Bab 41
Ziyad berdiri mematung di depan minimarket. Sebelumnya ia telah memasuki tempat itu dan bertanya kepada Tiara dan Soraya, tetapi keduanya menjawab tidak tahu. Hari ini Rayna tidak masuk kerja.
"Kamu kemana, Rayna?" Lelaki itu mengeluh. Berkali-kali ia berusaha menghubungi wanita itu lewat ponsel, tetapi nomor ponselnya selalu tidak aktif. lelaki itu meremas keras tangannya setelah menaruh ponsel di saku celananya. Dia benar-benar frustasi.
"Ravin...!" rasanya Ziyad ingin berteriak dan memaki-maki lelaki yang kini berhasil membawa Rayna itu. Namun ia malu dengan orang-orang yang lalu-lalang di jalanan serta para pengunjung minimarket yang datang dan pergi silih berganti untuk berbelanja.
"Harus kemana lagi aku mencarimu, Rayna?" Lelaki itu menatap dua bungkus bubur ayam yang masih tergantung di stang motornya. Kini dia sudah tidak memiliki selera un
Bab 42"Itu hanya pendapat pribadiku saja, Rayna. Kalau kamu punya pendapat lain, its oke. Aku tidak akan memaksakan pendapatku." Lelaki itu melirik arloji di pergelangan tangannya. "Maaf ya, sekarang aku berangkat dulu. Nanti malam kita ketemu lagi.""Kok malam?" protes Rayna. "Bukannya kamu sudah janji tidak akan menginap?""Tentu saja aku tidak akan menginap. Kurasa makan malam sembari ngobrol bisa menjadi momen yang menyenangkan."Perempuan itu kembali tersenyum manis. Sebenarnya ia hanya bermaksud menguji lelaki ini. "Baiklah, nanti aku akan masak untukmu. Kamu semangat ya, kerjanya.""Aku selalu bersemangat dengan support dari kamu." Lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Mereka melangkah beriringan. Rayna mengantar Ravin sampai di depan pintu.Ravin melambaikan tangan sebelum langkah panjangnya menyusuri lorong apartemen ini dan nantinya akan berakhir saat ia memasuki lift.Rayna menutup pintu dan segera menguncinya. Dia kembali melangkah menuju dapur. Perempuan itu dengan ce
Bab 43Setelah selesai makan malam, keduanya berpindah tempat. Ravin dan Rayna duduk bersisian di balkon.Berdekatan dengan Rayna membuatnya merasa tenang. Rayna seperti mood booster buat Ravin, di tengah padatnya pekerjaan yang mesti ia tangani setiap hari.Dia tak tahu entah kapan bisa memiliki perempuan disisinya ini seutuhnya. Namun, buat Ravin tak ada istilah untuk pesimis. Apalagi sikap Rayna sudah mulai terbuka dan bisa menerima kehadirannya.Meskipun nyatanya masih jauh dari harapan, tetapi bisa menggenggam dan mengecup tangan perempuan disisinya ini tanpa penolakan merupakan sesuatu yang teramat wah buat Ravin. Sangat berbeda sensasinya di bandingkan dengan perempuan-perempuan agresif yang selama ini seakan berlomba mendekatinya."Aku mengenal Bella saat kami sama-sama kuliah di luar negeri." Ravin mengawali ceritanya. "Setelah aku selesai kuliah, kami pun menikah. Bella akhirnya merelakan kuliahnya demi menikah denganku dan tinggal di Indonesia, padahal waktu itu setahun lag
Bab 44Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, Ravin dan Rayna sampai di tempat tujuan.Setibanya di depan pintu gerbang rumahnya, Ravin membuka kaca mobil dan menjulurkan kepalanya. Dia mengangguk ramah kepada dua orang penjaga yang tengah duduk di pos penjagaan. Salah satu diantaranya bangkit, berdiri dan melangkah membuka pintu gerbang. Ravin melambaikan tangan sembari membawa mobilnya meluncur masuk ke dalam.Di tengah temaram sinar lampu, Rayna bisa melihat bangunan yang tengah berada di depannya sungguh sangat besar. Ini bukan lagi sebuah rumah, tetapi mirip istana kecil. Seumur hidup Rayna, baru pertama kali mengunjungi tempat sebagus ini. Beberapa pohon tumbuh di halaman, membuat udara malam terasa kian sejuk."Ayo." Sebuah tepukan hangat mendarat di bahunya.Perempuan itu tersenyum manis, meskipun tak urung dadanya berdegup bertalu-talu. Rayna merasa begitu gugup. Dia merasa tak pantas berkunjung ke rumah ini. Namun, Ravin menggenggam erat tangannya."Tidak per
Bab 45"Namanya Rayna Anindya Edelweis, Mom," sela Ravin. "Nama yang indah," puji nyonya Amyta. "Senang bisa bertemu denganmu, Rayna.""Terima kasih, Mom," sahut Rayna malu-malu."Kalau boleh Mommy tahu, kalian pertama kali ketemu di mana?" telisik perempuan tua itu.Pertanyaan yang sulit untuk Rayna jawab. Dia menatap Ravin yang duduk di sisinya. Lelaki itu menepuk pundak Rayna dengan lembut."Rayna ini karyawan di salah satu gerai Al-Fatih Mart, Mom," jelas Ravin."Oh, ya? Berarti bagus dong!" Nyonya Amyta terlihat sangat antusias. "Pasti kalian bertemu pertama kali saat Ravin melakukan kunjungan ke beberapa gerai Al-Fatih Mart yang bermasalah itu, kan?"Ravin hanya mengiyakan. Toh, ia tidak sepenuhnya berbohong dan itu membuat Rayna menghela napas lega. Sementara di depan pintu utama, seorang laki-laki tua yang masih terlihat gagah tengah berdiri, menatap tiga orang yang tengah duduk di sofa ruang tamu."Daddy!" Ravin berteriak. Dia baru menyadari kehadiran sang daddy saat ia me
Bab 46 Ravin segera menepikan mobilnya ke tepi jalan, sebelum akhirnya meraih ponsel yang berada di saku bajunya. "Siapa, Vin?" tanya Rayna. Dia memiringkan tubuhnya mengintip layar ponsel yang dipegang oleh Ravin. "Siapa lagi kalau bukan Ziyad." Lelaki itu tersenyum tipis. "Ziyad?" pekik Rayna. Dia baru ingat kalau sudah memblokir semua akses komunikasi dengan lelaki itu. "Vin, maaf ya. Sebenarnya aku sudah memblokir semua akses komunikasi dengan Ziyad. Mungkin karena itu akhirnya dia menelpon kamu." Lelaki itu mengacungkan ponsel. "Teleponnya aku angkat ya. Tapi awas, kamu harus diam, jangan berbicara." Jarinya menggeser layar ponsel, lantas mengaktifkan loudspeaker. "Halo ... Ziyad. Ada perlu apa kamu menelponku?" "Di mana kamu menyembunyikan istriku, hah?" Suaranya bernada gusar. Mulut Rayna sudah terbuka, tapi Ravin memberi isyarat agar perempuan itu tetap diam. "Memangnya ada apa dengan Rayna?" tanya Ravin. Matanya melirik Rayna yang mendelik di sampingnya. "Dia perg
Bab 47Tepat ketika ia selesai menaruh ponsel, seorang perempuan berpakaian sangat seksi menghampiri meja tempatnya duduk."Ziyad," tegurnya."Kamu sudah terlalu banyak minum." Ghina merebut gelas dari tangan Ziyad kemudian meneguknya sampai tandas."Kamu pikir kamu juga tidak minum?" Lelaki itu tertawa hambar. Sinar matanya tampak kosong."Ziyad," geram Ghina. Dia mendaratkan bokongnya di samping lelaki itu. Mulut Ziyad yang beraroma khas minuman keras sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk mendaratkan kecupan singkat di bibir laki-laki muda itu."Kamu sudah menyakiti dirimu sendiri....""Aku tidak bisa kehilangannya, Ghina," keluh Ziyad."Sudah kubilang, lupakan perempuan itu. Dia tak pantas buat kamu. Dia sudah meninggalkanmu dengan laki-laki yang jauh lebih kaya daripada kamu. Kamu benar-benar menjadi lelaki bodoh apabila masih mengharapkannya!" Seolah mengetahui apa yang ada di dalam pikiran lelaki di sampingnya, Ghina berteriak, meskipun suaranya berbagi dengan riuh rendah
Bab 48Akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Ghina sampai di halaman kantor bank tempat mereka bekerja. Ziyad turun lebih dulu, kemudian disusul oleh Ghina. Kebersamaan kedua insan itu merupakan pemandangan biasa bagi orang-orang seisi kantor yang sudah mengetahui hubungan mereka. Namun mereka sepakat untuk memilih tidak mau turut campur urusan pribadi masing-masing.Hari ini juga Ziyad langsung mengurus cutinya. Meskipun masih menyisakan banyak pertanyaan di benak perempuan itu, tetapi Ghina tetap menyetujui. Dia berusaha bersikap seprofesional mungkin, mengingat ini masih jam kantor. Di kantor mereka adalah rekan kerja dan ia harus mengesampingkan urusan pribadinya.Dari pagi sampai siang, Ziyad berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya di kantor. Dia tidak ingin cutinya dinodai oleh hal-hal yang berhubungan dengan urusan pekerjaan. Dia ingin menikmati cutinya dan fokus dalam upayanya mencari keberadaan Rayna.Menjelang sore saat pulang kantor, Ziyad memilih pulang dengan menggunakan oj
Bab 49"Ceritanya panjang, Ma." Ziyad mencoba menarik nafas. Inilah saat yang paling tepat untuk menarik simpati ibu mertuanya."Sepanjang apapun, berceritalah, Nak. Mama akan siap mendengarkan," ujar Nafisa. Perempuan lemah lembut itu menatap menantunya dengan serius."Tetapi apakah Mama mempercayaiku, jikalau aku mengatakan hal yang buruk tentang putri mama?" Ziyad menelisik. Dia ingin memastikan sikap ibu mertuanya lebih dulu."Maksud kamu, Rayna?""Iya. Rayna, Ma.""Apa yang terjadi, Nak? Katakan yang benar, walau pahit buat Mama," desak Nafisa. Dadanya berdesir."Tidak lama setelah kami menikah, tiba-tiba seorang laki-laki muncul dan mendekati Rayna." Mata laki-laki itu menerawang, berusaha mengingat-ingat semua yang telah terjadi."Laki-laki? Siapa dia? Sepengetahuan Mama, Rayna tidak memiliki teman dekat, kecuali sepupu-sepupunya," sahut Nafisa cepat.Dia berusaha menutupi kegugupannya dengan menuangkan teh ke gelas Ziyad yang sebelumnya sudah kosong."Aku tidak tahu, Ma. Tetap