Ponsel Freya berdering, tanda ada pesan baru. Freya meliriknya sekilas, lalu menyambar ponsel itu di sela-sela malamnya bersama Priam. Dia membaca pesan-pesan dari Laurent, jika misinya berhasil dan segera meminta bayaran yang dijanjikan.
“Dari siapa, Sayang.” Priam menoleh dari buku yang dibacanya ke arah istrinya yang sedang menyisir rambut di depan cermin meja hiasnya.
“Hah! Da-dari sutradara. Dia menawariku sebuah projek film untuk ditayangkan tahun depan.” Freya tersenyum manis, meskipun dia sedang berbohong.
Priam ber-oh, kemudian melanjutkan bacanya lagi.
Freya yang merasa respon oh dari Priam adalah sebuah kekecewaan. Dia memutuskan untuk mematikan ponselnya, lalu mendekati dan bermanja di lengan suaminya. “Sepertinya buku yang kamu baca menarik sekali, Sayang.”
Priam menutup bukunya, kemudian mengacak-acak rambut Freya yang telah ditatanya.
“Sayang!” Freya tertawa karena perlakukan menggemaskan dari suaminya.
Setelah itu hening, hingga Priam berinisiatif menanyakan pemeriksaan yang dilakukan Freya tempo hari. “Bagaimana hasil pemeriksaannya.”
Freya sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya. Tapi, jangan lupakan jika Freya adalah seorang aktris, bisa mengganti ekspresi wajah dengan sekejap dan bisa berakting sesuai keadaan. Dia menampilkan kesedihan di wajahnya.
“Aku takut mengecewakanmu, Sayang.” Freya menyeka air mata buayanya, lalu mengambil dua amplop putih dari laci nakas samping tempat tidurnya. “Aku sudah mendatangi dua rumah sakit dan dua dokter spesialis kandungan terbaik di kota ini. Tapi ....” Air mata menggenang di mata Freya. Dia menyerahkan dua amplop putih yang di bagian depan terdapat logo dan nama rumah sakit.
Priam menerima dua amplop itu, lalu membaca hasil pemeriksaanya. Dua kertas dari dua amplop itu sama-sama menyatakan jika Freya tidak bisa hamil, jika dipaksakan kemungkinan nyawa Freya yang tidak bisa tertolong. Tatapan Priam datar tanpa senyuman, seakan pertanda ia tidak menyukai keadaan ini.
Freya langsung bertindak. Dia membungkuk lalu menangis sekeras-kerasnya. “Maafkan aku! Maaf, tidak bisa jadi istri yang sempurna untukmu, Sayang.”
Priam membuang dua kertas itu, lalu memeluk istrinya. Dia mendekap tubuh Freya yang sedikit lebih kecil dari pada tubuhnya. “Aku tidak bisa menyalahkanmu.”
Freya makin terisak. Dia berusaha keras untuk mengeluarkan air matanya. Tangannya mencengkeram kaus tipis yang digunakan Priam. Di balik kaus itu, Freya bisa merasakan suhu tubuh yang hangat, otot yang kuat, dan sedikit berlekuk di perut.
“Tapi aku tidak bisa memenuhi keinginanmu!” Freya menyeka air matanya. “Aku tau, kamu sudah menunggu ini selama lima tahun pernikahan kita.”
Priam mengelus kepala Freya dan menciumnya. “Aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku tidak mau keegoisanku membuat istri tercintaku harus menderita.”
Freya tersenyum dalam hatinya. Suami tercintanya sudah masuk dalam jebakan. Tinggal menunggu bagaimana eksekusinya. Dia menatap wajah Priam dan memegang rahangnya yang sedikit berambut. “Aku yakin masih ada jalan yang lain. Kita bisa mendapatkan keturunan dengan jalan yang lain.”
“Surogasi?” tebak Priam.
Freya mengangguk. “Kita bisa menyewa rahim perempuan lain. Embrio yang ditanam tetap memiliki garis murni keturunan kita.”
Priam melepaskan tangan Freya, kemudian bangkit untuk menatap pemandangan dari jendela kamarnya. “Apa kamu yakin, Sayang?”
“Kenapa tidak? Bukankah itu termasuk jalan keluar bagi kita?” Freya menatap punggung suaminya.
“Bukankah itu terlalu beresiko? Maksudku, di mana kita bisa menemukan perempuan yang bersedia menyewakan rahimnya?” Priam yakin di kota ini pasti sulit menemukannya. Terlebih penduduk kota asli Dennosam memiliki keyakinan jika menyewakan rahim itu adalah hal yang terlarang. Perempuan itu harus dinikai secara sah apabila surogasi itu akan dilakukan. Akan tetapi, Priam tidak mengikuti keyakinan semacam itu.
Tentu saja Freya tahu tentang keyakinan yang dianut sebagian besar warga asli Kota Dennosam meskipun dia berasal dari Kota Numa, kota kecil yang belum berkembang dan letaknya sangat jauh dari kota ini.
Priam membalikkan badannya, kemudian menceritakan tentang keyakinan yang dianut sebagian besar penduduk Kota Dennosam. Namun ekspresi wajah Freya tidak terkejut, sepertinya dia sudah mengetahui tentang kondisi ini.
“Apa kamu ingin aku menikah lagi?” tanya Priam. “Tapi, aku tak mau itu terjadi. Itu bukan prinsipku.”
“Aku bisa mengurusnya, Sayang. Kamu tidak perlu melakukan itu.” Freya mendekati suaminya, lalu menggenggam tangan besar itu. “Percaya padaku, ya ....”
Karena keyakinan itulah, aku memilih Alecta untuk menjadi surrogate mother. Aku bahkan bersusah payah menggunakan uang-uangku untuk menjungkirbalikkan kehidupannya.
Freya merasa bangga dengan rencana yang dia rancang sendiri. Rencana yang sudah berjalan separuhnya.
Priam menggendong tubuh istrinya dan sedikit membantingnya ke ranjang. “Aku sangat percaya padamu, My Queen.”
Jika Priam sudah memanggil Freya dengan sebutan ‘My Queen’, tandanya dia menginginkan malam yang panjang dan melebur untuk satu. “Sayang!” Freya menjerit ketika Priam berhasil meninggalkan jejak kecil di tubuhnya.
“Kamu tau, My Queen, aku menunggu sangat lama untuk ini. Kamu terlalu sibuk bekerja hingga melupakanku.” Priam merajuk, nada bicaranya sangat manja seperti anak kecil yang meminta permen pada ibunya.
“Maaf, Sayang.” Freya ingin memegang kendali. Dia berhasil duduk di atas Priam. “Bukankah katamu, aku harus terlihat profesional dalam pekerjaanku? Menjadi aktris yang terkenal bukan saja pekerjaanku, tapi juga cita-citaku.”
“Tapi kamu tidak perlu bekerja lagi, My Queen. Aku masih bisa membiayai kebutuhanmu.”
Freya mengecup bibir Priam. “Kita sudah mendiskusikan itu, Sayang. Jangan buat malam ini menjadi perdebatan.”
“Kalau begitu, malam ini akan menjadi malam yang panjang untukmu, My Queen.” Priam mematikan lampu kamar. Dia membiarkan cahaya dari penerangan lain memasuki dari jendela-jendela kamarnya.
“My Queen, lakukan sesuai keinginanmu.” Priam tersenyum nakal dalam gelap.
***
Keesokan harinya, Alecta dibuat kaget oleh pemilik toko yang menyiramkan air di wajahnya. Pemilik toko itu mengusir Alecta dengan makian dan hinaan yang sangat kasar. Ia juga menatap jijik seaka Alecta pembawa kesialan untuk tokonya.
“Pergi dari sini!”
Alecta buru-buru menyeret tasnya yang berat, dan pergi dari depan toko barang kebutuhan pokok itu. Tadi malam dia terpaksa tidur di depan toko itu karena nyala lampunya yang terang, dan dekat dengan jalan raya.
Alecta berjalan seperti tunawisma yang tak memiliki arah untuk pulang, ditambah badannya terasa deman karena hujan kemarin. Alecta memang masih terbilang warga baru di Kota Dennosam, baru tiga tahun menetap di kota ini. Itupun secara terpaksa.
Alecta terus berjalan hingga sampai di sebuah rumah yang sudah lama ditinggalkan. Berutung Alecta mendatangi rumah itu di saat matahari sudah muncul, jika malam pastilah aura rumah itu sudah berbeda. Seperti di alam dunia lain.
Alecta memperhatikan anak tangga yang dilalui, banyak tanaman liar yang merambat. Ketika memasuki rumah itu, lantainya sangat kotor karena keramiknya yang sudah retak di makan akar-akar tumbuhan. Banyak jendela tanpa kaca, ada juga kaca yang sudah retak sampai pecah.
Di sudut rumah terdapat banyak sekali botol bir yang kondisinya kotor dan pecah. Kemungkinan ada seseorang yang pernah ada di tempat yang mengerikan ini, begitu pemikiran Alecta.
“Setidaknya tempat ini bisa digunakan untuk sementara waktu.” Alecta menyemangati dirinya sendiri.
Alecta berjalan menyusuri rumah tak berpenghuni itu, di bagian luar ada keran. Dia mencoba untuk memutar keran itu, dan air jernih keluar dari lubang kecil.
“Wah, bisa buat cuci muka.” Tanpa pikir panjang lagi, Alecta membasuh mukanya yang kusut dan cemong. Setelah itu dia menengadakan tangan agar bisa menampung air keran itu lalu meminumnya.
“Segarnya.” Alecta masih memiliki sisa keberuntungan, setidaknya air yang dia minum aman, tidak berbau dan tidak berwarna. Prinsip sebuah air yang bisa diminum, kurang lebih seperti itu di pikirannya.
Alecta kembali ke dalam rumah tak berpenghuni itu. Dia membongkar tasnya yang super berat karena kehujannya. Hampir semua pakaian di dalam tas itu dalam keadaan basah. Dia harus mencari amplop cokelat yang diberikan Freya tiga hari yang lalu, saat diculik.
“Astaga!” Jerit Alecta, saat melihat amplop berserta isinya juga basah. Dia harus cepat menjemur kertas-kertas itu.
Alecta mulai menata kertas-kertas yang basah itu di dekat jendela yang terpapar sinar matahari.
“Bodoh!” Alecta memukul kepalanya sendiri menyadari sebuah kecerobohan yang amat sangat tidak bisa dimaafkan. Kemarin setelah diusir oleh Mami Gendut, Alecta memang masih berdiri di taman saat hujan membasahi langit Kota Dennosam. Dengan dungunya, dia berteriak mengikrarkan balas dendamnya kepada Freya, tanpa memerdulikan tasnya yang kebasahan.
Alecta baru menyesal sekarang. “Ternyata penyesalan selalu datang di akhir. Haciuhhh!” dia juga bersin dan sedikit beringus karena hujan semalam.
“Aku tak mau bermalam di tempat seperti ini.” Aleta menggeleng sembari mencari-cari nomor telepon Freya di kertas-kertas kontrak yang dijemur itu.
Sejujurnya kondisi kertas-kertas kontrak itu sudah luntur di beberapa tempat. Sekali lagi semua ini karena kebodohan Alecta.
“Ketemu!” Akhirnya Alecta menemukan nomor telepon Freya. Beruntung kertas itu tidak terlalu basah. Dia merobek bagian nomor telepon Freya, lalu menyimpanya di saku kemeja yang dipakainya. Alecta akan menghubunginya ketika nanti ada orang yang berbaik hati meminjamkan ponselnya, sebab dia tidak punya ponsel, barang mewah yang ingin dia punyai sejak dulu.
Tiba-tiba suara perut Alecta terdengar nyaring. “Aku lupa makan kemarin. Sekarang aku lapar sekali.”
Alecta merogoh saku celana panjangnya dan menemukan ada selembar uang seratus ribu. Uang yang tersisa dari uang pesangonnya. Itu pun karena tiga debt collector yang memberikannya sebagai tanda belas kasih. “Cukup untuk makan dua kali.”
Tepat saat Alecta keluar dari rumah itu, dua ekor kecoak berjalan di sepatunya. Sontak dia menjerit dan melompat-lompat geli karena binatang itu. Kecoak jatuh dari badan Alecta, seketika Alecta langsung menginjaknya sampai gepeng.
“Yang satunya lagi mana?” Alecta masih mencoba meraba-raba dan menajamkan matanya menemukan binatang itu.
“Sepertinya yang satu udah kabur.” Alecta yakin, karena tidak menemukan si kecoak itu. “Oke, saatnya keluar.”
Alecta menuruni tangga rumah itu, lalu mencari rumah makan terdekat. Dia harus melewati jalan yang menurun. Untung saja Alecta pernah berkeliling di tempat ini beberapa bulan yang lalu untuk mencari pekerjaan sebelum diterima di pabrik saus.
Selama berjalan, Alecta merasa gelisah. Ada sesuatu yang seakan berjalan mengelilingi tubuhnya. beberapa kali dia harus mengecek sekeliling tubuhnya. Dia sangsi kalau satu kecoak itu sudah hilang. Alecta benar-benar yakin jika ada dua ekor kecoak yang mengerubunginya tadi.
Tangannya berhasil merasakan tubuh binatang yang menggelikan itu. Refleks Alecta menjerit lagi, hingga dia tak sadar ada mobil yang melaju cukup kencang.
“Aaaaakkk!” Alecta memejamkan mata, lalu menjerit hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Dia baru membuka mata dan menyadari jika jarak wajahnya dengan ujung depan mobil sangat dekat. Jantungnya berdegup kencang, Alecta baru saja selamat dari kematian.
“Anda tidak apa-apa?” tanya seorang pria berjas hitam dan memakai sarung tangan warna putih. “Hei! Apakah Anda terluka?” tanyanya lagi.
“Aaaaakkk!” Alecta memejamkan mata, lalu menjerit hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Dia baru membuka mata dan menyadari jika jarak wajahnya dengan ujung depan mobil sangat dekat. Jantungnya berdegup kencang, Alecta baru saja selamat dari kematian.“Anda tidak apa-apa?” tanya seorang pria berjas hitam dan memakai sarung tangan warna putih. “Hei! Apakah Anda terluka?” tanyanya lagi.Alecta menengadah, wajah pria itu tidak tampak karena silau dari sinar matahari. Sampai pria itu ikut berjongkok di hadapan Alecta. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alecta.Alecta terkesima dengan pria di hadapannya. Dia seperti dewa yang diutus untuk turun ke bumi dan menemui Alecta.Astaga! Tampan sekali!Meskipun pria itu memakai kacamata, tidak mengurangi pesonanya. Rambutnya yang tertata rapi, wajah yang bersih tanpa jerawat ataupun bintik hitam kecil, dan sarung tangan putih yang membungkus ta
“Anda tau, Nyonya Freya. Bahkan perempuan berbadan gendut itu mengusir Alecta, tak peduli ada uang di tangannya.” Laurent tertawa. “Lalu setelah perempuan itu diusir, tiga debt collector itu merampas uangnya, dan terakhir dia bermalam di depan toko.” Laurent menjentikkan jarinya. “Bukankah itu menyenangkan?”Freya hanya tersenyum simpul. Meskipun Laurent berhasil menjungkirbalikkan kehidupan Alecta, tapi perempuan itu belum menghubunginya sampai sekarang. Jika ia sudah menyerah, harusnya sejak tadi malam minta untuk dijemput.“Jadi bagaimana dengan bayarannya?” tanya Laurent.Freya mengambil amplop yang berisi uang untuk membayar jasa Laurent, pria yang mirip Swiper si rubah pencuri. “Silakan dihitung.”Laurent tertawa. “Aku percaya padamu, Nyonya.”Freya mengecek ponselnya. Tidak ada panggilan masuk ataupun pesan baru. Dia mulai resah.“Sepe
Sebuah mobil putih mengkilat dengan ban-ban hitam yang kontras dengan warna aspal berhenti di depan rumah tak berpenghuni. Seorang pria berpenampilan rapi keluar dari mobil, lalu menatap ke sebuah jendela tanpa kaca. Di sana Alecta sudah menunggu.Alecta mengambil napas panjang. “Ini saatnya memulai membalaskan dendam. Kamu bisa Alecta. Buat Freya menderita karena pernah merampas orang yang kamu sukai! Buat Freya menanggung akibat karena menjungkirbalikan kehidupanmu dalam semalam. Buat Freya membayar semua ini.”Alecta sudah memantapkan tekadnya. Dia hanya ingin membuat Freya merasa kehilangan. Dia mengangkat tas besar dan amplop berisi surat kontrak yang tulisan sudah pudar. Saat melangkah keluar, Alecta mendapat sambutan penuh penghormatan di lakukan oleh pria itu.“Saya Naratama, utusan dari Nyonya Freya. Silakan masuk, Miss Alecta.” Pria itu membukakan pintu mobil seakan menyuruh Alecta agar segera bergegas.Alec
“Poin ke-15, tidak boleh keluar apartemen kecuali saat pemeriksaan berkala ataupun dalam keadaan mendesak. Poin ke-16, tidak boleh membocorkan hal ini kepada media dan hindari paparazi.” Aleta tidak percaya jika isi surat kontrak ini ada 100 poin yang harus dipatuhinya. “Kamu membuat surat ini jauh lebih detail dari sebelumnya.”Freya masih menikmati kopinya. Sejenak ia belum menjawab pertanyaan Alecta.“Poin ke-27, dilarang membawa teman ataupun saudara ke apartemen ini. Kamu ingin menyiksaku dalam kesepian?” Alecta menatap tajam lawan bicaranya yang masih menyesap kopi. “Jawab aku, Frey.” Alecta sudah merasa gemas karena tak kunjung dijawab.Freya meletakkan cangkir kopinya dengan lembut, seolah sedang makan bersama keluarga kerajaan. Kini, ia menatap Alecta. “Iya, aku mendetailkan semua surat kontrak itu agar kerahasiaan surogasi ini tetap terjaga. Tidak bocor pada media, karena aku tidak men
Alecta mendekatkan wajahnya ke Naratama. “Bagaimana kepribadian Priam Ardiaz?”Refleks Naratama menghindar, lalu menyodorkan sekotak donat. “Miss mau donat?”Alecta tersenyum, pertanyaannya tidak dijawab oleh Naratama. Dia tidak memperlihatkan rasa kesalnya melainkan tersenyum dan mengambil satu donat bertopping cokelat. “Terima kasih, kelihatannya lezat.”Alecta memainkan aktingnya. Dia memakan donat yang dipilihnya, seolah melupakan pertanyaan nekat tadi. “Donat ini sungguh enak!”Naratama tertawa hambar sambil menggaruk belakang kepalanya. Bagi Alecta, perilaku seperti itu berarti lawan bicaranya sedang grogi.“Kenapa Miss bertanya soal Tuan Ardiaz?”Alecta diam sejenak, memikirkan apa yang ingin dia jawab, karena perilaku Naratama agaknya sulit ditebak.“Iya ... Aku hanya takut. Selama ini aku belum pernah bertemu langsung dengan Priam Ardiaz, tapi aku
Priam sedang terjebak dalam lautan manusia. Rapatnya sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, tapi perjalanan menuju restoran, tempat pertemuannya dengan kandidat surrogate mother akan terlambat. Dia sudah mengirim pesan kepada Freya, kalau dirinya akan terlambat sampai waktu yang tidak bisa diprediksi.“Macet banget, Pak.” Pak Samsul berusaha memecah kesunyian serta kecemasan tuannya.“Tidak apa-apa, Pak. Lagian banyak orang yang turun ke jalan. Apa mereka sedang demo?” Priam bertanya balik.Pak Samsul yang tadi sudah menegangkan wajahnya karena takut kena semprot Priam karena keterlambatan ini, akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya tuannya tidak memasang wajah galak seperti singa jantan yang ingin berkelahi dengan singa lainnya.“Sepertinya tidak, Pak. Kalau tidak salah sedang ada festival kembang api untuk memperingati hari jadi kota ini, Pak,” Pak Samsul menjawab santai. Ia tahu berita fest
“Miss, Tuan Priam sudah datang.” Naratama memberitahukan kedatangan Priam kepada Alecta.Alecta reflek memandang Priam yang masih terpaku di tempatnya. Mata mereka bertemu.Alecta melihat sosok pria dengan mulut sedikit terbuka dengan penampilanya yang sedikit kacau berbalut setelan jas mewah. Pria itu masih terpaku dengan mata yang lurus menatap Alecta.Apakah ada yang salah dengan penampilanku?Berkali-kali Alecta mengelap mulutnya takut ada yang sisa makanan yang menempel, dan sedikit salah tingkah. Akhirnya dia memilih menundukkan pandangannya, berusaha agar tidak perlu bersitatap dengan Priam terlalu lama.“Silakan duduk, Tuan. Saya akan memanggil Nyonya Freya, karena beliau sedang menelepon di ruangan lain. Permisi.” Naratama berlalu dengan sopan.“Iya.” Priam menjawab singkat, lalu berjalan pelan menuju meja yang sudah ditempati Alecta.Meskipun tidak menengok sepenuhny
Letusan kembang api pertama membuat perhatian Priam teralihkan. “Sudah dimulai festivalnya.” Dia bangkit lalu berjalan menuju balkon untuk melihat letusan berikutnya. Baginya festival kembang api yang diadakan setiap penghujung bulan November adalah salah satu kenangan yang mengingatkan Priam kepada orang yang dicintainya.Letusan kembang api bermunculan lagi terus menerus hingga langit Kota Dennosam penuh dengan pemandangan yang indah. Setiap kembang api yang meletus itu, sekejap membentuk lingkaran, mereka akan hilang lalu berganti letusan kembang api yang baru.Priam terlalu terbawa suasara. Dia merasa istrinya berdiri tepat di sampingnya, ia bilang jika festival kembang api ini sangatlah indah. Tanpa sadar, Priam merangkul perempuan yang dia rasa adalah istrinya.“Bukankah ini festival kesukaanmu, Camelia?”Perempuan yang dirangkulnya itu memberontak. “Camelia? Siapa yang kamu maksud, Priam? Aku ini Alecta!&
Akhirnya selesai jugaaa, huft. (Not) A Queen telah tamat di tanggal 11 November 2021 (Hehehe ditulis aja, biar gak lupa) Terima kasih untukmu yang telah membaca kisah ini sampai tuntas. Entah mengapa aku merasa sangat lega dan yaaa akhirnya punya waktu untuk membaca buku lebih banyak lagi Aku mohon maaf kalau ada beberapa kata yang masih typo dan belum maksimal memberikan yang terbaik untukmu. Di buku yang akan datang, semoga bisa lebih baik lagi. Oh iya, aku pernah dapat pertanyaan semacam ini: apakah setelah tamat nggak ada skuelnya? Gimana yaaa, jawabnya? Memangnya butuh perpanjangan lagi? Ekstra chapter? Tapi, kurasa ini sudah cukup panjang. :0 Sebelum catatan ini selesai, aku pengen spoiler dikit tentang rencanaku. Sebenarnya ada satu novelku lagi yang ada di sini judulnya LEVIATHAN yang bergenre sci-fi. Sayangnya, belum muncul (sampai catatan ini ditulis).
Freya akhirnya tertangkap sehari setelah kejadian yang memilukan itu. Sedangkan David perlu tiga hari karena berhasil kabur menuju kota lain. Berita mengenai hal ini langsung menjadi topik utama yang disiarkan berulang-ulang oleh acara berita disegala stasiun televisi. Kejadian itu menyita banyak perhatian masyarakat.Bibi Lani telah dimakamkan. Feris masih menangis. Lusi dan Naratama juga merasakan kesedihan mendalam akibat kehilangan itu.Alecta baru siuman setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Dia menangis saat diberitahu kalau Bibi Lani meninggal dunia demi menyelamatkan Baby Leon dan Alecta.Priam memutuskan untuk menjaga Baby Leon di rumahnya karena Alecta masih dirawat di rumah sakit. Tubuhnya dipenuhi banyak luka, dan beruntung tidak ada tulang yang patah.Feris telah memutuskan sesuatu. Malam ini dia akan membicarakan keputusannya dengan Alecta. Perempuan itu sudah lebih baik beberapa hari ini, dan kemungkinan dua hari lagi dia d
Mobil yang dikemudikan David memasuki kawasan hutan. Setahunya, kawasan itu memang sepi dan ada sebuah bangunan yang mirip gudang penyimpanan kayu yang sudah lama tidak digunakan.Mobil berhenti di depan bangunan itu. David menyeret Alecta ke gudang itu, sedangkan Freya masih berkutat dengan Leon yang hanya bisa menangis.Setelah masuk ke dalam gudang tak terpakai itu, David meletakkan Alecta di tempat yang kering. Sementara Freya yang sudah pusing dengan tangisan bayi itu akhirnya menyerah. Dia meletakkan Leon di sebuah keranjang dari ayaman rotan yang kondisinya sudah tidak layak. David jadi berpikir, kalau Freya bukanlah ibu yang baik. David mendekati Freya dan menyerahan tongkat baseball yang tadi dipakai untuk memukul sopir tadi. Freya menerima tongkat baseball itu dan mengabaikan tangisan Leon.“Gunakan untuk menyiksanya.” David menunjuk Alecta yang tergeletak tak jauh dari jangkauannya. “Aku harus segera melak
Selama hampir saatu tahun ini, kondisi keuangan Freya mulai memburuk. Dia memiliki utang hampir ratusan juta karena tidak mampu menunjang gaya hidupnya. Setelah bercerai dengan Priam, Freya terpaksa menyewa apartemen kecil bersama David.Semua kontrak kerjanya dibatalkan termasuk iklan, sponsor, dan film yang harunya dibintanginya. Namanya terhempas seolah nama Freya Farista sudah tidak lagi bersinar. Freya telah jatuh, tersingkir, dan tidak dibutuhkan lagi.Kondisi diperburuk dengan David yang namanya sudah dicoret dari keluarga besarnya karena ketahuan menjalin hubungan dengan perempuan yang sudah bersuami. Alhasil, David menjadi pengangguran, kerjaannya hanya tidur, makan dan mabuk, hanya itu siklus hidupnya. Sementara Freya harus merelakan tabungannya menunjang kebutuhan dua orang terlebih lagi Freya harus memangkas pengeluaran untuk kecantikan karena dia juga harus makan.Hampir setahun ini Freya dan David persis seperti pasangan pengangguran
Pada akhirnya Priam juga menerima keputusan dari Feris kalau untuk ‘untuk sementara waktu hingga belum ditentukan’ Baby Leon akan diasuh oleh Alecta dan Feris di rumah ini. Dua hari setelah kepulangan Alecta dari rumah sakit, Priam datang bersama dua pelayannya yang cukup menggemaskan. Di ruang tamu, Priam dan Feris berbicara layaknya teman meskipun penuh kecanggungan. Sementara di kamar Alecta, terdengar gelak tawa dari Naratama dan Lusiana. Mereka, dua pelayan yang menggemaskan, begitu sebutan dari Bu Marie. “Baby Leon sangat tampan sekali!” Lusi tampak sangat senang ketika mendapat kesempatan untuk menggendong Baby Leon. “Bukankah seharusnya kita memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda?” Natatama menimpali. Dia hanya berani menyentuh pipi bulat Baby Leon. “Kamu benar, Nara. Aku tidak sabar melihat Tuan Muda Leon besar. Dia akan lebih menggemaskan lagi.” Lusi tertawa membayangkan hal itu terjadi. “Percayalah, Leon lebih suka dip
Feris masih merasa kesal karena pertemuannya dengan Alecta tertunda hampir empat puluh lima menit. Bagaimana tidak? Di dalam ruangan itu kekasihnya sedang bersenda gurau dengan Priam. Ditambah Bibi Lani menyarankan agar Feris menunggu sampai Priam selesai bertemu dengan buah hatinya.Hari ini, tanpa disangka Alecta melahirkan, dan ternyata perkiraan dokter itu meleset. Sebagai orang yang kurang berpengalaman dengan hal ini, Feris merasa menjadi orang bodoh. Harusnya dia tidak pergi hari ini. Harusnya, dia mengubah jadwal pertemuannya dengan Pak Edzard yang akan membeli rumah dan tanah warisan dari neneknya.Alasan kenapa Feris mau melepaskan properti itu karena dia ingin membeli rumah di Kota Milepolis. Dia bertekad ingin memulai kehidupannya yang baru bersama Alecta. Sebab, semakin Alecta di sini, semakin gencar pula Priam mendekatinya.Tapi sekarang, sepertinya Priam sudah mulai mendekati Alecta lagi. Mereka berbincang di dalam, padahal Feris sempa
Priam sangat takjub dengan apa yang dilihatnya. Alecta yang tertidur dengan wajah sedikit kelelahan dan ada bayi mungil yang sedang ditelungkupkan meminum asi. Dulu Priam selalu menganggap apa ang dilihatnya itu tidak pernah jadi kenyataan. Kini, hari ini, dengan mata kepalanya sendiri dia melihat calon penerus keluarga Ardiaz telah lahir. Priam mendekati Alecta secara perlahan agar tidak membangunkan Alecta yang sedang tertidur. Dia mencoba menyelipkan jari telunjuknya ke tangan si bayi. Perlahan tapi pasti, tangan mungil bayi itu menggenggam jari Priam. Ada ledakan kebahagian membuncah di dada Priam. Tangan mungil bayi itu seolah menyapa Priam. Rasanya tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan semacam ini. “Feris ... apa itu kamu?” tanya Alecta lirih. Priam terdiam. Alecta lalu menoleh ke arah orang yang di sampingnya. Dia terkejut ketika menemukan Priam duduk di sana. Padahal tadi dia sempat bermimpi kalau ynag dat
Kehamilan Alecta memasuki bulan kesembilan. Perutnya sudah makin besar, tendangan ‘dia’ makin aktif dan terkadang membuat Alecta kesulitan untuk tidur. Setelah sarapan, Feris memutuskan akan pergi ke Kota Lunars. “Tapi sebentar lagi aku akan melahirkan,” ucap Alecta. Sejak pindah ke rumah ini, Alecta selalu mengecek kehamilan secara berkala bersama Feris. Kata dokter, Alecta diprediksi akan melahirkan satu minggu lagi. “Aku pergi tidak lama. Mungkin nanti pulang sore. Ada orang yang tertarik membeli propertiku di Kota Lunars, My Bee.” Feris mengelus kepala Alecta dengan penuh kasih sayang. Alecta menggeleng. Dia harus mencari cara agar Feris tidak pergi. “Dia ingin mendengarkanmu membaca cerita.” Yang dimakud ‘dia’ adalah kehidupan yang ada di perut Alecta. Beberapa waktu yang lalu, kata dokter kandungan yang memeriksa Alecta mengatakan, kalau Alecta akan melahirkan bayi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Priam senang menden
Semua berjalan sesuai kehendak Semesta. Perut Alecta makin membesar seiring bertambahnya usia kehamilan. Feris juga selalu sigap ada di samping Alecta.Sekarang perubahan yang terjadi pada tubuh Alecta membuatnya tampak cantik dan menggemaskan. Entah mengapa kalau perempuan hamil selalu cantik meskipun pipinya mulai chubby dan bada yang berisi.Alecta juga mengalaminya. Kini pipinya agak mengembang. Dadanya makin menyembul padat dan perutnya makin buncit.Terkadang Feris membenamkan wajahnya ke dada Alecta. Katanya itu bagian favoritnya karena lebih kenyal, padat, dan menyenangkan. Kalau malam Feris lebih suka mengelus-elus perut Alecta yang buncit, dan dia yang ada di dalam pasti merespon dengan tendangan.Priam masih datang walaupun jaraknya tidak menentu. Kadang seminggu sekali, lima hari sekali, atau dua minggu sekali untuk melihat Alecta dan calon anaknya. Meskipun terkadang suasana ruang tamu jadi canggung.Priam yang meny