Setelah menabrak Pak Dadang dan antek-anteknya Raline menjatuhkan dirinya ke jalan. Sepeda motor Cia, ia lepaskan begitu saja. Saat menjatuhkan diri Raline merunduk dan menempelkan dagunya pada dada. Dalam posisi memeluk dirinya sendiri begini, Raline berharap posisi jatuhnya ini bisa meminimalisir dampak yang buruk pada tubuhnya. Jatuhnya memang relatif aman. Namun siku dan lututnya perih sekali saat bergesekan dengan aspal. Belum lagi bokongnya yang menghantam aspal cukup keras. Ketika memindai Cia telah beraksi dengan pura-pura terkapar di samping motor trailnya, Raline segera berlari menjauhi lokasi. Sebelum berlalu, Raline sempat melihat Axel dan rombongan serta Bima berlari kencang mendekati Pak Dadang CS yang tergeletak di jalan sambil mengerang kesakitan . Raline meringis melihat Aksi Cia yang tidak digubris oleh Bima. Bima malah ikut Axel dan rombongan polisi memeriksa keadaan Pak Dadang CS. Malang sekali nasib si Cia ini. Nasib lo juga malang, Line. Untung lo kagak mati a
"Selamat." Raline bersyukur bahwa ia masih bisa selamat untuk kedua kalinya dalam satu hari. Kalau dipikir-pikir, dirinya sudah menjadi seorang mafiawati mandiri saat ini. Raline membuka jaket dan kulotnya yang bolong-bolong. Membersihkan luka-lukanya di bawah air mengalir, serta membubuhi obat luka seadanya sebagai pertolongan pertama. "Eh kodok... kodok..." Raline kaget saat pintu kamarnya diketuk dari luar."Mbak Raline. Ini ada Non Lily. Katanya si Non mau menemui Mbak Raline di kamar saja. Boleh tidak, Mbak?" Suara Bik Sari terdengar di ambang pintu. "Boleh, Bik. Sebentar." Raline meraih piyama satin di kapstok. Setelah mengikat tali piyamanya di pinggang, Raline baru membuka pintu kamar."Baru bangun tidur lo, Kakak Ipar?" Lily mulai bermain sandiwara. Raline melongo sejenak. Bukannya Lily sudah tahu kalau dirinya baru saja berpetualang? Ketika melihat Lily mengedipkan sebelah matanya, barulah Raline sadar. Mereka berdua memang harus mengelabuhi Bik Sari. "Eh iya, Ly. Entah k
Raline meringis saat petugas rumah sakit membersihkan lukanya. Ia tidak tahu cairan apa yang dioleskan pada luka-lukanya. Namun rasanya perih sekali. "Tahan sebentar ya, Bu? Lukanya harus dibersihkan dengan cairan NaCL agar tidak terjadi infeksi." Sang perawat manis IGD yang menangani luka Raline menasehati dengan lembut."Dicuci di bawah air yang mengalir saja tidak cukup ya, Suster?" Raline meminta penjelasan. Soalnya ia sudah membersihkan lukanya saat di rumah tadi."Kalau lukanya kecil, sebagai pertolongan pertama memang cukup. Tetapi kalau sebesar ini, apalagi lukanya di bagian sendi tidak cukup, Bu. Luka dibagian sendi pasti akan lebih lama sembuhnya. Karena daerah sendi sering terjadi pergerakan yang mempengaruhi proses penyembuhan luka. Kalau mencucinya tidak bersih, luka bisa bernanah karena terjadi infeksi." Suster rumah sakit menerangkan dengan sabar. "Udah lo diem aja. Pokoknya luka-luka lo diobati agar cepat sembuh, Kakak Ipar. Lo nyinyir amat dah." Lily mengomeli Ralin
"Pesmol ikan nila, ayam goreng bumbu, fajri nenas dan lalapan. Beres semuanya. Untuk Kak Axel udah gue rantangin sekalian ya? Sekarang kita tinggal menunggu kedatangan si Lia." Lily membuka celemeknya. Hampir dua jam berkutat di dapur telah membuatnya berkeringat."Maaf ya, gue nggak bantuin lo masak. Tangan gue masih cenat-cenut soalnya." Raline merasa tidak enak karena hanya menjadi mandor di dapur Lily. Yang memasang Lily dibantu Bik Asni."Kagak apa-apa, Kakak Ipar. Aman itu.""Eh lo manggil Lia ke sini ngapain? Lo mau bagiin makanan ke Aksa juga?" Raline bingung. Ada urusan apa si bar bar Lia dipanggil ke rumah ini. Lagi pula Raline merasa tidak nyaman bersama Lia. Bayangkan saja, Aksa, suami Lia itu adalah mantan tunangan delapan tahunnya. Dulu Raline juga kerap menjahati Lia demi mempertahankan hubungannya dengan Aksa. Sekarang Raline memang sudah melupakan semuanya dan tidak mencintai Aksa lagi. Namun tetap saja, rikuh rasanya harus bertemu dengan Lia lagi."Si Lia ke sini unt
Axel merasa ada yang salah saat kedatangannya disambut Lily alih-alih Raline. "Hallo, Kak. Ayo masuk." Lily melebarkan daun pintu. Saat ini Raline sedang latihan berbohong di kamar mandi. Kakak iparnya itu bilang bahwa ia perlu melemaskan lidahnya dulu sebelum menyuarakan kebohongan. Ia takut kelepasan bicara kalau tidak latihan sebentar katanya."Ke mana kakak iparmu, Ly? Kenapa malah kamu yang menyambut Kakak?" Axel melewati pintu ruang tamu. Ia bermaksud menjatuhkan bokong di sofa empuk berwarna merah maroon. Setelah semalam suntuk mengurus kebakaran di kafe, ia lelah lahir batin saat ini."Astaga, kamu kenapa, istriku?" Axel yang sudah dalam posisi separuh membungkuk di sofa, tidak jadi duduk. Ia kaget saat melihat penampakan babak belur Raline yang baru muncul di ruang tamu. Axel menyeberangi ruangan dan berdiri tepat di hadapan Raline."Gue... gue..." Raline kehilangan kata-kata. Semua kalimat penyangkalan yang tadinya sudah ia hapal berulang-ulang, buyar karena melihat tatapan
"Gue... anu... itu..." Raline makin bingung. Sebenarnya ia ingin menjawab. Masalahnya Lily terus memberinya kode agar ia tidak bicara. Raline benar-benar dilema. "Lo bohong, makanya lo nggak bersedia menjawab bukan?" tuduh Axel. "Dari mana Kakak tahu kalo kakak ipar bohong?" Alih-alih Raline, Lily lah yang menjawab. "Dari awal. Saat lo bilang lo mengizinkan Raline mengendarai motor karena kemungkinan mengidam, gue langsung tahu kalo lo bohong." Axel menudingkan jemarinya pada Lily. "Karena kalo lo tahu, kakak ipar lo kemungkinan mengidam, lo tidak mungkin membahayakan janinnya dengan mengabulkan keinginan kakak ipar lo naik motor segala." Seratus untuk lo, Kak. Batin Lily. "Yang kedua. Knalpot motor ini masih lumayan panas. Sementara luka-luka Raline sudah membentuk jaringan. Artinya apa? Artinya luka-luka Raline sudah cukup lama. Setidaknya sudah lima jam lamanya. Jadi, Raline terluka bukan karena motor ini. Mau penjelasan yang lebih masuk akal? Lihat posisi lecet-lecet motor i
"Bagaimana lo bisa keluar rumah tanpa diketahui oleh penjaga, Istriku?" Axel menahan-nahan keinginannya untuk berteriak. Axel tahu kalau ia meninggikan suaranya bisa saja Raline kehilangan keberaniannya untuk bercerita."Gue keluar lewat jalan rahasia bawah tanah, seperti yang diberitahu Bik Sari. Jangan salahkan Bik Sari ya, Mas? Karena sebenarnya gue yang telah mempedayanya." Raline buru-buru memberikan alasan mengapa Bik Sari sampai memberitahukannya perihal jalan rahasia. Ia tidak mau ART yang baik dan setia seperti Bik Sari terbawa-bawa dalam masalah ini. "Kalau lo sudah tau mengenai jalan rahasia. Jangan-jangan bukan hanya masalah kebakaran kafe ini saja yang ada andil lo di dalamnya. Apakah ada masalah lain yang lo juga terlibat di dalamnya?" pancing Axel ini. Ia menduga akan satu hal lagi yang mungkin saja diprakarsai oleh Raline. Walau rasanya mustahil, tapi mungkin saja bukan? Mengingat istrinya ini banyak mendapat bala bantuan.Kadung basah, mandi saja sekalian. "Gue jug
Axel tidak menjawab pertanyaan Raline. Ia malah membuka ponsel dan mengotak-atiknya sebentar. Setelahnya ia berteriak memanggil nama Lily. Sejurus kemudian Lily muncul di ruang tamu dengan pakaian yang sudah berganti. Jikalau tadi Lily mengenakan gaun babydoll berbahan rayon, sekarang Lily mengenakan kaos lengan panjang dan celana training. Lily seperti akan berolah raga. "Udah bersiap-siap lo rupanya ya?" Axel melirik Lily sinis. Yang dilirik menelan ludah sembari melirik pintu gerbang. Lily takut kalau Heru tiba tidak tepat waktu."Alhamdulillah hirobbil alamin," Lily mengucap syukur saat memindai Satpam membuka pintu gerbang untuk kepulangan Heru. "Lo kira Heru bisa menyelamatkan lo dari hukuman, Lele Dumbo?" Axel mendengkus. Perkiraannya benar. Adiknya meminta bantuan dari sang suami. Raline melirik ke teras. Heru terlihat keluar dari mobil bahkan sebelum mobilnya benar-benar berhenti. Raline tersenyum kecil. Seperti inilah cinta. Cinta Heru pada Lily tidak perlu dipertanyakan