"Aku jadi iri deh sama Laura," terdengar bisik-bisikan dari barisan penonton cewek. Mereka sedang membicarakan kecocokan Laura dan Rafael.
"Iya, mereka terlihat cocok. Kepengen deh ada di posisi Laura." Timpal siswa lainnya yang sedang menonton pertandingan tersebut.Kali ini, bola jatuh pada Laura. Cukup lama ia berhasil mengendalikan bola, tapi tidak berhasil melakukan tembakan. Laura terus mencari celah agar dapat melakukan tembakan ke dalam ring, tapi tetap saja dapat di halang oleh Rafael. Hingga akhirnya, Laura tidak dapat mempertahankan bola.Kini, bola di ambil alih oleh Rafael. Laura tampak kesal, dan ia berniat merebut kembali bola dari tangan Rafael, tapi terlambat. Rafael melakukan shooting dari luar garis lapangan sehingga ia mendapatkan three point. Itu artinya, Laura kalah."Gue menang," ucap Rafael mengejek gadis itu."Ah, lo nggak seru. Secepat ini pertandingannya."Sorakan kembali terdengar beberapa saat, Kinan membawakan dua botol minum dan handuk kecil untuk Laura dan Rafael. "Nih, minum dulu." Kinan menyerahkan apa yang ia bawa kepada mereka berdua. "Tadi itu keren lho, cie cie." ucapnya lagi sambil tertawa."Apaan sih, udah ah. Gue capek," kata Laura yang tampaknya agak kesal dengan kelakuan sahabatnya.Sekarang, semua siswa sudah kembali ke rumah masing-masing, yang tersisa hanya tim basket sekolah."Jadi? Gue resmi jadi anggota tim basket kan?" Tanya Rafael memastikan."Bukan anggota bro, tapi kapten. Selamat ya," ucap Akbar yang merupakan anggota tim basket juga."Waah. Selamat ya bro," mereka memberikan ucapan selamat pada Rafael, karena kini ia adalah kapten tim basket putra. Tapi, Rafael tidak puas. Ia melirik Laura yang sedang meneguk botol minumnya."Iya, sekarang lo resmi jadi kapten tim basket putra," tutur Laura yang seakan peka dengan tatapan Rafael.Perkataan yang sederhana itu mampu membuat Rafael tersenyum puas. Sejujurnya, ia senang karena Laura tidak terlalu bersikap dingin terhadapnya. Walaupun masih terkesan cuek, tapi ia tetap senang dengan pertandingan tadi, Rafael tidak menyangka bisa mempunyai perasaan senyaman ini pada kapten basket putri itu.Mereka istirahat sebentar sebelum melanjutkan latihan di sore hari tersebut,, istirahat sejenak mungkin bisa memulihkan tenaga Laura dan Rafael."Kalian latihan duluan aja, gantian dong." Seru Laura pada tim basketnya. Anggota tim basket putri mengangguk dan segera mengambil posisi untum mulai latihan."Kami juga?" Tanya anggota tim basket putra."Ya tanya lah pada kapten basket kalian," jawab Laura dan menunjuk dengan dagunya ke arah Rafael."Iya, sana latihan. Gue mau istirahat bentar," mereka mengangguk dan segera mengambil posisi bersama tim basket putri."Lo ngikut gue mulu ih.""Emang nggak boleh?" Tanya Rafael yang berpindah tempat duduk, kini ia duduk di samping Laura."Serah lo, kan bukan urusan gue juga." Laura mengalihkan perhatiannya kepada anggota tim nya yang sedang fokus latihan. Setelah beberapa saat mereka istirahat, Laura beranjak dari tempat duduknya untuk bergabung dengan timnya."Lo mau kemana?" Tanya Rafael dan menahan tangan Laura."Latihan lah, emang kita semua ngumpul di sini untuk apa Raf?""Latihan basket." Jawabnya bingung."Itulah, yuk latihan," ajak Laura yang di angguki oleh Rafael. Rafael tetap memegang tangan Laura hingga tiba di lapangan, dan tampaknya Laura tidak keberatan dengan hal itu, ia bahkan tidak menyadari kalau tangannya di pegang oleh Rafael.•••Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, tapi latihan mereka belum selesai. Laura mendapat telepon dari kakaknya, Laurel. Mungkin, karena hari sudah mulai gelap. Sebagai seorang kakak, sudah sepantasnya Laurel mengkhawatirkan kondisi Laura."Halo kak? Ada apa?" Tanya Laura saat menerima telepon dari Laurel."Lo di mana? Gue jemput ya?""Gue masih di aula, belum selesai latihannya.""Udah mau malem lho, besok aja lanjutin.""Enggak bisa kak, tenang aja kok. Gue bakalan pulang sama temen-temen.""Beneran ya sama temen-temen, jangan pulang sendirian. Oke?" Tanya Laurel memperingatkan adiknya."Iya kak, udah ya."Telepon di putuskan sebelah pihak oleh Laura dan ia kembali bergabung dengan teman-temannya di lapangan. Walaupun sekarang hari sudah mulai beranjak gelap, mereka tetap bersemangat untuk latihan, tanpa mengeluh. Karena jika mereka ingin meraih kemenangan, harus dengan usaha yang maksimal pula. Tidak ada usaha yang menghinanya hasil, mereka berpegang teguh pada prinsip tersebut."Apa sekarang kita lanjut?" Tanya Laura pada tim basketnya."Tentu saja.""Tapi Kin, sebentar lagi malam. Emang kalian nggak di cariin?""Nggak kok, kami kan udah izin. Lagipula, usia kek gini udah bisa jaga diri lah. Jadi aman," kata salah satu anggota tim basket yang bernama Jai."Okelah, yuk lanjut."Mereka kembali mengatur posisi dan melanjutkan latihannya. Sesekali, Laura dan Rafael mengambil alih timnya untuk memberitahukan tips ataupun trik dalam pertandingan basket. Tidak terasa, waktu berjalan sangat cepat. Sekarang sudah masuk waktu Isya, mereka akhirnya segera berganti pakaian dan berkemas untuk kembali ke rumah masing-masing."Ternyata malam-malam begini di sekolah menyeramkan juga ya," kata salah seorang tim basket putri yang bernama Kapella."Kalian takut?""Emang lo nggak takut Kinan?" tanya Eve."Enggak lah." Persis setelah Kinan mengucapkan kalimat tersebut, tiba-tiba ada kecoa terbang ke pundaknya. "Aaaaaaaa, kecoaaa."Mereka semua tertawa melihat tingkah Kinan. "Katanya nggak takut, lah ini sama kecoa aja takut." Kinan tampak murung dengan sikap teman-temannya itu, tapi harus bagaimana lagi."Makanya Kin, jangan sok berani gitu. Kan kena batunya Lo," kata Laura sambil tertawa renyah."Iiih, Lo juga Ra. Au ah kesal gue."Laura yang melihat tingkah Kinan langsung memeluknya walaupun sambil tertawa. Setelah selesai berganti pakaian, mereka membereskan loker masing-masing agar tetap rapi, dan segera menuju kembali ke aula. Ternyata, tim basket putra juga telah menunggu mereka di aula. Sekarang, mereka semua berjalan di tengah lapangan untuk mengambil jalan pintas sampai ke depan gerbang."Serem juga ya nih sekolah.""Udah, jangan mikir yang aneh-aneh Kin," Laura berkata pada Kinan sambil menatap di sekitarnya. Karena takut, mereka sekarang berpasang-pasangan. Para cowok menjaga seorang cewek, karena kalau terjadi apa-apa pada cewek, mereka yang akan kena imbasnya.Begitupun dengan Kinan, ia bersama Akbar. Walaupun melewati lapangan, tetap saja masih terasa jauh untuk sampai ke depan gerbang. Laura sekarang sendirian, ia tidak tahu harus dengan siapa. Tapi walaupun sendirian, Laura tidak merasa takut sama sekali.Tiba-tiba tali sepatunya lepas. Laura langsung menunduk dan kembali mengikat tali sepatunya. Namun saat ia berdiri, Rafael tiba-tiba saja ada di depannya."Astaga, Lo buat gue kaget setengah mati Raf." Kata Laura yang sedang memegang dadanya."Lagian Lo ngapain di sini, sendirian lagi. Nggak baik tahu, entar kalau lo kenapa-napa gimana?""Malah Lo yang buat gue kenapa-napa, tiba-tiba muncul aja di depan gue.""Yaudah. Maafin gue," ucapnya sambil menyerahkan sebotol air pada Laura.Mereka berpisah di depan gerbang, pulang ke rumah masing-masing."Ra, Lo pulang bareng gue aja.""Bareng Akbar juga? Nggak ah. Entar gue jadi nyamuk lagi, gue pesan taksi online aja.""Bareng gue aja," kata Rafael sambil menarik tangan Laura."Ha? Apaan sih. Ogah ah, mending gue naik taksi aja.""Udah malem Laura, nggak baik cewek pulang naik taksi malam-malam gini. Paham? Sini bareng gue aja," kata Rafael dan menarik tangan Laura untuk masuk ke mobilnya. Sementara Laura hanya bisa pasrah. Jika di pikirkan, perkataan Rafael ada benarnya. Makanya Laura memutuskan untuk menurut."Lo pasti belum makan, kita makan bentar ya?" Tanya Rafael membuka percakapan yang sedari tadi serasa canggung."Kayaknya gue makan di rumah aja deh.""Nggak apa-apa kok, bentar aja. Nggak bakalan lama," ujarnya membujuk Laura."Iya baiklah, tapi janji ya. Jangan lama, entar gue di marahin.""Iya, nggak bakalan lama kok."✿✿✿Rafael menghentikan mobilnya di sebuah restoran. Mereka berdua akan makan di tempat itu. Sedari tadi perasaan Laura tidak enak, ia merasa akan ada yang terjadi pad nya. Tapi sejenak, Laura melupakan semua perasaan itu. Mereka berdua memesan dan langsung melahap makanan masing-masing. Tidak butuh waktu lama untuk makan."Nih," Laura hendak memberi uangnya, tapi Rafael melarangnya."Nanti gue yang bayar, nggak ada tapi-tapian." Rafael seakan mengerti ekspresi wajahnya Laura. Sementara Laura hanya bisa menghela nafas dengan sikap Rafael. Mereka bahkan baru bertemu beberapa hari yang lalu, dan sekarang bisa lumayan sedekat ini. Semua terjadi begitu saja, tanpa di rencanakan.Makan malam berlalu begitu cepat. Saatnya untuk Laura kembali ke rumah sebelum ia mendapat masalah besar. Laura menunjukkan jalan menuju rumahnya kepada Rafael karena ini kali pertama Rafael mengantar dirinya pulang. Jalanan kota mulai lenggang, sehingga tidak butuh waktu lama untuk Laura tiba di depan rumah keluarga A
Tok ... tok ... tokLaura membuka matanya setelah mendengar suara ketukan pintu. Ia beranjak duduk dan melihat jam yang ada di nakas dekat tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 5.30 WIB.Hampir aja aku telat, batinnya dalam hati.Tok ... tok ... tok"Laura, ini Bibi bawakan susu.""Iya Bik, bentar." Laura beranjak dari tempat tidur dan segera menuju pintu."Makasih ya Bik.""Laura, kamu baik-baik aja kan?" Bik Mia memperhatikan wajah Laura yang tampak kurang baik."Aku baik-baik aja, nggak perlu khawatir Bik."Laura berusaha tersenyum selebar mungkin untuk menutupi segalanya. Tanpa sengaja, Bik Mia menyentuh pergelangan tangan Laura yang masih terbalut kain kasa itu. Sentuhan Bik Mia mengundang sakit dari luka itu yang membuat Laura sedikit meringis kesakitan. Laura lupa menggunakan deker pelindung pergelangan tangan."Ini kenapa?""Ehh, bukan apa-apa. Hanya luka kecil saja Bik, nggak perlu khawatir.""Kenapa bisa terluka nak? Pasti sakit ya, Bibi akan ambil obat dulu."Laura menghe
Tiba saatnya hari H, hari di mana mereka akan bertanding basket. Seluruh aula pertandingan basket telah di penuhi oleh penonton untuk memberikan semangat kepada tim masing-masing."Sebentar lagi kita akan masuk lapangan, gue harap kalian nggak tegang, dan terus melakukan yang selama ini kita latih bersama."Rafael memberi semangat pada tim basketnya, ia berharap latihan mereka tidak sia-sia."Baiklah, jangan membuang waktu lagi. Sekarang mari kita saksikan pertandingan basket antara SMA N 3 Bandung dan SMA N 5 Bandung. Untuk peserta silahkan masuk ke area pertandingan," kata si pembawa acara.Saat ini, yang akan bertanding pertama adalah basket putra. Setelah melalui sedikit pemanasan, pertandingan akhirnya di mulai. Bola jatuh di tim lawan, dan tim Rafael berusaha merebut bola.Cukup lama bola di kuasai oleh tim lawan, tetapi Rafael berhasil mengendalikan bolanya. Namun, saat hendak melakukan tembakan mereka kehilangan bola. Bola kembali di rebut oleh tim lawan dan akhirnya mereka ber
Nuansa biru mendominasi kamar Laura, cahaya lampu yang remang-remang menemaninya dalam kesunyian malam. Ia mengunci dirinya di dalam kamar, terngiang-ngiang di pikirannya tentang perihal yang di katakan dokter siang itu.Laura kembali membaca hasil tes yang ia sembunyikan dari semua orang, menangis dalam diam, dan menikmati luka yang kian lama kian membesar. Mungkin, ini salah satunya jalan untuknya agar dapat mengakhiri semua luka di hati nya."Gue bakalan nantiin hari itu, hari yang mampu membuat Bunda ma Ayah bahagia. Inilah jalan yang di berikan Tuhan buat gue, buat akhiri penderitaan ini."Laura memandangi pil yang ada di genggamannya, ia membelinya secara diam-diam tanpa seorang pun yang tahu. Laura tidak ingin menjadi beban buat siapapun juga. Ia ingin hidup dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Sampai tiba waktunya untuk kembali kepada Sang Pencipta.Laura mengambil satu butir pil, lalu meminumnya. Itu pil penghilang rasa sakit, hanya itu tompangannya saat ini. Saat ia benar-be
Suasana meja makan seperti biasanya, tidak ada yang menarik bagi Laura. Bahkan, ia sangat tidak nyaman jika ada di meja makan, di antara keluarga yang tengah bercanda gurau itu.Laura bisa sesekali tersenyum saat mendapati hal lucu yang di lakukan Laurel, tapi hatinya juga terluka saat ia hanya menjadi penonton, tanpa bisa melakukan apa-apa yang mampu membuat Ayah dan Bundanya bahagia. Laura sangat ingin, melihat senyum dari orang tuanya karena dirinya, tapi itu mustahil. Ia tidak akan pernah bisa melakukannya."Yah, Bun. Seminggu lagi Laurel harus pergi ke London. Ada pertukaran mahasiswa KKN, Laurel di izinkan?""Tentu saja sayang," kata Indah sambil mengusap rambut putranya dengan penuh kasih sayang."Berapa lama kamu di sana?""Hm, nggak lama kok yah. Hanya sekitar 10-14 hari," Laurel tetap melanjutkan makannya."Jaga diri baik-baik tuh di sana."Laurel hanya mengangguk mendengar perkataan Indah, ada sesuatu yang terus menganggu pikirannya, Laura. Bagaimana dengan adik kesayanganny
Seminggu kemudian, Laura dan keluarganya mengantar Laurel ke bandara. Untunglah, Laura di izinkan ikut mengantar Laurel ke bandara. Laura sedih, selama beberapa hari ia pasti akan merindukan kakaknya.Bukan hanya itu, Laura juga takut dengan apa yang akan terjadi padanya selama Laurel tidak ada. Tapi, mau tidak mau ia harus menjalaninya sendiri. Hanya satu hal yang terlintas di pikirannya, Laura mau kakaknya akan pulang dengan selamat.Setelah berpamitan dengan ayah dan ibunya, Laurel menghampiri Laura, memeluknya erat yang membuat Laura meneteskan air mata."Lo harus bisa baik-baik saja, ya?" Laurel menghapus air mata adiknya dengan tangannya. Dan Laura berusaha tersenyum sebaik mungkin. Ia tidak mau membuat Laurel bersedih saat akan pergi."Gue pasti akan baik-baik aja," katanya sambil tersenyum.Setelah menerima jawaban itu, Laurel segera pergi, karena pesawat akan segera lepas landas. Melihat kakaknya yang sudah berangkat, Laura dan keluarganya kembali ke mobil untuk pulang ke ruma
Laura terbangun dari tidurnya, kepalanya sakit, dan tangannya perih. Ia melihat ada beberapa sayatan di tangannya. Laura segera bangun dan merapikan tempat tidur. Tidak lupa juga ia membersihkan darah kering yang ada di lantai dekat ranjang.Karena ini hari libur, ia mandi dan diam di kamar. Sejak semalam Laura tidak keluar kamar, bahkan tidak makan malam. Hal itu membuat Bik Mia khawatir. Bik Mia membawakan sarapan ke kamar Laura.Tok ... tok ... tokMendengar suara ketukan pintu, Laura bergegas menuju pintu dan membukanya. Nampak sosok Bik Mia dengan nampan di tangannya."Non belum makan sejak semalam, jadi Bibi bawakan sarapan.""Iya, makasih banyak ya Bik." Laura berkata sambil tersenyum. Ia berusaha menutupi luka yang saat ini ia rasa. Laura benar-benar tidak mau ada yang mengetahui tentang hal itu."Non, baik-baik aja kan? Apa nyonya melakukan sesuatu pada non?""Aku baik-baik aja, Bik. Tidak perlu khawatir," Laura meyakinkan Bik Mia bahwa ia baik-baik saja. Sebenarnya Bik Mia ti
Laura membuka gagang pintu depan, ia mengintip ke dalam rumahnya. Tidak ada satupun yang ia lihat, sepi dan senyap, tampaknya semua orang sudah tidur.Laura membuka pintu dengan hati-hati, untungnya ia mempunyai kunci cadangan. Laura masuk ke dalam rumah tanpa suara. Saat ia membuka pintu kamar, Laura mendengar suara langkah kaki. Ia menoleh ke belakang dan yap, itu adalah ibunya.Plakk.."Dari mana saja kamu malam-malam begini?" Indah menampar Laura dengan tamparan yang sangat keras. Pasti menyakitkan bukan?"Aku ... aku pergi sama temen, bun.""Kamu emang anak kurang ajar. Menyesal saya udah pernah lahirin kamu," kata-kata Indah yang membuat Laura sangat terpukul. Ia benar-benar sedih, dan kecewa. Ibu yang sangat ia hormati mengatakan hal seperti itu. Anak mana yang tidak sakit hati."Kenapa juga saya di lahirin? Kenapa?!" Laura lepas kendali. Ia tidak mampu menahan emosinya lagi, suara Laura membangunkan Bik Mia dan Iswan. Merasa ada yang tidak beres, mereka berdua bergegas ke tempa
"Gimana kabar lo di sana?" Tanya seorang cowok dengan perawakan tinggi itu, ia meletakkan benda pipih berteknologi di telinganya, "Semuanya lancar, kan?" Tanyanya kemudian."He'em, gue baik." Jawabnya sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Vc ya, gue pen tau lo lagi ngapain sekarang."Akbar mangut-mangut, mengiyakan permintaan sang pujaan hati. Ia menekan ikon video call di layar ponselnya. Tidak berselang lama, monitor ponsel menampilkan sosok seorang gadis dengan rambut di kuncir kuda, berjalan santai di selasar gedung."Di mana, beb?" Cowok yang kerap di sapa Akbar memulai obrolan video tersebut, "sama Laura?"Kinan hanya mengangguk, lantas menggeser ponselnya hingga kamera menangkap sosok gadis yang sedang asik mengotak atik benda pipih berteknologi tinggi tersebut. "Habis kuliah nih, mau balik asrama.""Rafael mana, Bar?" Laura mendekatkan diri pada Kinan, ikut bergabung dalam obrolan kedua pasangan jarak jauh itu. "Dia sibuk, kah?""Rafael?" Kal
Nyonya besar keluarga Alibasyah itu memasuki ruangan seorang dokter yang tidak lain adalah putranya sendiri, Laurel. Wanita paruh baya tersebut melihat perubahan raut wajah penghuni ruangan, seperti nampak tidak ingin di kunjungi olehnya.Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Indah, berjalan perlahan ke arah Laurel, lantas mendudukkan dirinya di kursi yang biasa di duduki oleh tamu yang berkunjung ke ruang kerja sang dokter. "Apa ... kamu tidak senang melihat Bunda berkunjung, Nak?"Laurel menatap sekilas, lantas mengalihkan pandangannya, berharap bahwa perasaan gundahnya pun ikut teralihkan, "Bunda ngapain di sini?" Ujarnya datar tanpa menunjukkan raut wajah apapun."Ah, Bunda hanya ingin melihat kamu saja," Indah menatap lekat manik mata Laurel, berusaha membaca isi pikiran yang lawan bicaranya. "Rasanya sudah lama Bunda tidak melihat kamu, rasanya ada yang hilang. Kamu sudah sangat jarang pulang ke rumah, Rel.""Belakangan ini aku cukup sibuk, Bun. Maaf," Laure
Dengan perasaan hancur, Aletta mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Hatinya panas, seakan ada baja panas yang tengah di redam di dalamnya. Gadis itu tidak bisa mengendalikan emosi yang kian membesar, menciptakan luka yang kelak menggangu pikiran.Matanya terasa panas hingga beberapa bulir bening berhasil meloloskan diri dari pelupuk mata yang indah itu. Pandangan Aletta mulai memburam akibat hambatan dari bulir bening tersebut, ia memutuskan untuk membawa mobilnya ke tempat yang sepi untuk menghindari kecelakaan beruntun yang berpotensi terjadi.Mobilnya mulai melambat kala memasuki jalanan hutan yang jarang di lalui penduduk lokal. Gadis dengan rambut yang di sanggul itu menepikan mobilnya, lantas menunduk ke arah setir mobil.Tangisnya tidak dapat ia sembunyikan lagi. Bulir-bulir bening itu berdesakan seakan tidak sabar untuk keluar dari pelupuk mata, hingga menciptakan lembab di area mata indahnya. Gadis itu menumpahkan segala tangis yang terdenga
Lenggang, hanya beberapa bunyi mendesing dari kenderaan yang sesekali lewat di jalanan itu. Tempat yang sunyi, tetapi damai untuk seseorang yang bisa saja mempunyai beban pikiran. Setidaknya, tempat itu jauh dari hiruk dan pikuknya dunia.Cowok dengan potongan rambut comma layaknya cowok Korea itu duduk termenung sembari menatap kosong hamparan danau yang membentang indah. Entah apa yang sedang menganggu pikirannya, cowok itu hanya terus menatap kosong ke arah danau. Bahkan, ia tidak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya."Sepertinya kamu sedang dalam masalah, Rafael. Kamu bisa berbagi masalahnya denganku, kamu tahu? Aku pendengar sejati, loh." Cewek dengan rambut yang di sanggul itu menatap Rafael sejenak sebelum akhirnya ikut menatap danau.Suara itu membuyarkan lamunan Rafael, membuatnya kembali pada kenyataan dan tersadar bahwa ada orang lain di sekitarnya. Untuk sedetik berlalu, Rafael di buat terkejut karena kehadiran yang terkesan tiba-tiba, atau mungkinkah i
Suasana kediaman milik keluarga Alibasyah nampak lebih sepi dari biasanya. Rumah mewah itu menampakkan kesunyian yang terpampang jelas. Sejak Laura pergi ke Turki untuk melanjutkan pendidikan gadis itu, Laurel sangat kecewa karena harus berpisah dengan adik kesayangannya. Hal tersebut membuat cowok itu jarang menampakkan diri di rumah mewah tersebut. Biasanya, ruang makan selalu di selingi dengan canda tawa dari anggota keluarga Alibasyah yang hanya terhitung jari itu. Kini, kadang kala hanya ada Indah dan suaminya. Laurel sering beralasan karena jadwal pemeriksaan yang padat untuk menghindari cowok itu pulang ke rumah dan mengulas luka lama. "Kayaknya aku akan pulang sedikit lebih lama dari biasanya, kamu jangan sampai kecapean, ya?" Lelaki paruh baya yang menyandang status sebagai kepala keluarga Alibasyah sekaligus pemilik beberapa perusahaan besar lainnya membuka percakapan setelah kesunyian menerpa mereka beberapa saat yang lalu.
Rafael duduk di kamarnya, cowok idaman para cewek itu menyandarkan diri di dinding. Mungkin melepaskan lelah setelah melewati hari tanpa gadis terkasihnya, Laura.Cowok itu menghembuskan nafas pelan, berusaha untuk melepaskan beberapa beban hidup melalui hembusan nafas tersebut. Rafael menatap lamat-lamat kamar yang lenggang, hanya ia sendiri yang berada di kamar mewah itu.Namun, apa gunanya berada di kamar mewah nanti sepi itu? Hanya menambah kesunyian di tengah kemewahan yang di nikmati seorang diri. Rafael meraih sebuah foto yang setia terletak di nakas yang berada beberapa sentimeter dari letak ranjangnya.Manik mata cowok itu memandang sendu foto yang kini berada dalam genggamannya, menatapnya dengan tatapan sedih. Dalam tatapan itu bercampur aduk berbagai macam emosi.Marah, sedih, kecewa, semua tergabung dalam tatapan sendu yang cowok itu tunjukkan.Pikirannya kembali ke masa di mana cowok remaja itu masih berusia belia. Ken
Hilir mudik kenderaan terus menyambut indra pendengaran, membuat siapa saja yang mendengarnya akan merasa bosan. Setiap saat, hanya bunyi kenderaan yang terus terdengar. Mungkin, begitulah nasib orang yang tinggal dan menetap di kota."Rafael?"Suara seorang cewek memanggil nama Rafael, suara yang terdengar tidak begitu asing baginya. Rafael yang sedang membaca buku di taman kota menoleh ke arah suara, mencoba mencari tahu siapa gerangan yang memanggilnya.Terpisah tiga meter dari tempatnya duduk, seorang cewek dengan style berkelas berdiri sembari memperhatikan dirinya. Cewek itu menggunakan rok yang panjangnya bahkan tidak mencapai lutut, dengan atasan pakaian lengan panjang.Rambutnya tergerai rapi, nampak indah jika di pandang. Cewek itu tersenyum, lantas berjalan lebih dekat ke aeah Rafael yang bahkan masih mencoba mencari tahu siapa cewek tersebut."Eh, apa kabar?""Kita saling kenal, ya?" Rafael ber
Suasana tempat itu lenggang. Walaupun banyak orang yang berlalu lalang, tetap saja mereka hanya sibuk pada pekerjaan masing-masing. Alya menggulir layar ponselnya malas, ia sedang menunggu Laurel untuk sekedar bertemu sapa.Ponselnya berdering pertanda panggilan masuk, terpampang jelas di layar ponsel nomor tanpa tuan. Tidak ada nama disana."Kau sudah gila, ya!?"Amarahnya memuncak ketika menerima panggilan telepon tersebut. Bukan kata sapaan lagi yang menyambut indra pendengaran si penelpon, tapi kata yang terkesan kasar untuk sekedar awal pembicaraan."Kau ingin membunuhku!?""Eits, tenang nona Alya." Suara berat dari seberang sana menanggapi, "jika saya ingin membunuh anda, pasti dokter Laurel sudah berduka sekarang."Orang itu terkekeh, seakan menikmati permainan yang ia buat. Ekspresi wajah Alya terlihat masam, sepertinya ia tidak menyukai situasi seperti sekarang."Mengapa? Anda sudah takut?
Kembali terbayang dalam benak Indah tentang senyuman Laura yang baru saja ia lihat. Senyuman yang begitu tulus. Rasanya, keinginan Laura seakan sudah tercapai. Ia hanya ingin mendengar kalimat itu dari mulut Indah, kalimat sayang yang sudah dinantikannya selama 14 tahun terakhir."Laura! Bangun, nak! Bangun!" Indah menggoyang goyangkan tubuh tidak bernyawa milik Laura, berharap keajaiban akan segera datang menyapa hati yang luka, mungkin sekaligus memperbaiki mental yang mulai meremuk."Jangan siksa Bunda seperti ini, Bunda ingin kamu kembali!""Cukup ya, tante!" Kinan menghempaskan tangan Indah dari tubuh Laura. Ia tahu, tidak seharusnya ia ikut campur dalam urusan keluarga Alibasyah. Tapi hati nuraninya tidak menerima hal tersebut."Apa tante belum puas, sudah buat hidup Laura menderita?"Jangankan menjawab pertanyaan Kinan, Indah lebih memilih bungkam dan terus menatap Laura. Ia tahu kesalahan yang di perbuatnya, Indah tahu jelas hal tersebut.Tapi a