Beberapa lama, Isyana hanya mampu diam. Tidak secerewet seperti biasa. Meski pun banyak sepupu dari pihak ayahnya yang sudah datang.Sejak kalimat Asher tadi, mampu membungkam bibirnya. Tidak ada lagi Isyana yang begitu banyak berkata.Hal ini diketahui Sukma. Ibu satu anak itu diam-diam memperhatikan Isyana. Karena tidak tahan dengan perubahan suasana hati sang anak, Sukma lebih mendekat.“Heh, Isyana. Kau dari tadi hanya diam saja. Lagi sariawan?” selidik Sukma yang sudah memperhatikan wajah Isyana tanpa terkecuali.Tidak menemukan jawaban, Sukma menoleh ke arah Asher.Pria bule itu juga hanya diam dengan gelas kopinya.“Oh, lu tengsin ya dilihat Asher,” sahut Sukma yang sengaja menggoda.“Apa sih Ma.”Isyana melambaikan tangan di depan wajah. Malas sekali jika harus meladeni godaan semu dari Sukma.“Halah. Maklumin aja kenapa Isyana. Asher kalau mau masuk ke keluarga ini ya harus tahu borok kita. Ya seperti ini adanya.”Sukma mengatakan hal tersebut dengan bibir yang lebar tertawa.
“Nona baik-baik saja?”Asher tahu pertanyaannya hanya basa-basi. Mana ada orang yang akan baik-baik saja jika keluar dari rumahnya sendiri dalam keadaan menangis. Uluran tisu yang dilakukan Asher juga tidak disambut segera. Dengan ringan, Asher memilih untuk mengayunkan ke pipi Isyana. Menghapus air mata yang begitu meleleh. Menghancurkan riasan Isyana. Untungnya Isyana termasuk yang tidak acuh terkait hal ini.“Ash.”“Ya Nona.”“Lu punya dendam apa ama gue?”Asher yang ditanya seperti itu langsung menoleh. Terasa aneh untuk Isyana sampai bertanya seperti tadi.“Maksudnya bagaimana Nona? Saya tidak ada dendam apa pun. Mengapa anda bertanya seperti tadi?”“Ya terus kalau lo gak dendam sama gue, kenapa lo usap-usap pipi gue kasar amat. Bisa-bisa ngelupas kulit gue ini!”Asher langsung menarik tangannya. Dia tidak sadar sampai melukai Isyana. Meski pun dia yakin benar sudah selembut mungkin.“Maaf Nona, sungguh saya tidak sengaja.”Asher salah tingkah sendiri. Dia begitu merasa bersala
“Mau pesan apa, Mister?”Asher tidak fokus dengan pertanyaan kasir. Masih saja matanya memandang Isyana yang sudah memilih tempat duduk.“Halo Mas Bule?”Kasir yang ada di depan Asher senang saja memandang wajah pria bule di depannya. Begitu tampan dan menyenangkan. Hanya saja antrian di belakang sana, juga harus diperhatikan. “Mister?”“Pesan paha dan dada dua yang original. Sama minumannya sekalian. Semuanya berapa?”Asher teringat masih berada di kasir. Tentu saja dia tidak ingin merepotkan antrian di belakang.“Baik, ada lagi?”“Tidak.”Asher menyerahkan kartu debit. Dengan tangan sedikit gemetar, kasir tadi menerima dan menggesek di mesin EDC.“Silakan PINnya.”Asher tanpa melihat ke arah perempuan yang sejak tadi tetap tersenyum. Pandangan tetap fokus pada Isyana. Takut kalau gadis itu dihampiri pemuda tidak jelas.“Terima kasih. Mohon ditunggu.”Asher segera bergeser. Memberikan ruang untuk antrian di belakang. Dengan tetap mengawasi Isyana. “Duh sudah seperti bodyguard saja.
Asher sesekali melirik Isyana yang sejak masuk mobil hanya diam. Pikirannya juga menjadi gelisah. Takut jika Isyana berpikir macam-macam mengenai mengenai perkataan Cakra tadi. “Nona, maaf tadi hanya bisa traktir di restoran fast food. Jika ada rejeki lebih, saya traktir di restoran yang elite ya.” Isyana yang sejak tadi melamun entah apa. Menoleh ke arah Asher. Pria bule itu juga kebetulan menoleh ke arah Isyana. Dalam beberapa detik, mereka saling pandang. Di antara mereka seperti ada angin yang membelai. “Eh, lo tidak perlu pikirkan pernyataan Cakra. Anak itu sering membual. Lagi pula, gue juga bisa makan tanpa harus nunggu traktir. Gue bukan perempuan yang jalan sama cowok terus harus ditraktir kali, Ash.” Isyana mengakhiri kata dengan senyuman. Memaksa Asher mempercayainya. “Iya Nona. Maaf ya, anda jadi tidak nyaman. Tadinya saya akan mencegah Nona. Tapi Nona sudah keburu pergi mengambil tempat duduk,” ucap Asher yang merasa bersalah dengan kejadian ini. “Oh jadi lo udah t
Hanya tinggal tiga orang yang ada di ruang tamu. Mereka hanya diam. Terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.Terdengar suara embusan napas kakek Jalu yang kencang. Usianya juga sudah tua. Namun tidak ada riwayat penyakit pernapasan. Hingga saat napas berat seperti ini, Isyana curiga kakeknya sedang stress.“Kek, maafin Isyana. Jangan sakit ya. Ikut nenek aja istirahat di kamar yuk,” ajak Isyana yang sadar kakeknya juga tidak baik-baik saja.“Gak lah Isyana. Kakek baik-baik aja kok. Maafin kakek dan nenek ya. Kau jangan pikirin hal tadi. Nenekmu kadang berlebihan emang,” sahut Kakek Jalu yang sangat iba pada cucunya.“Oh itu. Kakek tenang aja, Isyana gak masalahin kok. Nenek kan biasa begitu.”Isyana sudah tersenyum lebar. Dia tidak begitu kepikiran tentang neneknya yang memaksa menikah dengan Asher. Baginya, pernikahan tidak bisa semudah itu. Apa lagi hanya karena salah paham semata.“Syukurlah kalau kau biasa saja. Sana istirahat. Pasti capek habis perjalanan jauh.”Isyana terseny
Nenek Asma yang sejak awal mendukung hubungan Isyana—Asher, tampak tidak rela saat cucunya itu mengabarkan mereka tidak akan menikah.Sudah akting sesak napas pun percuma saja. Keputusan Isyana sudah bulat.Isyana berkata mereka hanya cocok sebagai teman dan patner kerja. Bukan untuk menikah. Karena itu pula, bibir Nenek yang biasanya cerewet bak petasan dibakar, mendadak tertutup saja.“Sudah to Nek. Isyana udah gede. Jalan hidupnya memang penuh liku. Tapi ya gak bisa maksa buat dia nikah sama Ash. Jangan jadi nenek yang zolim seperti pihak sebelah.”Pihak sebelah yang dimaksud tentu saja Ibu mertua dari anak mereka, besannya nenek Asma sendiri. Orang yang secara terang-terangan menghina mereka, tapi paling utama memakan uang hasil kerja keras Isyana dan Sukma.Kakek Jalu tidak ingin cucunya ditekan sana-sini. Dia ingin Isyana menemukan jodoh yang Soleh, baik dan bisa bekerja keras.Secocok apa pun mereka, belum tentu jodohnya. Jadi seharusnya sebagai orang yang lebih tua. Harus bisa
“Wih Asher, sudah gandeng cewek aja nih.”“Dia Isyana bukan sih? Cucunya Nek Asma.”“Iya Isyana itu. Kapan pulang sih Syan?” Gerombolan ibu-ibu gosip yang sedang menunggu tukang sayur, dibuat terkejut dengan kedatangan Isyana dan Asher yang jalan bersama. Mereka tampak serasi yang mana perempuannya glowing seperti artis ibu kota, sementara prianya merupakan blasteran.Siapa saja yang melihatnya, seperti sedang menonton syuting film, yang aktornya berjalan di jalan kampung.“Sudah satu Minggu ini Bu,” jawab Isyana sambil menyunggingkan senyum.“Oh, tapi gak pernah keliatan ya. Main sih Syan, biar kulitnya sedikit kebakar gitu.”“Hus ngaco. Cewek-cewek perawatan mahal biar putih, glowing, malah ini disuruh item.”Isyana hanya tersenyum kecil untuk menanggapi celotehan ibu-ibu tadi. Dia sudah terbiasa dengan tidak mengambil hati setiap perkataan yang mampir untuk dirinya.Bisa dikatakan, Isyana sudah kebal. Sejak dulu, dia juga selalu dipandang seperti itu. “Iya Bu. Kalau libur juga m
“Kurang ajar memang Asher. Bukannya bantu cari toko bahan bangunan, malah ninggalin gitu aja.”Isyana bersungut-sungut jalan ke rumah. Memang dia tadi jalan lebih dulu. Tapi tidak menyangka, akan kehilangan jejak Asher.Lagi pula, toko yang dimaksud Asher juga tidak dia temukan. Isyana hanya melihat bengkel Bagas yang begitu ramai pasien.Untung saja tidak ada yang mengajak Isyana bicara di jalan. Jika saja ada, dengan ekspresi yang menunjukkan kekesalan, tentu saja tabiatnya sedang tidak baik.“Eh Nona. Sedang apa di sini?”Bagas yang kebetulan lewat melihat Isyana jalan sendiri, menepikan motor dan berhenti.Beruntung sekali dia bisa bertemu dengan Nona cantik yang sedang diincar.“Kalau tidak keberatan, naik lah Nona. Saya bisa antar ke mana saja kau inginkan.”Bagas mengedipkan mata. Terasa sekali pria ini sedang menggoda Isyana. Tentu saja, tidak ada yang tidak mungkin bagi Bagas. Bisa jadi lewat hal sekecil ini, Isyana akan merasa nyaman dan tidak akan bisa lepas darinya. Kese