Bab 45"Namanya Rayna Anindya Edelweis, Mom," sela Ravin. "Nama yang indah," puji nyonya Amyta. "Senang bisa bertemu denganmu, Rayna.""Terima kasih, Mom," sahut Rayna malu-malu."Kalau boleh Mommy tahu, kalian pertama kali ketemu di mana?" telisik perempuan tua itu.Pertanyaan yang sulit untuk Rayna jawab. Dia menatap Ravin yang duduk di sisinya. Lelaki itu menepuk pundak Rayna dengan lembut."Rayna ini karyawan di salah satu gerai Al-Fatih Mart, Mom," jelas Ravin."Oh, ya? Berarti bagus dong!" Nyonya Amyta terlihat sangat antusias. "Pasti kalian bertemu pertama kali saat Ravin melakukan kunjungan ke beberapa gerai Al-Fatih Mart yang bermasalah itu, kan?"Ravin hanya mengiyakan. Toh, ia tidak sepenuhnya berbohong dan itu membuat Rayna menghela napas lega. Sementara di depan pintu utama, seorang laki-laki tua yang masih terlihat gagah tengah berdiri, menatap tiga orang yang tengah duduk di sofa ruang tamu."Daddy!" Ravin berteriak. Dia baru menyadari kehadiran sang daddy saat ia me
Bab 46 Ravin segera menepikan mobilnya ke tepi jalan, sebelum akhirnya meraih ponsel yang berada di saku bajunya. "Siapa, Vin?" tanya Rayna. Dia memiringkan tubuhnya mengintip layar ponsel yang dipegang oleh Ravin. "Siapa lagi kalau bukan Ziyad." Lelaki itu tersenyum tipis. "Ziyad?" pekik Rayna. Dia baru ingat kalau sudah memblokir semua akses komunikasi dengan lelaki itu. "Vin, maaf ya. Sebenarnya aku sudah memblokir semua akses komunikasi dengan Ziyad. Mungkin karena itu akhirnya dia menelpon kamu." Lelaki itu mengacungkan ponsel. "Teleponnya aku angkat ya. Tapi awas, kamu harus diam, jangan berbicara." Jarinya menggeser layar ponsel, lantas mengaktifkan loudspeaker. "Halo ... Ziyad. Ada perlu apa kamu menelponku?" "Di mana kamu menyembunyikan istriku, hah?" Suaranya bernada gusar. Mulut Rayna sudah terbuka, tapi Ravin memberi isyarat agar perempuan itu tetap diam. "Memangnya ada apa dengan Rayna?" tanya Ravin. Matanya melirik Rayna yang mendelik di sampingnya. "Dia perg
Bab 47Tepat ketika ia selesai menaruh ponsel, seorang perempuan berpakaian sangat seksi menghampiri meja tempatnya duduk."Ziyad," tegurnya."Kamu sudah terlalu banyak minum." Ghina merebut gelas dari tangan Ziyad kemudian meneguknya sampai tandas."Kamu pikir kamu juga tidak minum?" Lelaki itu tertawa hambar. Sinar matanya tampak kosong."Ziyad," geram Ghina. Dia mendaratkan bokongnya di samping lelaki itu. Mulut Ziyad yang beraroma khas minuman keras sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk mendaratkan kecupan singkat di bibir laki-laki muda itu."Kamu sudah menyakiti dirimu sendiri....""Aku tidak bisa kehilangannya, Ghina," keluh Ziyad."Sudah kubilang, lupakan perempuan itu. Dia tak pantas buat kamu. Dia sudah meninggalkanmu dengan laki-laki yang jauh lebih kaya daripada kamu. Kamu benar-benar menjadi lelaki bodoh apabila masih mengharapkannya!" Seolah mengetahui apa yang ada di dalam pikiran lelaki di sampingnya, Ghina berteriak, meskipun suaranya berbagi dengan riuh rendah
Bab 48Akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Ghina sampai di halaman kantor bank tempat mereka bekerja. Ziyad turun lebih dulu, kemudian disusul oleh Ghina. Kebersamaan kedua insan itu merupakan pemandangan biasa bagi orang-orang seisi kantor yang sudah mengetahui hubungan mereka. Namun mereka sepakat untuk memilih tidak mau turut campur urusan pribadi masing-masing.Hari ini juga Ziyad langsung mengurus cutinya. Meskipun masih menyisakan banyak pertanyaan di benak perempuan itu, tetapi Ghina tetap menyetujui. Dia berusaha bersikap seprofesional mungkin, mengingat ini masih jam kantor. Di kantor mereka adalah rekan kerja dan ia harus mengesampingkan urusan pribadinya.Dari pagi sampai siang, Ziyad berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya di kantor. Dia tidak ingin cutinya dinodai oleh hal-hal yang berhubungan dengan urusan pekerjaan. Dia ingin menikmati cutinya dan fokus dalam upayanya mencari keberadaan Rayna.Menjelang sore saat pulang kantor, Ziyad memilih pulang dengan menggunakan oj
Bab 49"Ceritanya panjang, Ma." Ziyad mencoba menarik nafas. Inilah saat yang paling tepat untuk menarik simpati ibu mertuanya."Sepanjang apapun, berceritalah, Nak. Mama akan siap mendengarkan," ujar Nafisa. Perempuan lemah lembut itu menatap menantunya dengan serius."Tetapi apakah Mama mempercayaiku, jikalau aku mengatakan hal yang buruk tentang putri mama?" Ziyad menelisik. Dia ingin memastikan sikap ibu mertuanya lebih dulu."Maksud kamu, Rayna?""Iya. Rayna, Ma.""Apa yang terjadi, Nak? Katakan yang benar, walau pahit buat Mama," desak Nafisa. Dadanya berdesir."Tidak lama setelah kami menikah, tiba-tiba seorang laki-laki muncul dan mendekati Rayna." Mata laki-laki itu menerawang, berusaha mengingat-ingat semua yang telah terjadi."Laki-laki? Siapa dia? Sepengetahuan Mama, Rayna tidak memiliki teman dekat, kecuali sepupu-sepupunya," sahut Nafisa cepat.Dia berusaha menutupi kegugupannya dengan menuangkan teh ke gelas Ziyad yang sebelumnya sudah kosong."Aku tidak tahu, Ma. Tetap
Bab 50Tuuut...Belum sempat perempuan muda itu membuka mulutnya untuk membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, sambungan telepon keburu di matikan. Rayna termangu menatap layar ponsel yang meredup dan akhirnya mati.Ravin menatap Rayna dengan pandangan bersalah. "Maaf, aku tidak bermaksud....""Gara-gara kamu, Vin," sergahnya. Dia menatap lelaki itu penuh kecewa. Tubuhnya seketika merosot menyentuh lantai yang dingin.Ravin menarik tangan Rayna dengan lembut, membantunya tegak kembali. "Akan kita hadapi bersama. Percaya padaku. Aku tidak akan tinggal diam."Ravin menarik kursi, menyuruh perempuan itu duduk. Dia menuangkan teh ke sebuah gelas, menyodorkannya kepada Rayna. "Minumlah. Kamu perlu menjernihkan pikiran."Rayna menurut. Dia pun lantas membiarkan cairan hangat nan manis itu melewati tenggorokannya."Kamu tahu, Vin. Aku paling tidak bisa melihat Mama bersedih. Apalagi semua ini lantaran salah paham padaku," ujar Rayna lirih."Aku tahu. Dan kita akan berusaha menyel
Bab 51 Rayna terus melangkah ke teras rumah. Perempuan itu tersentak kaget. Kondisi teras yang semula agak gelap, hanya mengandalkan cahaya bulan dan bintang, tiba-tiba saja terang benderang. Lampu-lampu di nyalakan dari dalam rumah, menerangi dirinya, Ravin dan dua orang bodyguard-nya. "Prok, prok!" Suara tepuk tangan menggema, membuat Rayna seketika membeku. Di hadapannya berdiri sosok Ziyad dengan gagahnya. Tangan yang barusan bertepuk tangan kini di silangkan di dadanya. Sorot matanya dingin, apalagi saat bertatapan dengan Ravin berdiri di samping Rayna. Namun, yang lebih mengerikan bagi Rayna di situasi sekarang justru sosok perempuan tua yang berdiri di belakang Ziyad. Dia lah Nafisa, ibu kandung Rayna. Perempuan tua itu menatap horor putrinya. Terlihat dari dadanya yang naik turun menahan amarah. "Akhirnya kamu keluar dari persembunyianmu, Rayna!" lantang Ziyad dengan kepalan tangan menunjuk Ravin. "Dan kamu, Ravin! Berani sekali menyembunyikan istri orang! Apa sudah tid
Bab 52Perempuan itu tersenyum puas. Dia sudah sudah berhasil membuat Ziyad emosi, padahal hanya menggunakan beberapa kalimat. Ah, begitu mudahnya lelaki itu tersulut. Setelah lelaki itu mencapai tahap emosi, maka segala macam kata-kata kotor pasti akan segera berhamburan dari mulutnya dan itulah yang Rayna inginkan. Ibu kandungnya harus tahu bagaimana sifat asli menantu kesayangannya. Dia harus bisa meluruskan kesalahpahaman ini. "Terima kasih karena sudah menganggapku sebagai istrimu, Ziyad. Tapi bagiku itu tidak terlalu penting." Rayna tersenyum tipis. Entah berasal dari mana keberanian ini di dapatkannya, tapi perempuan itu berdiri dengan tegak. Dia mendongakkan wajah, menantang Ziyad. Tak ada sedikitpun ragu di hatinya. Mampung Ziyad sudah memulai, sekalian saja ia hancur-hancuran. Ziyad pun lantas berdiri. Mereka berhadapan, saling menatap, seolah mengukur kekuatan masing-masing. Detik ini juga, Ziyad di selubungi perasaan gentar, tapi ia berusaha menyembunyikan semuanya, lew