Bab 49"Ceritanya panjang, Ma." Ziyad mencoba menarik nafas. Inilah saat yang paling tepat untuk menarik simpati ibu mertuanya."Sepanjang apapun, berceritalah, Nak. Mama akan siap mendengarkan," ujar Nafisa. Perempuan lemah lembut itu menatap menantunya dengan serius."Tetapi apakah Mama mempercayaiku, jikalau aku mengatakan hal yang buruk tentang putri mama?" Ziyad menelisik. Dia ingin memastikan sikap ibu mertuanya lebih dulu."Maksud kamu, Rayna?""Iya. Rayna, Ma.""Apa yang terjadi, Nak? Katakan yang benar, walau pahit buat Mama," desak Nafisa. Dadanya berdesir."Tidak lama setelah kami menikah, tiba-tiba seorang laki-laki muncul dan mendekati Rayna." Mata laki-laki itu menerawang, berusaha mengingat-ingat semua yang telah terjadi."Laki-laki? Siapa dia? Sepengetahuan Mama, Rayna tidak memiliki teman dekat, kecuali sepupu-sepupunya," sahut Nafisa cepat.Dia berusaha menutupi kegugupannya dengan menuangkan teh ke gelas Ziyad yang sebelumnya sudah kosong."Aku tidak tahu, Ma. Tetap
Bab 50Tuuut...Belum sempat perempuan muda itu membuka mulutnya untuk membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, sambungan telepon keburu di matikan. Rayna termangu menatap layar ponsel yang meredup dan akhirnya mati.Ravin menatap Rayna dengan pandangan bersalah. "Maaf, aku tidak bermaksud....""Gara-gara kamu, Vin," sergahnya. Dia menatap lelaki itu penuh kecewa. Tubuhnya seketika merosot menyentuh lantai yang dingin.Ravin menarik tangan Rayna dengan lembut, membantunya tegak kembali. "Akan kita hadapi bersama. Percaya padaku. Aku tidak akan tinggal diam."Ravin menarik kursi, menyuruh perempuan itu duduk. Dia menuangkan teh ke sebuah gelas, menyodorkannya kepada Rayna. "Minumlah. Kamu perlu menjernihkan pikiran."Rayna menurut. Dia pun lantas membiarkan cairan hangat nan manis itu melewati tenggorokannya."Kamu tahu, Vin. Aku paling tidak bisa melihat Mama bersedih. Apalagi semua ini lantaran salah paham padaku," ujar Rayna lirih."Aku tahu. Dan kita akan berusaha menyel
Bab 51 Rayna terus melangkah ke teras rumah. Perempuan itu tersentak kaget. Kondisi teras yang semula agak gelap, hanya mengandalkan cahaya bulan dan bintang, tiba-tiba saja terang benderang. Lampu-lampu di nyalakan dari dalam rumah, menerangi dirinya, Ravin dan dua orang bodyguard-nya. "Prok, prok!" Suara tepuk tangan menggema, membuat Rayna seketika membeku. Di hadapannya berdiri sosok Ziyad dengan gagahnya. Tangan yang barusan bertepuk tangan kini di silangkan di dadanya. Sorot matanya dingin, apalagi saat bertatapan dengan Ravin berdiri di samping Rayna. Namun, yang lebih mengerikan bagi Rayna di situasi sekarang justru sosok perempuan tua yang berdiri di belakang Ziyad. Dia lah Nafisa, ibu kandung Rayna. Perempuan tua itu menatap horor putrinya. Terlihat dari dadanya yang naik turun menahan amarah. "Akhirnya kamu keluar dari persembunyianmu, Rayna!" lantang Ziyad dengan kepalan tangan menunjuk Ravin. "Dan kamu, Ravin! Berani sekali menyembunyikan istri orang! Apa sudah tid
Bab 52Perempuan itu tersenyum puas. Dia sudah sudah berhasil membuat Ziyad emosi, padahal hanya menggunakan beberapa kalimat. Ah, begitu mudahnya lelaki itu tersulut. Setelah lelaki itu mencapai tahap emosi, maka segala macam kata-kata kotor pasti akan segera berhamburan dari mulutnya dan itulah yang Rayna inginkan. Ibu kandungnya harus tahu bagaimana sifat asli menantu kesayangannya. Dia harus bisa meluruskan kesalahpahaman ini. "Terima kasih karena sudah menganggapku sebagai istrimu, Ziyad. Tapi bagiku itu tidak terlalu penting." Rayna tersenyum tipis. Entah berasal dari mana keberanian ini di dapatkannya, tapi perempuan itu berdiri dengan tegak. Dia mendongakkan wajah, menantang Ziyad. Tak ada sedikitpun ragu di hatinya. Mampung Ziyad sudah memulai, sekalian saja ia hancur-hancuran. Ziyad pun lantas berdiri. Mereka berhadapan, saling menatap, seolah mengukur kekuatan masing-masing. Detik ini juga, Ziyad di selubungi perasaan gentar, tapi ia berusaha menyembunyikan semuanya, lew
Bab 53"Sebenarnya kamu itu siapa?" tanya Nafisa. "Namaku Ravin. Aku hanya orang biasa, Ma. Kebetulan aku adalah atasan Rayna di minimarket...." "Bukan itu maksudku." Nafisa buru-buru meralat. "Apa hubunganmu dengan Rayna? Kenapa kalian terlihat akrab? Dari awal kamu sudah tahu, kan, Rayna sudah punya suami?" Ravin terdiam. Rayna yang merasa jengah lantas angkat bicara. "Sudahlah, Ma. Sebaiknya pembicaraan kita lanjut besok pagi. Lihatlah, Ravin dan teman-temannya sangat lelah, sepulang kerja langsung berangkat kesini, dan harus nyetir pula." Akhirnya Nafisa menyerah. Waktu memang sudah tengah malam. Mereka harus istirahat. Rayna tidur sekamar dengan ibunya. Sementara Ravin, Adam dan Damian tidur di kamar Rayna. Rumah ini hanya memiliki dua kamar tidur. Jadi ya, harap maklum. ***** "Bos yakin mau mengajak kita berdua tidur satu pembaringan?" Adam menunjuk kasur berukuran luas yang terhampar begitu saja di lantai yang terbuat dari kayu. "Memangnya kalian mau tidur dimana?" Ravi
Bab 54 Sementara itu, di waktu subuh menjelang pagi, Ziyad masih meringkuk di tempat tidurnya setelah melakukan perjalanan tanpa henti selama tiga jam. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk di singgah di salah satu penginapan. Tubuhnya perlu istirahat, demikian juga pikirannya. Lelaki itu tampaknya masih sayang nyawa, sehingga memilih mengistirahatkan diri. Dia pun juga tidak mungkin pulang ke rumahnya dalam keadaan semacam ini. Ibunya pasti akan marah-marah, menyalahkan keputusannya untuk memperjuangkan Rayna, kemudian memprovakasi agar segera melupakan istrinya dan menerima Ghina yang jelas-jelas mengejarnya sampai kini. Buat Ziyad, Ghina tak lebih sebagai partner di ranjang, tempatnya bersenang-senang. Tak ada perasaan cinta dan ia juga tak pernah menjanjikan apapun. Kesepakatan itu sudah ada sejak awal.Kenapa justru sekarang Ghina ingin merubah semuanya, di saat ia serius ingin kembali kepada istri sahnya? "Ah, wanita memang rumit. Aku tidak bisa memahami mereka," gumam Ziyad.
Bab 55 "Malam itu aku dan Davina makan malam di restoran yang berada di lantai dasar hotel. Setelah makan malam, kami berbincang sebentar. Tak lama, aku merasa sangat mengantuk. Akupun pamit dengan Davina untuk duluan masuk ke kamar kami." Rayna terus bercerita. "Saking mengantuknya, aku sampai lupa mengunci pintu. Aku merebahkan tubuhku begitu saja di tempat tidur dan langsung terlelap. Namun, tidak di sangka seseorang yang waktu itu berada di dalam keadaan mabuk, masuk ke dalam kamar kami dan ....." "Tak usah di lanjutkan, Nak. Mama sudah mengerti." Perempuan tua itu terisak. "Rayna minta ampun, Ma. Rayna tidak bisa menjaga diri dengan benar." Bibirnya bergetar hebat. Kejujuran ini memang pahit. Apalagi fakta ini sudah disembunyikannya selama lima tahun. Rayna melirik Ravin yang hanya bisa tertunduk kelu. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. "Kamu tidak salah, Nak. Ini musibah. Setiap wanita bisa saja mengalami hal ini," ujar Nafisa sembari memeluk p
Bab 56"Apa katamu?!" Nafisa mendelik. "Ampuni aku, Ma. Akulah yang merenggut kesucian Putri Mama." Dia mengulang pernyataannya. Kening Ravin menyentuh ujung jari kaki perempuan tua itu. "Jadi kamu...." Nafisa tercekat sembari memegang dadanya. "Tega sekali kamu menghancurkan masa depan putriku!" Nafisa ingin berteriak tapi nafasnya sangat sesak. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Melihat itu, Rayna buru-buru menopang tubuh tua itu. "Aku akan tanggung jawab, Ma." "Pertanggungjawaban dari kamu sudah terlambat!" Nafisa mendengus. Matanya berkilat menahan amarah. Disaat seperti inilah rasa pusing itu kembali mendera Nafisa. Seketika ia memegang kepala, sementara tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk menekan dadanya. Nafasnya terasa semakin sesak. Pun keringat dingin kian membanjiri wajahnya yang memucat. Hanya beberapa menit ia mampu bertahan. Setelah itu tubuhnya terkulai di pelukan Rayna. Rayna menjerit histeris. Ravin yang sigap segera membopong tubuh tua itu ke mobil. Ad