Giselle melangkah meninggalkan kantor saat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Langkahnya gontai karena ia merasa begitu lelah. Tetapi dalam hatinya, Giselle tidak sabar bertemu dengan Elodie malam ini. Giselle ingin segera memeluk putri kecilnya. Saat Giselle menarik pintu kaca depan, wanita itu menatap ke depan dan langkahnya terhenti seketika saat ia melihat sosok Dean berdiri di depan sana, menunggunya."Dean, kenapa dia ada di sini?" lirih Giselle. Giselle melangkah keluar dari dalam kantor. Dean dengan cepat menghampirinya dan menghadang langkah Giselle. "Giselle, tunggu sebentar." Dean menatapnya dengan dalam. "Tolong dengarkan aku sebentar saja," pintanya. "Dean—""Aku benar-benar merasa tidak nyaman saat kau menjauh dariku seperti ini, Giselle. Tanpa alasan apapun kau menjauhiku, seolah-olah aku menyakitimu," kata Dean menatapnya dengan kekecewaan. "Katakan ... katakan padaku bila aku memang menyakitimu, Giselle. Tunjukkan di mana salahku, bukan malah men
Gerald membawa Giselle untuk ikut pulang dengannya setelah pertengkaran tadi dengan Dean. Di rumahnya yang sepi, Gerald melangkah masuk ke dalam diikuti Giselle di belakangnya. Laki-laki tampan itu melepaskan tuxedo hitam yang ia pakai dan melemparkannya ke sofa sebelum ia menghempaskan badannya ke atas sofa ruang tengah. "Ambil kotak obat di lemari kaca belakang, obati lukaku!" perintah Gerald dengan nada dinginnya. Giselle mengangguk. "Iya, Pak. Sebentar saya ambilkan." Wanita itu segera bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Gerald mengusap sudut bibirnya yang terasa perih, tulang pipinya pun sedikit nyeri karena goresan luka. "Sial," umpat Gerald memegangi rahangnya yang sakit. Pintu ruangan itu pun kembali terbuka, terlihat Giselle masuk ke dalam sana membawa mangkok besar berisi air hangat dan handuk kecil, serta kotak obat di tangan kirinya. Wanita itu berjalan ke arah Gerald dengan cepat. "Saya obati dulu, Pak. Pe-permisi." Gisele tampak izin sebelum memegang
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang. Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya. “Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald. "Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka. Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "K
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
Gerald membawa Giselle untuk ikut pulang dengannya setelah pertengkaran tadi dengan Dean. Di rumahnya yang sepi, Gerald melangkah masuk ke dalam diikuti Giselle di belakangnya. Laki-laki tampan itu melepaskan tuxedo hitam yang ia pakai dan melemparkannya ke sofa sebelum ia menghempaskan badannya ke atas sofa ruang tengah. "Ambil kotak obat di lemari kaca belakang, obati lukaku!" perintah Gerald dengan nada dinginnya. Giselle mengangguk. "Iya, Pak. Sebentar saya ambilkan." Wanita itu segera bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Gerald mengusap sudut bibirnya yang terasa perih, tulang pipinya pun sedikit nyeri karena goresan luka. "Sial," umpat Gerald memegangi rahangnya yang sakit. Pintu ruangan itu pun kembali terbuka, terlihat Giselle masuk ke dalam sana membawa mangkok besar berisi air hangat dan handuk kecil, serta kotak obat di tangan kirinya. Wanita itu berjalan ke arah Gerald dengan cepat. "Saya obati dulu, Pak. Pe-permisi." Gisele tampak izin sebelum memegang
Giselle melangkah meninggalkan kantor saat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Langkahnya gontai karena ia merasa begitu lelah. Tetapi dalam hatinya, Giselle tidak sabar bertemu dengan Elodie malam ini. Giselle ingin segera memeluk putri kecilnya. Saat Giselle menarik pintu kaca depan, wanita itu menatap ke depan dan langkahnya terhenti seketika saat ia melihat sosok Dean berdiri di depan sana, menunggunya."Dean, kenapa dia ada di sini?" lirih Giselle. Giselle melangkah keluar dari dalam kantor. Dean dengan cepat menghampirinya dan menghadang langkah Giselle. "Giselle, tunggu sebentar." Dean menatapnya dengan dalam. "Tolong dengarkan aku sebentar saja," pintanya. "Dean—""Aku benar-benar merasa tidak nyaman saat kau menjauh dariku seperti ini, Giselle. Tanpa alasan apapun kau menjauhiku, seolah-olah aku menyakitimu," kata Dean menatapnya dengan kekecewaan. "Katakan ... katakan padaku bila aku memang menyakitimu, Giselle. Tunjukkan di mana salahku, bukan malah men
Setelah dua hari ini Giselle berusaha menjauhi Dean, akhirnya mereka kembali bertemu dalam acara meeting di kantor milik Gerald. Sejak berjalannya rapat penting, Dean terus memperhatikan Giselle yang tampak tidak menatapnya sama sekali. Entah kenapa, Dean juga bingung apa yang terjadi pada Giselle padanya. Sampai rapat selesai dan Giselle berjalan keluar meninggalkan ruangan itu, diikuti oleh Dean di belakangnya. "Giselle," panggil Dean pelan, laki-laki itu menahan lengan Giselle hingga membuat wanita itu menoleh menatapnya. "Iya, Pak Dean?" Giselle menatapnya ragu-ragu. Dean menghela napasnya panjang. Iris almondnya menunjukkan sebuah keresahan yang tidak bisa ia ungkapkan. "Kenapa kau tidak seperti biasanya padaku? Kenapa kau terus menghindariku, Giselle?" tanya Dean berbisik. "Dua hari aku selalu mencarimu ke rumah tapi kau tidak pernah ada, aku sampai ke tempat kau menitipkan Elodie, tapi pengasuhnya bilang kau sudah membawa Elodie pulang. Kenapa, Giselle?" Giselle tertundu
Giselle tertunduk dengan hati pilu. Ucapan demi ucapan yang dilontarkan oleh Sania sangat menyakiti hatinya. Mereka berdua masih di sana, Sania mengatakan banyak hal. Termasuk merendahkan Giselle, sebagaimana wanita tua itu tidak setuju anaknya mendekati wanita seperti Giselle. Dari belakang, tampak Dean melangkah mendekati mereka berdua. Saat Dean mendekat, Giselle pun beranjak dari duduknya dan membawa tas berwarna hitam miliknya. "Giselle, kau mau ke mana?" tanya Dean mendekatinya. Giselle melirik sekejap ke arah Sania yang masih tak acuh. "Maaf, Dean. Aku harus segera pulang. Aku lupa hari ini ada urusan penting," ujar Giselle menundukkan wajahnya menyembunyikan tatapan sendunya dari Dean. "Kenapa mendadak begini? Hubungi saja lagi, dan katakan padanya untuk nanti saja kau datang," seru Dean, berusaha menahan Giselle bersamanya. "Nanti aku akan mengantarkanmu." Sania menatap tajam ke arah Giselle. Hingga Giselle menggelengkan kepalanya menolak bujukan laki-laki itu. "Tidak
Keesokan harinya...Hari ini, jam kerja Giselle tidak sampai larut malam hingga biasanya. Bahkan Giselle sudah diizinkan pulang siang oleh Gerald. Seperti yang sudah dijanjikan, siang ini Dean mengajak Giselle untuk ikut bersamanya. Dean menjemput Giselle di depan kantor. Giselle tersenyum saat baru saja keluar dan melihat Dean sudah menunggu."Dean," sapa Giselle. "Kau sudah dari tadi?" "Tidak. Baru saja aku sampai," jawab Dean tersenyum manis. "Ayo." Laki-laki itu membuka pintu mobilnya. Giselle pun segera masuk segera dan diikuti oleh Dean. Giselle tidak tahu Dean akan mengajaknya ke mana. Namun, bersama laki-laki ini, Giselle merasa aman dan baik-baik saja. "Sebenarnya kau ingin mengajakku ke mana?" tanya Giselle menatap Dean lekat-lekat. "Ke suatu tempat," jawab Dean. "Kita makan siang di sana sambil menikmati pemandangan yang indah. Dan ... aku ingin mengatakan hal yang penting padamu." "Hal penting?" Giselle menatapnya. "Hmm." Dean tersenyum dan mengangguk. Dean ingin
Giselle meninggalkan kantor setelah beberapa menit yang lalu. Wanita itu berjalan menyusuri trotoar jalanan kota Luinz di malam yang ramai ini. Langkah Giselle terhenti saat ia tiba di sebuah halte bus. Di sana, ia duduk diam dengan wajah lelah dan menanti-nanti. "Semoga Elodie tidak rewel," gumam Giselle sambil menggosok kedua telapak tangannya. "Aku lupa tidak membawakan termos air hangat untuknya tadi. Bagaimana kalau nanti Elodie rewel meminta susu saat di dalam bus?" Hati dan pikiran Giselle sepenuhnya hanya mencemaskan putri kecilnya saja. Hingga tak berselang lama, sebuah mobil berwarna putih tiba-tiba saja berhenti di depan Giselle. Giselle masih diam di tempat dan terkejut saat Dean yang ternyata keluar dari dalam mobil. "Dean?" lirih Giselle. Dean menghampiri Giselle dan tersenyum hangat. "Aku barusan berhenti di depan kantor, tapi ruangan di lantai CEO sudah terlihat gelap, artinya kau sudah pulang. Untung saja kita bertemu di sini," ujarnya. "Ya, aku sudah pulang se
Setelah kepergian Marisa beberapa menit yang lalu, Giselle pun masuk ke dalam ruangan kerjanya. Wanita itu duduk di kursi dan tampak diam tidak menyapa Gerald sedikitpun. Sedangkan Gerald merasa ada yang aneh pada Giselle saat ini. Ia pun melirik Giselle yang tampak tertunduk membuka berkas-berkas di pangkuannya dan kedua mata Giselle tampak sedikit sembab. "Giselle," panggil Gerald. Giselle langsung menoleh. "Iya, Pak?" Gerald beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Giselle membawa selembar kertas di tangannya. Laki-laki itu mendekat dan menelisik wajah Giselle. Dugaan Gerald benar, Giselle terlihat seperti baru saja menangis. "Ada apa, Pak?" Giselle menatap Gerald yang berdiri di sampingnya. Kedua iris mata hitam milik Gerald menatapnya tak biasa. Alisnya bahkan menukik tajam. "Apa Mamaku mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya dengan suara rendah. Giselle tampak kaget. Ia dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak ada, Pak. Nyonya Marisa tidak mengatakan apapun,"
"Kenapa? Kaget melihatku di sini?!" Marisa menatap tajam pada Giselle yang berdiri mematung di hadapannya. Giselle langsung menundukkan kepalanya. Jemari tangannya terasa kaku dan mengepal meremas rok hitam selutut yang ia pakai. Wanita tua ini, satu-satunya orang yang membuat hidup Giselle menjadi sangat menderita dan kehilangan orang yang sangat ia cintai. "Kenapa Nyonya ingin bertemu dengan saya?" tanya Giselle kembali menatap Marisa. Marisa tersenyum sinis. "Kau masih berani bertanya seperti itu setelah apa yang kau lakukan pada anakku, heh?!" serunya. "Apa maksud Nyonya?" Giselle benar-benar tidak paham. Marisa maju satu langkah mendekati Giselle dan menatapnya dengan tatapan jijik pada Giselle. "Kau berusaha menggoda Gerald lagi, bukan?" tanyanya. "Lancang sekali kau, Giselle! Kau pikir dirimu ini siapa? Kau sudah menjadi sampah di keluargaku, kau sudah dibuang oleh putraku, berhenti menggoda Gerald dan bermimpi kalau aku akan membiarkan wanita miskin dan hina sepertimu
Rasa sakit hati dua hari yang lalu membekas dalam hati Laura setelah ia melihat Gerald dan Giselle bermesraan di kantor. Wanita dua puluh delapan tahun itu tidak segan mendatangi kediaman Keluarga Gilbert pagi ini dengan penuh kekecewaan. Laura mengadukan semuanya pada Marisa, karena ia tahu kalau Mamanya Gerald sangat membenci Giselle. "Saya benar-benar tidak menyangka kalau Gerald terus mengundur waktu pernikahan ternyata karena Giselle, Tante. Saya benar-benar kecewa pada Gerald,” ungkap Laura dengan wajah tertunduk dan air matanya yang mengalir. Marisa menatapnya tajam dan tak percaya. "A-apa?! Karena Giselle?!" pekiknya. "Bagaimana mungkin, Laura?!" Laura semakin tertunduk. "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau Giselle dan Gerald bermesraan di lorong kantor di lantai lima belas. Giselle memeluk Gerald dengan erat dan ... saat saya ke sana, sepertinya mereka baru saja berciuman." Laura menatap kedua orang tua Gerald yang kini mendengarkannya secara saksama. "B