'Tidak ada perempuan yang hatinya baik-baik saja setelah diduakan'
*
Sudah hampir 30 menit aku mengacak-ngacak lemari pakaian. Mencari pakaian yang pas untuk kukenakan pergi ke pesta tunangan teman Mas Arya. Rasanya tidak ada yang cocok, bukan karena modelnya yang tidak sesuai, bukan! Tetapi, karena hampir semua bajuku tidak muat dengan tubuhku.
Aku mematut diri di depan cermin, astaga sejak kapan tubuhku berubah dengan daging berlebihan seperti ini? Sepuluh bulan yang lalu sebelum Mas Arya melamarku tubuhku begitu ideal. Menyadari ini, membuatku sedikit frustasi. Bagaimana mungkin seorang Aini cindrella telah berubah menjadi gajah bengkak. Rasanya tak ada baju yang pantas kukenakan, sekalinya muat membuat dadaku terasa sesak karena terlalu sempit.
"Ai, berapa lama lagi kamu akan selesai?" teriak Mas Arya dari luar kamar.
"Sebentar!" jawabku, akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada dres selutut berwarna silver, setidaknya ini sedikit lebih longgar dan juga cocok dibandingkan dengan yang lainnya. Tak lupa high hils warna hitam melengkapi penampilanku malam ini.
Aku memoles wajahku dengan riasan natural, dengan lipstik berwarna peach, rambut sepunggungku sengaja kugerai, agar terlihat lebih pas dengan tubuhku yang mulai bengkak gara-gara tidak menjaga pola makan. Di saat seperti ini membuatku sadar akan makan yang berlebihan, dan berkeinginan diet. Tetapi, setelahnya godaan dan aroma makanan selalu mengganggu mata dan indera penciumanku.
Setelah memastikan penampilanku sempurna aku melangkah keluar, menuruni anak tangga. Sebenarnya, aku merasa kurang percaya diri, tetapi mau bagaimana lagi, tubuh tinggi 160 cm dengan berat badan 76 kg rasanya kurang ideal memang. Sejak menikah, aku jarang memperhatikan berat badan membuat lemak berkembang biak dengan sesukanya.
"Ayo, Mas!" Mas Arya menatapku dari atas sampai bawah dengan heran, membuatku risih meski suami sendiri. Lalu, tanpa komentar ia segera mengambil kunci mobil yang terletak di atas meja, dan melangkah keluar. Sementara aku mengekorinya dari belakang, langkahnya begitu cepat membuatku kepayahan mengejarnya.
"Mas, pelan-pelan!"
"Kita sudah hampir telat, Ai." Akhirnya tanpa protes lagi aku mengikut saja, dengan sedikit berlari kecil agar bisa mensejajari laki-laki berawakan 175 cm itu.
Setelah sampai aku dan Mas Arya turun dari dalam mobil, melangkahkan kaki memasuki arena yang dijadikan tempat acara, di pinggir kolam belakang rumah tepatnya. Berbagai dekorasi karangan bunga menghiasi beberapa sudut. Sepertinya sebentar lagi acara akan dimulai, melihat banyaknya tamu undangan yang sudah datang.
Beberapa teman Arya menyapa hanya sekedar basa-basi setelahnya berbisik-bisik.
"Itu istrinya, Arya ya? Ya ampun gak nyangka ternyata istrinya gendut kayak gitu?"
"Iya ya padahal, Arya tampan gitu.""He em."Itulah bisik-bisik yang samar tertangkap telingaku. Rasanya ingin sekali kusumpal mulut-mulut itu dengan sambal cobek biar tau rasa. Hatiku sudah terasa panas, aku mengepalkan tangan hingga buku-buku tanganku terlihat. Menyadari langkahku terhenti, Arya berbalik dan memanggilku, aku pun melangkah pelan ke arahnya.
"Kamu kenapa?" tanya Mas Arya penasaran.
Aku menggeleng, mencoba berdamai dengan keadaan yang tak mengenakan hati.
Terlihat seorang laki-laki melambaikan tangannya kearah Aku dan Arya. Sepertinya teman kerjanya, Arya pun membalas lambaian tangannya dan segera mendekat.
"Hallo, Bro makin cakep aja," goda temannya tertawa sambil menyambut tangan Mas Arya.
Mas Arya pun tertawa dan bergantian menyambut tangan temannya satu-satu.
"Kenalin ini, istri gue," ucap Mas Arya memperkenalkan.
Aku pun memperkenalkan diri sama teman-teman Mas Arya. Terlihat mereka menatapku dengan heran.
"Serius, Bro ini istrimu?" tanya salah satu teman Mas Arya.
"Kata orang seorang istri menjadi lebih berisi setelah menikah itu tandanya dia bahagia," timpal teman Mas Arya yang lainnya. "Maaf ya, Mbak jangan didengarin," lanjutnya, yang kemudian kulihat ia menyikut tangan temannya tersebut.
"Ma-maaf ya, Mbak," ucapnya dengan wajah tak enak. Mereka pun meninggalkan aku dan Mas Arya.
Mataku mulai terasa panas tidak menyangka jika datang ke acara ini malah menjadi bulan-bulanan teman-teman Mas Arya. Sesuatu yang bening akhirnya lolos dari kedua netraku.
"Hei, kamu nangis, Sayang?" tanya Mas Arya lalu mengusap air mataku dengan lembut. "Tunggulah sebentar! Mas cari minum dulu!" lanjutnya.
Aku mengangguk pelan dan menghapus sisa air mata yang membasahi kedua pipiku. Astaga kenapa aku menjadi melow begini?
Dari tempatku berdiri, aku melihat Mas arya sedang mengambil minuman yang dibawakan seorang pelayan, setelahnya tiba-tiba seorang perempuan dengan dandanan modis, dengan rambut blonde menghampiri Mas Arya, tangannya bergelayut manja di tangan Mas Arya, seperti seseorang yang sudah akrab. Siapa perempuan itu?
Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena jarak kami yang memang lumayan jauh. Tak lama kemudian perempuan itu pun pergi, dan Mas Arya kembali menghampiriku dengan minuman di tangannya.
"Minumlah!" ucap Mas Arya sembari menyodorkan satu gelas minuman.
Aku pun mengambil gelas dari tangan Mas Arya dan meneguknya hingga tandas.
"Hei, pelan-pelan apa kamu begitu haus," tanya Mas Arya.
Aku mengelap bagian sudut bibirku dengan tangan, dan menyodorkan gelasnya kembali.
"Apa kamu mau tambah minumannya?"
Aku menggeleng, dan memegangi perut.
"Aku lapar," lirihku.
Mas Arya terkekeh, "Ayolah, Aini Sayang sebentar lagi acaranya akan dimulai!" ucapnya kemudian.
"Sepertinya aku mau ke toilet, sebentar," ucapku.
"Iya. Mas tunggu di sini."
Aku mengangguk pelan, dan berlalu meninggalkan Mas Arya. Tanpa sengaja tubuhku menabrak seorang perempuan.
"Maaf!" ucapku, menundukkan sedikit kepala sebagai permintaan maaf.
"Tidak apa-apa." balasnya tersenyum ramah, dan pamit pergi.
Aku merasa tak asing dengan wajahnya, tetapi siapa? Seperti pernah bertemu entah dimana, ah sudahlah. Aku segera melangkahkan kaki menuju toilet perempuan. Selesai dari toilet aku merapikan penampilanku, memoles bedak dan lipstik yang mulai memudar dan merapikan rambut yang sedikit berantakan. Setelahnya aku pun melangkah keluar.
Aku kembali melihat Mas Arya bercakap-cakap dengan seorang perempuan, tampaknya mereka begitu akrab. Bukankah itu perempuan yang tadi ku tabrak di depan toilet? Tak lama perempuan itu kembali pergi, seperti tau kalau aku akan datang.
"Siapa, Mas?" tanyaku.
"Aini, ngagetin aja," protes Mas Arya sambil mengelus dada. "Teman kantor."
"Oh," balasku singkat.
"Apa kamu masih lapar?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan, "Ah baiklah tunggulah sebentar!" Mas Arya berlalu pergi meninggalkanku, tak lama kemudian membawakan beberapa kue basah yang tertata di atas piring kecil.
"Makanlah!" Aku mengambil piringnya dan segera menyantapnya.
Acara yang di tunggu-tunggu akhirnya dilaksanakan, sepasang kekasih saling memasangkan sebuah cincin sebagai ikatan bahwa mereka resmi bertunangan. Semua orang bertepuk meriah, memberi ucapan selamat kepada dua insan yang tengah berbahagia.
Setelah memberi ucapan selamat, aku dan Mas Arya pun pamit pulang. Malam ini rasanya begitu melelahkan tanpa sengaja aku pun tertidur di mobil saat perjalanan pulang.
Bersambung ...
'Kesetian seseorang tidak diukur berapa besar rasa perhatiannya padamu. Tetapi, bagaimana cara ia menjaga hati saat jauh darimu'*Mataku mengerjap saat jam beker berdering nyaring di atas nakas, antara sadar dan tidak tanganku menggapai-gapai jam beker, dan berniat mematikannya. Setelahnya, aku kembali tertidur. Lagi-lagi jam beker terus berdering, mataku memicing menatap jam beker dalam genggamanku, pukul menunjukkan 04.40 WIB, aku segera bangun. Kulihat Mas Arya masih tertidur pulas, dengan dengkuran halus khasnya. Mengingat semalam aku tertidur, saat dalam perjalanan pulang, aku tersenyum geli pasti Mas Arya kepayahan menggendongku dari dalam mobil sampai ke kamar.Aku menuruni ranjang, melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan menggosok gigi. Setelahnya aku membangunkan Mas Arya untuk melaksanakan dua rakaat, setidaknya begini-begini aku masih ingat Tuhan, bagaimanapun akulah yang membutuhkan Sang Pencipta. Tetapi, Mas Arya masih bergeming. Akhirnya aku mem
Aku tengah mengupas buah naga di balkon kamar, sembari menikmati sunset sore. Mas Arya menghampiriku. Memeluk tubuhku dari belakang, lalu mencium pipiku seperti yang sering ia lakukan sehabis pulang kerja. Aku bergeming tidak menanggapi seperti biasanya, mengingat bagaimana ia telah membagi pelukan dan ciuman itu pada wanita lain. Setelahnya Mas Arya duduk di samping kiriku."Sayang, apa tadi pagi kamu ke kantor?" Tangannya mengambil potongan buah yang telah ku potong di atas piring. "Sepertinya Mas melihat mobilmu di parkiran," tanyanya lagi memecah kesunyian.Aku masih diam sembari terus mengupas buah naga kedua, tanpa sengaja tanganku teriris, darah segar keluar dari bagian luka di tanganku."Hei, Honey tanganmu terluka!" Menyadari itu Mas Arya dengan sigap meraih tanganku dan memasukkannya ke dalam mulutnya agar darahnya berhenti mengalir.Lelaki ini, kenapa begitu pintar bersandiwara? Aku segera menarik tanganku."Ini tidak seberapa sakit dari luka yang kamu buat," ucapku santai.
Permisi, Mbak ada paket untuk, Mbak!" ucap Mas kurir, sembari menyerahkan sebuah paket berukuran persegi."Pa-paket?" tanyaku heran. "Rasanya saya tidak pernah memesan barang!" Tanganku terulur menerima paket yang diberikan Mas kurir."Saya hanya mengantarkan sesuai alamat pesanan, Mbak," balasnya sambil tersrnyum. "Silahkan tanda tangan di sini, Mbak," sambungnya lagi sambil memberikan sebuah surat tanda terima paket.Aku pun menanda tangani kertas yang disodorkan Mas kurir tersebut. Setelahnya Mas kurir pun pamit. Karena rasa penasaran aku segera membuka paketnya.'Hallo, Mbak apa kabarmu? Aku ingin mengembalikan jam tangan Mas Arya, kemarin malam ketinggalan di kamarku, setelah kami memadu kasih'Seketika rasanya darah di kepalaku mendidih, membaca pesan ja*ang itu. Bre*gsek beraninya dia mengirim ini untukku. Aku meremas kertasnya lalu melemparnya dengan kuat.Kedebug!"Aww ...," pekikku.Tanganku menghantam pintu kamar, seketika aku pun terbangun. Entah sudah berapa lama aku me
Sesampainya di rumah, hatiku rasanya masih menyisahkan emosi sehabis bertemu perempuan itu, dengan perasaan jengkel aku memasukkan barang-barang yang tadi kubeli ke dalam kulkas. Snack, mie instan dan lainnya, tak lupa aku juga membeli sayur-mayur, daging dan juga ikan segar. Sebuah notif masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan dari Mas Arya. Aku sengaja tidak membukanya, apa lagi untuk membalasnya. Aku melanjutkan memasukkan barang-barang ke dalam kulkas.Selesai!Aku mengambil ponsel yang tadi kutaruh di atas kulkas. Lalu, menghubungi Hani sahabatku.[Han, lagi apa? Kalau gak sibuk pulang kerja mampir ya! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan] aku mengirim pesan pada Hani, tak lama kemudian pesanku di balas.[Oke, Bos] balasnya. Aku terkekeh, dasar si Hani. Kemudian pesan kembali masuk.[Jaga kesehatan ya!] pesan dari Mas Arya yang kesekian kalinya. Membuatku muak, percuma perhatian, tetapi ternyata tukang se*ingkuh.Aku membanting ponsel ke atas kasur dengan gusar. Lalu, berlalu p
Selesai makan aku dan Hani berencana pergi nge-gym sehabis Zuhur nanti. Ini pertama kalinya aku pergi nge-gym lagi, setelah menikah. Dulu, sebelum menikah, aku sering nge-gym dan mendatangi pusat kebugaran, menjaga pola makan dan penampilan. Setelah menikah Mas Arya selalu memanjakanku, memberikan segala yang kusuka, dan kuinginkan. Selain itu juga, keahliannya di bidang memasak, juga salah satu faktor tumbuh kembangnya lemak dalam tubuhku, sementara untuk berolah raga aku sudah jarang, bahkan hampir tak pernah."Ai, kamu sudah siap?" tanya Hani, saat keluar dari kamar mandi."Udah nih, ayo berangkat!" ucapku.Karena libur aku sengaja meminta Hani untuk menginap di sini, dan tentunya sudah izin sama orang tuanya. Aku mengeluarkan mobil dari garasi, memanaskan mesinnya sebentar, lalu keluar dari gerbang menuju jalan raya.Selama perjalanan Hani tak henti-hentinya bernyanyi, menirukan penyanyi aslinya, headset yang terpasang di telinganya membuatnya sesuka hati menumpahkan suara cempr
Sejak memutuskan untuk diet aku selalu rajin melakukan olah raga, mulai dari Jogging, crunch, cardio, plank, jumping jacks dan olah raga lainnya, yang bisa di lakukan di rumah. Biasanya sebelum berangkat kerja aku selalu menyempatkan diri untuk lari ditempat sebanyak 23 kali sama seperti usiaku. Sudah minggu ketiga aku melakukan diet, dan usahaku tidak tidak sia-sia, berat badanku benar-benar berkurang sebanyak 16 kg. Aku begitu merasa senang. Pagi ini, selesai salat subuh aku melangkah keluar kamar, menuruni anak tangga dan menuju dapur. Sebelum berolah raga, aku terlebih dulu membuat sarapan sehat untuk diet. Omelet sayur dan sandwich alpukat. Tak lupa satu gelas susu. "Lagi masak apa, Non?" Tiba-tiba suara Bi Jana mengagetkanku yang tengah asyik membuat omelet sayur. "Bibi! Ngagetin aja." seruku dengan jantung seakan mau copot. "Maaf, Non!" ucap Bi Jana merasa tak enak. "Emang, Non lagi masak apa? Kayaknya senang banget, Nonnya?" tanya Bi Jana lagi. "Ini, Bi aku lagi masak om
Aku terbangun dengan kepala yang masih terasa sedikit pusing. Belum sepenuhnya sadar aku mengerjap perlahan, mengamati sekeliling sembari merapikan kepingan ingatan sebelum aku tertidur disini. Lalu, mencoba menggerakkan tangan dan bangun."Syukurlah, Ai kamu sudah sadar!" Aku menoleh, ternyata Mas Arya, sejak kapan dia ada disini? ia tersenyun seraya beranjak dari kursinya, dan langsung membantuku bangun, dengan memegangi tanganku.Rasanya tetap terasa sama, hangat. Tetapi mengingat luka yang ditorehkannya membuatku langsung menarik tanganku.Bersamaan itu, Bi Jana pun datang sambil membawa nampan berisi satu gelas teh hangat di atasnya, terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Bi, aku kenapa?" tanyaku, setelah Bi Jana menaruh tehnya di atas nakas."Alhamdulillah syukurlah, Non sudah sadar. Tadi, Non pingsan di garasi, Bibi panik dan segera menelpon Den Arya." Bi Jana menjelaskan. "Untung, Den Arya segera datang," lanjutnya."Pi-pingsan, Bi?" Aku mengulang kalimat yang sama."Iya
Hari ini aku masih belum masuk kerja, setelah pingsan kemarin. Tubuhku masih terasa lemas, urusan Butik sudah kuserahkan pada Abel asistenku. Sementara pagi-pagi sekali, Mas Arya sudah berangkat kerja. Aku tidak menghiraukannya, terserah dia mau sarapan atau tidak, bukan urusanku. Semalam dia pun tidur di atas sofa.Saat bangun, mataku menangkap sesuatu di depan cermin, secarik kertas dengan tulisan 'Selamat pagi, perempuan cantik. Sehat selalu ya! I Love U' huh, Mas Arya selalu saja romantis, dasar bucin. Dia pikir aku akan luluh? Hatiku sudah kebal dengan rayuan receh seperti ini, sejak tahu ia telah membaginya dengan wanita lain, rasanya mulai terasa hambar.Aku beranjak dari atas tempat tidur, perlahan menuruni ranjang, setelah salat subuh aku tidur lagi, bangun-bangun sudah jam 07. Aku menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri dan menggosok gigi."Bi, tolong buatin susu ya!" ucapku pada Bi Jana saat aku telah duduk di kursi meja makan."Baik, Non!" Sembari menunggu tanganku be
Akhirnya kami terpaksa pergi dari rumah yang sudah lama kuimpikan menjadi Nyonya di dalamnya. Tentunya aku tak kan kehabisan akal sudah kepalang basah biar sekalian nyebur saja.Bagaimanapun caranya Mas Arya harus kembali ke rumah itu dan meminta maaf. Aku tidak mau kalau mas Arya dan Aini sampai bercerai dan aku tidak dapat apa-apa. Aku harus memperjuangkan hak anak ini, apapun caranya ia tidak boleh hidup dalam kemiskinan.Saat kami tiba di mobil, Mas Arya begitu terlihat marah dan malah ingin menceraikanku, enak saja habis manis sepah di buang setidaknya ia pernah mencicipi madu manisku, meski anak yang dalam kandungan ini bukan anaknya.Setelah kuberi tahu kalau aku lagi hamil, wajahnya seketika berubah. Ada binar bahagia dari kedua matanya. Ia benar-benar terlihat senang. Saat itulah aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dan membujuknya agar kembali ke rumah Aini."Baiklah," ucap Mas Arya akhirnya melemah, dan kami kembali ke apartemen sumpek itu, sungguh menyebalkan. Tenang,
Aku bergegas mengemasi pakaian ke dalam koper berukuran besar. Hari ini aku akan pindah dan tinggal di rumah Mas Arya. Dia pasti senang melihat kedatanganku, aku tersenyum membayangkan wajah bahagia Mas Arya, sembari terus memasukkan pakaian ke dalam koper. Tetapi, bagaimana dengan Aini, ah itu bukan masalah besar, untuk itu biar kuurus nanti.Kenapa juga kuharus memikirkan perempuan itu, bukankah dia juga hidup menumpang dengan Mas Arya? Jadi, mana bisa dia bisa menghalangiku.Semua pakaian telah tersusun rapi dalam koper, aku segera menutupnya dan memesan taksi online. Aku sengaja tidak minta di jemput MasArya karena ini kejutan untuknya.Aku sudah berada di depan rumah besar milik Mas Arya dengan perasaan senang, aku tidak sabar bertemu Mas Arya.Dengan langkah tergesa aku segera menuju pintu utama, menekan bel pintu beberapa kali barulah keluar perempuan tua dan gendut dari dalam."Lama amat sih," ketusku saat daun pintu mewah itu terbuka lebar hingga menampakkan isi di dalamnya.
Sebal banget rasanya melihat Mas Arya datang ke acara pertunangan teman sekantor bersama istrinya yang gendut itu. Sudah pasti aku tidak akan bisa bersamanya, padahal aku sudah dandan habis-habisan agar Mas Arya tak berpaling dariku.Lelaki yang sudah susah payah kudapatkan, dengan cara menjebaknya. Siapa yang tidak menyukai laki-laki tampan, mapan, baik, lagi perhatian. Ya dia Arya lelaki yang kukenal sebagai atasanku itu memang terlihat menawan, perempuan mana yang tidak menginginkan bisa hidup mendampinginya. Berbagai rayuan sudah kulakukan, tetapi tidak mempan. Hem ... Tipe lelaki setia, pikirku. Aku hampir kehabisan akal agar Arya bisa tertarik denganku, hingga muncul ide gila untuk menjebaknya. Sebelumnya aku sudah mempunyai pacar namanya Doni, lelaki pengangguran dan pemabuk kerjaan hanya menghabiskan uang. Kalau soal tampan memang tidak kalah sama Arya tetapi tampan saja tidak cukup.Hingga tiba saat aku melancarkan aksiku untuk menjebak Arya, dengan pura-pura minta dibenari
Belum hilang rasa keterkejutan dari wajah Mas Arya, atas kebohongan Anita selama ini, aku sudah memberinya sebuah kejutan baru dengan memberinya surat. Aku meletakkannya di atas meja persegi ruang tamu saat Mas Arya tengah duduk termenung."Apa ini, Ai?" tanya Mas Arya ia mendongakan wajahnya menatap lurus ke mataku."Baca saja, Mas," ucapku pelan.Tangan Mas Arya mulai membuka lembaran surat tersebut dengan pelan, setelahnya matanya mulai berkaca-kaca."Baiklah, kalau itu maumu!" balas Mas Arya pelan. Saat ini tidak ada lagi penolakan darinya, mungkin ia menyadari betapa terlukanya hatiku atas tindakan bodohnya.Ia pun bangkit, perlahan menaiki tangga menuju lantai atas, entah apa yang akan dilakukannya. Tidak lama kemudian, ia turun dengan membawa koper."Jaga dirimu baik-baik, Ai!" pelan Mas Arya berucap. Rasanya hatiku, terenyuh. Ah tidak! Aku tidak boleh luluh."Tentu, aku akan menjaga diriku dengan baik," tegasku, aku memalingkan wajah tak berani menatapnya. Jika benar apa yang
Rasanya capek juga setelah menangis berjam-jam. Akhirnya aku memutuskan pulang, dan beristirahat. Merebahakan diri di atas kasur, perlahan mata pun mulai terpejam.Aku terbangun saat ponselku berdering, aku meraba-raba mencari keberadaan benda pipih itu, setelah dapat ku geser tombol warna hijau tersebut, lalu telpon pun terhubung."Iya, hallo," jawabku masih menahan kantuk."Ai, bisa bertemu sekarang? ada hal penting yang ingin kukasih tau, dan tidak bisa dibicarakan lewat telpon," tegas Hardi di ujung ponsel.Aku yang sejak tadi masih dengan posisi berbaring, seketika bangkit, mengubah posisi menjadi duduk."Dimana?" tanyaku, rasa kantuk pun menjadi hilang mendengar berita dari Hardi sepertinya ini benar-benar penting."Di tempat biasa," balasnya singkat."Oke, aku ke sana sekarang." Kami pun mengakhiri topik pembicaraan, dan aku pun segera mencuci muka, dan memoles bedak tipis, lalu segera pergi menemui Hardi."Maaf! Lama nunggunya," ucapku setelah sampai. Lalu,"Its oke," jawabny
Aku termenung teringat pristiwa di rumah sakit kemarin, betapa terkejutnya saat mengetahui kalau ternyata Mama Wati adalah Mama Sila. Itu artinya, Anita?Ah! memikirkan itu membuat kepala terasa pening. Aku harus bertemu Mama Sila, iya harus! Aku menyambar tas yang tergeletak di atas kasur, dan ponsel di atas nakas. Lalu melangkah keluar menuruni anak tangga dengan langkah tergesa.Perlahan mobil yang kukendarai mulai menjauh dari pekarangan rumah, meninggalkan istana tempat tinggal selama ini. Rasanya aku sudah tak sabar ingin segera sampai, dan bertemu Mama Sila mendengar penjelasan langsung dari bibirnya.Setelah menempuh perjalannya sekitar 20 menit, akhirnya aku tiba, setelah memarkirkan mobil pada sisi jalan, aku pun lekas turun, dan melangkah menuju pintu utama. sejenak aku terdiam berdiri di depan pintu rumah Mama. Tanganku bersiap untuk mengetuk pintu, sembari menghela napas beberapa kali, menetralisirkan kecanggungan yang tengah menguasai hati. Saat tangan sudah terangkat d
Perlahan aku mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar, tempat ini sangat asing, dan hanya diisi barang-barang bekas. Aku menggerakkan tubuh, bagian punggung begitu terasa nyeri, akibat pukulan keras tadi. Baru sadar kedua tangan dan kaki terikat sementara mulut tertutup sebuah selotip.Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri yang kini tengah duduk di atas kursi dalam keadaan terikat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dari arah pintu, seringainya begitu mengerikan ia melangkah mendekat."Rupanya kau sudah sadar," ucapnya, lalu membuka selotif yang menutup bagian mulutku dengan kasar membuat bibirku terasa begitu perih."Siapa kau? Lepaskan aku? Kenapa kau menyekapku?" Cercaku dengan berbagai pertanyaan.Ia tersenyum miring. "Siapa aku itu tidak penting, ah iya kenapa aku menyekapmu karena kau terlalu banyak tau, Nona," ucapnya lembut tapi penuh arti."Katakan apa maumu?" tanyaku penuh emosi.Ia kembali tersenyum, "Mauku, kau duduk manis saja di sini." Lelak
Setelah pulang dari bertemu Hardi aku melenggang masuk ke dalam rumah, kulihat Mas Arya sedang makan dengan disuapi Anita. Aku menghela napas, sepertinya Mas Arya sungguhan sakit sampai makan pun harus dibantu oleh gundiknya.Melihat kedatanganku Anita menghentikan aktivitasnya dan menatapku dengan tatapan sinis."Dari mana saja kamu, Mbak? Mas Arya lagi sakit malah keluyuran." Anita melayangkan pertanyaan dengan nada tidak suka."Bukan urusanmu, dan mengenai Mas Arya bukankah sudah ada kamu yang mengurus," ketusku sambil melipatkan tangan di dada. Huh! Enak saja aku harus mengurus Mas Arya, sementara dia mau enaknya saja.Anita terlihat gusar, dan ingin mendebatku lagi. Tetapi, segera ditahan oleh Mas Arya. Mas Arya pun beranjak dari duduknya dan menghampiriku, kini tatapan matanya begitu sendu, tidak lagi bengis seperti kemarin. Oh Mas Aryaku sungguh menyedihkannya dirimu, melihatmu aku jadi kasian."Ai, soal kemarin, M-mas minta m-maaf," pelan Mas Arya berucap, wajahnya kini sunggu
Pagi-pagi sekali Anita sudah ribut karena mendapati Mas Arya pulang dalam keadaan yang sangat menyedihkan, sepertinya Mas Arya mabuk. Aku yang lagi duduk santai di teras depan pura-pura tidak melihat, dan terus sibuk membaca koran, melihat berita yang di muat hari ini.Mas Arya berjalan sempoyongan, aroma alkohol mengusik indra penciumanku. Tiba di depan pintu, tubuh Mas Arya terjatuh dan tak sadarkan diri, Anita pun kaget."Mbak, tolongin, Mas Arya!" teriaknya gelagapan, seperti melihat orang yang mati saja."Ya tinggal diangkat, Nit," ucapku santai, pandangan mataku tetap fokus pada koran yang kupegang. "Jangan mau enaknya saja! Giliran Mas Arya kayak gitu gak mau ngurusnya," cicitku yang masih tetap fokus membolak-balik koran yang kupegang.Aku tidak peduli ekpresi apa yang akan ditunjukkannya, dan aku juga tidak peduli Mas Arya mau pingsan ataupun mati sekalian. Hatiku begitu sakit menerima perlakuan kasarnya kemarin sore. Lelaki lemah lembut dan penuh perhatian itu kini sudah ber