Bab 37
"Mama," ucap Rayna. Perempuan itu maju selangkah, bermaksud akan masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya dihadang oleh Widya. Perempuan tua itu berdiri sembari berkacak pinggang tepat di depan pintu.
"Mengapa kamu kembali kemari? Apakah kamu sudah di campakkan laki-laki itu?" ejek Widya. Di otaknya yang ada hanya kesalahan menantunya, tanpa pernah mengingat kesalahan putranya sendiri.
"Aku hanya ingin mengambil barang-barang dan juga motorku," ujar Rayna tenang.
"Katanya selingkuhanmu itu pengusaha kaya raya. Kenapa motor butut itu masih kamu ingat? Kamu bisa, kan minta dibelikan mobil mewah?" Widya memindai penampilan Rayna yang terlihet tidak berubah.
Perempuan muda itu hanya tersenyum samar. Rayna berusaha menyisihkan tubuh tua itu dan kini dia berhasil masuk ke dalam rumah.
"Aku tidak mempersilahkan kamu masuk, Rayna!
Bab 38Rayna menatap lelaki itu dalam-dalam. Ingin rasanya ia menelan lelaki itu bulat-bulat, tetapi saat ini ia harus bisa bersikap setenang mungkin demi menjatuhkan mental lelaki itu."Mungkin bagimu, iya. Pada kenyataannya bukan Ravin yang membuat rumah tangga kita hancur, tetapi justru kamu sendiri. Dari awal kamulah yang membuat masalah.""Apa kamu masih belum juga mengerti?! Sejak awal, kamu lah yang membuat masalah. Seandainya kamu waktu itu masih tersegel, tidak akan pernah terjadi drama di dalam rumah kita. Kamu pikir menerima kondisi seorang istri yang sudah tidak perawan itu mudah?!" Suara Ziyad menggelegar"Ziyad, keperawanan ataupun keperjakaan sebenarnya sama saja. Bukan cuma seorang wanita yang dituntut untuk menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga laki-laki. Seseorang yang sudah pernah melakukan hubungan intim di luar nikah, jangan pernah berharap mendapatkan pasan
Bab 39"Aku minta maaf sudah membuatmu seperti ini," ujar Ziyad. Dia mencoba untuk mengalah. "Kamu boleh melakukan apapun dan tinggal di manapun yang membuatmu nyaman, asal jangan menjalin hubungan dengan lelaki lain." "Jangan lupakan dengan perselingkuhanmu," ujar Rayna mengingatkan. Dia benar-benar muak dengan larangan Ziyad yang satu itu. "Kamu pikir hati wanita itu terbuat dari batu? Bayangkan aja, aku melihat suamiku tengah bergumul dengan wanita lain, di depan mataku dan di ranjangku. Kamu pikir hatiku tidak hancur?" Perempuan itu memegang dadanya sembari bersandar di dinding. "Bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal lagi. Ya anggap aja sekarang kita sedang pacaran. Aku akan memutuskan Ghina...." "Lebih baik kamu teruskan hubunganmu dengan Ghina. Kulihat dia sangat mencintaimu, sampai rela melakukan segala cara untuk mendapatkanmu," tukas Rayna. Tubuhnya lantas merosot dan akhirnya terduduk di lantai. "Hubungan kami sifatnya hanya bersenang-senang, Rayna..." "Itu bag
Bab 40Saat ini keduanya telah berpakaian rapi dan duduk di pinggir ranjang. "Ada apa, Ziyad?" tanya Ghina. "Maaf, Ghin, kurasa hubungan kita cukup sampai disini. Aku tidak bisa meneruskan hubungan ini. Ini salah, Ghin...." "Hubungan kita sudah sejauh ini, baru kamu sadari kalau itu salah?" Sepasang mata indah itu langsung melotot. "Maaf." Ziyad menangkupkan tangan di dadanya. Wajahnya memerah. "Salahku apa, Ziyad? Kekuranganku apa? Aku sudah memberikan semuanya untukmu...." "Kamu tidak memiliki kekurangan apapun," sergah Ziyad buru-buru. "Aku hanya ingin memperbaiki rumah tangga serta hubunganku dengan Rayna. Semuanya kacau setelah aku kembali berhubungan sama kamu." "Tapi dia juga berhubungan dengan lelaki lain...." "Aku tahu. Justru karena itu aku ingin merengkuhnya kembali agar lelaki itu tidak lagi memiliki kesempatan untuk mendekati Rayna." Tiba-tiba perempuan itu berdiri. Dia berkacak pinggang dengan mata melotot menatap Ziyad dengan beringas. "Lagi-lagi Rayna. Kenapa
Bab 41Ziyad berdiri mematung di depan minimarket. Sebelumnya ia telah memasuki tempat itu dan bertanya kepada Tiara dan Soraya, tetapi keduanya menjawab tidak tahu. Hari ini Rayna tidak masuk kerja."Kamu kemana, Rayna?" Lelaki itu mengeluh. Berkali-kali ia berusaha menghubungi wanita itu lewat ponsel, tetapi nomor ponselnya selalu tidak aktif. lelaki itu meremas keras tangannya setelah menaruh ponsel di saku celananya. Dia benar-benar frustasi."Ravin...!" rasanya Ziyad ingin berteriak dan memaki-maki lelaki yang kini berhasil membawa Rayna itu. Namun ia malu dengan orang-orang yang lalu-lalang di jalanan serta para pengunjung minimarket yang datang dan pergi silih berganti untuk berbelanja."Harus kemana lagi aku mencarimu, Rayna?" Lelaki itu menatap dua bungkus bubur ayam yang masih tergantung di stang motornya. Kini dia sudah tidak memiliki selera un
Bab 42"Itu hanya pendapat pribadiku saja, Rayna. Kalau kamu punya pendapat lain, its oke. Aku tidak akan memaksakan pendapatku." Lelaki itu melirik arloji di pergelangan tangannya. "Maaf ya, sekarang aku berangkat dulu. Nanti malam kita ketemu lagi.""Kok malam?" protes Rayna. "Bukannya kamu sudah janji tidak akan menginap?""Tentu saja aku tidak akan menginap. Kurasa makan malam sembari ngobrol bisa menjadi momen yang menyenangkan."Perempuan itu kembali tersenyum manis. Sebenarnya ia hanya bermaksud menguji lelaki ini. "Baiklah, nanti aku akan masak untukmu. Kamu semangat ya, kerjanya.""Aku selalu bersemangat dengan support dari kamu." Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Mereka melangkah beriringan. Rayna mengantar Ravin sampai di depan pintu.Ravin melambaikan tangan sebelum langkah panjangnya menyusuri lorong apartemen ini dan nantinya akan berakhir saat ia memasuki lift.Rayna menutup pintu dan segera menguncinya. Dia kembali melangkah menuju dapur. Perempuan itu dengan ce
Bab 43Setelah selesai makan malam, keduanya berpindah tempat. Ravin dan Rayna duduk bersisian di balkon.Berdekatan dengan Rayna membuatnya merasa tenang. Rayna seperti mood booster buat Ravin, di tengah padatnya pekerjaan yang mesti ia tangani setiap hari.Dia tak tahu entah kapan bisa memiliki perempuan disisinya ini seutuhnya. Namun, buat Ravin tak ada istilah untuk pesimis. Apalagi sikap Rayna sudah mulai terbuka dan bisa menerima kehadirannya.Meskipun nyatanya masih jauh dari harapan, tetapi bisa menggenggam dan mengecup tangan perempuan disisinya ini tanpa penolakan merupakan sesuatu yang teramat wah buat Ravin. Sangat berbeda sensasinya di bandingkan dengan perempuan-perempuan agresif yang selama ini seakan berlomba mendekatinya."Aku mengenal Bella saat kami sama-sama kuliah di luar negeri." Ravin mengawali ceritanya. "Setelah aku selesai kuliah, kami pun menikah. Bella akhirnya merelakan kuliahnya demi menikah denganku dan tinggal di Indonesia, padahal waktu itu setahun lag
Bab 44Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, Ravin dan Rayna sampai di tempat tujuan.Setibanya di depan pintu gerbang rumahnya, Ravin membuka kaca mobil dan menjulurkan kepalanya. Dia mengangguk ramah kepada dua orang penjaga yang tengah duduk di pos penjagaan. Salah satu diantaranya bangkit, berdiri dan melangkah membuka pintu gerbang. Ravin melambaikan tangan sembari membawa mobilnya meluncur masuk ke dalam.Di tengah temaram sinar lampu, Rayna bisa melihat bangunan yang tengah berada di depannya sungguh sangat besar. Ini bukan lagi sebuah rumah, tetapi mirip istana kecil. Seumur hidup Rayna, baru pertama kali mengunjungi tempat sebagus ini. Beberapa pohon tumbuh di halaman, membuat udara malam terasa kian sejuk."Ayo." Sebuah tepukan hangat mendarat di bahunya.Perempuan itu tersenyum manis, meskipun tak urung dadanya berdegup bertalu-talu. Rayna merasa begitu gugup. Dia merasa tak pantas berkunjung ke rumah ini. Namun, Ravin menggenggam erat tangannya."Tidak per
Bab 45"Namanya Rayna Anindya Edelweis, Mom," sela Ravin. "Nama yang indah," puji nyonya Amyta. "Senang bisa bertemu denganmu, Rayna.""Terima kasih, Mom," sahut Rayna malu-malu."Kalau boleh Mommy tahu, kalian pertama kali ketemu di mana?" telisik perempuan tua itu.Pertanyaan yang sulit untuk Rayna jawab. Dia menatap Ravin yang duduk di sisinya. Lelaki itu menepuk pundak Rayna dengan lembut."Rayna ini karyawan di salah satu gerai Al-Fatih Mart, Mom," jelas Ravin."Oh, ya? Berarti bagus dong!" Nyonya Amyta terlihat sangat antusias. "Pasti kalian bertemu pertama kali saat Ravin melakukan kunjungan ke beberapa gerai Al-Fatih Mart yang bermasalah itu, kan?"Ravin hanya mengiyakan. Toh, ia tidak sepenuhnya berbohong dan itu membuat Rayna menghela napas lega. Sementara di depan pintu utama, seorang laki-laki tua yang masih terlihat gagah tengah berdiri, menatap tiga orang yang tengah duduk di sofa ruang tamu."Daddy!" Ravin berteriak. Dia baru menyadari kehadiran sang daddy saat ia me