah karena apa, tapi tampaknya yang di katakan Kinan memang benar, ia mempunyai perasaan pada Laura sejak pertama kali bertemu."Ra, pulang bareng gue mau nggak?""Ekhemm, cie cie." Ejek Kinan sambil menyikut perut Laura. Kinan tertawa melihat ekspresi datar yang Laura tunjukkan."Gue selalu di jemput.""Siapa?" Tanya Rafael penasaran."Bukan urusan lo.""Ya udah, Ra. Gue duluan ya, Akbar udah nungguin gue
Hari ini, Laura mempunyai jadwal latihan basket. Ya, karena ia adalah kapten basket putri. Namun, ada sedikit masalah. Kapten basket putra mengundurkan diri karena masalah pribadi. Saat ini, anggota club basket putri dan putra sedang berunding, mencari siapa yang pantas mendapatkan posisi kapten. "Bagaimana ini? Kita kehilangan kapten putra, kita nggak bisa latihan kalau kayak gini." Kata Laura pada anggota tim mereka. Saat ini ia benar-benar bingung harus bagaimana, pertandingan tinggal menghitung minggu."Dari kalian ada gak yang mau ambil posisi kapten?" Laura kembali bertanya, namun tidak ada respon dari tim nya. "Bagaimana? Kalau tidak ada yang mau jadi kapten, kita nggak bisa ikut pertandingan.""Ra, gimana dengan Rafael. Gue denger dia jago main basket," usul salah satu tim basket putra, dan ternyata di setujui oleh seluruh tim."Apa?! Rafael si anak baru itu?" Rafael yang tiba-tiba lewat di tempat itu mendengar namanya di sebut-sebut."Apaan? Kok nama gue di sebut-sebut?""Ah
"Aku jadi iri deh sama Laura," terdengar bisik-bisikan dari barisan penonton cewek. Mereka sedang membicarakan kecocokan Laura dan Rafael."Iya, mereka terlihat cocok. Kepengen deh ada di posisi Laura." Timpal siswa lainnya yang sedang menonton pertandingan tersebut.Kali ini, bola jatuh pada Laura. Cukup lama ia berhasil mengendalikan bola, tapi tidak berhasil melakukan tembakan. Laura terus mencari celah agar dapat melakukan tembakan ke dalam ring, tapi tetap saja dapat di halang oleh Rafael. Hingga akhirnya, Laura tidak dapat mempertahankan bola.Kini, bola di ambil alih oleh Rafael. Laura tampak kesal, dan ia berniat merebut kembali bola dari tangan Rafael, tapi terlambat. Rafael melakukan shooting dari luar garis lapangan sehingga ia mendapatkan three point. Itu artinya, Laura kalah."Gue menang," ucap Rafael mengejek gadis itu."Ah, lo nggak seru. Secepat ini pertandingannya."Sorakan kembali terdengar beberapa saat, Kinan membawakan dua botol minum dan handuk kecil untuk Laura d
Rafael menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Mereka berdua akan makan di tempat itu. Sedari tadi perasaan Laura tidak enak, ia merasa akan ada yang terjadi pad nya. Tapi sejenak, Laura melupakan semua perasaan itu. Mereka berdua memesan dan langsung melahap makanan masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk makan."Nih," Laura hendak memberi uangnya, tapi Rafael melarangnya."Nanti gue yang bayar, nggak ada tapi-tapian." Rafael seakan mengerti ekspresi wajahnya Laura. Sementara Laura hanya bisa menghela nafas dengan sikap Rafael. Mereka bahkan baru bertemu beberapa hari yang lalu, dan sekarang bisa lumayan sedekat ini. Semua terjadi begitu saja, tanpa di rencanakan.Makan malam berlalu begitu cepat. Saatnya untuk Laura kembali ke rumah sebelum ia mendapat masalah besar. Laura menunjukkan jalan menuju rumahnya kepada Rafael karena ini kali pertama Rafael mengantar dirinya pulang. Jalanan kota mulai lenggang, sehingga tidak butuh waktu lama untuk Laura tiba di depan rumah keluarga A
Tok ... tok ... tokLaura membuka matanya setelah mendengar suara ketukan pintu. Ia beranjak duduk dan melihat jam yang ada di nakas dekat tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 5.30 WIB.Hampir aja aku telat, batinnya dalam hati.Tok ... tok ... tok"Laura, ini Bibi bawakan susu.""Iya Bik, bentar." Laura beranjak dari tempat tidur dan segera menuju pintu."Makasih ya Bik.""Laura, kamu baik-baik aja kan?" Bik Mia memperhatikan wajah Laura yang tampak kurang baik."Aku baik-baik aja, nggak perlu khawatir Bik."Laura berusaha tersenyum selebar mungkin untuk menutupi segalanya. Tanpa sengaja, Bik Mia menyentuh pergelangan tangan Laura yang masih terbalut kain kasa itu. Sentuhan Bik Mia mengundang sakit dari luka itu yang membuat Laura sedikit meringis kesakitan. Laura lupa menggunakan deker pelindung pergelangan tangan."Ini kenapa?""Ehh, bukan apa-apa. Hanya luka kecil saja Bik, nggak perlu khawatir.""Kenapa bisa terluka nak? Pasti sakit ya, Bibi akan ambil obat dulu."Laura menghe
"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Nyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdenga
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken
Hilir mudik kenderaan terus menyambut indra pendengaran, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa bosan. Setiap saat, hanya bunyi kenderaan yang terus terdengar. Mungkin, begitulah nasib orang yang tinggal dan menetap di kota."Rafael?"Suara seorang cewek memanggil nama Rafael, suara yang terdengar tidak begitu asing baginya. Rafael yang sedang membaca buku di taman kota menoleh ke arah suara, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang memanggilnya.Terpisah tiga meter dari tempatnya duduk, seorang cewek dengan style berkelas berdiri sembari memperhatikan dirinya. Cewek itu menggunakan rok yang panjangnya bahkan tidak mencapai lutut, dengan atasan pakaian lengan panjang.Rambutnya tergerai rapi, nampak indah jika di pandang. Cewek itu tersenyum, lantas berjalan lebih dekat ke aeah Rafael yang bahkan masih mencoba mencari tahu siapa cewek tersebut."Eh, apa kabar?""Kita saling kenal, ya?" Rafael ber
Suasana tempat itu lenggang. Walaupun banyak orang yang berlalu lalang, tetap saja mereka hanya sibuk pada pekerjaan masing-masing. Alya menggulir layar ponselnya malas, ia sedang menunggu Laurel untuk sekedar bertemu sapa.Ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, terpampang jelas di layar ponsel nomor tanpa tuan. Tidak ada nama disana."Kau sudah gila, ya!?"Amarahnya memuncak ketika menerima panggilan telepon tersebut. Bukan kata sapaan lagi yang menyambut indra pendengaran si penelpon, tapi kata yang terkesan kasar untuk sekedar awal pembicaraan."Kau ingin membunuhku!?""Eits, tenang nona Alya." Suara berat dari seberang sana menanggapi, "jika saya ingin membunuh anda, pasti dokter Laurel sudah berduka sekarang."Orang itu terkekeh, seakan menikmati permainan yang ia buat. Ekspresi wajah Alya terlihat masam, sepertinya ia tidak menyukai situasi seperti sekarang."Mengapa? Anda sudah takut?
Kembali terbayang dalam benak Indah tentang senyuman Laura yang baru saja ia lihat. Senyuman yang begitu tulus. Rasanya, keinginan Laura seakan sudah tercapai. Ia hanya ingin mendengar kalimat itu dari mulut Indah, kalimat sayang yang sudah dinantikannya selama 14 tahun terakhir."Laura! Bangun, nak! Bangun!" Indah menggoyang goyangkan tubuh tidak bernyawa milik Laura, berharap keajaiban akan segera datang menyapa hati yang luka, mungkin sekaligus memperbaiki mental yang mulai meremuk."Jangan siksa Bunda seperti ini, Bunda ingin kamu kembali!""Cukup ya, tante!" Kinan menghempaskan tangan Indah dari tubuh Laura. Ia tahu, tidak seharusnya ia ikut campur dalam urusan keluarga Alibasyah. Tapi hati nuraninya tidak menerima hal tersebut."Apa tante belum puas, sudah buat hidup Laura menderita?"Jangankan menjawab pertanyaan Kinan, Indah lebih memilih bungkam dan terus menatap Laura. Ia tahu kesalahan yang di perbuatnya, Indah tahu jelas hal tersebut.Tapi a