Bab 54 Sementara itu, di waktu subuh menjelang pagi, Ziyad masih meringkuk di tempat tidurnya setelah melakukan perjalanan tanpa henti selama tiga jam. Akhirnya lelaki itu memutuskan untuk di singgah di salah satu penginapan. Tubuhnya perlu istirahat, demikian juga pikirannya. Lelaki itu tampaknya masih sayang nyawa, sehingga memilih mengistirahatkan diri. Dia pun juga tidak mungkin pulang ke rumahnya dalam keadaan semacam ini. Ibunya pasti akan marah-marah, menyalahkan keputusannya untuk memperjuangkan Rayna, kemudian memprovakasi agar segera melupakan istrinya dan menerima Ghina yang jelas-jelas mengejarnya sampai kini. Buat Ziyad, Ghina tak lebih sebagai partner di ranjang, tempatnya bersenang-senang. Tak ada perasaan cinta dan ia juga tak pernah menjanjikan apapun. Kesepakatan itu sudah ada sejak awal.Kenapa justru sekarang Ghina ingin merubah semuanya, di saat ia serius ingin kembali kepada istri sahnya? "Ah, wanita memang rumit. Aku tidak bisa memahami mereka," gumam Ziyad.
Bab 55 "Malam itu aku dan Davina makan malam di restoran yang berada di lantai dasar hotel. Setelah makan malam, kami berbincang sebentar. Tak lama, aku merasa sangat mengantuk. Akupun pamit dengan Davina untuk duluan masuk ke kamar kami." Rayna terus bercerita. "Saking mengantuknya, aku sampai lupa mengunci pintu. Aku merebahkan tubuhku begitu saja di tempat tidur dan langsung terlelap. Namun, tidak di sangka seseorang yang waktu itu berada di dalam keadaan mabuk, masuk ke dalam kamar kami dan ....." "Tak usah di lanjutkan, Nak. Mama sudah mengerti." Perempuan tua itu terisak. "Rayna minta ampun, Ma. Rayna tidak bisa menjaga diri dengan benar." Bibirnya bergetar hebat. Kejujuran ini memang pahit. Apalagi fakta ini sudah disembunyikannya selama lima tahun. Rayna melirik Ravin yang hanya bisa tertunduk kelu. Dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi. "Kamu tidak salah, Nak. Ini musibah. Setiap wanita bisa saja mengalami hal ini," ujar Nafisa sembari memeluk p
Bab 56"Apa katamu?!" Nafisa mendelik. "Ampuni aku, Ma. Akulah yang merenggut kesucian Putri Mama." Dia mengulang pernyataannya. Kening Ravin menyentuh ujung jari kaki perempuan tua itu. "Jadi kamu...." Nafisa tercekat sembari memegang dadanya. "Tega sekali kamu menghancurkan masa depan putriku!" Nafisa ingin berteriak tapi nafasnya sangat sesak. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Melihat itu, Rayna buru-buru menopang tubuh tua itu. "Aku akan tanggung jawab, Ma." "Pertanggungjawaban dari kamu sudah terlambat!" Nafisa mendengus. Matanya berkilat menahan amarah. Disaat seperti inilah rasa pusing itu kembali mendera Nafisa. Seketika ia memegang kepala, sementara tangan yang satunya lagi ia gunakan untuk menekan dadanya. Nafasnya terasa semakin sesak. Pun keringat dingin kian membanjiri wajahnya yang memucat. Hanya beberapa menit ia mampu bertahan. Setelah itu tubuhnya terkulai di pelukan Rayna. Rayna menjerit histeris. Ravin yang sigap segera membopong tubuh tua itu ke mobil. Ad
Bab 57Perempuan itu membuang pandangannya ke arah gerombolan tanaman. Seketika matanya memicing, saat melihat sesuatu yang bergerak-gerak disana. Rayna terkesiap. Tanpa sadar kakinya bergerak melangkah ke arah gerombolan tanaman yang membentuk pagar pembatas area taman itu. "Kenapa, Rayna?" tegur Ravin. "Ada sesuatu yang bergerak disana," tunjuk Rayna. Perempuan itu melangkah kian mendekat. "Aku tidak melihat apapun," protes Ravin. Dia merasa perempuan itu hanya mengada-ngada atau mengalihkan pembicaraan soal rencananya yang akan membawa Nafisa berobat ke ibukota. Ravin paham sifat Rayna yang keras kepala dan sangat sulit menerima bantuan darinya. Rayna tak menanggapi. Kini ia sudah sampai di tempat itu, mengedarkan pandangan. Dia sangat kecewa karena tak ada seorang pun di situ, kecuali hanya orang-orang yang lalu lalang melewati taman ini saja dan itu tak ada satupun orang yang ia kenal. "Mungkin kamu salah lihat kali...." Ravin menarik tangan perempuan itu kembali ke tempat m
Bab 58Setelah memastikan perempuan yang menjadi target mereka sudah meninggalkan tempat itu, Adam, Damian dan dua orang lelaki lainnya segera keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon dan semak-semak. Keempat lelaki itu berpandangan. Adam mengacungkan ponsel dan memutar kembali rekaman video yang memperlihatkan gerak-gerik perempuan itu.Meskipun mereka tidak bisa mendengarkan suara Davina yang lirih, tetapi kamera ponsel itu bisa menangkap dengan jelas wajah asli Davina yang tidak lagi tertutupi oleh topi bercaping yang semula ia kenakan untuk menyamarkan wajahnya."Bagaimana ini, Adam?" tanya Damian."Bagaimana apanya?" Adam mengangkat bahu."Tugas kita hanya sekadar mengawasi dan kita tidak bisa melakukan apapun terhadap perempuan itu. Kalau soal tindakan itu tergantung perintah bos kita," lanjutnya.Ketiganya mengangguk, lalu satu demi satu bergerak meninggalkan tempat itu. Adam dan Damian meninggalkan tempat paling akhir, setelah memastikan semua dalam keadaan aman dan
Bab 59Devano mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Lelaki muda itu terlihat tenang. Dia seolah tak peduli dengan Davina yqng duduk di sisinya, berkali-kali melirik dengan raut wajah gelisah. Kesal tak mendapat reaksi yang semestinya, Davina berbalik mengarahkan pandangannya ke depan. Perempuan itu seketika terkejut saat menyadari mobil yang mereka tumpangi kini bergerak ke arah luar kota."Kak, kita mau ke mana?" teriak Davina."Bukankah kamu ingin berbicara denganku tentang Rayna? Ini pembicaraan penting, bukan?" sahut Devano, lagi-lagi tanpa menoleh."Ya, tentu saja," tukas Davina."Makanya jangan banyak protes! Nanti kamu akan tahu setelah sampai ke tempat tujuan." Nada bicara lelaki muda itu terdengar datar, sehingga apa yang ada di hatinya sulit di terka.Devano menghentikan mobil di tepi jalan yang sepi. Di kanan dan kiri jalan terhampar pesawahan yang luas. Benar, hampir tidak ada orang lewat di jalur itu, kecuali para pengendara yang akan menuju ke sebuah tempat wisa
Bab 60Di sebuah tempat yang agak sepi tak jauh dari rumah sakit, Adam dan Damian tengah berdiri. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka, kecuali mata yang terus menatap jalanan. Hanya yang terlihat dari dua wajah tegas itu seperti sedang menunggu kedatangan seseorang.Tidak sampai setengah jam kemudian, sebuah motor berhenti tepat di depan keduanya. Seraut wajah menyembul tatkala sang pengendara melepas helm dan masker yang sebelumnya ia kenakan."Bagaimana?" tanya Adam tak sabar."Beres, Bos." Lelaki itu mengacungkan jempol, lalu mengambil ponsel dari saku bajunya."Ini silakan lihat sendiri." Dia menyodorkan ponselnya kepada Adam."Hmm.... Tidak salah lagi. Kedua orang ini pasti memiliki hubungan dengan peristiwa malam itu," duga Adam."Belum bisa dijadikan bukti yang kuat, Dam, lantaran kita tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan," tukas Damian mengingatkan."Ya. Itu memang kekurangannya. Penyelidikan ini kita lakukan secara dadakan. Namun sebagai awal, ku
Bab 61Setelah memastikan Rayna dan ibunya aman di apartemen dan semua keperluannya tercukupi, Ravin segera meninggalkan tempat itu bersama dengan Adam dan Damian. Kali ini Damian yang menyetir. Sementara Adam dan Ravin duduk berdampingan di jok belakang. Adam memberikan ponselnya kepada Ravin. "Lihat ini, Bos." Ravin memperhatikan video itu sekilas, kemudian mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. "Dari mana kamu dapat video ini, Adam?" "Aku menyuruh teman-teman untuk menyelidikinya, Bos." "Temuan ini cukup berharga, meskipun tidak terlalu penting buatku." "Apa maksud Bos?" tanya Adam. Ravin tersenyum. "Tidak apa-apa, Adam. Terima kasih atas perhatianmu. Kalau memang kamu penasaran dengan kejadian lima tahun yang lalu, kamu bisa meneruskan untuk menyelidikinya. Akan tetapi jikalau kamu memang tidak berminat, ya tidak apa-apa." "Jadi apa yang harus aku lakukan, Bos?" "Terserah kamu saja." "Ya, Bos" Adam mendesah agak kecewa. "Memangnya Bos tidak penasaran, siapa dalang peris