"Pesmol ikan nila, ayam goreng bumbu, fajri nenas dan lalapan. Beres semuanya. Untuk Kak Axel udah gue rantangin sekalian ya? Sekarang kita tinggal menunggu kedatangan si Lia." Lily membuka celemeknya. Hampir dua jam berkutat di dapur telah membuatnya berkeringat."Maaf ya, gue nggak bantuin lo masak. Tangan gue masih cenat-cenut soalnya." Raline merasa tidak enak karena hanya menjadi mandor di dapur Lily. Yang memasang Lily dibantu Bik Asni."Kagak apa-apa, Kakak Ipar. Aman itu.""Eh lo manggil Lia ke sini ngapain? Lo mau bagiin makanan ke Aksa juga?" Raline bingung. Ada urusan apa si bar bar Lia dipanggil ke rumah ini. Lagi pula Raline merasa tidak nyaman bersama Lia. Bayangkan saja, Aksa, suami Lia itu adalah mantan tunangan delapan tahunnya. Dulu Raline juga kerap menjahati Lia demi mempertahankan hubungannya dengan Aksa. Sekarang Raline memang sudah melupakan semuanya dan tidak mencintai Aksa lagi. Namun tetap saja, rikuh rasanya harus bertemu dengan Lia lagi."Si Lia ke sini unt
Axel merasa ada yang salah saat kedatangannya disambut Lily alih-alih Raline. "Hallo, Kak. Ayo masuk." Lily melebarkan daun pintu. Saat ini Raline sedang latihan berbohong di kamar mandi. Kakak iparnya itu bilang bahwa ia perlu melemaskan lidahnya dulu sebelum menyuarakan kebohongan. Ia takut kelepasan bicara kalau tidak latihan sebentar katanya."Ke mana kakak iparmu, Ly? Kenapa malah kamu yang menyambut Kakak?" Axel melewati pintu ruang tamu. Ia bermaksud menjatuhkan bokong di sofa empuk berwarna merah maroon. Setelah semalam suntuk mengurus kebakaran di kafe, ia lelah lahir batin saat ini."Astaga, kamu kenapa, istriku?" Axel yang sudah dalam posisi separuh membungkuk di sofa, tidak jadi duduk. Ia kaget saat melihat penampakan babak belur Raline yang baru muncul di ruang tamu. Axel menyeberangi ruangan dan berdiri tepat di hadapan Raline."Gue... gue..." Raline kehilangan kata-kata. Semua kalimat penyangkalan yang tadinya sudah ia hapal berulang-ulang, buyar karena melihat tatapan
"Gue... anu... itu..." Raline makin bingung. Sebenarnya ia ingin menjawab. Masalahnya Lily terus memberinya kode agar ia tidak bicara. Raline benar-benar dilema. "Lo bohong, makanya lo nggak bersedia menjawab bukan?" tuduh Axel. "Dari mana Kakak tahu kalo kakak ipar bohong?" Alih-alih Raline, Lily lah yang menjawab. "Dari awal. Saat lo bilang lo mengizinkan Raline mengendarai motor karena kemungkinan mengidam, gue langsung tahu kalo lo bohong." Axel menudingkan jemarinya pada Lily. "Karena kalo lo tahu, kakak ipar lo kemungkinan mengidam, lo tidak mungkin membahayakan janinnya dengan mengabulkan keinginan kakak ipar lo naik motor segala." Seratus untuk lo, Kak. Batin Lily. "Yang kedua. Knalpot motor ini masih lumayan panas. Sementara luka-luka Raline sudah membentuk jaringan. Artinya apa? Artinya luka-luka Raline sudah cukup lama. Setidaknya sudah lima jam lamanya. Jadi, Raline terluka bukan karena motor ini. Mau penjelasan yang lebih masuk akal? Lihat posisi lecet-lecet motor i
"Bagaimana lo bisa keluar rumah tanpa diketahui oleh penjaga, Istriku?" Axel menahan-nahan keinginannya untuk berteriak. Axel tahu kalau ia meninggikan suaranya bisa saja Raline kehilangan keberaniannya untuk bercerita."Gue keluar lewat jalan rahasia bawah tanah, seperti yang diberitahu Bik Sari. Jangan salahkan Bik Sari ya, Mas? Karena sebenarnya gue yang telah mempedayanya." Raline buru-buru memberikan alasan mengapa Bik Sari sampai memberitahukannya perihal jalan rahasia. Ia tidak mau ART yang baik dan setia seperti Bik Sari terbawa-bawa dalam masalah ini. "Kalau lo sudah tau mengenai jalan rahasia. Jangan-jangan bukan hanya masalah kebakaran kafe ini saja yang ada andil lo di dalamnya. Apakah ada masalah lain yang lo juga terlibat di dalamnya?" pancing Axel ini. Ia menduga akan satu hal lagi yang mungkin saja diprakarsai oleh Raline. Walau rasanya mustahil, tapi mungkin saja bukan? Mengingat istrinya ini banyak mendapat bala bantuan.Kadung basah, mandi saja sekalian. "Gue jug
Axel tidak menjawab pertanyaan Raline. Ia malah membuka ponsel dan mengotak-atiknya sebentar. Setelahnya ia berteriak memanggil nama Lily. Sejurus kemudian Lily muncul di ruang tamu dengan pakaian yang sudah berganti. Jikalau tadi Lily mengenakan gaun babydoll berbahan rayon, sekarang Lily mengenakan kaos lengan panjang dan celana training. Lily seperti akan berolah raga. "Udah bersiap-siap lo rupanya ya?" Axel melirik Lily sinis. Yang dilirik menelan ludah sembari melirik pintu gerbang. Lily takut kalau Heru tiba tidak tepat waktu."Alhamdulillah hirobbil alamin," Lily mengucap syukur saat memindai Satpam membuka pintu gerbang untuk kepulangan Heru. "Lo kira Heru bisa menyelamatkan lo dari hukuman, Lele Dumbo?" Axel mendengkus. Perkiraannya benar. Adiknya meminta bantuan dari sang suami. Raline melirik ke teras. Heru terlihat keluar dari mobil bahkan sebelum mobilnya benar-benar berhenti. Raline tersenyum kecil. Seperti inilah cinta. Cinta Heru pada Lily tidak perlu dipertanyakan
"Lah si Erick ngapain ke sini?" Lily mengerutkan alis melihat mobil Erick memasuki gerbang. "Lo nanya gue, terus gue nanya siapa? 'Kan kita sama-sama distrap di sini. Tanya aja sama orangnya langsung." Raline memutar bola mata. Adik iparnya ini IQnya tidak bagus rupanya."Ck, gue bukan nyuruh lo jawab, Kakak Ipar. Gue cuma heran aja." Lily mendecakkan lidah. Kakak iparnya ini semua hal dianggap serius. Lily nyengir seketika ketika pintu pengendara dan pintu penumpang terbuka. Tampak Erick turun dari mobil diikuti Cia yang menekuk muka. Pasti Axel meminta Erick menjemput Cia untuk menjalani hukuman juga."Lah, itu si Cia ngapain di mari?" Gantian Raline yang bingung."Lo nanya gue, gue nanya siapa, Kakak Ipar." Lily gantian membalikkan kata-kata Raline."Diem lo. Sama Kakak Ipar nggak boleh nyolot. Pamali." Raline memelototi Lily. Adik ipar sebiji ini kalau ada kesempatan bawaannya mau membalas orang saja."Kita berdiri bersama Raline dan Lily di sini. Setelah matahari terbenam, Bima
"Kalau gitu gue juga di sini nemenin lo." Lily ikut berdiri di samping Raline. Ia harus setia kawan. Melalui sudut mata, Lily memindai kalau Cia juga kembali ke tempat mereka berdiri. Cia pasti merasa tidak enak juga. Kini mereka berdiri bersisian bertiga. Heru menarik napas panjang. Kalau begini ceritanya tiga sekawan ini pasti akan semaput cepat atau lambat. Ia harus segera mengambil tindakan. Gebrakan pertamanya adalah mengamankan kepala sukunya dulu."Ci, coba kamu geser ke tengah dan pegang dulu payung ini." Heru merampas payung dari tangan Lily dan memberikannya pada Cia yang kini sudah berdiri di samping Raline. "Kok si Cia yang pegang payung sih, Mas? Lho... aku mau dibawa ke mana, Mas?" Heru tiba-tiba saja menggendong Lily dan membawanya masuk ke dalam rumah."Turunkan aku, Mas! Aku harus bersama mereka. Turunkan aku bilang, Mas!" Lily mengamuk. Tidak bisa. Pokoknya apapun yang terjadi, mereka harus bersama. Kehamilannya tidak akan ia jadikan alasan untuk mangkir dari hukuma
Axel memaki dirinya sendiri saat melihat pemandangan di hadapannya. Raline berdiri setengah tegak setengah miring dengan bantuan bahu Erick di tengah hujan deras. Cia walau berdiri tegak, tapi tangannya terus memperbaiki poni rambutnya yang terbelah dua bagai jendela terbuka. Sahabat adiknya ini memang paling takut terlihat jelek. Istimewa di depan Bima. Sementara Lily sudah raib. Axel yakin, Lily telah diamankan oleh Heru. "Mas, mataharinya belum tenggelam kok Mas sudah datang?" Walau kesadarannya sudah tinggal separuh, Raline tetap menyapa Axel. Ia ingin tampak kuat di hadapan suaminya. Masa iya istri mafia letoi? Tidak bisa!"Eh, Mas ngapain ikut berdiri di sini? Mas 'kan tidak ikut dihukum. Masuk saja ke dalam rumah. Ini lagi hu--hujan deras. Nanti M--as sa--kit." Raline kesulitan menahan getaran dalam suaranya. Ia kelelahan dan kedinginan. Ditambah denyut nyeri dari luka-lukanya, badan Raline tidak karuan rasanya."Rick--""Boss, bawa nyonya boss masuk dulu. Nyonya boss demam ti