Raline meringis saat petugas rumah sakit membersihkan lukanya. Ia tidak tahu cairan apa yang dioleskan pada luka-lukanya. Namun rasanya perih sekali. "Tahan sebentar ya, Bu? Lukanya harus dibersihkan dengan cairan NaCL agar tidak terjadi infeksi." Sang perawat manis IGD yang menangani luka Raline menasehati dengan lembut."Dicuci di bawah air yang mengalir saja tidak cukup ya, Suster?" Raline meminta penjelasan. Soalnya ia sudah membersihkan lukanya saat di rumah tadi."Kalau lukanya kecil, sebagai pertolongan pertama memang cukup. Tetapi kalau sebesar ini, apalagi lukanya di bagian sendi tidak cukup, Bu. Luka dibagian sendi pasti akan lebih lama sembuhnya. Karena daerah sendi sering terjadi pergerakan yang mempengaruhi proses penyembuhan luka. Kalau mencucinya tidak bersih, luka bisa bernanah karena terjadi infeksi." Suster rumah sakit menerangkan dengan sabar. "Udah lo diem aja. Pokoknya luka-luka lo diobati agar cepat sembuh, Kakak Ipar. Lo nyinyir amat dah." Lily mengomeli Ralin
"Pesmol ikan nila, ayam goreng bumbu, fajri nenas dan lalapan. Beres semuanya. Untuk Kak Axel udah gue rantangin sekalian ya? Sekarang kita tinggal menunggu kedatangan si Lia." Lily membuka celemeknya. Hampir dua jam berkutat di dapur telah membuatnya berkeringat."Maaf ya, gue nggak bantuin lo masak. Tangan gue masih cenat-cenut soalnya." Raline merasa tidak enak karena hanya menjadi mandor di dapur Lily. Yang memasang Lily dibantu Bik Asni."Kagak apa-apa, Kakak Ipar. Aman itu.""Eh lo manggil Lia ke sini ngapain? Lo mau bagiin makanan ke Aksa juga?" Raline bingung. Ada urusan apa si bar bar Lia dipanggil ke rumah ini. Lagi pula Raline merasa tidak nyaman bersama Lia. Bayangkan saja, Aksa, suami Lia itu adalah mantan tunangan delapan tahunnya. Dulu Raline juga kerap menjahati Lia demi mempertahankan hubungannya dengan Aksa. Sekarang Raline memang sudah melupakan semuanya dan tidak mencintai Aksa lagi. Namun tetap saja, rikuh rasanya harus bertemu dengan Lia lagi."Si Lia ke sini unt
Axel merasa ada yang salah saat kedatangannya disambut Lily alih-alih Raline. "Hallo, Kak. Ayo masuk." Lily melebarkan daun pintu. Saat ini Raline sedang latihan berbohong di kamar mandi. Kakak iparnya itu bilang bahwa ia perlu melemaskan lidahnya dulu sebelum menyuarakan kebohongan. Ia takut kelepasan bicara kalau tidak latihan sebentar katanya."Ke mana kakak iparmu, Ly? Kenapa malah kamu yang menyambut Kakak?" Axel melewati pintu ruang tamu. Ia bermaksud menjatuhkan bokong di sofa empuk berwarna merah maroon. Setelah semalam suntuk mengurus kebakaran di kafe, ia lelah lahir batin saat ini."Astaga, kamu kenapa, istriku?" Axel yang sudah dalam posisi separuh membungkuk di sofa, tidak jadi duduk. Ia kaget saat melihat penampakan babak belur Raline yang baru muncul di ruang tamu. Axel menyeberangi ruangan dan berdiri tepat di hadapan Raline."Gue... gue..." Raline kehilangan kata-kata. Semua kalimat penyangkalan yang tadinya sudah ia hapal berulang-ulang, buyar karena melihat tatapan
"Gue... anu... itu..." Raline makin bingung. Sebenarnya ia ingin menjawab. Masalahnya Lily terus memberinya kode agar ia tidak bicara. Raline benar-benar dilema. "Lo bohong, makanya lo nggak bersedia menjawab bukan?" tuduh Axel. "Dari mana Kakak tahu kalo kakak ipar bohong?" Alih-alih Raline, Lily lah yang menjawab. "Dari awal. Saat lo bilang lo mengizinkan Raline mengendarai motor karena kemungkinan mengidam, gue langsung tahu kalo lo bohong." Axel menudingkan jemarinya pada Lily. "Karena kalo lo tahu, kakak ipar lo kemungkinan mengidam, lo tidak mungkin membahayakan janinnya dengan mengabulkan keinginan kakak ipar lo naik motor segala." Seratus untuk lo, Kak. Batin Lily. "Yang kedua. Knalpot motor ini masih lumayan panas. Sementara luka-luka Raline sudah membentuk jaringan. Artinya apa? Artinya luka-luka Raline sudah cukup lama. Setidaknya sudah lima jam lamanya. Jadi, Raline terluka bukan karena motor ini. Mau penjelasan yang lebih masuk akal? Lihat posisi lecet-lecet motor i
"Bagaimana lo bisa keluar rumah tanpa diketahui oleh penjaga, Istriku?" Axel menahan-nahan keinginannya untuk berteriak. Axel tahu kalau ia meninggikan suaranya bisa saja Raline kehilangan keberaniannya untuk bercerita."Gue keluar lewat jalan rahasia bawah tanah, seperti yang diberitahu Bik Sari. Jangan salahkan Bik Sari ya, Mas? Karena sebenarnya gue yang telah mempedayanya." Raline buru-buru memberikan alasan mengapa Bik Sari sampai memberitahukannya perihal jalan rahasia. Ia tidak mau ART yang baik dan setia seperti Bik Sari terbawa-bawa dalam masalah ini. "Kalau lo sudah tau mengenai jalan rahasia. Jangan-jangan bukan hanya masalah kebakaran kafe ini saja yang ada andil lo di dalamnya. Apakah ada masalah lain yang lo juga terlibat di dalamnya?" pancing Axel ini. Ia menduga akan satu hal lagi yang mungkin saja diprakarsai oleh Raline. Walau rasanya mustahil, tapi mungkin saja bukan? Mengingat istrinya ini banyak mendapat bala bantuan.Kadung basah, mandi saja sekalian. "Gue jug
Axel tidak menjawab pertanyaan Raline. Ia malah membuka ponsel dan mengotak-atiknya sebentar. Setelahnya ia berteriak memanggil nama Lily. Sejurus kemudian Lily muncul di ruang tamu dengan pakaian yang sudah berganti. Jikalau tadi Lily mengenakan gaun babydoll berbahan rayon, sekarang Lily mengenakan kaos lengan panjang dan celana training. Lily seperti akan berolah raga. "Udah bersiap-siap lo rupanya ya?" Axel melirik Lily sinis. Yang dilirik menelan ludah sembari melirik pintu gerbang. Lily takut kalau Heru tiba tidak tepat waktu."Alhamdulillah hirobbil alamin," Lily mengucap syukur saat memindai Satpam membuka pintu gerbang untuk kepulangan Heru. "Lo kira Heru bisa menyelamatkan lo dari hukuman, Lele Dumbo?" Axel mendengkus. Perkiraannya benar. Adiknya meminta bantuan dari sang suami. Raline melirik ke teras. Heru terlihat keluar dari mobil bahkan sebelum mobilnya benar-benar berhenti. Raline tersenyum kecil. Seperti inilah cinta. Cinta Heru pada Lily tidak perlu dipertanyakan
"Lah si Erick ngapain ke sini?" Lily mengerutkan alis melihat mobil Erick memasuki gerbang. "Lo nanya gue, terus gue nanya siapa? 'Kan kita sama-sama distrap di sini. Tanya aja sama orangnya langsung." Raline memutar bola mata. Adik iparnya ini IQnya tidak bagus rupanya."Ck, gue bukan nyuruh lo jawab, Kakak Ipar. Gue cuma heran aja." Lily mendecakkan lidah. Kakak iparnya ini semua hal dianggap serius. Lily nyengir seketika ketika pintu pengendara dan pintu penumpang terbuka. Tampak Erick turun dari mobil diikuti Cia yang menekuk muka. Pasti Axel meminta Erick menjemput Cia untuk menjalani hukuman juga."Lah, itu si Cia ngapain di mari?" Gantian Raline yang bingung."Lo nanya gue, gue nanya siapa, Kakak Ipar." Lily gantian membalikkan kata-kata Raline."Diem lo. Sama Kakak Ipar nggak boleh nyolot. Pamali." Raline memelototi Lily. Adik ipar sebiji ini kalau ada kesempatan bawaannya mau membalas orang saja."Kita berdiri bersama Raline dan Lily di sini. Setelah matahari terbenam, Bima
"Kalau gitu gue juga di sini nemenin lo." Lily ikut berdiri di samping Raline. Ia harus setia kawan. Melalui sudut mata, Lily memindai kalau Cia juga kembali ke tempat mereka berdiri. Cia pasti merasa tidak enak juga. Kini mereka berdiri bersisian bertiga. Heru menarik napas panjang. Kalau begini ceritanya tiga sekawan ini pasti akan semaput cepat atau lambat. Ia harus segera mengambil tindakan. Gebrakan pertamanya adalah mengamankan kepala sukunya dulu."Ci, coba kamu geser ke tengah dan pegang dulu payung ini." Heru merampas payung dari tangan Lily dan memberikannya pada Cia yang kini sudah berdiri di samping Raline. "Kok si Cia yang pegang payung sih, Mas? Lho... aku mau dibawa ke mana, Mas?" Heru tiba-tiba saja menggendong Lily dan membawanya masuk ke dalam rumah."Turunkan aku, Mas! Aku harus bersama mereka. Turunkan aku bilang, Mas!" Lily mengamuk. Tidak bisa. Pokoknya apapun yang terjadi, mereka harus bersama. Kehamilannya tidak akan ia jadikan alasan untuk mangkir dari hukuma
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta