"Si Fandy ini licik sekali, Boss. Dia mulai mendekati musuh-musuh Boss untuk berkolaborasi."Raline yang baru saja tiba di depan pintu ruang kerja Axel, menghentikan langkahnya. Sedianya ia akan menawarkan sarapan pada Axel. Namun setelah mendengar keluhan Erick, Raline mengurungkan niatnya. Ia ingin tahu masalah yang sedang dihadapi Axel. Oleh karenanya ia memutuskan untuk menguping di depan pintu yang kebetulan tidak tertutup rapat."Gue tau, Rick. Dia sadar kalau dia sendirian, pasti akan kita gilas. Makanya dia mulai mengumpulkan amunisi dari para barisan sakit hati. Dasar banci!" Ayah Randy mulai beraksi rupanya. "Masalahnya rencana si Fandy ini berjalan mulus, Boss. Selain membuat kolega-kolega potensial Boss panas, mereka juga sudah mulai menguasai pasar. Sebagian pelanggan kita sudah termakan lobby-lobby cantik maupun fitnah-fitnah keji yang Fandy tebar. Akibatnya omzet kita turun drastis minggu ini. Oh ya, si Fandy ini berjanji akan memasok barang sedikit lebih murah dari h
"Ponsel saya disita ayah, Kak. Ini saya meminjam ponsel Pak Asep. Kak, saya sudah tahu siapa Kakak sebenarnya dari hasil menguping. Saya cuma mau memperingatkan Kakak, agar Kakak lebih hati-hati lagi menjaga diri. Ayah sudah tahu kalau yang menolong Om Axel kemarin dulu itu Kakak, bukan saya. Anak-anak jalanan yang kebetulan bertemu dengan Kakak itu yang memberitahu ayah. Ayah marah sekali, Kak. Apalagi sekarang ayah juga tahu kalau Kakak sudah menikah dengan Om Axel dari Bang Calvin.""Oh, jadi si Calvin sialan itu anak buah ayahmu?""Iya, Kak. Nah saya juga ada satu berita penting untuk Om Axel. Ayah dan Om Riswan berencana akan menjebak Om Axel nanti malam di Astronomix.""Gimana... gimana... coba ceritakan pelan-pelan, biar Kakak paham." Raline celingukan. Mencari-cari ruangan yang aman sebelum meneruskan pembicaraan dengan Randy. Ketika menemukan sebuah dinding bermotif hexagonal di lorong yang mengarah ke dapur, Raline menyandarkan punggungnya. Tepat ketika punggungnya menyentu
Raline memeluk pinggang Entin erat-erat. Saat ini Entin tengah mengebut entah berapa kilometer perjam. Yang jelas Raline merasa tubuhnya terpental-pental walaupun ia sudah memeluk pinggang Entin erat-erat. Raline tidak menyangka kalau Entin jago membalap juga."Lo bawa motornya jago amat, Tin. Udah berapa lama lo bisa naik motor, Tin?" Raline mengeraskan suaranya. Deru angin yang kencang membuatnya harus berteriak saat berbicara."Belum lama-lama amat sih, Non. Saya teh bisa naik motor paling tiga bulanan. Ini saya ngebut modal menarik gas aja. Pokoknya semakin dalam gas ditarik, semakin kencanglah motor ini berlari." Entin menjawab dengan berteriak keras juga.Raline meringis mendengar penjelasan Entin dengan logat Sundanya yang khas. Ia khawatir mereka keburu masuk rumah sakit, atau amit-amit, kuburan kalau saja Entin salah dalam berkendara. Menarik gas padahal harusnya mengerem misalnya. "Memangnya kenapa Non bertanya begitu? Non terpesona dengan kepiawaian saya mengebut ya?" Enti
Kerasnya musik membuat semua orang harus berteriak apabila berbicara. Setelah mengenakan gelang bernomor yang diberi oleh kasir, Raline mengajak Entin menuju bar. Mereka harus mencari dulu perempuan yang bernama Vera. Itu artinya mereka akan duduk cukup lama untuk mengamati. Supaya tidak terlihat mencurigakan, tentu saja mereka harus memesan minuman dan berbaur dengan pengunjung lainnya."Cocktail dua." Raline memesan dua seloki cocktail pada Bartender. Raline mengangkat dua jarinya saat bartender tidak mendengar jelas suaranya. Sejurus kemudian dua seloki cocktail dengan warna cerah menggoda disajikan bartender di hadapan masing-masing."Lo duduk di sini aja ya, Tin? Gue ke toilet sebentar buat ganti baju. Terus, ini minuman mengandung alkohol walau sedikit. Jadi nggak usah lo minum. Ini cuma akting doang agar rencana kita nggak ketahuan.""Oke. Selama Non ke toilet saya akan mengamati perempuan dengan ciri-ciri yang Pak Asep bilang." Entin mengangguk. Ia semangat sekali membantu Ral
"Boss! Keadaan darurat. Polisi menyerbu club!" Axel baru saja menutup laptop saat Erick menyerbu masuk ke dalam kantor bawah tanahnya."Oh polisi. Biar saja mereka memeriksa club. Kita toh tidak melakukan hal-hal yang melanggar hukum." Axel meregangkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan. Ia lelah karena marathon memeriksa pembukuan club. "Lo biasanya juga santai aja kalo polisi menggerebek. Ini kenapa lo panik?" Axel menjinjitkan alisnya. Tidak biasanya Erick panik begini. Digerebek polisi bukan hal yang mengejutkan. Bisnis hiburan itu rentan bermasalah dengan pihak yang berwajib. Lagi pula bukan sekali ini saja polisi melakukan razia di club. "Karena kali ini kita terkena masalah, Boss." Erick memijat-mijat pelipisnya. Boss besarnya pasti tidak menyangka ada penghianat di Astronomix ini."Masalah apa? Penjualan miras? Kita menjual pada orang yang cukup umur, di tempat khusus, membayar pajak sesuai peraturan juga. Apa yang salah?" Axel mengangkat bahu."Salahnya, mereka menangkap Vera
Selama berbicara pandangan Bripda Sahat berfokus pada Vera. Karena Vera tadi mengakui bahwa barang-barang yang ada di tasnya adalah adalah kokain, ganja dan pil ekstasi milik Axel."Tidak mungkin! Saya tidak percaya. Mana mungkin mereka bohong?" Vera panik. Kalau barang-barang ini palsu, artinya Axel tidak akan dihukum. Sebaliknya dirinyalah yang akan mendapat hukuman dari Axel. Bulu kuduknya meremang. Axel ini sangat membenci penghianat. Ia akan dibuat mati tidak, hidup pun lebih buruk dari mati. Ia tidak sanggup menanggung konsekuensinya. "Bripda Sahat bawa pengunjung yang bermasalah ke kantor, kecuali orang ini." Orlando menunjuk Vera dengan dagunya. Ia akan merembukkan masalah ini sebentar dengan Axel, baru ia akan membawa Vera dan Axel ke kantor polisi untuk bersaksi. "Saya tidak bersalah! Saya tidak tahu apa-apa. Sumpah, saya tidak tahu apa-apa." Vera bermaksud lari. Ia sudah mencondongkan tubuh ke depan. Siap memasang kuda-kuda untuk berlari. Namun gerakan Orlando lebih cepa
"Selamet." Raline menutup pintu kamar tanpa suara. Ia kemudian bersandar dibalik pintu sambil mengelus-elus dadanya lega. Akhirnya ia kembali ke kamar juga setelah berpetualang menjadi detektif amatiran bersama Entin di tengah malam. "Ini tangan gue kenapa gemeteran ya?" Raline mengangkat kedua tangannya ke udara. Memperhatikan kedua jemarinya yang bergetar di bawah sorotan lampu kamar."Ketakutan gue loadingnya lama kayaknya. Tadi aja gue gagah berani beraksi kayak jagoan di film-film. Eh sekarang gemeteran kayak orang mau dipancung. Rasa takut lo telat, Line." Raline mengomeli dirinya sendiri. Tok... tok... tok..."Ciat... Ciat..." Raline yang kaget karena pintu tiba-tiba diketuk, membuatnya latah. Raline refleks membuat gerakan-gerakan karate dasar yang diajarkan oleh Lily. Masalahnya karena ia belajar hanya setengah-setengah gerakan kuda-kudanya salah. Alhasil Raline terjengkang ke belakang. Gubrak!"Aduh!" Raline meringis. Punggung dan bokongnya sakit karena membentur lantai.
"Nah, gue udah menjelaskan alasan gue bukan? Untuk selanjutnya gue mau hubungan kita jujur dan sehat seperti ini. Ada masalah yang mengganjal pikiran lo, utarakan. Apa yang ingin lo ketahui, tanyakan. Jangan memendam apalagi mendendam. Setuju istriku?""Setuju, Mas." Ujung hidung Raline memerah menahan haru. Axel selalu mengerti dirinya. Axel tidak pernah menyalah-nyalahkannya. Laki-laki seperti ini di mana lagi bisa ia cari? Raline semakin bertekad untuk melestarikan Axel. Oleh karenanya ia harus membuat Axel tetap hidup bagaimanapun caranya."Acara bincang-bincang malam kali ini kita tiadakan ya, istriku? Gue capek banget hari ini. Jadi gue ingin langsung tidur. Nggak apa-apa 'kan?" Axel keluar dari kamar mandi dalam keadaan polos. Rambutnya masih dalam keadaan setengah basah, coba ia keringkan dengan sehelai handuk putih. Haduh, penampilan Axel konten dewasa bener etdah!"Maap ye, Mas suami. Bisa nggak aset berharga lo itu ditutupin dulu? Bukan apa-apa, gue jadi nggak konsen ngej