Raline memeluk pinggang Entin erat-erat. Saat ini Entin tengah mengebut entah berapa kilometer perjam. Yang jelas Raline merasa tubuhnya terpental-pental walaupun ia sudah memeluk pinggang Entin erat-erat. Raline tidak menyangka kalau Entin jago membalap juga."Lo bawa motornya jago amat, Tin. Udah berapa lama lo bisa naik motor, Tin?" Raline mengeraskan suaranya. Deru angin yang kencang membuatnya harus berteriak saat berbicara."Belum lama-lama amat sih, Non. Saya teh bisa naik motor paling tiga bulanan. Ini saya ngebut modal menarik gas aja. Pokoknya semakin dalam gas ditarik, semakin kencanglah motor ini berlari." Entin menjawab dengan berteriak keras juga.Raline meringis mendengar penjelasan Entin dengan logat Sundanya yang khas. Ia khawatir mereka keburu masuk rumah sakit, atau amit-amit, kuburan kalau saja Entin salah dalam berkendara. Menarik gas padahal harusnya mengerem misalnya. "Memangnya kenapa Non bertanya begitu? Non terpesona dengan kepiawaian saya mengebut ya?" Enti
Kerasnya musik membuat semua orang harus berteriak apabila berbicara. Setelah mengenakan gelang bernomor yang diberi oleh kasir, Raline mengajak Entin menuju bar. Mereka harus mencari dulu perempuan yang bernama Vera. Itu artinya mereka akan duduk cukup lama untuk mengamati. Supaya tidak terlihat mencurigakan, tentu saja mereka harus memesan minuman dan berbaur dengan pengunjung lainnya."Cocktail dua." Raline memesan dua seloki cocktail pada Bartender. Raline mengangkat dua jarinya saat bartender tidak mendengar jelas suaranya. Sejurus kemudian dua seloki cocktail dengan warna cerah menggoda disajikan bartender di hadapan masing-masing."Lo duduk di sini aja ya, Tin? Gue ke toilet sebentar buat ganti baju. Terus, ini minuman mengandung alkohol walau sedikit. Jadi nggak usah lo minum. Ini cuma akting doang agar rencana kita nggak ketahuan.""Oke. Selama Non ke toilet saya akan mengamati perempuan dengan ciri-ciri yang Pak Asep bilang." Entin mengangguk. Ia semangat sekali membantu Ral
"Boss! Keadaan darurat. Polisi menyerbu club!" Axel baru saja menutup laptop saat Erick menyerbu masuk ke dalam kantor bawah tanahnya."Oh polisi. Biar saja mereka memeriksa club. Kita toh tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum." Axel meregangkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan. Ia lelah karena marathon memeriksa pembukuan club. "Lo biasanya juga santai aja kalo polisi menggerebek. Ini kenapa lo panik?" Axel menjinjitkan alisnya. Tidak biasanya Erick panik begini. Digerebek polisi bukan hal yang mengejutkan. Bisnis hiburan itu rentan bermasalah dengan pihak yang berwajib. Lagi pula bukan sekali ini saja polisi melakukan razia di club. "Karena kali ini kita terkena masalah, Boss." Erick memijat-mijat pelipisnya. Boss besarnya pasti tidak menyangka ada penghianat di Astronomix ini."Masalah apa? Penjualan miras? Kita menjual pada orang yang cukup umur, di tempat khusus, membayar pajak sesuai peraturan juga. Apa yang salah?" Axel mengangkat bahu."Salahnya, mereka menangkap Vera
Selama berbicara pandangan Bripda Sahat berfokus pada Vera. Karena Vera tadi mengakui bahwa barang-barang yang ada di tasnya adalah adalah kokain, ganja dan pil ekstasi milik Axel."Tidak mungkin! Saya tidak percaya. Mana mungkin mereka bohong?" Vera panik. Kalau barang-barang ini palsu, artinya Axel tidak akan dihukum. Sebaliknya dirinyalah yang akan mendapat hukuman dari Axel. Bulu kuduknya meremang. Axel ini sangat membenci penghianat. Ia akan dibuat mati tidak, hidup pun lebih buruk dari mati. Ia tidak sanggup menanggung konsekuensinya. "Bripda Sahat bawa pengunjung yang bermasalah ke kantor, kecuali orang ini." Orlando menunjuk Vera dengan dagunya. Ia akan merembukkan masalah ini sebentar dengan Axel, baru ia akan membawa Vera dan Axel ke kantor polisi untuk bersaksi. "Saya tidak bersalah! Saya tidak tahu apa-apa. Sumpah, saya tidak tahu apa-apa." Vera bermaksud lari. Ia sudah mencondongkan tubuh ke depan. Siap memasang kuda-kuda untuk berlari. Namun gerakan Orlando lebih cepa
"Selamet." Raline menutup pintu kamar tanpa suara. Ia kemudian bersandar dibalik pintu sambil mengelus-elus dadanya lega. Akhirnya ia kembali ke kamar juga setelah berpetualang menjadi detektif amatiran bersama Entin di tengah malam. "Ini tangan gue kenapa gemeteran ya?" Raline mengangkat kedua tangannya ke udara. Memperhatikan kedua jemarinya yang bergetar di bawah sorotan lampu kamar."Ketakutan gue loadingnya lama kayaknya. Tadi aja gue gagah berani beraksi kayak jagoan di film-film. Eh sekarang gemeteran kayak orang mau dipancung. Rasa takut lo telat, Line." Raline mengomeli dirinya sendiri. Tok... tok... tok..."Ciat... Ciat..." Raline yang kaget karena pintu tiba-tiba diketuk, membuatnya latah. Raline refleks membuat gerakan-gerakan karate dasar yang diajarkan oleh Lily. Masalahnya karena ia belajar hanya setengah-setengah gerakan kuda-kudanya salah. Alhasil Raline terjengkang ke belakang. Gubrak!"Aduh!" Raline meringis. Punggung dan bokongnya sakit karena membentur lantai.
"Nah, gue udah menjelaskan alasan gue bukan? Untuk selanjutnya gue mau hubungan kita jujur dan sehat seperti ini. Ada masalah yang mengganjal pikiran lo, utarakan. Apa yang ingin lo ketahui, tanyakan. Jangan memendam apalagi mendendam. Setuju istriku?""Setuju, Mas." Ujung hidung Raline memerah menahan haru. Axel selalu mengerti dirinya. Axel tidak pernah menyalah-nyalahkannya. Laki-laki seperti ini di mana lagi bisa ia cari? Raline semakin bertekad untuk melestarikan Axel. Oleh karenanya ia harus membuat Axel tetap hidup bagaimanapun caranya."Acara bincang-bincang malam kali ini kita tiadakan ya, istriku? Gue capek banget hari ini. Jadi gue ingin langsung tidur. Nggak apa-apa 'kan?" Axel keluar dari kamar mandi dalam keadaan polos. Rambutnya masih dalam keadaan setengah basah, coba ia keringkan dengan sehelai handuk putih. Haduh, penampilan Axel konten dewasa bener etdah!"Maap ye, Mas suami. Bisa nggak aset berharga lo itu ditutupin dulu? Bukan apa-apa, gue jadi nggak konsen ngej
Saat Raline terbangun, ranjang di sisinya telah kosong. Raline meraba sisi ranjang. Dingin. Itu artinya Axel sudah pergi cukup lama. Raline memindai jam dinding. Pukul 05. 05 WIB. Ke mana Axel pada pagi-pagi buta begini? Padahal mereka baru tidur hampir pukul tiga dini hari. Raline bergegas ke kamar mandi. Setelah membersihkan tubuh dan mengganti piyamanya dengan sehelai kaos rajut dan kulot, Raline keluar kamar. Ia ingin mencari tahu tentang keberadaan Axel pada Bik Sari. Segala pusat berita di rumah ini Bik Sari lah yang paling tahu. Karena Bik Sari sehari-hari ada di rumah. Selain itu, Pak Surip, suaminya, adalah supir terpercaya Axel. Jadi informasi dari suami istri ini valid."Pagi, Bik." Raline menyapa Bik Sari yang sedang sibuk di dapur. "Pagi, Mbak Raline. Wah, Mbak Raline sudah bangun ya?" Bik Sari menjawab sapaan nyonya mudanya ramah. Ia berusaha sebaik mungkin menutupi kegelisahan hatinya."Ini saya sudah ngomong dan berdiri di hadapan Bibik. Ya pasti sudah bangun dong, B
Raline langsung naik ke boncengan begitu sebuah motor trail menghampirinya. Lily benar, Cia memang pembalap handal. Karena dalam waktu kurang dari dua puluh menit, Cia telah ada di hadapannya. "Lo nggak takut ntar laki lo absen, lo-nya nggak ada di kamar?" Cia memperingati Raline di antara deru suara motor."Tadi gue udah telepon laki gue duluan. Katanya dia pulang rada siangan. Pada Bik Sari gue bilang, gue mau tidur agar siang. So nggak usah bangunin gue." Raline balas berteriak."Cakep. Kalo gitu, ayo kita beraksi. Gue akan membuat Bima terpesona akan kejeniusan gue." Cia menekan memutar gas kian dalam. Ia sudah tidak sabar mengeluarkan sisi detektif dari dalam dirinya. Kalau cuma main detektif-detektifan mah kecil. Ia sudah sering menjadi kaki tangan Lily apabila sahabatnya itu merencanakan pemberontakan atas aturan kakaknya."Ci, gue tahu lo adalah orang beriman yang rindu Tuhan. Tapi tolong, lo bawa motornya jangan kayak orang yang mau nyamperin Tuhan begini dong. Gue nggak ma