“Aaaaakkk!” Alecta memejamkan mata, lalu menjerit hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Dia baru membuka mata dan menyadari jika jarak wajahnya dengan ujung depan mobil sangat dekat. Jantungnya berdegup kencang, Alecta baru saja selamat dari kematian.
“Anda tidak apa-apa?” tanya seorang pria berjas hitam dan memakai sarung tangan warna putih. “Hei! Apakah Anda terluka?” tanyanya lagi.
Alecta menengadah, wajah pria itu tidak tampak karena silau dari sinar matahari. Sampai pria itu ikut berjongkok di hadapan Alecta. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alecta.
Alecta terkesima dengan pria di hadapannya. Dia seperti dewa yang diutus untuk turun ke bumi dan menemui Alecta.
Astaga! Tampan sekali!
Meskipun pria itu memakai kacamata, tidak mengurangi pesonanya. Rambutnya yang tertata rapi, wajah yang bersih tanpa jerawat ataupun bintik hitam kecil, dan sarung tangan putih yang membungkus tangannya.
“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya pria itu.
Bahkan suaranya saja mampu melelehkan Alecta. Tapi, ada yang menganggu situasi ini. Binatang itu berulah lagi, ia berjalan mengitari bagian badan Alecta yang lain.
“Kecoak!” Alecta kembali menjerit. Dia bangkit dan mencoba mengambil binatang menggelikan itu. Dan, hap! Dia berhasil menangkap kecoak itu dan langsung membantingnya ke jalan aspal, lalu menginjaknya sampai gepeng seperti kecoak yang pertama.
“Matilah! Matilah, makhluk sialan!” Alecta menginjak kecoak itu berkali-kali sampai dia puas. Seakan dendamnya terbalaskan.
Pria yang tadi hampir menabraknya hanya mengernyitkan dahi. Mungkin ia berpikir jika perempuan yang hampir ditabraknya adalah orang sinting. Meskipun wajahnya belum mendukung jika dia dalam keadaan sinting.
Pria berkacamata itu memilih kembali ke mobilnya. Setidaknya itu adalah pilihan yang tepat, karena orang yang ditabraknya masih bisa berdiri bahkan mengumpat dengan penuh semangat.
Alecta yang mengetahui pria itu akan pergi langsung mencegahnya. “Hei! Tunggu! Jangan pergi seenaknya!”
Alecta mendekati pria itu. Dia ingin pria itu meminta maaf karena hampir menabraknya. “Anda harus minta maaf!”
Pria itu baru membuka pintu mobilnya, namun teriakan Alecta membuatnya berbalik. “Minta maaf untuk apa?” tanyanya dingin.
“Anda pura-pura lupa, ya! Tadi Anda hampir menabrak saya!”
Pria itu mengeluarkan dompet lalu, memberi Alecta lima lembar uang pecahan seratus ribuan. “Saya kira uang itu cukup untuk menyudahi perdebatan ini, ambilah.”
Alecta menatap nanar uang-uang dari pria berkacamata itu. Dia tahu, saat ini dia butuh uang, dia sedang kekurangan uang, bahkan tidak bisa hidup tanpa uang. Tetapi tidak dengan cara seperti ini. Alecta hanya butuh permintaan maaf dari pria yang hampir menabraknya itu.
Alecta buru-buru mendekati pria berkacamata yang baru saja masuk ke dalam mobil itu. “Berhenti! Apakah ini cara orang kaya meminta maaf? Hanya dengan uang saja?”
Pria itu membetulkan letak kacamatanya. Dia balik menatap Alecta. “Apakah jumlah uangnya kurang?”
Sejak dulu Alecta memang miliki cita-cita ingin menjadi orang kaya raya, tapi ada satu hal yang tidak dia sukai dari orang-orang kaya. Sifat angkuh dan sombong akan hartanya. Bahkan hal sekecil ini, mereka lebih baik mengeluarkan uang daripada kata maaf.
Mata Alecta menangkap sebuah buket bunga di kursi samping pria itu. “Saya tau, Anda sedang buru-buru menemui kekasih Anda, Tuan.”
Pria berkacamata itu refleks melihat bunga di sampingnya, lalu kembali lagi menatap Alecta. “Bukan urusan Anda.”
Alecta yang sudah di puncak kemarahannya, akhirnya mengembalikan uang-uang itu ke wajah pria berkacamata. “Saya tidak butuh uang Anda. Saya hanya butuh permintaan maaf dari Anda, Tuan.”
Pria itu bergeming sebentar saat Alecta melemparkan uang yang baru saja dia berikan ke wajahnya. Dia tetap menjaga ketenangan. Lalu mengambil napas panjang, dan mengembuskannya secara perlahan demi menjaga kestabilan emosinya.
“Bukankah Anda yang menyeberangi jalan secara mendadak, tidak melihat ada mobil yang sedang melaju?”
Mata Alecta terbelalak. Dia sedikit gelagapan mendengar pria itu berbicara. Bahkan saat ini dia sudah tidak berani menatap matanya yang mengerikan itu.
“Tetap saja itu salah Anda, Tuan!” Alecta masih bisa mengeluarkan pernyataan yang sedikit berani. Walaupun harus dia akui jika dirinya salah karena tidak melihat ada mobil yang melaju karena binatang kecil itu yang membuat tubuhnya geli.
“Tak masalah! Saya sudah tidak butuh maaf dari Anda. Permisi!” Sejujurnya ini adalah cara Alecta untuk kabur dari situasi ini. Dia berjalan sedikit lebih cepat, demi segera menjauh dari mobil itu, dan berdoa semoga pria berkacamata itu tidak mengejarnya.
Mobil itu tidak berbalik, pria berkacamata itu melanjutkan perjalananya. Alecta mendesah lega. Meskipun pria itu nantinya mengejarnya, Alecta bisa bersembunyi di celah sempit antar tembok pembatas.
“Jangan berbalik, ya. Biarkan aku membalas dendamku,” ucap Alecta. Dia baru sadar jika jalanan ini sepi, dan sisi kanan-kiri hanya terdapat tembok setinggi tiga meter.
“Aku harus berlari.” Alecta berlari hingga tembok pembatas itu berakhir di ujung gang kecil. Di sana terdapat rumah makan sederhana.
Alecta memasuki rumah makan sederhana yang kondisinya tidak terlalu ramai. Dia memesan telur, sayur dan nasi. Tapi, mata Alecta menangkap sebuah ponsel yang tergeletak di dekat ibu pemilik rumah makan ini.
“Permisi, boleh saya meminjam ponsel ini?” Alecta meminta izin dengan bahasa yang amat santun. Akan tetapi tatapan ibu pemilik rumah makan ini membuatnya tidak nyaman.
“Saya akan bayar makanan saya dua kali lipat.” Alecta mencoba bernegosiasi.
Ibu pemilik rumah makan itu memandang Alecta dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu kembali lagi hingga dua kali. “Boleh, tapi cuma lima menit saja. Dan nelponnya jangan jauh-jauh.”
Alecta mengangguk. “Baik, Bu.”
Setelah mendapat pinjaman ponsel itu, Alecta memutuskan menelepon dekat dapur. Dia mengambil robekan kertas yang ada nomor telepon Freya. Dia menekan angka sesuai yang tertulis di kertas itu, mencocokkannya sekali lagi, lalu menekan ikon gagang telepon berwarna hijau. Nada tunggu membuat Alecta makin berdebar.
Jawab Freya, jawab panggilan teleponku. Alecta menggigit bibir bawah.
Panggilan itu telah tersambung. “Halo, Freya!”
***
Sebuah mobil berwarna hitam mengkilat berhenti di depan gapura sebuah pemakaman yang diperuntukan untuk kalangan kelas atas.
Pria itu turun dari mobil sambil membetulkan letak kacamatanya yang sedikit miring. Dia baru tersadar, jika buket bunga yang dibelinya tadi masih di dalam mobil. Dia terpaksa masuk ke mobil untuk mengambilnya.
Tepat saat dia menggenggam buket bunga itu, dia teringat akan perempuan agak sinting yang hampir ditabraknya tadi.
“Saya tau, Anda sedang buru-buru menemui kekasih Anda, Tuan.”
Pria berkacamata itu terngiang ucapan perempuan tadi. “Apakah dia benar-benar sinting?” Dia tertawa hambar. Kini dia berjalan sambil menggenggam buket bunga yang dibelinya dari toko bunga favoritnya.
Pria berkacamata itu berjalan damai seakan sebentar lagi akan menemui seseorang yang paling istimewa dalam hidupnya.
Di bawah pohon Zelkova yang rindang, terdapat satu makam yang bentuk nisannya sangat indah. Pria berkacamata itu menyunggingkan senyumnya ketika meletakkan buket bunga di makam itu.
“Saya datang menemuimu, hingga hari ini saya masih hidup. Semoga Tuan Putri senantiasa bahagia di atas langit.”
Tak terasa air mata itu mengalir dari balik kacamatanya. Pria itu sedang menangis.
“Anda tau, Nyonya Freya. Bahkan perempuan berbadan gendut itu mengusir Alecta, tak peduli ada uang di tangannya.” Laurent tertawa. “Lalu setelah perempuan itu diusir, tiga debt collector itu merampas uangnya, dan terakhir dia bermalam di depan toko.” Laurent menjentikkan jarinya. “Bukankah itu menyenangkan?”Freya hanya tersenyum simpul. Meskipun Laurent berhasil menjungkirbalikkan kehidupan Alecta, tapi perempuan itu belum menghubunginya sampai sekarang. Jika ia sudah menyerah, harusnya sejak tadi malam minta untuk dijemput.“Jadi bagaimana dengan bayarannya?” tanya Laurent.Freya mengambil amplop yang berisi uang untuk membayar jasa Laurent, pria yang mirip Swiper si rubah pencuri. “Silakan dihitung.”Laurent tertawa. “Aku percaya padamu, Nyonya.”Freya mengecek ponselnya. Tidak ada panggilan masuk ataupun pesan baru. Dia mulai resah.“Sepe
Sebuah mobil putih mengkilat dengan ban-ban hitam yang kontras dengan warna aspal berhenti di depan rumah tak berpenghuni. Seorang pria berpenampilan rapi keluar dari mobil, lalu menatap ke sebuah jendela tanpa kaca. Di sana Alecta sudah menunggu.Alecta mengambil napas panjang. “Ini saatnya memulai membalaskan dendam. Kamu bisa Alecta. Buat Freya menderita karena pernah merampas orang yang kamu sukai! Buat Freya menanggung akibat karena menjungkirbalikan kehidupanmu dalam semalam. Buat Freya membayar semua ini.”Alecta sudah memantapkan tekadnya. Dia hanya ingin membuat Freya merasa kehilangan. Dia mengangkat tas besar dan amplop berisi surat kontrak yang tulisan sudah pudar. Saat melangkah keluar, Alecta mendapat sambutan penuh penghormatan di lakukan oleh pria itu.“Saya Naratama, utusan dari Nyonya Freya. Silakan masuk, Miss Alecta.” Pria itu membukakan pintu mobil seakan menyuruh Alecta agar segera bergegas.Alec
“Poin ke-15, tidak boleh keluar apartemen kecuali saat pemeriksaan berkala ataupun dalam keadaan mendesak. Poin ke-16, tidak boleh membocorkan hal ini kepada media dan hindari paparazi.” Aleta tidak percaya jika isi surat kontrak ini ada 100 poin yang harus dipatuhinya. “Kamu membuat surat ini jauh lebih detail dari sebelumnya.”Freya masih menikmati kopinya. Sejenak ia belum menjawab pertanyaan Alecta.“Poin ke-27, dilarang membawa teman ataupun saudara ke apartemen ini. Kamu ingin menyiksaku dalam kesepian?” Alecta menatap tajam lawan bicaranya yang masih menyesap kopi. “Jawab aku, Frey.” Alecta sudah merasa gemas karena tak kunjung dijawab.Freya meletakkan cangkir kopinya dengan lembut, seolah sedang makan bersama keluarga kerajaan. Kini, ia menatap Alecta. “Iya, aku mendetailkan semua surat kontrak itu agar kerahasiaan surogasi ini tetap terjaga. Tidak bocor pada media, karena aku tidak men
Alecta mendekatkan wajahnya ke Naratama. “Bagaimana kepribadian Priam Ardiaz?”Refleks Naratama menghindar, lalu menyodorkan sekotak donat. “Miss mau donat?”Alecta tersenyum, pertanyaannya tidak dijawab oleh Naratama. Dia tidak memperlihatkan rasa kesalnya melainkan tersenyum dan mengambil satu donat bertopping cokelat. “Terima kasih, kelihatannya lezat.”Alecta memainkan aktingnya. Dia memakan donat yang dipilihnya, seolah melupakan pertanyaan nekat tadi. “Donat ini sungguh enak!”Naratama tertawa hambar sambil menggaruk belakang kepalanya. Bagi Alecta, perilaku seperti itu berarti lawan bicaranya sedang grogi.“Kenapa Miss bertanya soal Tuan Ardiaz?”Alecta diam sejenak, memikirkan apa yang ingin dia jawab, karena perilaku Naratama agaknya sulit ditebak.“Iya ... Aku hanya takut. Selama ini aku belum pernah bertemu langsung dengan Priam Ardiaz, tapi aku
Priam sedang terjebak dalam lautan manusia. Rapatnya sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, tapi perjalanan menuju restoran, tempat pertemuannya dengan kandidat surrogate mother akan terlambat. Dia sudah mengirim pesan kepada Freya, kalau dirinya akan terlambat sampai waktu yang tidak bisa diprediksi.“Macet banget, Pak.” Pak Samsul berusaha memecah kesunyian serta kecemasan tuannya.“Tidak apa-apa, Pak. Lagian banyak orang yang turun ke jalan. Apa mereka sedang demo?” Priam bertanya balik.Pak Samsul yang tadi sudah menegangkan wajahnya karena takut kena semprot Priam karena keterlambatan ini, akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya tuannya tidak memasang wajah galak seperti singa jantan yang ingin berkelahi dengan singa lainnya.“Sepertinya tidak, Pak. Kalau tidak salah sedang ada festival kembang api untuk memperingati hari jadi kota ini, Pak,” Pak Samsul menjawab santai. Ia tahu berita fest
“Miss, Tuan Priam sudah datang.” Naratama memberitahukan kedatangan Priam kepada Alecta.Alecta reflek memandang Priam yang masih terpaku di tempatnya. Mata mereka bertemu.Alecta melihat sosok pria dengan mulut sedikit terbuka dengan penampilanya yang sedikit kacau berbalut setelan jas mewah. Pria itu masih terpaku dengan mata yang lurus menatap Alecta.Apakah ada yang salah dengan penampilanku?Berkali-kali Alecta mengelap mulutnya takut ada yang sisa makanan yang menempel, dan sedikit salah tingkah. Akhirnya dia memilih menundukkan pandangannya, berusaha agar tidak perlu bersitatap dengan Priam terlalu lama.“Silakan duduk, Tuan. Saya akan memanggil Nyonya Freya, karena beliau sedang menelepon di ruangan lain. Permisi.” Naratama berlalu dengan sopan.“Iya.” Priam menjawab singkat, lalu berjalan pelan menuju meja yang sudah ditempati Alecta.Meskipun tidak menengok sepenuhny
Letusan kembang api pertama membuat perhatian Priam teralihkan. “Sudah dimulai festivalnya.” Dia bangkit lalu berjalan menuju balkon untuk melihat letusan berikutnya. Baginya festival kembang api yang diadakan setiap penghujung bulan November adalah salah satu kenangan yang mengingatkan Priam kepada orang yang dicintainya.Letusan kembang api bermunculan lagi terus menerus hingga langit Kota Dennosam penuh dengan pemandangan yang indah. Setiap kembang api yang meletus itu, sekejap membentuk lingkaran, mereka akan hilang lalu berganti letusan kembang api yang baru.Priam terlalu terbawa suasara. Dia merasa istrinya berdiri tepat di sampingnya, ia bilang jika festival kembang api ini sangatlah indah. Tanpa sadar, Priam merangkul perempuan yang dia rasa adalah istrinya.“Bukankah ini festival kesukaanmu, Camelia?”Perempuan yang dirangkulnya itu memberontak. “Camelia? Siapa yang kamu maksud, Priam? Aku ini Alecta!&
Mobil yang dikemudikan Naratama melaju meninggalkan pelataran restoran. Tepat berjarak 750 meter menuju apartemen kelas I, sebuah tanda bahwa jalanan ditutup karena dikhususkan untuk jalan festival. Mau tak mau Naratama harus putar balik. Ia menggerutu karena harus memutar jalan sejauh lima kilometer lagi. Namun, Alecta tidak peduli. Dia menganggap apa yang dialami Naratama adalah karma paling ringan karena telah mengancamnya. Naratama terpaksa mengambil jalan lain. Ia tak mungkin membiarkan Alecta berjalan sendirian meskipun jaraknya sudah lumayan dekat. Ternyata benar yang dikatakan Priam, jika Naratama terlalu penurut dengan perintah Freya. Huh! Ia masuk ke dalam orang yang bakal tidak kupercayai! Alecta teringat kejadian mengejutkan bersama Priam tadi. Di balkon restoran, Priam tanpa sadar memeluknya, ia juga menyebut nama perempuan lain. Camelia. Alecta tidak mengenal perempuan itu, dia sempat berpikir jika Camelia adalah perempua
Akhirnya selesai jugaaa, huft. (Not) A Queen telah tamat di tanggal 11 November 2021 (Hehehe ditulis aja, biar gak lupa) Terima kasih untukmu yang telah membaca kisah ini sampai tuntas. Entah mengapa aku merasa sangat lega dan yaaa akhirnya punya waktu untuk membaca buku lebih banyak lagi Aku mohon maaf kalau ada beberapa kata yang masih typo dan belum maksimal memberikan yang terbaik untukmu. Di buku yang akan datang, semoga bisa lebih baik lagi. Oh iya, aku pernah dapat pertanyaan semacam ini: apakah setelah tamat nggak ada skuelnya? Gimana yaaa, jawabnya? Memangnya butuh perpanjangan lagi? Ekstra chapter? Tapi, kurasa ini sudah cukup panjang. :0 Sebelum catatan ini selesai, aku pengen spoiler dikit tentang rencanaku. Sebenarnya ada satu novelku lagi yang ada di sini judulnya LEVIATHAN yang bergenre sci-fi. Sayangnya, belum muncul (sampai catatan ini ditulis).
Freya akhirnya tertangkap sehari setelah kejadian yang memilukan itu. Sedangkan David perlu tiga hari karena berhasil kabur menuju kota lain. Berita mengenai hal ini langsung menjadi topik utama yang disiarkan berulang-ulang oleh acara berita disegala stasiun televisi. Kejadian itu menyita banyak perhatian masyarakat.Bibi Lani telah dimakamkan. Feris masih menangis. Lusi dan Naratama juga merasakan kesedihan mendalam akibat kehilangan itu.Alecta baru siuman setelah dua hari dirawat di rumah sakit. Dia menangis saat diberitahu kalau Bibi Lani meninggal dunia demi menyelamatkan Baby Leon dan Alecta.Priam memutuskan untuk menjaga Baby Leon di rumahnya karena Alecta masih dirawat di rumah sakit. Tubuhnya dipenuhi banyak luka, dan beruntung tidak ada tulang yang patah.Feris telah memutuskan sesuatu. Malam ini dia akan membicarakan keputusannya dengan Alecta. Perempuan itu sudah lebih baik beberapa hari ini, dan kemungkinan dua hari lagi dia d
Mobil yang dikemudikan David memasuki kawasan hutan. Setahunya, kawasan itu memang sepi dan ada sebuah bangunan yang mirip gudang penyimpanan kayu yang sudah lama tidak digunakan.Mobil berhenti di depan bangunan itu. David menyeret Alecta ke gudang itu, sedangkan Freya masih berkutat dengan Leon yang hanya bisa menangis.Setelah masuk ke dalam gudang tak terpakai itu, David meletakkan Alecta di tempat yang kering. Sementara Freya yang sudah pusing dengan tangisan bayi itu akhirnya menyerah. Dia meletakkan Leon di sebuah keranjang dari ayaman rotan yang kondisinya sudah tidak layak. David jadi berpikir, kalau Freya bukanlah ibu yang baik. David mendekati Freya dan menyerahan tongkat baseball yang tadi dipakai untuk memukul sopir tadi. Freya menerima tongkat baseball itu dan mengabaikan tangisan Leon.“Gunakan untuk menyiksanya.” David menunjuk Alecta yang tergeletak tak jauh dari jangkauannya. “Aku harus segera melak
Selama hampir saatu tahun ini, kondisi keuangan Freya mulai memburuk. Dia memiliki utang hampir ratusan juta karena tidak mampu menunjang gaya hidupnya. Setelah bercerai dengan Priam, Freya terpaksa menyewa apartemen kecil bersama David.Semua kontrak kerjanya dibatalkan termasuk iklan, sponsor, dan film yang harunya dibintanginya. Namanya terhempas seolah nama Freya Farista sudah tidak lagi bersinar. Freya telah jatuh, tersingkir, dan tidak dibutuhkan lagi.Kondisi diperburuk dengan David yang namanya sudah dicoret dari keluarga besarnya karena ketahuan menjalin hubungan dengan perempuan yang sudah bersuami. Alhasil, David menjadi pengangguran, kerjaannya hanya tidur, makan dan mabuk, hanya itu siklus hidupnya. Sementara Freya harus merelakan tabungannya menunjang kebutuhan dua orang terlebih lagi Freya harus memangkas pengeluaran untuk kecantikan karena dia juga harus makan.Hampir setahun ini Freya dan David persis seperti pasangan pengangguran
Pada akhirnya Priam juga menerima keputusan dari Feris kalau untuk ‘untuk sementara waktu hingga belum ditentukan’ Baby Leon akan diasuh oleh Alecta dan Feris di rumah ini. Dua hari setelah kepulangan Alecta dari rumah sakit, Priam datang bersama dua pelayannya yang cukup menggemaskan. Di ruang tamu, Priam dan Feris berbicara layaknya teman meskipun penuh kecanggungan. Sementara di kamar Alecta, terdengar gelak tawa dari Naratama dan Lusiana. Mereka, dua pelayan yang menggemaskan, begitu sebutan dari Bu Marie. “Baby Leon sangat tampan sekali!” Lusi tampak sangat senang ketika mendapat kesempatan untuk menggendong Baby Leon. “Bukankah seharusnya kita memanggilnya dengan sebutan Tuan Muda?” Natatama menimpali. Dia hanya berani menyentuh pipi bulat Baby Leon. “Kamu benar, Nara. Aku tidak sabar melihat Tuan Muda Leon besar. Dia akan lebih menggemaskan lagi.” Lusi tertawa membayangkan hal itu terjadi. “Percayalah, Leon lebih suka dip
Feris masih merasa kesal karena pertemuannya dengan Alecta tertunda hampir empat puluh lima menit. Bagaimana tidak? Di dalam ruangan itu kekasihnya sedang bersenda gurau dengan Priam. Ditambah Bibi Lani menyarankan agar Feris menunggu sampai Priam selesai bertemu dengan buah hatinya.Hari ini, tanpa disangka Alecta melahirkan, dan ternyata perkiraan dokter itu meleset. Sebagai orang yang kurang berpengalaman dengan hal ini, Feris merasa menjadi orang bodoh. Harusnya dia tidak pergi hari ini. Harusnya, dia mengubah jadwal pertemuannya dengan Pak Edzard yang akan membeli rumah dan tanah warisan dari neneknya.Alasan kenapa Feris mau melepaskan properti itu karena dia ingin membeli rumah di Kota Milepolis. Dia bertekad ingin memulai kehidupannya yang baru bersama Alecta. Sebab, semakin Alecta di sini, semakin gencar pula Priam mendekatinya.Tapi sekarang, sepertinya Priam sudah mulai mendekati Alecta lagi. Mereka berbincang di dalam, padahal Feris sempa
Priam sangat takjub dengan apa yang dilihatnya. Alecta yang tertidur dengan wajah sedikit kelelahan dan ada bayi mungil yang sedang ditelungkupkan meminum asi. Dulu Priam selalu menganggap apa ang dilihatnya itu tidak pernah jadi kenyataan. Kini, hari ini, dengan mata kepalanya sendiri dia melihat calon penerus keluarga Ardiaz telah lahir. Priam mendekati Alecta secara perlahan agar tidak membangunkan Alecta yang sedang tertidur. Dia mencoba menyelipkan jari telunjuknya ke tangan si bayi. Perlahan tapi pasti, tangan mungil bayi itu menggenggam jari Priam. Ada ledakan kebahagian membuncah di dada Priam. Tangan mungil bayi itu seolah menyapa Priam. Rasanya tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan semacam ini. “Feris ... apa itu kamu?” tanya Alecta lirih. Priam terdiam. Alecta lalu menoleh ke arah orang yang di sampingnya. Dia terkejut ketika menemukan Priam duduk di sana. Padahal tadi dia sempat bermimpi kalau ynag dat
Kehamilan Alecta memasuki bulan kesembilan. Perutnya sudah makin besar, tendangan ‘dia’ makin aktif dan terkadang membuat Alecta kesulitan untuk tidur. Setelah sarapan, Feris memutuskan akan pergi ke Kota Lunars. “Tapi sebentar lagi aku akan melahirkan,” ucap Alecta. Sejak pindah ke rumah ini, Alecta selalu mengecek kehamilan secara berkala bersama Feris. Kata dokter, Alecta diprediksi akan melahirkan satu minggu lagi. “Aku pergi tidak lama. Mungkin nanti pulang sore. Ada orang yang tertarik membeli propertiku di Kota Lunars, My Bee.” Feris mengelus kepala Alecta dengan penuh kasih sayang. Alecta menggeleng. Dia harus mencari cara agar Feris tidak pergi. “Dia ingin mendengarkanmu membaca cerita.” Yang dimakud ‘dia’ adalah kehidupan yang ada di perut Alecta. Beberapa waktu yang lalu, kata dokter kandungan yang memeriksa Alecta mengatakan, kalau Alecta akan melahirkan bayi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Priam senang menden
Semua berjalan sesuai kehendak Semesta. Perut Alecta makin membesar seiring bertambahnya usia kehamilan. Feris juga selalu sigap ada di samping Alecta.Sekarang perubahan yang terjadi pada tubuh Alecta membuatnya tampak cantik dan menggemaskan. Entah mengapa kalau perempuan hamil selalu cantik meskipun pipinya mulai chubby dan bada yang berisi.Alecta juga mengalaminya. Kini pipinya agak mengembang. Dadanya makin menyembul padat dan perutnya makin buncit.Terkadang Feris membenamkan wajahnya ke dada Alecta. Katanya itu bagian favoritnya karena lebih kenyal, padat, dan menyenangkan. Kalau malam Feris lebih suka mengelus-elus perut Alecta yang buncit, dan dia yang ada di dalam pasti merespon dengan tendangan.Priam masih datang walaupun jaraknya tidak menentu. Kadang seminggu sekali, lima hari sekali, atau dua minggu sekali untuk melihat Alecta dan calon anaknya. Meskipun terkadang suasana ruang tamu jadi canggung.Priam yang meny