Bab 56"Apa katamu?!" Nafisa mendelik. "Ampuni aku, Ma. Akulah yang merenggut kesucian Putri Mama." Dia mengulang pernyataannya. Kening Ravin menyentuh ujung jari kaki perempuan tua itu. "Jadi kamu...." Nafisa tercekat sembari memegang dadanya. "Tega sekali kamu menghancurkan masa depan putriku!" Nafisa ingin berteriak tapi nafasnya sangat sesak. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Melihat itu, Rayna buru-buru menopang tubuh tua itu. "Aku akan tanggung jawab, Ma." "Pertanggungjawaban dari kamu sudah terlambat!" Nafisa mendengus. Matanya berkilat menahan amarah. Disaat seperti inilah rasa pusing itu kembali mendera Nafisa. Seketika ia memegang kepala, sementara tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk menekan dadanya. Nafasnya terasa semakin sesak. Pun keringat dingin kian membanjiri wajahnya yang memucat. Hanya beberapa menit ia mampu bertahan. Setelah itu tubuhnya terkulai di pelukan Rayna. Rayna menjerit histeris. Ravin yang sigap segera membopong tubuh tua itu ke mobil. Ad
Bab 57Perempuan itu membuang pandangannya ke arah gerombolan tanaman. Seketika matanya memicing, saat melihat sesuatu yang bergerak-gerak disana. Rayna terkesiap. Tanpa sadar kakinya bergerak melangkah ke arah gerombolan tanaman yang membentuk pagar pembatas area taman itu. "Kenapa, Rayna?" tegur Ravin. "Ada sesuatu yang bergerak disana," tunjuk Rayna. Perempuan itu melangkah kian mendekat. "Aku tidak melihat apapun," protes Ravin. Dia merasa perempuan itu hanya mengada-ngada atau mengalihkan pembicaraan soal rencananya yang akan membawa Nafisa berobat ke ibukota. Ravin paham sifat Rayna yang keras kepala dan sangat sulit menerima bantuan darinya. Rayna tak menanggapi. Kini ia sudah sampai di tempat itu, mengedarkan pandangan. Dia sangat kecewa karena tak ada seorang pun di situ, kecuali hanya orang-orang yang lalu lalang melewati taman ini saja dan itu tak ada satupun orang yang ia kenal. "Mungkin kamu salah lihat kali...." Ravin menarik tangan perempuan itu kembali ke tempat m
Bab 58Setelah memastikan perempuan yang menjadi target mereka sudah meninggalkan tempat itu, Adam, Damian dan dua orang lelaki lainnya segera keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon dan semak-semak. Keempat lelaki itu berpandangan. Adam mengacungkan ponsel dan memutar kembali rekaman video yang memperlihatkan gerak-gerik perempuan itu.Meskipun mereka tidak bisa mendengarkan suara Davina yang lirih, tetapi kamera ponsel itu bisa menangkap dengan jelas wajah asli Davina yang tidak lagi tertutupi oleh topi bercaping yang semula ia kenakan untuk menyamarkan wajahnya."Bagaimana ini, Adam?" tanya Damian."Bagaimana apanya?" Adam mengangkat bahu."Tugas kita hanya sekadar mengawasi dan kita tidak bisa melakukan apapun terhadap perempuan itu. Kalau soal tindakan itu tergantung perintah bos kita," lanjutnya.Ketiganya mengangguk, lalu satu demi satu bergerak meninggalkan tempat itu. Adam dan Damian meninggalkan tempat paling akhir, setelah memastikan semua dalam keadaan aman dan
Bab 59Devano mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Lelaki muda itu terlihat tenang. Dia seolah tak peduli dengan Davina yqng duduk di sisinya, berkali-kali melirik dengan raut wajah gelisah. Kesal tak mendapat reaksi yang semestinya, Davina berbalik mengarahkan pandangannya ke depan. Perempuan itu seketika terkejut saat menyadari mobil yang mereka tumpangi kini bergerak ke arah luar kota."Kak, kita mau ke mana?" teriak Davina."Bukankah kamu ingin berbicara denganku tentang Rayna? Ini pembicaraan penting, bukan?" sahut Devano, lagi-lagi tanpa menoleh."Ya, tentu saja," tukas Davina."Makanya jangan banyak protes! Nanti kamu akan tahu setelah sampai ke tempat tujuan." Nada bicara lelaki muda itu terdengar datar, sehingga apa yang ada di hatinya sulit di terka.Devano menghentikan mobil di tepi jalan yang sepi. Di kanan dan kiri jalan terhampar pesawahan yang luas. Benar, hampir tidak ada orang lewat di jalur itu, kecuali para pengendara yang akan menuju ke sebuah tempat wisa
Bab 60Di sebuah tempat yang agak sepi tak jauh dari rumah sakit, Adam dan Damian tengah berdiri. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka, kecuali mata yang terus menatap jalanan. Hanya yang terlihat dari dua wajah tegas itu seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.Tidak sampai setengah jam kemudian, sebuah motor berhenti tepat di depan keduanya. Seraut wajah menyembul tatkala sang pengendara melepas helm dan masker yang sebelumnya ia kenakan."Bagaimana?" tanya Adam tak sabar."Beres, Bos." Lelaki itu mengacungkan jempol, lalu mengambil ponsel dari saku bajunya."Ini silakan lihat sendiri." Dia menyodorkan ponselnya kepada Adam."Hmm.... Tidak salah lagi. Kedua orang ini pasti memiliki hubungan dengan peristiwa malam itu," duga Adam."Belum bisa dijadikan bukti yang kuat, Dam, lantaran kita tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan," tukas Damian mengingatkan."Ya. Itu memang kekurangannya. Penyelidikan ini kita lakukan secara dadakan. Namun sebagai awal, ku
Bab 61Setelah memastikan Rayna dan ibunya aman di apartemen dan semua keperluannya tercukupi, Ravin segera meninggalkan tempat itu bersama dengan Adam dan Damian. Kali ini Damian yang menyetir. Sementara Adam dan Ravin duduk berdampingan di jok belakang. Adam memberikan ponselnya kepada Ravin. "Lihat ini, Bos." Ravin memperhatikan video itu sekilas, kemudian mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. "Dari mana kamu dapat video ini, Adam?" "Aku menyuruh teman-teman untuk menyelidikinya, Bos." "Temuan ini cukup berharga, meskipun tidak terlalu penting buatku." "Apa maksud Bos?" tanya Adam. Ravin tersenyum. "Tidak apa-apa, Adam. Terima kasih atas perhatianmu. Kalau memang kamu penasaran dengan kejadian lima tahun yang lalu, kamu bisa meneruskan untuk menyelidikinya. Akan tetapi jikalau kamu memang tidak berminat, ya tidak apa-apa." "Jadi apa yang harus aku lakukan, Bos?" "Terserah kamu saja." "Ya, Bos" Adam mendesah agak kecewa. "Memangnya Bos tidak penasaran, siapa dalang peris
Bab 62Perempuan itu buru-buru memasukkan tespek ke dalam laci, kemudian mengusap wajahnya. Dia tersenyum tipis melihat sosok Ziyad yang tengah melangkah mendekat. "Ziyad," panggilnya. Ziyad mendaratkan tubuhnya di kursi, berseberangan dengan Ghina. "Iya, ada apa?" Menyadari siapa yang datang membuat Ghina akhirnya kembali menarik laci, mengambil benda itu, lalu menyerahkannya kepada Ziyad. "Garis dua, Ziyad. Aku hamil." "Apa?" teriak lelaki itu. Dia bahkan langsung berdiri. Tangannya tanpa sadar menggebrak meja hingga membuat bergetar benda-benda yang ada di atas meja. "Kamu hamil? Kok bisa?" Ghina hanya menunduk sembari mengiyakan dengan suara lirih. Muka Ziyad merah padam. Perasaannya bergejolak, antara rasa marah dan tak terima dengan kenyataan ini. "Kenapa kamu sampai hamil, hah? Memangnya kamu tidak menggunakan kontrasepsi atau jangan-jangan kamu sengaja mengikatku dengan kehamilan ini?" Matanya nyalang menatap perempuan di hadapannya. "Tidak, Ziyad. Hanya saja tidak ada
Bab 63Suara pintu yang ditutup dengan keras membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ghina kembali duduk di sofa tak jauh dari meja kerjanya. Satu kotak berisi nasi campur terletak begitu saja di atas meja depan sofa. Ghina sedang tidak selera makan. Dia hanya memilih meminum air putih demi menetralkan debaran jantungnya. Usai meletakkan gelas di atas meja, Ghina kembali bersandar. Kedua kakinya diangkat ke atas dengan posisi berselonjor, berusaha membuat tubuhnya rileks. Untuk beberapa saat ia memejamkan mata. Tanpa sadar perempuan itu mengelus perutnya yang masih rata. Memang tak ada gerakan apapun, tetapi beberapa bulan kemudian ia pasti akan merasakannya. Perutnya yang kian membesar tak akan bisa di tutupi lagi. Semua orang akan tahu kalau ia sedang mengandung. Sebelum semua itu terjadi, ia harus segera menikah dengan Ziyad, bagaimanapun caranya. Dia tidak mau meluncur ke jurang kehancuran. Ini Indonesia, bukan luar negeri. Seorang wanita yang hamil tanpa nikah, kemudian menja