"Ponsel saya disita ayah, Kak. Ini saya meminjam ponsel Pak Asep. Kak, saya sudah tahu siapa Kakak sebenarnya dari hasil menguping. Saya cuma mau memperingatkan Kakak, agar Kakak lebih hati-hati lagi menjaga diri. Ayah sudah tahu kalau yang menolong Om Axel kemarin dulu itu Kakak, bukan saya. Anak-anak jalanan yang kebetulan bertemu dengan Kakak itu yang memberitahu ayah. Ayah marah sekali, Kak. Apalagi sekarang ayah juga tahu kalau Kakak sudah menikah dengan Om Axel dari Bang Calvin.""Oh, jadi si Calvin sialan itu anak buah ayahmu?""Iya, Kak. Nah saya juga ada satu berita penting untuk Om Axel. Ayah dan Om Riswan berencana akan menjebak Om Axel nanti malam di Astronomix.""Gimana... gimana... coba ceritakan pelan-pelan, biar Kakak paham." Raline celingukan. Mencari-cari ruangan yang aman sebelum meneruskan pembicaraan dengan Randy. Ketika menemukan sebuah dinding bermotif hexagonal di lorong yang mengarah ke dapur, Raline menyandarkan punggungnya. Tepat ketika punggungnya menyentu
Raline memeluk pinggang Entin erat-erat. Saat ini Entin tengah mengebut entah berapa kilometer perjam. Yang jelas Raline merasa tubuhnya terpental-pental walaupun ia sudah memeluk pinggang Entin erat-erat. Raline tidak menyangka kalau Entin jago membalap juga."Lo bawa motornya jago amat, Tin. Udah berapa lama lo bisa naik motor, Tin?" Raline mengeraskan suaranya. Deru angin yang kencang membuatnya harus berteriak saat berbicara."Belum lama-lama amat sih, Non. Saya teh bisa naik motor paling tiga bulanan. Ini saya ngebut modal menarik gas aja. Pokoknya semakin dalam gas ditarik, semakin kencanglah motor ini berlari." Entin menjawab dengan berteriak keras juga.Raline meringis mendengar penjelasan Entin dengan logat Sundanya yang khas. Ia khawatir mereka keburu masuk rumah sakit, atau amit-amit, kuburan kalau saja Entin salah dalam berkendara. Menarik gas padahal harusnya mengerem misalnya. "Memangnya kenapa Non bertanya begitu? Non terpesona dengan kepiawaian saya mengebut ya?" Enti
Kerasnya musik membuat semua orang harus berteriak apabila berbicara. Setelah mengenakan gelang bernomor yang diberi oleh kasir, Raline mengajak Entin menuju bar. Mereka harus mencari dulu perempuan yang bernama Vera. Itu artinya mereka akan duduk cukup lama untuk mengamati. Supaya tidak terlihat mencurigakan, tentu saja mereka harus memesan minuman dan berbaur dengan pengunjung lainnya."Cocktail dua." Raline memesan dua seloki cocktail pada Bartender. Raline mengangkat dua jarinya saat bartender tidak mendengar jelas suaranya. Sejurus kemudian dua seloki cocktail dengan warna cerah menggoda disajikan bartender di hadapan masing-masing."Lo duduk di sini aja ya, Tin? Gue ke toilet sebentar buat ganti baju. Terus, ini minuman mengandung alkohol walau sedikit. Jadi nggak usah lo minum. Ini cuma akting doang agar rencana kita nggak ketahuan.""Oke. Selama Non ke toilet saya akan mengamati perempuan dengan ciri-ciri yang Pak Asep bilang." Entin mengangguk. Ia semangat sekali membantu Ral
"Boss! Keadaan darurat. Polisi menyerbu club!" Axel baru saja menutup laptop saat Erick menyerbu masuk ke dalam kantor bawah tanahnya."Oh polisi. Biar saja mereka memeriksa club. Kita toh tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum." Axel meregangkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan. Ia lelah karena marathon memeriksa pembukuan club. "Lo biasanya juga santai aja kalo polisi menggerebek. Ini kenapa lo panik?" Axel menjinjitkan alisnya. Tidak biasanya Erick panik begini. Digerebek polisi bukan hal yang mengejutkan. Bisnis hiburan itu rentan bermasalah dengan pihak yang berwajib. Lagi pula bukan sekali ini saja polisi melakukan razia di club. "Karena kali ini kita terkena masalah, Boss." Erick memijat-mijat pelipisnya. Boss besarnya pasti tidak menyangka ada penghianat di Astronomix ini."Masalah apa? Penjualan miras? Kita menjual pada orang yang cukup umur, di tempat khusus, membayar pajak sesuai peraturan juga. Apa yang salah?" Axel mengangkat bahu."Salahnya, mereka menangkap Vera
Selama berbicara pandangan Bripda Sahat berfokus pada Vera. Karena Vera tadi mengakui bahwa barang-barang yang ada di tasnya adalah adalah kokain, ganja dan pil ekstasi milik Axel."Tidak mungkin! Saya tidak percaya. Mana mungkin mereka bohong?" Vera panik. Kalau barang-barang ini palsu, artinya Axel tidak akan dihukum. Sebaliknya dirinyalah yang akan mendapat hukuman dari Axel. Bulu kuduknya meremang. Axel ini sangat membenci penghianat. Ia akan dibuat mati tidak, hidup pun lebih buruk dari mati. Ia tidak sanggup menanggung konsekuensinya. "Bripda Sahat bawa pengunjung yang bermasalah ke kantor, kecuali orang ini." Orlando menunjuk Vera dengan dagunya. Ia akan merembukkan masalah ini sebentar dengan Axel, baru ia akan membawa Vera dan Axel ke kantor polisi untuk bersaksi. "Saya tidak bersalah! Saya tidak tahu apa-apa. Sumpah, saya tidak tahu apa-apa." Vera bermaksud lari. Ia sudah mencondongkan tubuh ke depan. Siap memasang kuda-kuda untuk berlari. Namun gerakan Orlando lebih cepa
"Selamet." Raline menutup pintu kamar tanpa suara. Ia kemudian bersandar dibalik pintu sambil mengelus-elus dadanya lega. Akhirnya ia kembali ke kamar juga setelah berpetualang menjadi detektif amatiran bersama Entin di tengah malam. "Ini tangan gue kenapa gemeteran ya?" Raline mengangkat kedua tangannya ke udara. Memperhatikan kedua jemarinya yang bergetar di bawah sorotan lampu kamar."Ketakutan gue loadingnya lama kayaknya. Tadi aja gue gagah berani beraksi kayak jagoan di film-film. Eh sekarang gemeteran kayak orang mau dipancung. Rasa takut lo telat, Line." Raline mengomeli dirinya sendiri. Tok... tok... tok..."Ciat... Ciat..." Raline yang kaget karena pintu tiba-tiba diketuk, membuatnya latah. Raline refleks membuat gerakan-gerakan karate dasar yang diajarkan oleh Lily. Masalahnya karena ia belajar hanya setengah-setengah gerakan kuda-kudanya salah. Alhasil Raline terjengkang ke belakang. Gubrak!"Aduh!" Raline meringis. Punggung dan bokongnya sakit karena membentur lantai.
"Nah, gue udah menjelaskan alasan gue bukan? Untuk selanjutnya gue mau hubungan kita jujur dan sehat seperti ini. Ada masalah yang mengganjal pikiran lo, utarakan. Apa yang ingin lo ketahui, tanyakan. Jangan memendam apalagi mendendam. Setuju istriku?""Setuju, Mas." Ujung hidung Raline memerah menahan haru. Axel selalu mengerti dirinya. Axel tidak pernah menyalah-nyalahkannya. Laki-laki seperti ini di mana lagi bisa ia cari? Raline semakin bertekad untuk melestarikan Axel. Oleh karenanya ia harus membuat Axel tetap hidup bagaimanapun caranya."Acara bincang-bincang malam kali ini kita tiadakan ya, istriku? Gue capek banget hari ini. Jadi gue ingin langsung tidur. Nggak apa-apa 'kan?" Axel keluar dari kamar mandi dalam keadaan polos. Rambutnya masih dalam keadaan setengah basah, coba ia keringkan dengan sehelai handuk putih. Haduh, penampilan Axel konten dewasa bener etdah!"Maap ye, Mas suami. Bisa nggak aset berharga lo itu ditutupin dulu? Bukan apa-apa, gue jadi nggak konsen ngej
Saat Raline terbangun, ranjang di sisinya telah kosong. Raline meraba sisi ranjang. Dingin. Itu artinya Axel sudah pergi cukup lama. Raline memindai jam dinding. Pukul 05. 05 WIB. Ke mana Axel pada pagi-pagi buta begini? Padahal mereka baru tidur hampir pukul tiga dini hari. Raline bergegas ke kamar mandi. Setelah membersihkan tubuh dan mengganti piyamanya dengan sehelai kaos rajut dan kulot, Raline keluar kamar. Ia ingin mencari tahu tentang keberadaan Axel pada Bik Sari. Segala pusat berita di rumah ini Bik Sari lah yang paling tahu. Karena Bik Sari sehari-hari ada di rumah. Selain itu, Pak Surip, suaminya, adalah supir terpercaya Axel. Jadi informasi dari suami istri ini valid."Pagi, Bik." Raline menyapa Bik Sari yang sedang sibuk di dapur. "Pagi, Mbak Raline. Wah, Mbak Raline sudah bangun ya?" Bik Sari menjawab sapaan nyonya mudanya ramah. Ia berusaha sebaik mungkin menutupi kegelisahan hatinya."Ini saya sudah ngomong dan berdiri di hadapan Bibik. Ya pasti sudah bangun dong, B
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang
Raline terbangun karena merasa kedinginan. Saat ini ia tidak tahu ada di mana. Kepalanya pusing, dan perutnya mual. "Ini gue di mana sih?" Raline kebingungan. Matanya terbuka tapi ia tidak bisa fokus pada objek di depannya. Semua masih berupa bayang-bayang. "Dingin banget." Raline menggigil. "Aduh!" Raline meringis saat ia mencoba berbalik. Tangannya terasa nyeri dan seperti ada sesuatu yang menariknya. Raline mencoba memfokuskan pandangannya. Satu detik, dua detik, pandangannya mulai terang. Ia melihat tangannya di infus."Tangan gue kok diinfus?" Raline bingung. Setelah berpikir sejenak Raline sadar kalau dirinya saat ini berada di rumah sakit. Infus yang dipasang tangannya, ruangan yang serba putih, serta aroma antiseptik telah menjelaskan keberadaannya."Lho kaki gue ke mana? Kok kaki gue ilang?" Raline panik. Ia mencoba mengangkat kakinya, tapi tidak bisa. Ia tidak punya kekuatan untuk menggerakkannya. "Jangan panik, Raline. Tarik napas dalam-dalam dan mulai mengingat." Ralin
Axel berjalan hilir mudik di depan ruang operasi. Tidak seperti kedua mertuanya yang duduk tegang di ruang tunggu, Axel tidak bisa diam. Tatapannya terus terarah ke pintu ruang operasi. Ia tidak sabar menunggu pintu terbuka, agar ia bisa mengetahui keadaan istrinya."Duduk dan berdoa saja, Xel. Kamu membuah Ibu pusing dengan terus mondar-mandir begini." Bu Lidya menegur Axel. Tingkah Axel membuatnya bertambah khawatir. Putrinya yang sedang hamil, tertembak. Hati ibu mana yang tidak ketar-ketir karenanya?"Saya sedang cemas, Bu. Mana bisa saya duduk tenang." Axel berdecak."Kalau begitu berdoalah," usul Bu Lidya lagi. "Lihat ayahmumu. Dalam diamnya sesungguhnya ayahmu tidak henti-hentinya mendoakan Raline." Bu Lidya mengedikkan kepalanya ke samping. Ke arah Pak Adjie yang duduk dengan khusyu. Mulut Pak Adjie terus berkomat-kamit. Tiada henti-hentinya berdzikir untuk keselamatan sang putri."Saya segan, Bu. Tidak pantas rasanya kalau berdoa hanya pada saat saya menginginkan sesuatu saj
"Ya udah kalo lo nggak mau, nggak apa-apa. Gue cuma mau bilang. Kalo seseorang itu bukan jodoh lo, mau lo jungkir balik buat mengesankan dia, usaha lo nggak akan terlihat di matanya. Sebaliknya, lo diem-diem bae pun, kalo dia orang emang jodoh lo, dia akan tetap menjadi milik lo walau bagaimanapun caranya. Percayalah." Walaupun Cia menolak membantunya Raline tetap memberikan nasehat pada Cia. Ia melakukannya karena ia pernah berada dalam posisi Cia. Semua yang ia lakukan dulu sia-sia. Ia tidak mau Cia melakukan kebodohan yang sama."Kenapa lo ngomong begitu?""Karena gue dulu kayak lo. Gue melakukan apa aja bahkan sampai melanggar hukum demi mengesankan pasangan gue. Tapi endingnya keduanya nggak gue dapetin. Di saat gue udah pasrah dan nggak mau berekspektasi apapun lagi, gue malah mendapatkan seseorang yang jatuh cinta setengah mati sama gue. Padahal gue diam-diam bae, kagak ngapa-ngapain. Kalo gue udah ngomong begini lo masih belum ngerti juga, kayaknya bukan gue deh yang oneng, ta